C U K U P

Sejak tahun 2007 kita akrab dengan istilah “remunerasi” yang mulai dilaksanakan oleh Departemen Keuangan. Menurut kamus besar Indonesia 2008, remunerasi adalah pemberian hadiah (penghargaan atau jasa), bayaran, imbalan atau kompensasi atau upah. Salah satu tujuan remunerasi menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara adalah untuk mendorong Sumber Daya Manusia (SDM) bertumbuh menjadi manusia berkualitas, memelihara SDM yang produktif sehingga tidak pindah ke sektor swasta dan membentuk SDM dengan perilaku yang berorientasi pada pelayanan serta mengurangi tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Setiap tahun dilakukan peninjauan terhadap besaran remunerasi dan jumlahnya selalu meningkat. Pegawai negeri yang sebelumnya menerima gaji resmi lebih rendah dari karyawan swasta, sekarang boleh berbangga dengan penghasilan yang jauh lebih besar. Bahkan mulai tanggal 1 Januari 2014, gaji pejabat eselon I (golongan IV e) bisa mencapai Rp 70 juta per bulan, sedangkan pejabat eselon II sekitar Rp 55-60 juta, eselon III Rp 45 juta.

Pemerintah mengharapkan, dengan gaji resmi yang cukup tinggi akan menghindarkan para pegawai dari keinginan untuk KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Tapi yang kita lihat di berita TV maupun media masa justru sebaliknya - setiap tahun perilaku KKN di Indonesia semakin terang-terangan dan parah. Jumlah yang dikorupsi juga sudah mencapai triliuan rupiah yang dilakukan oleh pegawai biasa. Ketamakan yang luar biasa itu membuat Indonesia berada dalam peringkat negara terkorup ke 114 dari 177 negara di tahun 2013.

Dana bantuan kesejahteraan masyarakat dikorupsi dengan berjamaah (beramai-ramai) sehingga di satu propinsi banyak dijumpai masyarakat miskin yang sulit mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan, sementara para pejabat dengan bangga memamerkan kekayaan dan mobil-mobil mewahnya. Sumber daya alam dijual dan dikeruk dengan tidak semena-mena sehingga mendatangkan bencana alam tanah longsor, banjir dan kekeringan bagi masyarakat miskin di daerah itu. Pemerintah mencanangkan pemberantasan korupsi, tetapi justru para pejabat di lingkungan dalam partainya banyak yang diadili karena masalah yang sama.

Apakah semua masyarakat di Indonesia sudah sedemikian parah dan tidak memiliki hati nurani seperti yang ditunjukkan oleh para pejabat yang mendadak menjadi selebritis untuk kasus-kasus korupsi tersebut?

PAKET NASI KOTAK

Satu kali kita PD Yoel membagikan nasi kotak kepada para geladangan dan pemulung di pinggir jalan. Kita menyiapkan satu paket nasi kotak dan satu botol air mineral dalam tas-tas plastik, dan mulai pagi berkeliling dengan mobil menyusuri jalan-jalan utama. Kalau ada gelandangan atau pemulung, kita menepi dan satu orang tim turun untuk memberikan paket nasi kotak tersebut, sementara yang di mobil menyiapkan tas-tas berikutnya.

Kita menjumpai bermacam-macam reaksi dari para penerima paket nasi kotak tersebut, di mana umumnya mereka sangat berterima kasih dan tidak jarang meneteskan air mata haru. Tapi ada juga yang marah-marah, karena rupanya gelandangan tersebut terganggu ingatannya. Melihat mereka bersukacita menikmati nasi kotak dan air mineral, kita diingatkan Tuhan akan firmanNya dalam Matius 25:34-40.

“Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:34-40)

Ketika mencari target selanjutnya, kita melihat ada seorang ibu yang menggendong anaknya berjalan tanpa alas kaki. Mobil kita pinggirkan, dan kita memberikan dua bungkus nasi kotak. Dia terlihat ragu-ragu menerima kemudian melihat isinya, dua tas dengan masing-masing satu nasi kotak dan satu botol air mineral 500 ml. Karena kelihatan ragu-ragu, kita masih menunggu jangan-jangan dia tidak mau menerima. Kemudian dia mengambil satu air mineral yang di kantong satunya dan mengembalikan dengan berkata, “Airnya satu saja.” Kita berusaha memberikan lagi, tapi si ibu itu tetap tidak mau dan dia berkata, “Satu saja cukup.” Gantian kita yang terheran-heran dengan kejadian yang kita hadapi. Dia hanya mengambil apa yang dibutuhkan pada saat itu dan tidak mau membuat simpanan sebanyak-banyaknya seperti yang dilakukan oleh para elit negara yang berpendidikan tinggi yang dijerat kasus korupsi. Luar biasa ...

Setelah sampai di ujung jalan protokol kita berputar dan meneruskan membagi paket nasi kotak kepada para gelandangan dan pemulung yang kita lihat. Dari kejauhan kita melihat ada seorang laki-laki tua yang dengan baju kumal berjalan. Kita berhenti dan memberikan satu paket nasi kotak, tapi dengan tegas dia menolak dan berkata, “Tadi sudah!” Rupanya dia adalah gelandangan yang duduk di jalan seberang dan sudah menerima nasi kotak, yang ketika kita berikan langsung dibuka dan dimakan dengan lahap sampai habis. Setelah itu dia berjalan ke seberang jalan. Kita tidak mengenali bahwa dia sudah kita bagikan paket nasi kotak, dan ketika kita bagikan, dia menolaknya ... Ini luar biasa lagi. Hari itu kita benar-benar belajar, bahwa Tuhan memberikan hati yang “cukup” di dalam diri orang-orang yang sangat sederhana. Mereka benar-benar menjalani hidup dengan “kecukupan” yang luar biasa, sehingga menolak untuk menerima paket nasi yang sebelumnya sudah dinikmatinya. Ini adalah pembelajaran mengenai Doa Bapa Kami yang sangat nyata : “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11)

SUDAH PUNYA

Di rumah secara periodik istri saya mengumpulkan baju, tas, sepatu atau mainan anak yang sudah menumpuk di lemari-lemari untuk dibagikan kepada yang memerlukan atau dikirimkan via pos ke luar daerah. Selain untuk membagi berkat bagi yang membutuhkan, jika di lemari sudah ada bagian yang kosong maka bisa diisi lagi dengan yang baru ... :D :D :D

Hari itu istri mengumpulkan sepatu dan tas “kondangan” yang menjadi koleksinya. Terkumpul ada dua plastik besar, yang satu berisi sepatu dan sandal dan tas plastik satunya berisi tas “kondangan” - saya hitung ada lima tas masih dalam keadaan bagus. Karena kondisinya masih bagus saya berpikir tas dan sepatu itu akan diberikan kepada orang-orang di kampung sebelah yang biasa membantu di rumah kita, tapi istri bilang mau diberikan ke pemulung saja.

Hari Sabtu pagi saya libur dan bermain dengan anak-anak, ketika ada dua bocah pemulung lewat depan rumah. Istri melihat mereka lewat kemudian menawari apakah mereka mau sepatu dan tas? Keduanya mau dan diajak masuk ke halaman belakang mengambil dua tas plastik besar berisi sepatu dan tas “kondangan”. Kedua bocah pemulung melihat isinya dan mengambil plastik yang satu berisi sandal dan sepatu, sedangkan plastik berisi tas “kondangan” ditinggal. Istri bertanya mengapa yang tas plastik yang berisi tas “kondangan” tidak dibawa, mereka hanya menjawab singat, “Nggak.” Istri masih heran dan memberi alasan, “Khan bisa buat ibumu atau tetanggamu?” Mereka memberikan jawaban yang mengejutkan yaitu, “Sudah punya tas.”

Saya melihat kejadian itu sangat heran, karena kalau dilihat dari segi ekonomi tas-tas “kondangan” itu bisa dijual dengan harga lebih mahal daripada sandal dan sepatu, tapi kedua bocah pemulung itu menolak dengan santainya, termasuk katanya ibunya masih punya tas “kondangan” sehingga tidak perlu ditambah lagi. Bagi mereka “masih punya” itu berarti “sudah cukup”!

---

Hari itu kita belajar mengenai arti “cukup” dari orang-orang yang sangat sederhana. Mereka bekerja keras setiap hari mencari uang untuk kebutuhan primer sehari-hari, tetapi mereka mencukupkan diri dengan apa yang dimiliki. Ini sangat kontras dengan yang saya temui dari orang-orang pintar dan elit yang setiap hari sibuk mengumpulkan uang dan harta sebanyak-banyaknya untuk menjamin masa depan dan investasi. Bagi mereka sama sekali tidak pernah ada kata “cukup” karena itu yang selalu ditanamkan di akal pikiran dan hati mereka baik di rumah, di sekolah, bangku kuliah maupun dalam bisnis. Sebuah kontradiksi perilaku yang sangat ironis.

Menurut jumlah kekayaan, para koruptor elit adalah orang-orang super kaya dibandingkan dengan gelandangan dan pemulung. Akan tetapi sebenarnya hati mereka sangat miskin sehingga merasa terus bekekurangan dan tidak pernah merasakan “cukup”. Kaya dimulai dari hati yang bersyukur kepada kasih Tuhan, yang bisa merasakan kepuasan atas setiap anugerah yang diterima -- bahkan berikutnya dari dalam hatinya akan meluap aliran-aliran kasih dan kemurahan kepada orang lain yang membutuhkan.

"Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yohanes 7:38)

“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” (Matius 5:7)

Tetap semangat di dalam Firman Tuhan dan Langkah Iman.

GBU
(Indriatmo)

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA