Betulkah Manusia Sudah Rusak Total?

“Total Depravity” (Kerusakan Total) telah menjadi istilah yang kurang populer di abad ke-21 ini, bahkan di kalangan orang Kristen sekalipun. Bagaimana tidak, berbagai hal yang kita temui di zaman ini justru mengajarkan bahwa manusia tidak sepenuhnya rusak. Bagi banyak orang, masih ada sejumlah kebaikan di dalam setiap kejahatan atau keburukan manusia. Gambaran paling mudah adalah konsep Yin dan Yang—titik putih di antara lautan berwarna hitam dan titik hitam di antara lautan berwarna putih. Simbol tersebut menunjukkan semangat zaman ini, bahwa selalu ada sedikit hal baik di dalam diri orang yang jahat, dan sebaliknya, sebaik-baiknya seseorang, selalu ada titik hitam atau hal jahat di dalam dirinya. Tidak ada lagi konsep yang baik sungguh-sungguh baik, ataupun yang jahat sungguh-sungguh jahat. Semua itu tergantung dari perspektif mana kita melihat. Lebih buruknya lagi, konsep ini merasuki hampir semua bidang kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam interaksi kita dengan pop culture. Di bidang musik misalnya, terdapat lagu “This is Me”[1] yang mana keseluruhan liriknya sangat menunjukkan dorongan untuk menerima seseorang apa adanya, tanpa peduli dia baik atau jahat. Di dunia film, kita menemukan tokoh superhero seperti Superman yang tidak hanya memperlihatkan kekuatannya, tetapi justru sisi kemanusiaan dan kelemahannya juga dinyatakan secara gamblang. Karakter superhero yang baik, kuat, dan sempurna seperti yang dapat kita temukan di tahun 70-an, sudah kurang populer di zaman ini. Justru yang kita temukan adalah tokoh-tokoh superhero macam Iron Man yang di awal pengenalannya tidak luput dari kelemahan sebagai manusia yang cinta uang dan arogan.

Karena itu, melalui peringatan 400 tahun Synod of Dordt ini, mari kita sekali lagi menyelami kebenaran Alkitab tentang dosa manusia, suatu kebenaran yang diperjuangkan oleh para reformator. Hal ini sangat penting supaya kita dapat mengenal diri dengan benar dan menyadari betapa besarnya kuasa penebusan Yesus Kristus. Tanpa kesadaran yang benar tentang kerusakan total, maka sulit untuk kita juga memahami kedalaman makna dari penebusan Kristus di kayu salib. Terlebih lagi, doktrin ini dapat menjadi pedoman bagi orang Kristen agar tidak terjerat oleh arus pemikiran dunia ini, terutama di dalam kompromi terhadap dosa manusia. Justru sebaliknya, doktrin ini harusnya menjadi kekuatan baru untuk menyatakan kembali kebenaran yang sejati.

Remonstrant’s View of Sin
Pembahasan mengenai TULIP tidak dapat dipisahkan dari penjelasan mengenai ajaran Arminian atau isi protes dari kaum Remonstrants. Hal ini dikarenakan terbentuknya TULIP dan Canons of Dordt sendiri merupakan respons terhadap kaum Remonstrants yang mulai menyimpang dari ajaran Alkitab. Pengajaran mereka dirumuskan dalam bentuk risalah yang berjudul Five Articles of Remonstrance. Di bawah ini saya kutip salah satu isi pada bagian artikel ke-3:

That man has not saving grace of himself, nor of the energy of his free will, in as much as he, in the state of apostasy and sin, can of and by himself neither think, will, nor do anything that is truly good (such as having faith eminently is); but that it is needful that he be born again of God in Christ, through his Holy Spirit, and renewed in understanding, inclination, or will, and all his powers, in order that he may rightly understand, think, will, and effect what is truly good, according to the word of Christ, John xv. 5: “Without me ye can do nothing.”

Pada bagian introduksi buku The Canons of Dordt yang diterbitkan oleh Puritan Reformed Theological Seminary (PRTS)[2], mereka merangkum artikel ke-3 ini dalam satu kalimat: “The free will of man due to only partial depravity.” Menarik bahwa sering kali ajaran bidat dimulai dengan penyimpangan pada bagian-bagian kecil terlebih dahulu. Sesuatu yang kita tidak perhatikan dengan saksama, sering kali kita anggap baik-baik saja. Kutipan di atas menjadi bukti nyatanya. Jikalau kita baca sekilas, sepertinya tidak terlihat ada yang salah. Bahwa orang yang berdosa perlu dilahirbarukan di dalam Kristus, melalui Roh Kudus agar mengerti, memikirkan, dan menghendaki apa yang baik menurut perkataan Kristus. Yang menjadi permasalahan adalah prinsip ini menjadi tidak konsisten ketika masuk ke artikel berikutnya, yaitu artikel ke-4 yang berbunyi:

That this grace of God is the beginning, continuance, and accomplishment of all good, even to this extent, that the regenerate man himself, without prevenient or assisting, awakening, following and cooperative grace, can nei­ther think, will, nor do good, nor withstand any temptations to evil; so that all good deeds or movements, that can be conceived, must be ascribed to the grace of God in Christ. But, as respects the mode of the operation of this grace, it is not irresistible; inas­much as it is written con­cerning many, that they have resisted the Holy Ghost. Acts 7, and else­where in many places.

Perhatikan pada bagian yang dicetak tebal, kalimat “but, as respects the mode of the operation of this grace, it is not irresistible”. Kalimat ini dengan sangat jelas menyebutkan bahwa anugerah keselamatan dapat ditolak; seolah-olah mengimplikasikan bahwa manusia masih memiliki kehendak secara otonom yang mampu menerima atau menolak anugerah keselamatan itu. Hal ini akan berlanjut pada konsekuensi berikutnya, bahwa ternyata kuasa penebusan Kristus kurang cukup untuk menyelamatkan orang berdosa. Pada akhirnya kematian dan kebangkitan Kristus menjadi tidak ada artinya lagi. Permasalahan ini semua bermula hanya pada satu kesalahan kecil saja, yaitu kurangnya penekanan atau kepastian di dalam pengertian dampak keberdosaan manusia seperti yang diajarkan di dalam Alkitab. Canons of Dordt hadir merespons kesalahan doktrin dosa oleh kaum Remonstrants dengan memberikan penekanan yang jelas tentang krusialnya dampak keberdosaan manusia, sehingga anugerah penebusan Tuhan Yesus mutlak diperlukan dan menjadi satu-satunya harapan manusia.

Bandingkan dengan beberapa ayat Alkitab yang justru menyatakan sebaliknya, bahwa kehendak (will) manusia sudah tercemar oleh dosa. Hal ini secara jelas dapat kita temukan melalui tulisan Paulus di Roma 1:18, “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” Jikalau kita membaca seluruh konteks perikop tersebut (Rm. 1:18-32), Paulus jelas menyatakan bagaimana kebenaran Allah sungguh-sungguh hadir di dalam diri manusia (ay. 19-20). Tetapi karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, respons yang ada justru adalah penolakan dan penindasan akan kebenaran tentang Allah (ay. 18, 21, dan 23). Paulus secara jelas menyatakan bahwa manusia yang berdosa tidak punya kehendak atau keinginan untuk percaya kepada Allah yang benar. Allah telah mewahyukan diri-Nya melalui ciptaan dan firman-Nya, tetapi hal ini tidak mengubah fakta bahwa tidak ada satu pun keinginan manusia berdosa untuk menyadari hal tersebut, justru yang ada hanyalah respons penolakan dan penindasan.

Misconceptions of Total Depravity
Total depravity ≠ absolute depravity. Sebelum membahas apa itu doktrin kerusakan total, kita perlu membedah terlebih dahulu miskonsepsi-miskonsepsi tentang doktrin tersebut. Pertama, kerusakan total tidak serta-merta mengimplikasikan kerusakan secara mutlak; seolah-olah manusia telah rusak dan jahat sepenuh-penuhnya. Kerusakan mutlak menyatakan bahwa setiap manusia senantiasa melakukan kejahatan hingga ke tahap yang paling maksimal sepanjang waktu. Alkitab tidak pernah menyatakan hal tersebut. Alkitab mengajarkan adanya kebaikan Tuhan yang masih Tuhan berikan dalam dunia ini sebagai anugerah umum-Nya. Fakta anugerah umum inilah yang dipakai manusia zaman sekarang untuk menolak ajaran Alkitab tentang kerusakan total manusia.

Doktrin kerusakan total tidak membicarakan tentang perbuatan manusia sejahat-jahatnya, melainkan tentang keseluruhan aspek manusia yang sudah tercemar oleh dosa. Tidak ada satu pun aspek dalam diri manusia, entah itu pikiran, hati, emosi, dan perbuatan manusia yang tidak terpengaruh oleh dosa. Tetapi hal ini tidak mengimplikasikan bahwa manusia dapat berbuat sejahat-jahatnya secara langsung dan bersamaan. Puncak keberdosaan manusia tidak langsung hadir begitu saja, tetapi bertumbuh dari dosa yang kecil hingga dosa paling bejat. Kita dapat melihat prinsip tersebut di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Tanpa diajarkan pun anak kecil dapat berbohong kepada orang tuanya. Walaupun kebohongan anak kecil ini sederhana, tetapi tetap perbuatan tersebut adalah dosa di hadapan Tuhan. Perbuatan tersebut tetaplah dosa karena melalaikan kebenaran yang harus mereka nyatakan kepada orang tua mereka. Di saat yang bersamaan, kita juga dapat melihat bahwa efek dosa dalam anak kecil ini tidak membuat ia melakukan kejahatan semaksimal yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Namun, dosa itu telah dimulai sejak dari hal yang sederhana.

Kerusakan total tidak meniadakan kebaikan relatif. Jikalau kerusakan total tidak serta-merta menyatakan kejahatan manusia secara penuh, konsekuensinya adalah adanya ruang bagi kebaikan secara relatif. Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu menyamakan persepsi mengenai apa itu kebaikan? Sejauh mana segala sesuatu dapat disebut baik? Katekismus Heidelberg membantu kita memberikan definisi yang tepat mengenai kebaikan. Salah satu bagiannya adalah seperti berikut ini: “Hanya perbuatan-perbuatan yang dilakukan dari iman yang sejati, sesuai dengan hukum Allah, dan bagi kemuliaan-Nya.”[3] Melalui kalimat ini, dapat kita simpulkan bahwa perbuatan baik yang sejati hanya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (1) didorong oleh iman yang benar, (2) sesuai dengan hukum Allah, dan (3) motivasi yang benar untuk memuliakan Dia. Sehingga kebaikan yang sejati tidak dapat dinilai hanya dari tampak lahiriah saja, tetapi juga harus didasarkan oleh ketiga hal yang disebutkan oleh Katekismus Heidelberg. Ketika seseorang yang bukan percaya dapat berbuat baik kepada orang lain, maka hal itu dapat dijelaskan dengan pengertian kebaikan secara relatif. Kekristenan masih dapat menerima adanya kebaikan secara lahiriah, tetapi hal itu tidak mengubah fakta dampak kerusakan total manusia yang tidak lagi menyatakan kebaikan sejati yang berkenan di hadapan Tuhan.

Total Depravity = Radical Corruption
Jikalau kerusakan total tidak sama dengan kerusakan mutlak dan di saat yang sama memberi ruang bagi kebaikan relatif, lalu bagaimana doktrin kerusakan total ini didefinisikan? Hal pertama yang perlu kita tanamkan baik-baik adalah kerusakan total terkait dengan keseluruhan aspek manusia yang seluruhnya sudah tercemar oleh dosa. Rasio, emosi, dan kehendak, semuanya sudah berada di bawah kutuk dosa. Seperti yang Herman Bavinck tuliskan di dalam bukunya Reformed Dogmatics: Sin and Salvation in Christ: “It [sin] holds sway over the whole person, over mind and will, heart and conscience, soul and body, over all one’s capacities and powers.” Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun kebaikan dalam diri manusia. Tidak ada satu pun yang dipakai untuk menyatakan iman dan kemuliaan kepada Tuhan yang sejati.

R. C. Sproul di dalam pembahasannya mengenai doktrin kerusakan total lebih tertarik menggunakan istilah “radical corruption”. Hal ini dikarenakan istilah “total depravity” sering kali salah dipahami, sehingga perlu adanya istilah yang lebih tepat menyampaikan maksud Alkitab mengenai dosa manusia. R. C. Sproul mengatakan, “It [sin] is that the corruption goes to the radix, to the root or core of our humanity, and it affects every part of our character and being.”[4] Istilah “radical corruption” memberi implikasi bahwa kerusakan manusia sudah mencapai akar atau esensi dari keberadaan manusia itu sendiri.[5] Prinsip ini jelas tertulis di dalam Alkitab, bagaimana dosa telah merasuk hingga kedalaman hati manusia (Kej. 6:5); hati manusia yang begitu licik (Yer. 17:9); dan dari hati timbul segala pikiran jahat (Mrk. 7:21). Sebaliknya, ketika Alkitab berbicara mengenai keselamatan, juga tidak lepas dari hati manusia yang direstorasi kembali (Yeh. 36:26). Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bagaimana permasalahan dosa yang sesungguhnya ada di dalam hati manusia.

Total Depravity and Its Implications
Seperti yang kita ketahui, Canons of Dordt hadir sebagai respons atas pengajaran yang salah dari kaum Remonstrants, termasuk mengenai doktrin dosa manusia. Melalui pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa penyimpangan yang terjadi sangat tipis dan implisit. Sekilas ketika kita membaca bagian kutipan artikel ke-3, terlihat tidak ada yang salah dan sesuai dengan apa yang kita alami. Ternyata setelah diselidiki lebih jauh, pengajaran mereka kurang konsisten di dalam setiap poin artikelnya. Ketidakkonsistenan ini akhirnya memberikan ruang bagi penyimpangan terhadap ajaran yang benar, salah satunya secara implisit menyatakan bahwa kehendak (will) manusia dapat berdiri otonom dan tidak terpengaruh oleh dosa.

Melalui Canons of Dordt inilah, kita yang hidup di abad ke-21 dapat belajar untuk waspada baik terhadap segala bentuk pengajaran maupun arus pemikiran dunia ini. Penyimpangan tidak selalu dimulai dari hal-hal yang frontal seperti ajaran Saksi Yehovah misalnya, tetapi juga dapat melalui hal-hal yang sepertinya kelihatan benar, termasuk apa yang penulis jabarkan di awal artikel ini. Arus pemikiran dunia ini melalui pop culture menyatakan ketidaksetujuan dengan prinsip kebenaran Alkitab tentang manusia. Alkitab jelas mengatakan bahwa semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan tidak ada satu pun yang berbuat baik. Sedangkan orang-orang di abad ke-21 akan mengatakan bahwa tidaklah demikian halnya, karena masih ada orang baik di dunia ini. Lebih dari itu, mereka sering kali menuduh orang Kristen sebagai orang yang terlalu frontal, sadis, kejam, dan judgemental. Mereka menuduh kebenaran Alkitab sebagai kebenaran yang hanya memecah-belah umat manusia. Pada akhirnya, tantangan seperti ini membuat orang Kristen sulit bersaksi. Injil keselamatan terlihat tidak lagi memiliki kuasa untuk mempertobatkan banyak orang. Karena itu, setiap orang Kristen perlu memahami dengan tepat dampak kejatuhan manusia ke dalam dosa.

Doktrin kerusakan total ini sebenarnya sangat membantu kita untuk memahami secara komprehensif efek dosa terhadap manusia, sekaligus menjadi gerbang masuk bagi Injil. Hal ini dapat kita telusuri melalui implikasi dari doktrin kerusakan total yang sudah penulis bahas sebelumnya. Implikasi pertama dari doktrin ini adalah jelas bahwa tidak ada satu pun bagian dalam diri manusia yang tidak tercemar oleh dosa, entah itu pikiran, emosi, jiwa, kehendak, hingga ke dalam hati manusia. Semuanya telah terjerat oleh kutuk dosa. Semua aspek dalam diri manusia hanya semata-mata dipakai untuk menekan kebenaran dan melawan perintah Allah. Oleh karena Alkitab tidak mengajarkan dosa manusia sebagai kerusakan mutlak, maka masuk kepada implikasi kedua, yaitu Alkitab juga membuka ruang bagi kebaikan relatif. Manusia yang berdosa tetap dapat berbuat kebaikan secara lahiriah, tetapi kebaikan itu tidak lagi di dalam iman kepada Allah Tritunggal, Sang Sumber Kebaikan itu sendiri.

Maka melalui dua implikasi doktrin kerusakan total ini, kita tidak perlu takut dengan arus pemikiran dunia yang meleburkan baik dan jahat. Justru melalui pengertian yang benar tentang doktrin ini, kita dapat melihat dengan jeli setiap fenomena yang terjadi di dunia. Mereka boleh saja mengatakan masih ada kebaikan di dalam kejahatan, tetapi kita harus sadar bahwa kebaikan tersebut tidak lagi dibangun di atas ketaatan kepada perintah Allah. Kebaikan di dalam keberdosaan manusia hanyalah tindakan lahiriah yang hanya menetapkan standar minimal yang diterima oleh masyarakat umum. Kebaikan tidak lagi dibangun atas dasar iman kepada Allah. Sehingga mereka yang katanya disebut “baik” oleh dunia pun tetap membutuhkan penebusan Kristus, karena perbuatan mereka tidak dilakukan dalam rangka ketaatan kepada Allah Alkitab.

Justru ketika dunia mengatakan selalu ada aspek kejahatan di dalam setiap kebaikan, kekristenan dapat memakai celah itu untuk menyatakan kebenaran Alkitab. Bahwa pada dasarnya semua manusia telah jatuh ke dalam dosa. Kebaikan yang manusia berdosa hadirkan pun berasal dari hati yang telah kotor. Sehingga tidak ada lagi pengharapan bagi manusia di dunia ini. Tidak ada lagi hal-hal di dalam diri manusia yang dapat diandalkan, bahkan kebaikan manusia itu sendiri. Melalui celah ini, Injil penebusan Kristus dapat masuk menjadi pengharapan satu-satunya bagi manusia berdosa. Hanya melalui kelahiran baru, manusia dapat menemukan kebaikan sejati di dalam diri Allah. Kebaikan yang muncul atas dasar iman dan ketaatan kepada Sang Pemilik Kebenaran.

Jadi kembali kepada judul artikel ini, “Apakah manusia sudah rusak total?” Ya, Alkitab dengan sangat jelas menyatakan bahwa manusia sudah rusak total. Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang dapat diperkenan oleh Allah. Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang dapat memenuhi standar kebaikan Allah. Sebagian dari kita mungkin menganggap ini sangat frontal, keras, dan tidak sesuai dengan budaya hidup saat ini, tetapi justru hal ini sangat diperlukan supaya setiap orang sadar bahwa keselamatan adalah hanya melalui Tuhan Yesus, satu-satunya Juruselamat dunia. Hanya penebusan Kristus di kayu salib yang mampu mengeluarkan manusia dari kutuk dosa kepada terang firman Tuhan. Melalui pengertian yang benar tentang dampak kejatuhan manusia, kita dapat membaca permasalahan dunia ini dengan jelas dan tepat.

Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] I am who I’m meant to be, this is me.
[2] The Canons of Dort. https://prts.edu/canons-of-Dort-with-intro/ diakses pada tanggal 15 September 2019.
[3] Palmer, Edwin H. 2005. Lima Pokok Calvinisme. Penerbit Momentum. Hal. 4.
[4] R. C. Sproul. Radical Corruption. https://www.ligonier.org/learn/articles/radical-corruption/ diakses pada tanggal 15 September 2019.
[5] Istilah radical berasal dari bahasa Latin radix yang berarti root (akar).

Diambil dari:
Nama situs : Bulletin Pillar
Alamat situs : https://www.buletinpillar.org/artikel/betulkah-manusia-sudah-rusak-total#
Judul artikel : Betulkah Manusia Sudah Rusak Total?
Penulis artikel : Trisfianto Prasetio
Kategori: 
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA