AUA-I Referensi 03c

Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03a | Referensi 03b

Nama Kursus : APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I)
Nama Pelajaran : Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa
Kode Referensi : AUA I-R03c

Referensi AUA I-R03c diambil dari:

Judul buku : Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
Judul artikel : Ajaran Perjanjian Lama
Pengarang : Anthony A. Hoekhema
Penerbit : Momentum, 2003
Halaman : 15 -- 20

AJARAN PERJANJIAN LAMA

Perjanjian Lama tidak banyak berbicara tentang gambar Allah. Konsep ini dibicarakan secara eksplisit hanya dalam tiga bagian Perjanjian Lama, semuanya di kitab Kejadian: 1:26-28; 5:1-3; dan 9:6. Orang juga bisa berpendapat bahwa Mazmur 8 mendeskripsikan apa yang dimaksudkan dengan penciptaan manusia menurut gambar Allah, tetapi frasa "gambar Allah" tidak ada di sana. Kita akan memerhatikan keempat bagian Perjanjian Lama ini secara berurutan.

Kejadian 1:26-28 berbunyi:

(ayat 26) Berfirmanlah Allah: "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas se- gala binatang melata yang merayap di bumi." (ayat 27) Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (ayat 28) Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung- burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."

Kejadian 1 mengajarkan keunikan penciptaan manusia, yakni bahwa sementara Allah menciptakan setiap hewan "menurut jenisnya" (ay. 21,2425), hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (ay. 26-27). Herman Bavinck menyatakannya sebagai berikut:

Seluruh dunia merupakan penyataan Allah, cermin dari nilai-nilai dan kesempurnaan-Nya; dengan cara dan menurut ukurannya masing-masing, setiap makhluk merupakan perwujudan dari pemikiran ilahi. Tetapi di antara semua ciptaan, hanya manusia yang merupakan gambar Allah, penyataan yang tertinggi dan terkaya akan Allah, dan oleh karena itu, merupakan kepala dan puncak dari seluruh penciptaan.

Hal pertama yang begitu menyedot perhatian kita pada saat membaca Kejadian 1:26 adalah kata kerja utamanya yang berbentuk jamak, "Berfirmanlah Allah: `Baiklah Kita menjadrkan manusia...." Ini mengindikasikan bahwa penciptaan manusia memiliki kelas tersendiri, karena ungkapan ini tidak dipakai untuk ciptaan lain yang mana pun. Banyak teolog telah mencoba untuk menjelaskan bentuk jamak ini. Penjelasan bahwa hal ini merupakan "kemuliaan dalam bentuk jamak" sangat tidak mungkin, karena bentuk jamak seperti ini tidak ditemukan di bagian Alkitab lain. Yang lain beranggapan bahwa Allah di sini tengah berbicara dengan para malaikat. Kita juga harus menolak penafsiran ini karena Allah tidak pernah dikatakan meminta masukan dari malaikat, karena mereka yang juga dicipta tak bisa menciptakan manusia, dan karena manusia tidak dijadikan menurut rupa malaikat. Kita harus menafsirkan bentuk jamak ini mengindikasikan bahwa Allah tidak bereksistensi sebagai keberadaan yang tersendiri, melainkan sebagai keberadaan yang memiliki persekutuan dengan "yang lain." Meski kita tak bisa mengatakan bahwa di bagian ini kita memiliki ajaran yang jelas tentang Trinitas, kita bisa mempelajari bahwa Allah bereksistensi sebagai satu "pluralitas." Apa yang dinyatakan secara tidak langsung di sini akan dikembangkan lebih lanjut dalam Perjanjian Baru menjadi dokrin Trinitas.

Juga harus diperhatikan bahwa ada sebuah perencanaan yang mendahului penciptaan manusia: "Marilah Kita menjadikan manusia...." Hal ini sekali lagi menunjukkan keunikan dalam penciptaan manusia. Perencanaan ilahi seperti ini tidak pernah dikaitkan dengan ciptaan lain.

Kata yang diterjemahkan sebagai manusia dalam ayat ini berasal dari kata Ibrani adam. Kata ini kadang dipakai sebagai nama diri, Adam (lihat, misalnya, Kejadian 5:1, "Inilah daftar keturunan Adam"). Tetapi, kata ini bisa juga berarti manusia pada umumnya. Dalam pengertian ini, kata tersebut memiliki makna yang sama dengan kata Jerman Mensch: bukan laki-laki dalam keberbedaannya dengan perempuan, melainkan manusia dalam keberbedaannya dari ciptaan yang non manusia, yaitu manusia sebagai laki-laki atau perempuan, atau manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Dalam pengertian Inilah kata tersebut dipakai di dalam Kejadian 1:26 dan 27. Kadang kata adam juga dipakai untuk menunjuk umat manusia (lihat misalnya Kejadian 6:5, "ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi"). Karena berkat yang terdapat di Kejadian 1:28 teraplikasikan kepada seluruh umat manusia, kita bahkan bisa mengatakan bahwa ayat 26 dan 27 mendeskripsikan penciptaan umat manusia, meski kita kemudian harus membatasi pemyataan ini sebagai berikut: Allah menciptakan lakilaki dan perempuan itu, yang mana dari keduanyalah semua umat manusia akan dilahirkan.

Kita sekarang sampai pada kata-kata yang penting: "menurut gambar dan rupa Kita." Kata yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem, dan yang diterjemahkan sebagai rupa adalah demuth. Di dalam bahasa Ibrani tak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi "marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita." Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata dan, sehingga memberi kesan bahwa "gambar" dan "rupa" mengacu kepada dua hal yang berbeda. Tetapi, teks bahasa Ibrani memperjelas bahwa tak ada perbedaan yang esensial di antara keduanya: "menurut gambar Kita" hanyalah suatu cara lain untuk mengatakan "menurut rupa Kita." Hal ini akan terbukti dengan menelaah pemakaian kedua kata ini di bagian ini dan di dua bagian kitab Kejadian lainnya. Dalam Kejadian 1:26, baik kata gambar maupun rupa dipakai; dalam Kejadian 1:27 hanya kata gambar yang dipakai. Dalam Kejadian 5:3 kedua kata dipakai, tetapi kali ini dengan urutan yang berbeda: menurut rupa dan gambar [Adam]. Dan sekali lagi dalam Kejadian 9:6 hanya kata gambar yang dipakai. Jika kata-kata ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan aspek-aspek manusia yang berbeda, maka keduanya takkan dipakai dengan cara seperti yang baru kita lihat, yaitu bisa dipertukarkan.

Tetapi, meski kedua kata ini biasa dipakai sebagai sinonim, kita bisa menemukan sedikit perbedaan di antara keduanya. Kata Ibrani untuk gambar, tselem, diturunkan dari akar kata yang bermakna "mengukir" atau "memotong." Maka kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia di dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu representasi Allah. Kata Ibrani untuk rupa, demuth di dalam Kejadian 1 bermakna "menyerupai." Jadi, orang bisa berkata bahwa kata demuth di Kejadian 1 mengindikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, "gambar yang menyerupai Kita." Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa manusia merepresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.

Bagaimana manusia menyerupai Allah tidak dinyatakan secara spesifik dan eksplisit di dalam kisah penciptaan, meskipun kita bisa melihat bahwa keserupaan-keserupaan tertentu dengan Allah terimplikasikan di sana. Misalnya, dari Kejadian 1:26 kita bisa menarik kesimpulan bahwa kekuasaan atas binatang dan atas seluruh bumi merupakan satu aspek dari gambar Allah. Di dalam menjalankan kekuasaan ini manusia menjadi serupa dengan Allah, karena Allah memiliki kuasa yang tertinggi dan ultimat atas bumi. Dari ayat 27 kita bisa menyimpulkan bahwa aspek lain dari gambar Allah menyangkut perihal penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Karena Allah adalah Roh (Yoh. 4:24), maka kita tak boleh menyimpulkan bahwa keserupaan dengan Allah dalam hal ini ditemukan di dalam perbedaan fisik antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Keserupaan ini harus ditemukan di dalam fakta bahwa laki- laki memerukan pendampingan perempuan, bahwa manusia merupakan makhluk sosial, bahwa kaum perempuan melengkapi kaum laki-laki dan kaum laki- laki melengkapi kaum perempuan. Dalam hal ini manusia mencerminkan Allah, yang bereksistensi bukan sebagai Keberadaan yang terasing, melainkan berada di dalam persekutuan-persekutuan yang pada tahap penyataan selanjutnya digambarkan sebagai persekutuan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Dari fakta bahwa Allah memberkati umat manusia dan memberikan mandat kepada mereka (ay. 28), kita bisa menyimpulkan bahwa umat manusia juga menyerupai Allah dalam hal mereka adalah keberadaan yang berpribadi dan bertanggung jawab, yang bisa diajak berbicara oleh Allah dan yang bertanggung jawab kepada Allah sebagai Pencipta dan Penguasa atas mereka. Sebagaimana Allah di sini dinyatakan sebagai satu Pribadi (di kemudian hari di dalam sejarah penyataan, hal ini diperluas menjadi tiga Pribadi) yang mampu membuat keputusan dan memerintah, maka manusia adalah pribadi yang juga mampu membuat keputusan dan memerintah.

Sementara meneruskan penelaahan kita terhadap Kejadian 1:26-28, kita melihat berkat Allah bagi manusia dalam ayat 28 (sebagaimana ayat 22 menunjukkan berkat Allah bagi binatang). Bagian terakhir dari berkat ini sangat mirip dengan apa yang dikatakan mengenai manusia dalam ayat 26, "supaya mereka berkuasa." Hanya saja kata kerja di sini berbentuk orang kedua jamak dan ditujukan kepada orangtua pertama kita. Kata-kata mengenai kekuasaan manusia ini didahului oleh kata- kata yang tidak ditemukan dalam ayat 26, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi." Perintah untuk beranak cucu dan bertambah banyak mengimplikasikan lembaga pernikahan, yang penetapannya dikisahkan dalam Kejadian 2:18-24.

Dalam memberikan berkat-Nya, Allah berjanji akan memampukan manusia untuk berkembang biak dan menghasilkan keturunan yang akan memenuhi bumi; Dia juga berjanji akan memampukan mereka menaklukkan bumi dan berkuasa atas binatang-binatang dan atas bumi itu sendiri. Kata-kata ini merupakan berkat, tetapi juga mengandung perintah atau mandat. Allah memerintahkan manusia untuk beranak cucu dan berkuasa. Ini secara umum disebut mandat budaya: perintah untuk memerintah bumi atas nama Allah dan membangun budaya yang memuliakan Allah.

Sebelum kita beralih ke bagian teks berikutnya, ada satu hal lagi yang perlu dicatat. Ayat 31 berbunyi, "Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik." "Segala yang dijadikan-Nya" ini mencakup juga manusia. Maka, saat manusia bermula dari tangan Sang Pencipta, ia tidak rusak, bobrok, atau berdosa; manusia berada dalam kondisi berintegritas, tidak bersalah, dan kudus. Apa pun yang terdapat dalam diri manusia saat ini, yang jahat atau menyimpang, bukan merupakan bagian dari penciptaannya yang semula. Saat diciptakan, manusia sangat baik adanya.

Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA