Apakah Orang Kristen Harus Memiliki Anak?

Kami senang mendengar dari para pendengar internasional kami, yang tersebar di berbagai belahan dunia. Berikut ini satu pertanyaan untuk hari ini dari seorang perempuan muda. "Halo, Pendeta John! Salam dari Finlandia dan terima kasih untuk podcast ini. Saya sudah menikah, tetapi saya dan suami tidak memiliki anak. Dalam Kejadian, Allah berfirman kepada pasangan yang pertama, 'Beranakcuculah kamu serta berlipatgandalah; penuhilah bumi dan berlipatgandalah di dalamnya' (Kejadian 9:7, AYT). Sekarang ini, banyak orang di negara saya, orang-orang yang sudah menikah dan mampu memiliki anak, memilih untuk tidak memiliki anak. Perihal tidak memiliki anak yang disengaja ini telah menjadi sangat umum dalam dekade terakhir, dan alasannya beragam: ketakutan terhadap perubahan iklim, kekhawatiran tentang kesehatan ibu yang rentan, kekhawatiran akan menjadi orang tua yang buruk, dan terus terang tidak memprioritaskan anak sama sekali.

Saya tahu bahwa Anda pernah mengatakan bahwa tidak apa-apa jika pasangan menunda memiliki anak dan membatasi jumlah anak mereka. Selain itu, Anda juga mengatakan bahwa tidak apa-apa, dalam beberapa kasus, jika sepasang suami istri misionaris tidak memiliki anak sama sekali. Namun, bagaimana dengan orang Kristen yang bukan misionaris? Apakah diperbolehkan jika pasangan Kristen awam sekadar memilih untuk tidak memiliki anak?" Bagaimana tanggapan Anda, Pendeta John?

Tanggapan pertama saya adalah bahwa saya kira tidak ada yang namanya "sekadar memilih". Dia bertanya, "Apakah diperbolehkan jika pasangan Kristen awam sekadar memilih untuk tidak memiliki anak?" Saya tidak yakin apa yang dia maksudkan dengan kata "sekadar", tetapi kedengarannya yang dia maksudkan adalah "hanya karena kami ingin begitu". Dalam perkataan lain, "sekadar memilih" berarti "tanpa pergumulan, konflik, atau alasan apa pun, tetapi hanya karena kami lebih memilihnya". Dan, tanggapan pertama saya terhadap hal ini adalah mengatakan bahwa tidak ada hal yang demikian.

Selalu ada realitas, dalam hati, pikiran, dan pengalaman kita, yang membentuk ke-"sekadar memilih"-an kita. Yesus berfirman, "Karena dari luapan hati, mulut berbicara" (Matius 12:34). Betapa makin benarnya pernyataan itu bahwa dari luapan hati kita, kita memilih untuk tidak memiliki anak? Kita tidak "sekadar memilih"; kita memilih karena siapa kita, karena berbagai realitas dalam yang telah membentuk hati kita, preferensi kita, kerinduan kita, kemauan kita, dan kecenderungan kita.

Jadi, mari melakukan lima pengamatan yang mungkin dapat mengungkapkan beberapa hal yang tersembunyi dalam hati.

1. Anak-anak adalah karunia yang berharga.

Merupakan hal yang normal, indah, sepatutnya, alamiah, dan normatif, menurut Kitab Suci, baik secara tersurat dan -- menurut saya -- secara tersirat di banyak tempat, bagi sepasang suami istri untuk memiliki anak. Ini merupakan rencana Allah sejak momen penciptaan; ini merupakan bagian dari apa yang disebut "sangat baik". "Allah memberkati mereka dan Allah berfirman kepada mereka, "Beranakcuculah dan berlipatgandalah, dan penuhilah bumi, ..." (Kejadian 1:28, AYT).

Dan, itu tetap menjadi rencana utama setelah kejatuhan yang membawa bencana dan runtuhnya dunia, bahkan setelah peristiwa air bah dan pengakuan bahwa dosa akan merusak dunia hingga kiamat tiba.

Siapa pun yang menumpahkan darah manusia,
darahnya akan ditumpahkan oleh manusia.
Sebab, Allah menciptakan manusia sesuai dengan rupa-Nya sendiri.

Beranakcuculah kamu serta berlipatgandalah; penuhilah bumi dan berlipatgandalah di dalamnya. (Kejadian 9:6-7, AYT)

Dengan perkataan lain, pembunuhan akan ada hingga akhir zaman, jadi milikilah anak. Ini merupakan kebalikan dari cara berpikir beberapa orang. Dan, itu terus menjadi rencana baik Allah, dari generasi ke generasi.

Lihat, anak laki-laki adalah warisan dari TUHAN,
buah kandungan adalah suatu upah.
Seperti anak-anak panah di tangan seorang pahlawan,
begitu juga anak-anak pada masa mudanya.
Diberkatilah orang
yang telah memenuhi tabung panahnya,
dia takkan malu
ketika berbicara dengan musuh-musuhnya di pintu gerbang. (Mazmur 127:3-5)

Inilah seluruh maksud firman Allah: anak-anak adalah karunia; anak-anak adalah berkat. Saat mereka ditahan, itu merupakan duka -- terkadang bahkan suatu hukuman. Generasi-generasi yang mengalir dari benih dan rahim Anda adalah mahkota: "Anak cucu adalah mahkota orang-orang tua, dan kemuliaan anak-anak adalah ayah mereka" (Amsal 17:6, AYT). Selain itu, mereka adalah berkat: "Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia; suaminya pun memujinya" (Amsal 31:28, AYT).

Betapa sedihnya jika banyak perempuan modern, saya kira dengan pandangan pendek, memilih untuk melepaskan berkat tersebut, sementara jutaan lainnya secara harfiah bersedia memberikan lengan kanan mereka demi mendapatkannya. Itulah pengamatan yang pertama: demikianlah kecondongan Kitab Suci.

2. Allah tahu bahwa sebuah keluarga akan mengalami pergumulan.

Pandangan positif bahwa anak-anak merupakan berkat tetaplah benar, meski Alkitab dengan tegas bersikap realistis tentang betapa buruknya hal-hal bisa terjadi dalam sebuah keluarga. Bahkan, kitab Amsal, yang barangkali merupakan kitab paling prokeluarga dalam Alkitab, berkata, "Ada generasi yang mengutuki ayahnya, dan tidak memberkati ibunya" (Amsal 30:11, AYT).

Yesus memperingatkan, "Mulai sekarang, lima orang dalam satu keluarga akan dipisahkan. Tiga orang akan melawan dua orang dan dua orang akan melawan tiga orang" (Lukas 12:52, AYT). Dia juga berkata bahwa akan lebih baik jika Yudas tidak pernah dilahirkan (Matius 26:24).

Tangisan Daud telah terdengar dari mulut sepuluh ribu ayah: "Anakku Absalom! Anakku, anakku, Absalom! Sekiranya aku mati menggantikanmu, oh Absalom, anakku, anakku!" (2 Samuel 18:33, AYT).

Alkitab bukanlah dongeng Pollyanna tentang keluarga yang bahagia. Hampir semua keluarga dalam Alkitab merupakan keluarga yang terpecah -- baik dalam cara tertentu maupun cara lain. Namun, tidak ada -- tidak satu pun -- yang menghalangi realitas yang terus berlanjut bahwa mengandung dan membesarkan anak adalah sesuatu yang normal, indah, sepatutnya, alamiah, dan normatif.

3. Tujuan hidup bukanlah untuk menghindari kesulitan.

Jadi, pertanyaannya, mengapa demikian? Berikut ini pengamatan ketiga saya: itu demikian karena Alkitab tidak memiliki pemikiran modern yang sama, baik di Finlandia maupun di Amerika, bahwa tujuan hidup adalah menghindari kesulitan, kesakitan hati, atau penderitaan.

Tentu saja, kita tidak tahu apakah kita akan memiliki anak yang cacat atau tidak, yang mengubah hidup kita untuk selamanya. Tentu saja, kita tidak tahu apakah seorang anak akan mematahkan hati kita dengan ketidakpercayaannya. Tentu saja, kita tidak tahu apakah anak kita akan hidup selama 6 jam, kemudian mati. Dan, tentu saja, kita tahu bahwa anak-anak kita akan menuntut perhatian yang besar dan terfokus. Kita tahu bahwa membesarkan anak dalam Tuhan menuntut keputusasaan rohani, doa, fokus, dan perhatian. Kita tahu bahwa akan ada tuntutan finansial dalam komitmen seumur hidup kita terhadap anak ini. Kita tahu bahwa akan ada ribuan jam ketika kita harus menyangkal diri dan kebutuhan mendesak kita demi memperlakukan anak ini dengan baik.

Namun, dari perspektif firman Allah, tidak satu pun dari peluang akan kesakitan hati ini dan tidak satu pun dari stres yang sudah dijamin ini menjadi alasan untuk tidak memiliki anak, sebab Alkitab tidak memiliki perspektif modern bahwa tujuan hidup adalah menghindari kesulitan. Sebaliknya, asumsi Alkitab adalah bahwa melalui banyak kesengsaraanlah kita memasuki Kerajaan Allah (Kisah Para Rasul 14:22), bahwa ujian terhadap iman kita menghasilkan ketabahan (Yakobus 1:3), dan bahwa ada sukacita yang dapat ditemukan melalui pencurahan diri. Yesus berfirman, "Lebih berbahagia memberi daripada menerima" (Kisah Para Rasul 20:35).

Dengan perkataan lain, hampir semua argumen untuk tidak memiliki anak didasarkan pada pandangan dunia yang secara radikal berbeda dari pandangan dunia Alkitab.

4. Kita tidak dapat memprediksikan pengaruh anak-anak kita.

Terdapat masalah lain dengan beranggapan untuk berpikir bahwa kita dapat melakukan lebih banyak kebaikan dengan tidak memiliki anak -- misalnya, demi perubahan iklim. Permasalahannya: kita tidak dapat mengetahui apakah anak kita akan merugikan atau menguntungkan umat manusia -- menjadi kutuk atau berkat, seorang perenggut atau seorang pemberi. Kita tidak tahu. Dia bisa saja menjadi orang tidak tahu terima kasih dengan jejak karbon besar atau dia bisa saja menjadi seorang genius yang menemukan cara untuk menyelamatkan jutaan jiwa. Memang kita pikir kita ini siapa? Ya ampun, siapakah kita untuk memprediksikan bahwa anak-anak kita akan menjadi kerugian daripada keuntungan bagi dunia, dan bagi kemuliaan Kristus, yang kita percayai dan kepada-Nya kita berdoa?

Kita tidak tahu, dan bukan urusan kita untuk tahu. Urusan kita adalah untuk memberi mereka kehidupan dan membesarkan mereka serta melakukan sebisa kita untuk membangun dalam diri mereka setiap mimpi dan setiap kemungkinan dan kuasa dan berkat bagi dunia -- dan bagi kemuliaan Allah.

5. Allah telah membuat jalurnya jelas.

Dan, pengamatan terakhir saya adalah bahwa tidak satu pun pasangan dari seribu pasangan yang memutuskan untuk memiliki anak dengan duduk dan memperhitungkan dampak dari anak mereka terhadap pemanasan global, atau tingkat penggantian populasi supaya 30 tahun ke depan tenaga kerja akan cukup besar untuk menopang orang-orang berusia lanjut, atau apakah kita akan dengan pasti memiliki cukup sumber daya untuk membentuk anak dalam lokasi yang dapat menghasilkan buah. Dan, saya menyarankan agar itu tidak terjadi demikian; kita tidak cukup pintar untuk memastikan itu terjadi demikian, dan Alkitab tidak mendorong kita untuk memiliki anak dengan pemikiran semacam itu. Sebaliknya, itu terjadi dengan demikian: suatu kombinasi yang terdiri dari:

  1. berkat alkitabiah yang diucapkan atas perihal memiliki anak, bersama-sama dengan
  2. suara Allah dalam alam setiap bulan saat perempuan berovulasi dan saat laki-laki selalu siap untuk menyetorkan benihnya, dan
  3. saat kerinduan mendalam yang diberikan oleh Allah kepada laki-laki dan perempuan untuk menjadi ayah dan ibu timbul.

Berkat alkitabiah, suara alam, dan kerinduan pemberian Allah itu perlu diikuti, menurut saya, kecuali Allah sendiri menjadikannya begitu jelas bahwa jalur penyangkalan diri dari ketaatan yang meninggikan Kristus adalah dengan tidak memiliki anak. (t/Odysius)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
Alamat situs : https://desiringgod.org/interviews/are-christian-couples-required-to-have-kids
Judul asli artikel : Are Christian Couples Required to Have Kids?
Penulis artikel : John Piper
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA