Sejarah Terbentuknya Perjanjian Baru
Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul dengan pimpinan Allah dan gerakan dari Roh Kudus, kemudian dua puluh tujuh kitab itu diakui oleh gereja, dan pada abad kedua disebut sebagai Alkitab Perjanjian Baru atau disingkat menjadi PB.
Ketika Tuhan Yesus hidup di dunia, orang Yahudi sudah mempunyai sebuah "Kitab", yang pada masa itu sudah diakui sebagai firman Allah, bahkan Tuhan Yesus sendiri pun sering mengutipnya, yaitu Alkitab Perjanjian Lama yang kita pakai sekarang. Adapun Perjanjian Baru yang kita baca baru terbentuk setelah melewati masa penetapan yang cukup panjang.
Tuhan Yesus Kristus sendiri tidak menulis buku apapun bagi kita. Berita yang Dia sampaikan saat berkhotbah disebut sebagai Injil, yang berarti Kabar Baik atau berita yang membawa berkat, yaitu Kabar Baik tentang kasih Allah yang besar, tujuan dan kehendak-Nya atas diri manusia. Tuhan menyampaikan segala kebenaran secara lisan kepada murid-murid-Nya, dan menugaskan mereka untuk memberitakannya secara turun-temurun, bersaksi bagi-Nya di mana-mana tempat, baik yang jauh maupun yang dekat. Sebelum Kristus mati, bangkit dan naik ke surga, Dia memberikan perintah kepada murid-murid-Nya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia. Setelah mereka menerima Roh Kudus, mereka pun pergi ke segala penjuru untuk memberitakan Kabar Baik, Allah menyelamatkan manusia. Sebab itu, di awal perkembangan kekristenan, Kristus dan murid-murid tidak mempertimbangkan akan meninggalkan karya tulis bagi kita. Pada awal pemberitaan mereka, ayat-ayat yang mereka kutip untuk membuktikan ajaran Kristus hanyalah Perjanjian Lama saja. Namun setelah Kristus naik ke surga, kekristenan menjadi semacam gerakan yang berkuasa, berkembang dengan amat pesat, dan setelah melalui jangka waktu yang cukup panjang, karena kebutuhan masing-masing tempat dan masalah praktis di pelbagai bidang, barulah muncul beberapa tulisan awal. Itulah tahap pertama dari penulisan Perjanjian Baru.
Menulis empat Injil adalah tahap kedua. Hal itu kita ketahui dari pendahuluan Injil Lukas: "Teofilus yang mulia, banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan saksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar." (Luk. 1:1-4)
Berdasarkan beberapa ayat itu, dapat diketahui dengan jelas, ada banyak catatan tentang pelayanan Kristus yang dipaparkan di hadapan Lukas. Dia tidak mengatakan, semua catatan itu tepat adanya, tetapi mengisyaratkan bahwa catatan-catatan itu tidaklah lengkap atau tidak sempurna. Mungkin sekali merupakan catatan tentang riwayat Kristus yang berbentuk serpihan: dokumen yang satu mungkin mencatat akan kematian dan kebangkitan Kristus, catatan lain mungkin merupakan kumpulan dari perumpamaan-perumpamaan-Nya. Tidak peduli bagaimana isi dari setiap dokumen itu, tetapi Lukas secara pasti memberitahukan kepada kita, tatkala dia merencanakan menulis Injil Lukas, dokumen-dokumen itu sudah ada. Lukas membandingkan dan menyeleksi data-data itu, disusun dan disatukan, dicocokkan saat berdialog dengan para saksi mata, yang menyaksikan pelayanan Yesus, saat mengadakan perjalanan Pekabaran Injil dengan Paulus pun dia pergunakan untuk mengumpulkan data, supaya bisa memberikan catatan yang tepat bagi gereja. Semua itu adalah fakta yang dapat kita simpulkan. Dia juga memberitahu kita, data-data yang dia dapatkan itu akan dia tuliskan menurut urutannya, maksudnya dia akan menyusun dengan teliti seturut kronologis waktunya, seturut proporsi yang pas pada masing-masing topik, untuk menyatakan bahwa tulisannya mempunyai ciri khas yang seharusnya ada pada tulisan ilmiah dan naskah sejarah. Pendahuluannya mengingatkan kepada kita, iman orang Kristen adalah iman yang didirikan di atas fakta sejarah yang kokoh.
Surat Paulus, juga merupakan representatif dari permulaan Perjanjian Baru. Setelah Paulus mengakhiri perjalanan Pekabaran Injilnya ke Asia Kecil dan pulang ke Antiokhia, dia mendengar berita tentang iman orang Kristen yang baru percaya di Galatia mengalami krisis besar (Gal. 1:6; 3:1). Karena dia tidak bisa segera mengunjungi mereka, maka dia merasa perlu untuk menulis surat menasihati mereka untuk tekun memelihara iman dalam Kristus, agar tidak dikalahkan oleh bidat. Di bawah gerakan Roh Kudus, dia menuliskan Surat Galatia. Untuk alasan yang sama, dia juga menulis Surat 1 dan 2 Tesalonika, Surat Korintus, dan lain-lain, dengan alasan yang sama rasul Petrus juga menuliskan dua buah surat.
Pada mulanya, surat-surat seperti itu hanya ditujukan pada satu gereja atau gereja-gereja di satu wilayah saja, kemudian, ada gereja-gereja yang menyalin surat-surat itu, diedarkan dan dibaca, tetapi pekerjaan menyusun surat-surat dan kitab-kitab Injil baru dilakukan pada akhir abad pertama. Di akhir zaman rasul-rasul, gereja sudah mulai mengumpulkan karya tulis dan surat-surat para rasul, dan dikategorikan setara dengan Perjanjian Lama, sebagai firman Allah. Di dalam suratnya, Paulus sendiri jelas-jelas mengatakan bahwa ajarannya diwahyukan dari Allah (1Kor. 2:7-13; 14:37; 2Tes. 2:13). Yohanes juga menegaskan hal yang sama (Why. 1:2). "Seorang pekerja patut mendapat upahnya" kutipan yang Paulus pakai di 1Tim. 5:18 terdapat juga di Mat. 10:10 dan Luk. 10:17. Terlihat di sini, bahwa saat itu Injil Matius dan Injil Lukas sudah ada dan sudah diterima sebagai bagian dari Alkitab. 2Ptr. 3:15-16, Petrus juga dengan jelas menyetarakan Surat Paulus dengan kitab-kitab yang lain.
Selain sekelumit data yang bisa kita dapatkan dari Alkitab sendiri, untuk menyelidiki akan sejarah terbentuknya Perjanjian Baru, kita perlu menelusurinya dari sejarah yang beraneka ragam. Bahan penyelidikan yang penting adalah karya tulis bapak gereja mula-mula, keputusan dan perintah dari konsili gereja, juga bisa mendapatkan bukti tambahan dari karya tulis sebagian bidat.
Setelah zaman para rasul, sebagian besar tulisan Perjanjian Baru sudah dipergunakan secara meluas. Clement, yang di Roma, adalah orang penting dari gereja masa itu. Pada tahun 95 TM, dengan status Uskup, dia menulis surat ke gereja di Korintus, di dalam suratnya tersebut dia mengutip ayat-ayat yang terdapat di Matius, Lukas, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Ibrani, Efesus, 1Timotius, 1Petrus dan lain-lain. Uskup pertama di Antiokhia, di tahun 110 TM, di tengah perjalanan sahidnya dari Antiokhia ke Roma, pernah menulis tujuh pucuk surat, dengan mengutip ayat-ayat dari Matius, 1Petrus, 1Yohanes dan sembilan surat-surat Paulus. Bahkan di dalam surat-suratnya itu, dia juga memeteraikan ketiga kitab Injil yang lain. Papias, uskup Hilapolis, di dalam tulisannya, tafsiran kata-kata kudus Yesus dan buku-buku lain yang menyerang bidat. Selain mengutip dari Injil Yohanes, juga menyinggung tentang sumber dari Injil Matius dan Injil Markus. Di antara th. 150-166 TM, Justin Martyr, seorang filsuf yang ternama pada zaman itu, di dalam tulisannya, Apologetika Kristen, pernah menyinggung Kitab Wahyu, Kisah Para Rasul, dan surat-surat Paulus, dia juga menyebutkan bahwa Injil dan Perjanjian Lama, telah mendapatkan status yang sama di gereja masa itu, bahkan dibacakan secara bergantian di dalam gereja. Saat itu masih ada Tatian, yang pernah menuliskan tafsiran empat Injil, menyebutnya sebagai "Synoptic Gospel". Terbukti di sini, bahwa keberadaan empat Injil telah diakui secara umum oleh gereja.
Setelah zaman para rasul, selain kesaksian-kesaksian para uskup yang telah disinggung tadi, ada banyak bidat dan karangan fiktif yang memakai nama samaran juga bisa dipakai sebagai bukti. Yang dimaksud dengan karangan fiktif adalah sebagian pengarang yang kira-kira sezaman dengan kitab-kitab Perjanjian Baru, termasuk sebagian Pseudepigrafa, karena zamannya berdekatan, sebab itu memungkinkannya untuk memalsukan, membingungkan. Pengarang-pengarang seperti itu juga mengutip ayat Alkitab, hanya saja membengkokkan arti yang terdapat dalam ajaran Alkitab dan respons dari tempat-tempat yang mendapat pengaruh Alkitab. Sebab itu, karangan mereka juga menjadi salah satu bahan bukti. Karangan yang sezaman itu termasuk Surat Barnabas, Shepherd of Hermas, II Clement. Karangan-karangan tersebut sangat dipengaruhi oleh Kitab Injil, Surat Paulus, Wahyu, dan lain-lain. Adapun penggerak bidat pada zaman ini terdapat Simon, Cerinthus Basilides, dan lain-lain guru-guru bidat dari aliran Gnostikisme, yang menyelewengkan ajaran Kristus, tetapi mengutip dari Matius, Lukas, Yohanes, Roma, 1 Korintus, Kolose dan lain-lain. Selain itu, masih ada Marcion, otak bidat yang lain. Demi mempromosikan ajaran bidatnya, di tahun 140 TM, berdasarkan opininya sendiri terhadap Yesus dan Paulus, juga konsep teologi yang diyakininya, dia menyusun sebuah "Perjanjian Baru". Inilah editor pertama dari Perjanjian Baru. "Perjanjian Baru" yang disusunnya hanya mencakup Injil Lukas, Surat Roma, 1 dan 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1 dan 2Tesalonika, Filemon.
Ringkasnya, zaman ini bisa disebut sebagai masa permulaan dari Kitab Perjanjian Baru. Gereja, bapa gereja, ajaran bidat, dan karangan fiktif pada zaman itu merefleksikan bahwa saat itu, Perjanjian Baru telah memberi pengaruh yang cukup mendalam, orang-orang yang mengutip ayat-ayat Perjanjian Baru juga semakin serius dan semakin tertib.
Di akhir abad ke-2, di antara bapak-bapak gereja, Irenaeus adalah pemimpin yang menonjol, dia adalah uskup dari kota Lyon, seumur hidupnya berjuang dalam memerangi ajaran-ajaran palsu, mendebat ajaran bidat. Di antara karangannya, selain Surat Yakobus, 2Petrus, Yudas, Ibrani, keempat kitab ini, ayat-ayat Perjanjian Baru pernah dikutipnya. Saat itu, Perjanjian Baru secara garis besar telah berbentuk, selain beberapa kitab yang masih dipertimbangkan, pada umumnya telah diakui secara tidak langsung oleh semua gereja. Irenaeus amat menekankan Alkitab adalah tulisan yang diwahyukan oleh Roh Kudus. Kira-kira pada tahun 200 TM, waktu Tertullian, pemimpin gereja Carthage masih hidup di dunia, tulisan asli dari surat-surat Perjanjian Baru masih berada, dia menyebut kitab agama Kristen itu sebagai Perjanjian Baru. Dia pernah mengutip empat Injil, tiga belas surat Paulus, 1Yohanes, 1Petrus, Yudas, Ibrani. Dia berpendapat, bahwa Surat Ibrani ditulis oleh Barnabas.
Pada masa yang sama, muncul Fragments of Muratorian, sebuah gulungan kitab kuno yang baru ditemukan. Pada tahun 1740, Muratorian, sejarawan Italia, menemukan serpihan dari gulungan kuno, di perpustakaan kota Milan, Italia Utara, yang ditulis di dalam bahasa Latin. Bagian lainnya mungkin sudah hilang. Gulungan itu dimulai dari Lukas. Namun karena Lukas diberi nomor tiga dan Yohanes diberi nomor empat, maka diketahui bahwa nomor satu dan nomor dua adalah Matius dan Markus. Meskipun bagian awalnya telah hilang, tetapi gulungan ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kitab-kitab Perjanjian Baru. Karena inilah kitab kuno pertama yang memandang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu setara adanya. Di depan Perjanjian Baru, terdapat daftar isi Perjanjian Lama dan secara resmi menerangkan akan perbedaan Alkitab dengan karangan fiktif. Di antara Kitab-kitab Perjanjian Baru, yang belum disinggung adalah Ibrani, 1 dan 2Petrus, dan Yakobus, tetapi mencakup "The Wisdom of Solomon" dan Catatan Inspirasinya Petrus.
Setelah menginjak abad ke-3, sebagian besar karangan Perjanjian Baru telah dipakai oleh gereja-gereja, mayoritas orang di dalam hatinya telah mengakui sebagian kitab-kitab itu sebagai kanon Alkitab, selain tujuh kitab: Yakobus, 2Petrus, 2 dan 3Yohanes, Ibrani, Yudas, Wahyu, selebihnya sudah tidak ada masalah. Pada masa itu, orang yang paling berpengaruh terhadap gereja adalah Origen dari Alexandra. Karena dia bukan hanya banyak membaca, pergaulannya luas, juga memberikan tafsiran terhadap setiap kitab dalam Alkitab, dia telah secara sah menerima kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru yang kita pakai sekarang, meski masih sedikit meragukan Surat Yakobus, 2 dan 3Yohanes, 2Petrus.
Setelah abad ke-3, memantapkan keputusan Perjanjian Baru sebagai kanon Alkitab masih tetap berjalan, hanya kitab-kitab yang dikategorikan sebagai kanon Perjanjian Baru sudah semakin mantap. Menurut Tertulian, orang yang paling berjerih lelah di dalam hal ini adalah para uskup dan pemimpin-pemimpin gereja. Nyata bahwa mereka mempunyai pandangan dan insting rohani: sekalipun banyak orang Kristen beranggapan, hanya karangan para rasullah yang pantas dikategorikan sebagai kanon Perjanjian Baru, tetapi Kitab Markus dan Lukas yang dikenal oleh umum sebagai kitab yang bukan ditulis oleh rasul, tidak mereka hapus. Garis besar dari patokan mereka adalah, kitab yang diterima tidak ada yang tidak bernilai, kitab yang ditolak tidak ada yang bernilai. Sebuah kitab tidak bisa diterima sebagai kanon hanya karena pengarangnya memakai nama salah seorang rasul, tetapi perlu ditinjau bernilai atau tidaknya isi kitab tersebut.
Dari sejarah ringkas itu, kita ketahui, bahwa ada satu masa, di mana gereja memang belum dapat memutuskan kitab-kitab mana saja yang bisa diterima sebagai kanon Perjanjian Baru. Sebab utamanya antara lain: saat itu, transportasi di dalam kerajaan Romawi yang begitu luas belum begitu lancar, ditambah lagi penganiayaan-penganiayaan yang dialami oleh gereja, membuat gereja-gereja tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan satu kali pertemuan bersama, untuk menetapkan kitab-kitab mana saja yang terbukti memiliki otoritas rasul, dapat dikategorikan sebagai kanon Perjanjian Baru yang sejajar dengan Perjanjian Lama.
Sampai permulaan abad ke-4, pemerintah Romawi masih melancarkan penganiayaan sebegitu rupa terhadap orang Kristen, sampai-sampai memusnahkan Alkitab. Eusebius, tokoh sejarah gereja lahir di masa ini. Dia adalah seorang pengawas di Kaisarea, saat itu, Kaisar Domitian sedang melangsungkan penganiayaan besar-besaran yang terakhir dan terekstrem untuk memusnahkan orang Kristen. Demi Kristus, Eusebius dijebloskan ke dalam penjara. Salah satu tujuan khusus dari penganiayaan kali ini adalah memusnahkan semua Alkitab orang Kristen. Kurang lebih ada sepuluh tahun, pemerintah Roma mengutus petugas khusus untuk menggeledah Alkitab yang dimiliki oleh penduduk, semua Alkitab yang berhasil ditemukan dibakar di jalan raya, di depan umum. Pada masa yang mengerikan itu, untuk menyelidiki dan memastikan kitab-kitab mana saja yang dapat dikategorikan sebagai kanon memang menuntut pengorbanan yang amat sangat mahal. Namun, saat Kaisar Constantine naik takhta pada tahun 312 TM, situasinya berubah total: Alkitab boleh dibaca secara terbuka, maka selain Kaisar sendiri menerima Kristus, dia bahkan mengesahkan kekristenan sebagai agama negara. Eusebius sangat dipandang oleh Kaisar Constantine, dan diangkatnya sebagai penasihat utama di bidang agama dalam kekaisarannya. Setelah Constantine naik takhta, hal pertama yang dia lakukan adalah memberikan mandat, di bawah komando Eusebius, mereka harus menyediakan lima puluh jilid Alkitab untuk lima puluh buah gereja besar yang berada di Constantinople. Kelima puluh jilid Alkitab itu ditulis di atas gulungan kulit domba yang paling lembut, begitu besarnya volume Alkitab itu, sampai membutuhkan dua buah pedati besar kerajaan, untuk membawanya dari Kaisarea ke Constantinople. Kitab-kitab apa saja yang terdapat dalam kanon Perjanjian Barunya Eusebius? Seluruh Kitab Perjanjian Baru yang kita gunakan hari ini. Setelah Eusebius melakukan perjalanan keliling guna meneliti pendapat dari masing-masing gereja, maka dia membagikan Alkitab Perjanjian Baru menjadi empat kategori, yaitu:
- Kitab-kitab yang diakui secara umum oleh semua gereja, yang mencakup: empat Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, 1Yohanes, 1Petrus dan Wahyu.
- Kitab-kitab yang masih diragukan oleh sebagian orang, karenanya masih perlu dipertimbangkan adalah: Yakobus, Yudas, 2Petrus, 2 dan 3Yohanes.
- Kitab-kitab apokrifa yang bermasalah, termasuk: "Acts of Paul, Shepherd of Hermas, Apocalypse of Peter, Epistle of Barnabas, Teaching of the Twelve Apostles".
- Kitab-kitab bidat, yaitu kitab-kitab yang sama sekali ditolak, seperti: "Gospel of Peter, Gospel of Thomas, Act of Andrew, Act of John" dan lain-lain.
Dua puluh tujuh kitab yang dia terima dan dimasukkan ke dalam kanon Perjanjian Baru, bukan saja sama persis yang kita pakai sekarang, pada saat yang sama juga membedakannya dari kitab-kitab apokrifa dan kitab-kitab bidat.
Pada masa yang sama, masih terdapat tidak sedikit tokoh-tokoh penting yang memberikan sumbangsihnya pada penetapan kanon Perjanjian Baru, kami hanya akan mengutarakan secara singkat akan beberapa orang di antara mereka. Athanathius, uskup Aleksandria yang amat dikenal sebagai laskar kebenaran itu, adalah leluhur dari Apologis yang ortodoks, seumur hidupnya berperang habis-habisan melawan bidat. Tahun 367 TM, adalah hari Paskah yang ke-39 di dalam jabatan keuskupannya. Dalam wejangan Paskahnya, Athanathius selain memberi nasihat kepada jemaat, juga memberi pengajaran yang diambil dari satu perikop Alkitab, maksudnya adalah untuk mengingatkan kepada jemaat masa itu, untuk tidak membaca buku-buku yang mengaburkan, agar jangan disesatkan oleh ajaran bidat, demi keamanan jemaat, dia menyusun daftar Perjanjian Baru yang dibubuhi dengan penjelasan. Daftar tersebut sama persis dengan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang kita pakai sekarang. Kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru sudah disejajarkan, tidak lagi dipisahkan menjadi beberapa kategori. Kemudian lanjutnya, "Alkitab adalah sumber keselamatan. Barangsiapa merasa dahaga dapat melepaskan dahaganya dengan firman yang terdapat di dalam kitab ini. Hanya kitab-kitab inilah yang mengajarkan firman saleh." Jerome adalah sarjana Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terpenting di masa ini, seumur hidupnya tidak terlepas dari pena. Alkitab Perjanjian Baru berbahasa Latin, yang dipakai di gereja-gereja Roma adalah karya terjemahannya, isinya sama persis dengan kedua puluh tujuh kitab yang kita pakai sekarang. Augustine, uskup Carthage, teolog ternama pada zaman itu, juga menerima kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru. The Council of Carthage yang diselenggarakan pada tahun 397 TM dipimpin olehnya. Salah satu keputusan Konsili itu adalah mengenai kanon Perjanjian Baru. Setelah direstui dan ditetapkan secara resmi dalam Konsili itu: menerima sepenuhnya akan kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru yang kita pakai sekarang, dengan tidak dibeda-bedakan kategorinya. Inilah ketetapan resmi yang diambil dalam konsili organisasi gereja mengenai kanon Perjanjian Baru.
Pada awal abad ke-4, masa di mana kekristenan mulai menggunakan bentuk sidang raya untuk mengatur segala urusan yang menyangkut pengelolaan gereja, maka tidak sedikit pertemuan-pertemuan selanjutnya yang berkaitan erat dengan kanon Perjanjian Baru, seperti Council of Ephesus, Council of Constantinople, Council of Nicaea, dan lain-lain. Namun, setelah The Council of Carthage yang diselenggarakan pada tahun 397, gereja-gereja juga sidang raya telah sepakat menerima kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru adalah sejajar dengan Perjanjian Lama, sebagai Alkitab yang diwahyukan oleh Allah, yang dijadikan dasar iman dan standar hidup dari seluruh jemaat.
Setelah lebih dari seribu tahun dirongrong oleh banyak raja-raja, ajaran-ajaran bidat dan sebagainya, diserang, dipecah belah, diadili dengan Lower Criticism dan Higher Criticism yang dilancarkan oleh filsuf-filsuf modern, pemikir-pemikir, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh sejarah, Alkitab tetap tidak bergeming, tetap sebagai dasar iman gerejani dan makanan rohani setiap hari bagi jemaat.
Akhirnya, butir yang harus ditegaskan adalah, setiap Kitab Perjanjian Baru, otoritas dan posisi yang dimiliki hari ini, bukannya baru timbul setelah diakui secara resmi sebagai kanon Alkitab, tetapi sebaliknya, justru karena gereja menemukan kitab-kitab itu sendiri mempunyai otoritas sehingga mereka sepakat mengakui kitab-kitab itu memang diwahyukan oleh Allah, dan dimasukkannyalah sebagai kanon Alkitab.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Latar Belakang Perjanjian Baru III |
Judul artikel | : | Tidak dicantumkan |
Pengarang | : | Dr. Lukas Tjandra |
Penerbit | : | SAAT, Malang, 1999 |
Halaman | : | 136 - 147 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA