Asal Mula Dosa
Permasalahan mengenai asal mula kejahatan yang ada dalam dunia telah dianggap sebagai salah satu masalah yang paling sulit baik dalam filsafat maupun teologi. Masalah ini menyebabkan manusia sangat tertarik memperhatikannya, sebab kuasa jahat sangatlah besar dan universal, sebagai suatu pengaruh yang senantiasa ada dalam hidup dan seluruh penampakkannya. Para ahli filsafat masih terhalang untuk menghadapi persoalan ini. Mereka mencari jawab atas pertanyaan mengenai asal mula kejahatan dan terutama mengenai kejahatan moral yang ada dalam dunia. Bagi sebagian orang tampaknya kesulitan ini merupakan bagian dari hidup itu sendiri sehingga mereka mencari jalan keluarnya dalam berbagai peraturan yang umum. Akan tetapi, sebagian orang lain merasa pasti bahwa kejahatan itu mempunyai asal mula, yaitu bahwa kejahatan ini bermula dalam pilihan bebas manusia, baik dalam eksistensi sekarang atau eksistensi sebelumnya. Pandangan-pandangan ini lebih dekat pada kebenaran yang diungkapkan firman Tuhan.
1. Pandangan Historis Berkenaan dengan Asal Mula Dosa
Bapak Gereja yang paling awal tidaklah membicarakan secara tertentu mengenai asal mula dosa, walaupun ide bahwa dosa berasal dari pelanggaran dan kejatuhan Adam di Taman Eden dapat kita temukan dalam tulisan Irenius. Pandangan ini segera diterima di kalangan gereja, terutama dalam menentang ajaran Gnostik yang menganggap bahwa kejahatan melekat pada materi dan pengertian seperti ini adalah akibat dari Demiurgos. Pertemuan antara jiwa manusia dan materi segera dianggap sebagai dosa. Pengertian seperti ini akan menyingkirkan dosa dari karakter etisnya. Origen berusaha menjelaskan pengertiannya dengan menggunakan teori pra-eksistensinya. Menurut Origen jiwa-jiwa manusia sudah berdosa dalam masa pra-eksistensi dan ketika jiwa itu masuk ke dalam dunia, maka jiwa itu sudah berdosa. Pandangan Platonis ini mempunyai banyak sekali kesulitan untuk dapat diterima secara luas. Sepanjang abad 18 dan 19 pendapat ini diterima oleh Mueller dan Rueckert dan oleh para ahli filsafat seperti Lessing, Schelling, dan J.H.Fichte. Pada umumnya, bapa-bapa gereja dari Yunani pada abad ketiga dan keempat cenderung untuk mengurangi hubungan antara dosa Adam dan dosa keturunannya, sedangkan bapa-bapa gereja Latin mengajar dengan jelas sekali bahwa keadaan dosa yang sekarang adalah berasal dari dosa Adam di Firdaus. Ajaran bapa-bapa Gereja Timur akhirnya mencapai puncak dalam ajaran Pelagianisme yang menyangkal adanya hubungan yang vital antara dosa Adam dan dosa manusia, sedangkan ajaran dari Gereja Barat mencapai puncak pada Agustinus yang menekankan kenyataan bahwa kita berdosa dan mengalami kenajisan karena Adam. Semi-Pelagianisme mengatakan adanya hubungan dosa manusia dengan dosa Adam, tetapi hubungan itu hanyalah berupa kekotoran yang akhirnya mengakibatkan dosa. Sepanjang abad pertengahan hubungan antara dosa Adam dan dosa manusia ini, sering disebut-sebut, tetapi hubungan ini kadang-kadang ditafsirkan menurut pandangan Agustinus, tetapi lebih sering menurut pendapat Semi-Pelagian. Para Reformator menerima pandangan Agustinus dan kelompok Socinian menerima pandangan Pelagius, sedangkan Arminian menerima pandangan Semi-Pelagian. Di bawah pengaruh filsafat Rasionalisme dan Evolusionisme doktrin kejatuhan manusia dan akibatnya yang fatal pada umat manusia perlahan-lahan disingkirkan.
Pengertian tentang dosa kemudian digantikan dengan pengertian tentang kejahatan, dan kejahatan ini diterangkan dengan berbagai macam cara. Kant menganggap kejahatan berada pada keadaan di atas kesadaran yang tidak dapat diterangkannya. Bagi Leibniz, kejahatan berkenaan dengan keterbatasan alam semesta. Schleiermacher berpendapat bahwa dosa asal berada di dalam natur manusia yang berindra, dan Ritschl mengatakan bahwa kejahatan berkenaan dengan ketidaktahuan manusia, sedangkan para ahli evolusi menganggap kejahatan sebagai pertentangan dari sifat- sifat yang masih rendah terhadap kesadaran moral yang sudah lebih berkembang. Bart mengatakan bahwa asal mula dosa sebagai suatu misteri dari predestinasi. Dosa berasal dari kejatuhan manusia, tetapi kejatuhan itu sendiri bukanlah suatu peristiwa sejarah; kejatuhan itu ada dalam supra-sejarah (Urgeschichte). Adam memang orang yang pertama kali berdosa, tetapi ketidaktaatan Adam tidak boleh dianggap sebagai penyebab dosa dalam dunia. Dosa manusia dalam beberapa hal berkaitan dengan keadaannya sebagai makhluk. Kisah di Firdaus semata- mata hanyalah memberikan kepada manusia informasi yang baik bahwa manusia tidak boleh berdosa.
2. Data Alkitab Berkenaan dengan Asal Mula Dosa
Dalam Alkitab disebutkan bahwa kejahatan moral yang ada dalam dunia jelas adalah dosa, yaitu pelanggaran terhadap hukum Allah. Manusia dalam naturnya melakukan pelanggaran, dan kemudian timbul pertanyaan, yaitu: bagaimana manusia memperoleh natur ini? Apa yang dikatakan Alkitab tentang hal ini?
A. Allah tidak boleh dianggap sebagai penyebab dosa
Ketetapan Allah yang kekal memang memberi peluang kemungkinan masuknya dosa ke dalam dunia, tetapi kenyataan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah adalah penyebab dosa dalam arti bahwa Allah adalah pembuat yang bertanggung jawab atas terjadinya dosa itu. Pengertian bahwa Allah adalah pencipta yang bertanggung jawab atas dosa dalam dunia tidak pernah disebutkan dalam Alkitab. "Jauhlah dari pada Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari pada Yang Mahakuasa untuk berbuat curang." (Ayub 34:10). Ia adalah Allah yang kudus (Yes. 6:3) dan sama sekali tidak ada ketidakbenaran dalam Dia (Ul. 32:4 Mzm. 92:16). "Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun." (Yak. 1:13). Ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakannya dengan baik dan menurut gambar dan rupaNya sendiri. Allah sangat membenci dosa, Ul. 25:16; Mzm. 5:4; Zak. 8:17, Luk. 16:15, dan dalam Kristus Ia memberikan jaminan kebebasan manusia dari dosa. Berkenaan dengan semua ini, jelas merupakan suatu penghujatan jika kita mengatakan bahwa Allah adalah pembuat dosa. Dan atas alasan itulah, semua pandangan deterministik yang menganggap bahwa dosa merupakan natur yang harus ada dalam diri manusia harus ditolak. Pandangan deterministik ini pada penerapannya menjadikan Allah sebagai pembuat dosa, dan dengan demikian bertentangan dengan suara hati yang mengakui tanggung jawab manusia.
B. Dosa berasal dari dunia malaikat
Alkitab mengajarkan kepada kita dalam usaha untuk melacak asal mula dosa, kita harus kembali lagi pada kejatuhan manusia yang disebutkan dalam Kej. 3, dan sesuai dengan perhatian pada sesuatu yang terjadi dalam dunia malaikat. Allah menciptakan suatu bala tentara malaikat dan mereka semua sangat baik sebab mereka keluar dari tangan Sang Pencipta, Kej. 1:31. Akan tetapi, suatu kejatuhan terjadi dalam dunia malaikat di mana banyak legiun malaikat jatuh tersingkir dari Allah. Waktu kejatuhan ini secara pasti tidak disebutkan, tetapi dalam Yoh. 8:44, Yesus menyebut iblis sebagai pembunuh manusia sejak semula (kat' arches) dan Yohanes mengatakan dalam 1 Yoh. 3:8, bahwa iblis berdosa dari mulanya. Pendapat yang masih dipegang sampai saat ini adalah bahwa "kat' arches" ini berarti sejak awal permulaan sejarah manusia. Hanya sedikit sekali yang dikatakan tentang dosa yang menyebabkan kejatuhan para malaikat. Mungkin dari peringatan Paulus kepada Timotius dalam 1 Tim. 3:6 bahwa seorang yang baru bertobat jangan dipilih menjadi penilik jemaat supaya ia tidak menjadi sombong dan kena hukuman iblis, dapat disimpulkan bahwa dosa dari malaikat yang jatuh itu adalah dosa kesombongan, ingin menjadi seperti Allah dalam kuasa dan otoritas. Dan pengertian seperti ini tampaknya mendapat dukungan juga dari Yudas 6, di mana dikatakan bahwa malaikat yang jatuh dalam dosa "tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi meninggalkan tempat kediaman mereka". Mereka tidak merasa puas dengan apa yang telah menjadi bagian mereka, dengan pemerintahan dan kuasa yang diberikan kepada mereka. Apabila keinginan untuk menjadi seperti Allah adalah pencobaan yang jelas mereka alami, dan ini juga akan menjelaskan mengapa iblis mencobai manusia dalam hal yang serupa.
C. Asal mula dosa dalam umat manusia.
Berkenaan dengan asal mula dosa dalam sejarah manusia, Alkitab mengajarkan bahwa dosa itu dimulai dengan pelanggaran Adam di Firdaus. Dengan demikian dimulai juga dengan tindakan yang dilakukan oleh manusia dengan kesadaran penuh. Si penggoda datang dari dunia roh dengan suatu dorongan kepada manusia bahwa dengan menempatkan dirinya sendiri dalam pertentangan dengan Allah, ia dapat menjadi seperti Allah. Adam kalah dalam menghadapi pencobaan ini dan melakukan dosa yang pertama dengan cara makan buah yang dilarang itu. Akan tetapi, kemudian persoalannya tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab oleh dosa yang pertama itu, Adam menjadi budak dosa yang tidak bebas. Dosa itu membawa kekotoran yang permanen dan karenanya persatuan dalam seluruh keturunannya. Sebagai akibat dari kejatuhan ini, bapak seluruh umat manusia ini hanya dapat menurunkan natur manusia yang telah rusak kepada keturunannya. Dari sumber yang tidak kudus, kemudian dosa mengalir seperti suatu mata air yang kotor kepada seluruh generasi umat manusia, mengotori semua orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Keadaan seperti inilah yang sebenarnya menjadikan pertanyaan Ayub sedemikian penting, "Siapa yang mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak!" (Ayub 14:4). Akan tetapi, hal ini saja belum mencakup semuanya. Adam berdosa bukan saja sebagai bapak dari seluruh umat manusia, tetapi juga sebagai kepala yang mewakili semua keturunannya; dan karena itu kesalahan oleh karena dosanya layak untuk menerima hukuman mati. Pertama-tama dalam pengertian seperti inilah dosa Adam menjadi dosa semua orang. Ini juga yang diajarkan Paulus kepada kita dalam Roma 5:12, "Sebab itu sama seperti dosa sudah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa." Kalimat terakhir itu berarti bahwa mereka semua telah berdosa di dalam Adam dan berdosa dengan cara sedemikian sehingga menjadikan mereka layak untuk dihukum mati. Dosa itu bukan semata-mata dianggap sebagai kekotoran, tetapi juga sebagai kesalahan yang membawa penghukuman. Allah memutuskan bahwa seluruh manusia adalah orang berdosa dalam Adam, sama halnya dengan Ia memutuskan bahwa semua orang percaya menjadi benar dalam Yesus Kristus. Inilah yang dimaksudkan oleh Paulus ketika ia berkata: "Sebab itu sama seperti oleh satu pelanggaran satu orang beroleh penghukuman demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi, sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." (Roma 5:18,19).
3. Natur Dosa yang Pertama atau Kejatuhan Manusia
A. Karakter Formalnya
Dapat dikatakan bahwa melalui suatu sudut pandang yang sepenuhnya formal dosa manusia yang pertama terkait dengan dimakannya buah pengetahuan yang baik dan jahat. Kita tidak tahu pohon apakah ini sebenarnya. Mungkin saja pohon itu pohon kurma atau pohon ara, atau pohon buah yang lain. Tidak ada satupun yang membawa bahaya dalam pohon itu. Memakan buat itu saja "per se" tidaklah berdosa sebab tidak merupakan pelanggaran terhadap hukum moral. Hal ini berarti bahwa makan buah ini tidaklah berdosa jika seandainya Allah tidak pernah berkata: "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau akan mati," Tidak ada pendapat yang seragam tentang mengapa pohon ini disebut sebagai pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Suatu pandangan yang agak umum adalah bahwa pohon itu disebut demikian sebab siapa yang memakan buahnya akan memperoleh pengetahuan praktis tentang yang baik dan jahat; tetapi agaknya tidaklah sesuai benar dengan Alkitab bahwa manusia dengan cara makan buah itu akan menjadi seperti Allah dalam mengetahui yang baik dan jahat, sebab Allah tidak pernah melakukan kejahatan, jadi tidak pernah memiliki pengetahuan praktis tentang kejahatan. Jauh lebih mungkin bahwa pohon itu disebut demikian sebab dimaksudkan untuk menyatakan: apakah masa depan manusia akan baik atau jahat; dan apakah manusia akan memperkenankan Allah menentukan baginya apa yang baik dan yang jahat atau akan menentukan sendiri bagi dirinya. Akan tetapi, penjelasan apapun yang diberikan tentang nama pohon ini, perintah yang diberikan oleh Allah agar buah pohon itu tidak dimakan dimaksudkan untuk menguji ketaatan manusia. Ujian ini adalah ujian ketaatan yang murni, sebab bagaimanapun Allah tidak berusaha membenarkan atau menjelaskan larangan itu. Adam harus menunjukkan kemauannya untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah dalam seluruh ketaatan.
B. Karakter Esensial dan Materialnya.
Dosa pertama manusia adalah suatu dosa tipikal, yaitu dosa di mana esensi sesungguhnya dari dosa itu dengan jelas menyatakan dirinya sendiri. Esensi dari dosa itu terletak pada kenyataan bahwa Adam meletakkan dirinya dalam keadaan yang bertentangan dengan Allah, dan ia menolak untuk meletakkan kehendaknya di bawah kehendak Allah, dan ia menolak membiarkan Allah menentukan seluruh jalan hidupnya. Ia secara aktif berusaha mengambilnya dari tangan Allah dan menentukan masa depannya sendiri. Manusia jelas tidak mempunyai hak untuk mengklaim dengan cara menggenapi syarat-syarat dalam perjanjian kerja. Namun, manusia telah memisahkan diri dari Allah dan bertindak seolah-olah ia memiliki hak-hak tertentu terhadap Allah. Pengertian bahwa perintah Allah adalah suatu pemutusan hak-hak manusia tampaknya sudah ada dalam pikiran Hawa ketika ia menjawab pertanyaan Iblis, ia menambahkan kata-kata "Jangan kamu makan ataupun raba buah itu (Kej. 3:3). Jelas Hawa ingin menekankan kenyataan bahwa perintah itu agak tidak masuk akal. Bermula dari presuposisi bahwa ia memiliki hak-hak tertentu terhadap Allah, manusia mengambil pusat yang baru, yang ditemukannya dalam dirinya sendiri untuk bertindak menentang Penciptanya. Ini menjelaskan keinginannya untuk menjadi seperti Allah dan keraguannya berbagi elemen dapat dibedakan dari dalam dosa pertama tersebut. Dalam intelek, dosa itu adalah ketidakpercayaan dan kesombongan, dalam kehendak, dosa ingin seperti Allah dan dalam perasaan, sebagai suatu kepuasan yang tidak kudus dengan memakan buah yang terlarang.
4. Dosa Pertama atau Kejatuhan yang Disebabkan oleh Pencobaan.
A. Cara Si Penggoda.
Kejatuhan manusia disebabkan oleh pencobaan dari si ular yang menaburkan dalam pikiran manusia benih-benih ketidaktaatan dan ketidakpercayaan. Walaupun jelas maksud si penggoda untuk menjadikan Adam si kepala perjanjian jatuh dalam dosa, tetapi si penggoda mengarah kepada Hawa karena: Hawa bukanlah kepala perjanjian itu maka tidak memiliki rasa tanggung jawab yang sama; ia tidak menerima perintah dari Tuhan secara langsung, tetapi tidak secara langsung dan karena itu bisa merasa lebih ragu-ragu; dan mungkin ia bisa menjadi pelaku yang lebih efektif untuk mencapai hati Adam. Alur pemikiran si penggoda ini jelas. Pertama-tama, ia menebarkan benih keragu-raguan dengan cara mempertanyakan maksud baik Allah dan mengatakan bahwa perintah-Nya membatasi kebebasan dan hak manusia. Ketika ia memperhatikan jawaban Hawa bahwa benih itu telah berakar, iblis menambahkan benih ketidakpercayaan dan kesombongan, dan menyangkal bahwa pelanggaran akan mengakibatkan kematian dan kemudian mengatakan bahwa perintah itu diberikan karena Allah mementingkan diri sendiri dan ingin agar manusia selalu berada di bawah-Nya. Iblis menekankan bahwa dengan cara makan buah pohon itu manusia akan menjadi seperti Allah. Pengharapan-pengharapan yang sedemikian tinggi menjadikan Hawa terpengaruh dan ia terus memandang kepada buah pohon itu, dan makin ia memandang semakin indah tampaknya buah itu baginya. Akhirnya Hawa mengambil dan memakan buah itu dan memberikannya kepada suaminya, lalu dimakannya juga.
B. Interpretasi Pencobaan.
Beberapa usaha telah dilakukan dan masih dibuat untuk menjelaskan sifat historis kejatuhan manusia. Sebagian orang menganggap seluruh kisah kejatuhan manusia dalam Kej. 3 adalah sebuah alegori yang menunjukkan bagaimana manusia mengalami kerusakan dan perubahan secara perlahan-lahan secara figuratif. Barth dan Brunner menganggap tentang keadaan manusia semula dan kejatuhan manusia adalah mitos saja. Penciptaan dan kejatuhan bukanlah peristiwa historis, tetapi supra-sejarah dan karena itu kedua kisah ini tidak dapat dipahami sepenuhnya. Kisah dalam Kitab Kejadian semata-mata mengajarkan kepada kita bahwa manusia sekarang tidak mampu melakukan kebaikan apapun dan takluk di bawah hukum kematian. Hidup seperti itulah yang digambarkan dalam kisah di Firdaus. Dan, hidup seperti itu juga memberikan gambaran tentang hidup yang akan diberikan kepada kita di dalam Dia, dan yang olehnya Adam merupakan gambaran dari Kristus.
Firdaus bukanlah sebuah tempat yang dapat kita tunjuk, akan tetapi di sanalah tempat dimana Allah adalah Tuhan dan manusia serta segala makhluk harus taat pada kehendak-Nya. Firdaus masa lalu terletak dalam kesuraman sejarah manusia. Barth berkata: "Ketika sejarah manusia mulai; ketika waktu manusia mulia; ketika waktu dan sejarah bersamaan di mana manusia memiliki kata pertama dan kata terakhir, Firdaus sudah lenyap." Brunner berpendapat sama ketika ia mengatakan: "Sebagaimana kita menghargai penciptaan, ketika kita bertanya tentang bagaimana, kapan dan di mana semua itu telah terjadi, demikian juga dengan kejatuhan manusia. Penciptaan dan kejatuhan sama-sama terletak di balik kenyataan historis yang nampak."
Mereka yang tidak menyangkali sifat historis dari kisah dalam kitab Kejadian mengatakan bahwa paling tidak ular yang disebutkan itu bukanlah sebagai hewan secara harfiah, tetapi hanyalah lambang dari keinginan, nafsu seksual, alasan-alasan untuk melakukan kesalahan, atau iblis. Ada orang lain lagi berpendapat bahwa paling tidak si ular itu harus dipandang secara kiasan. Akan tetapi, semua pendapat ini serta penafsiran yang sejenis tidaklah sesuai dengan Alkitab. Bagian Alkitab yang mendahului atau dan mengikuti Kej. 3:1-7 jelas berbicara sebagai kisah historis. Bahwa kisah itu memang dimaksudkan demikian oleh para penulis Alkitab dapat dibuktikan dari ayat-ayat lain seperti Ayub 31:33; Pkh. 7:29; Yes. 43:27; Hos. 6:7; Roma 5:12,18,19; 1 Kor. 5:21; 2 Kor. 11:3; 1 Tim. 2:14.
Dengan demikian kita tidak berhak untuk mengatakan bahwa ayat-ayat yang membentuk bagian integral dari seluruh kisah ini harus ditafsir secara kiasan. Lebih jauh lagi, Kej. 3:1 jelas menyebutkan bahwa ular itu benar-benar binatang, dan tidak akan memberikan makna yang baik jika kata "ular" di sini diganti dengan kata "iblis". Hukuman yang diberikan dalam Kej. 3:14,15, mempunyai presuposisi bahwa ular itu adalah ular secara harfiah, dan Paulus menyebutkan tentang ular itu bukan dengan cara lain dalam 2Kor. 11:3. Dan, kendatipun mungkin kita bisa mengatakan bahwa ular itu mengatakan sesuatu dalam arti kiasan dengan memakai cara yang licik, tampaknya tidak mungkin jika kita menganggapnya tidak melakukan percakapan sebagaimana yang dicatat dalam Kej. 3 itu.
Keseluruhan transaksi, termasuk di dalamnya perkataan si ular memang harus diterangkan melalui pemakaian kuasa supra-manusiawi yang tidak disebutkan dalam Kej. 3. Alkitab menyaksikan bahwa sebenarnya ular ini adalah alat yang dipakai iblis, dan bahwa iblis adalah si penggoda yang sesungguhnya, yang bekerja di dalam dan melalui ular, sebagaimana kemudian ia bekerja dalam manusia, Yoh. 8:44; Rom. 16:20; 2 Kor. 11:3; Why. 12:9. Ular adalah alat yang sesuai bagi iblis, sebab sesungguhnya ular adalah personifikasi dari dosa, dan ular melambangkan dosa dalam naturnya yang licik dan selalu berusaha menjatuhkan, dan pada sengatnya yang berbisa yang dapat mematikan manusia.
C. Kejatuhan Karena Pencobaan dan Kemungkinan Manusia Diselamatkan.
Telah dikatakan bahwa fakta kejatuhan manusia dalam dosa disebabkan karena pencobaan dari luar, kemungkinan menjadi salah satu alasan mengapa manusia dapat diselamatkan, yang berbeda dengan malaikat yang jatuh dalam dosa yang tidak disebabkan karena pencobaan dari luar, tetapi jatuh karena dorongan dari natur dalam diri mereka sendiri. Tidak ada sesuatu yang pasti dapat kita katakan tentang hal ini. Namun, apapun arti penting dari pencobaan dalam kaitan tersebut, jelas tidaklah memadai untuk hanya menjelaskan bagaimana Adam yang kudus dapat jatuh ke dalam dosa. Tidak mungkin bagi kita untuk mengatakan bagaimana pencobaan dapat memperoleh titik temu dalam diri seseorang yang kudus. Dan, lebih sulit lagi menjelaskan asal mula dosa dalam dunia malaikat.
5. Penjelasan Evolusionis tentang Asal Mula Dosa
Wajar jika teori evolusi yang konsisten tidak dapat menerima doktrin tentang kejatuhan manusia dalam dosa, dan sejumlah teolog liberal telah menolak doktrin ini, karena doktrin ini dianggap bertentangan dengan teori evolusi. Memang benar, ada beberapa teolog yang dapat dikatakan konservatif seperti Denney, Gore, dan Orr yang menerima sekalipun dengan hati-hati pandangan evolusi tentang asal mula manusia dan merasakan bahwa penjelasan itu dalam beberapa pengertian memberikan ruang bagi doktrin kejatuhan manusia. Akan tetapi, penting kita perhatikan bahwa mereka itu menerima kisah kejatuhan manusia dalam dosa sebagai penjelasan mistis atau alegoris dari suatu pengalaman etis atau sebagai suatu peristiwa moral yang mendadak terjadi pada permulaan sejarah yang akhirnya membawa penderitaan dan kematian. Ini berarti bahwa mereka tidak menerima kisah tentang kejatuhan manusia dalam dosa sebagai suatu penjelasan historis yang sesungguhnya dari apa yang pernah terjadi di taman Eden.
Tennant dalam kuliah-kuliahnya tentang "The Origin and Propagation of Sin" memberikan penjelasan yang agak terperinci dan menarik tentang asal mula dosa dari sudut pandang evolusi. Ia menyadari bahwa tidak mungkin manusia memperoleh dosa dari nenek moyangnya yang berupa binatang, sebab binatang tidak berdosa. Ini berarti bahwa semua dorongan, keinginan, nafsu, dan sifat-sifat yang diwarisi manusia dari binatang tidak dapat disebut sebagai dosa. Dalam perkiraan Tennant semua sifat tadi hanyalah membentuk materi dosa, dan tidaklah menjadi dosa-dosa yang sesungguhnya sampai kesadaran moral bangkit dalam diri manusia dan semua itu kemudian diatur dalam menentukan tindakan manusia, bertentangan dengan suara hati nurani dan sanksi-sanksi etis. Tennant berpendapat bahwa dalam lintasan perkembangan dirinya manusia perlahan-lahan menjadi suatu keberadaan etis dengan suatu kehendak yang tidak pernah berhenti, tanpa menjelaskan bagaimana kehendak yang sedemikian mungkin terjadi di mana hukum evolusi tetap berpendapat dan menganggap bahwa kehendak sebagai satu-satunya penyebab dosa. Tennant mendefinisikan dosa sebagai "suatu tindakan dari kehendak yang dinyatakan dalam pikiran, perkataan atau tindakan yang bertentangan dengan suara hati seseorang, bertentangan dengan pemahamannya tentang apa yang benar dan baik, bertentangan dengan pengetahuannya tentang hukum moral dan kehendak Allah."
Sejalan dengan perkembangan umat manusia standar etis menjadi semakin pasti dan keburukan dosa semakin meningkat. Suatu lingkungan yang penuh dosa menambah kesulitan untuk menjauhkan diri dari dosa. Pandangan Tennant ini tidak memberikan ruang bagi kejatuhan manusia dalam pengertian yang biasa diterima. Kenyataannya Tennant secara eksplisit menolak doktrin kejatuhan manusia dalam dosa, yang diterima oleh seluruh pengakuan gereja sepanjang sejarah. W.H. Johnson mengatakan: "Kritik Tennant disetujui bahwa teorinya tidak memberikan ruang bagi teriakan semua hati yang berseru, yang bukan saja mengakui tindakan-tindakan terpisah dari dosa, tetapi mengakui: 'Aku dibentuk dalam kesalahan; ada hukum kematian dalam diriku."
6. Akibat dari Dosa yang Pertama
Dosa manusia yang pertama membawa akibat sebagai berikut:
Segera mengikuti dosa yang pertama adalah kerusakan total dalam natur manusia. Dosa manusia segera merambat pada seluruh manusia dan seluruh naturnya tidak ada yang tidak tersentuh dosa; seluruh tubuh dan jiwanya menjadi dicemari dosa. Kerusakan manusia telah dikatakan dalam Alkitab, misalnya dalam Kej. 6:5; Mzm. 14:3; Roma 7:18. Kerusakan total di sini bukanlah berarti bahwa natur manusia telah rusak serusak rusaknya. Dalam kehendak kerusakan ini menyatakan dirinya sebagai ketidakmampuan spiritual.
Kerusakan total adalah hilangnya persekutuan dengan Allah melalui Roh Kudus. Keadaan ini adalah sisi balik dari kerusakan total itu sendiri. Keduanya dapat disatukan dalam suatu pernyataan bahwa manusia telah kehilangan gambar dan rupa Allah yaitu kebenaran yang hakiki. Manusia memutuskan hubungan dari sumber hidup dan berkat, dan hasilnya adalah suatu keadaan kematian rohani, Ef. 2:1,5,12; 4:18.
Perubahan keadaan manusia yang sesungguhnya juga tercermin dalam kesadaran dirinya. Mula-mula ada suatu kesadaran dalam kekotoran, yang kemudian terungkap dalam rasa malu, dan juga terlihat dalam hal bagaimana Adam menutupi ketelanjangannya. Dan, kemudian ada kesadaran tentang rasa bersalah yang terlihat dalam rasa takut kepada Allah.
Bukan saja kematian rohani, tetapi kematian jasmani juga disebabkan oleh dosa manusia yang pertama ini. Dari suatu keadaan "posse non mori" manusia turun menjadi "non posse non mori". Setelah berdosa maka manusia harus kembali kepada debu dari mana ia diambil (Kej. 3:19). Paulus mengatakan bahwa oleh karena satu orang maka dosa masuk ke dalam dunia dan terus diturunkan pada semua manusia (Roma 5:12) dan upah dosa adalah maut (Roma 6:33).
Perubahan ini juga menghasilkan perubahan tempat tinggal yang penting. Manusia diusir dari Taman Eden sebab taman itu melambangkan persekutuan yang dekat dengan Allah dan juga lambang dari hidup yang penuh dan berkat yang sedemikian besar yang disediakan bagi manusia, jika ia tetap teguh berpegang pada Allah. Ia diusir dari pohon kehidupan karena pohon itu adalah lambang dari hidup yang dijanjikan dalam perjanjian kerja.
Diambil dari: | ||
Judul Buku | : | Teologi Sistematika: "Doktrin Manusia" |
Judul artikel | : | Asal Mula Dosa |
Penulis | : | Louis Berkhof |
Penerbit | : | LRII: Jakarta, 1994 |
Halaman | : | 81 - 97; 107 - 112 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA