Tiga Pengaruh dalam Pelatihan Paulus, Rasul Misionaris

Salah satu kebutuhan besar dalam penginjilan dunia saat ini adalah pelatihan para pemimpin Kristen. Ini menjadi garis depan dalam salah satu karya terpenting dalam misi dunia saat ini, Operation World. Buku ini memberikan informasi yang luas tentang negara, ketertarikan rohani, statistik gereja, dan kemudian kebutuhan khusus untuk didoakan di setiap negara. Dalam kata pengantar sebelum penulis Jason Mandryk merinci salah satu permintaan doa khusus untuk negara dan benua, ia menulis ini sebagai salah satu kebutuhan paling kritis dalam tubuh Kristus di seluruh dunia.

Paulus menginjili

Pengembangan kepemimpinan adalah hambatan yang mendesak bagi pertumbuhan gereja. Ada kekurangan di seluruh dunia akan adanya pria dan wanita yang benar-benar dipanggil Allah dan diajarkan secara mendalam tentang Kitab Suci untuk memimpin gereja-gereja, orang-orang yang bersedia menanggung beban dan tanggung jawab kepemimpinan demi Juru Selamat yang menebus mereka .... Mereka yang secara akurat dan efektif menguraikan Kitab Suci sedikit jumlahnya, terutama di daerah-daerah di mana gereja-gereja berkembang pesat. [1]

Sebagai akibat dari kebutuhan akan pengembangan kepemimpinan Kristen, banyak institusi bermunculan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan kepemimpinan Kristen. Ada banyak program berbeda dengan minat dan penekanan khusus. Bagi sebagian dari kita yang terlibat dalam perencanaan program ini, mudah untuk berfokus pada standar akreditasi, profil lulusan, rekrutmen mahasiswa, dan jumlah lulusan. Meskipun hal-hal ini diperlukan, penting agar kita tidak kehilangan jejak bagaimana misionaris yang hebat dibentuk.

Salah satu misionaris teladan adalah Rasul Paulus. Dia berkeliling dunia yang dikenal saat itu membawa Injil dari Asia Kecil ke Makedonia, Yunani, Roma, dan seterusnya. Meskipun kita menghormatinya sebagai misionaris dan rasul yang hebat, hanya sedikit yang meluangkan waktu untuk memperhatikan pengaruh yang menuntunnya menjadi misionaris yang luar biasa. Berikut ini akan dipaparkan tiga pengaruh yang menjadikan Paulus seorang misionaris teladan. Kemudian akan ditutup dengan menarik implikasi bagi persiapan teologis misionaris Kristen hari ini.

1. Paulus Dilatih untuk Sungguh-sungguh Mengenal Kitab Suci

Salah satu faktor yang membuat Paulus berpengaruh adalah pengetahuannya yang luar biasa tentang Kitab Suci. Dia mengetahui Kitab Suci dengan sangat baik sebelum memulai pekerjaan misinya dan bahkan sebelum pertobatannya menjadi Kristen.

Sebagai hasil dari pendidikan Yahudinya, Paulus mempelajari Kitab Suci sejak usia sangat dini. Seperti anak-anak Yahudi lainnya di abad pertama, Paulus diajar lebih dalam daripada apa yang kebanyakan anak-anak pelajari di gereja hari ini. Philo Judaeus, seorang Yahudi abad pertama, menulis orang Yahudi "menganggap hukum mereka sebagai wahyu ilahi dan diajarkan kepada mereka sejak masa kecil mereka" (Legatio 210). Menurut dokumen Aboth yang ditemukan dalam Mishnah, "pada usia lima tahun seseorang cocok/dimungkinkan untuk diajarkan Kitab Suci" (Aboth 5.21). Dalam 4 Makabe 18:10, seorang ayah Yahudi yang ideal tercatat mengajarkan kepada tujuh putranya kisah-kisah dan kebenaran-kebenaran tentang Habel, Kain, Ishak, Yusuf, Pinehas, Hananya, Azariah, Misael, Daniel, Yesaya, Daud, Salomo, Yehezkiel, dan Musa. Jadi, tidak mungkin masa kecil Paulus tidak menyerap Kitab Suci. [2]

Pendidikan Paulus juga terus berlanjut melebihi masa kecilnya. Paulus menggambarkan dirinya sebagai "orang Ibrani yang berbahasa Ibrani", seorang Farisi, murid Gamaliel (Kisah 5:34; 22:3; Flp. 3:4-6). Gamaliel adalah cucu dari Hillel, guru Kitab Suci yang terkenal dan salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Yahudi. Orang-orang Yahudi menghormati Gamaliel dan menyebutnya "kemuliaan Hukum Taurat." Tradisi Yahudi mencatat dia dijuluki sebagai Rabban pertama, gelar yang bahkan lebih tinggi untuk seseorang yang memiliki pengetahuan Kitab Suci daripada Rabbi. Paulus mempelajari Kitab Suci sebagai murid Gamaliel, dan sebagai hasilnya, dia mempelajari Kitab Suci dan cara-cara yang akan dipakai untuk menafsirkan Kitab Suci oleh banyak orang.

Jenis pengajaran yang diterima Paulus dapat dilihat dalam Misnah. Dalam literatur Yahudi ini, sebuah teks Kitab Suci dikutip, dan kemudian interpretasi dari seorang rabi dibuat. Kemudian rabi lain akan menafsirkan teks Kitab Suci itu dengan cara yang sedikit berbeda dan mungkin tentang tafsiran rabi sebelumnya. Pembahasan tentang satu ayat Kitab Suci dapat mencapai berlembar-lembar tafsiran. Apa yang sangat mencolok dari diskusi ini adalah perhatian yang diberikan pada bagian-bagian Kitab Suci yang menonjol dan tampaknya tidak mudah dipahami.

Jelas bahwa dia tahu bahasa-bahasa Alkitab dengan baik. Dia diajar dalam bahasa Ibrani sebagai murid Gamaliel. Sebagai orang Yahudi abad pertama, dia pasti mengerti bahasa Aram. [3] Dia menulis surat-suratnya dalam bahasa Yunani. Penggunaan kutipan Kitab Suci dalam surat-suratnya jelas mendukung pemahaman Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, tetapi jelas bahwa dia juga menerjemahkan beberapa kutipan Kitab Sucinya dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani daripada mengambil terjemahan Kitab Suci Yunani yang paling terkenal pada zamannya. [4]

Pada zaman modern kita, beberapa orang yang memikirkan tentang misi mungkin dapat mengingat bagaimana guru-guru dan pendeta-pendeta yang berbeda telah memikirkan bagian-bagian terkenal dari Alkitab seperti Mazmur 23, Khotbah di Bukit, atau Hukum yang Terutama. Paulus, sebagai seorang Farisi yang diajar oleh Gamaliel, akan mengetahui pendapat terpelajar yang berbeda tentang bagian-bagian kecil dari Kitab Suci juga. Dia tahu bahasa-bahasa alkitabiahnya dan bisa menafsirkan dari bahasa-bahasa itu. Dia benar-benar berpengalaman dalam Kitab Suci jauh sebelum dia memulai pekerjaan misionarisnya.

2. Paulus Tahu Dunianya

Sementara Paulus mengetahui Kitab Suci dengan sangat baik, ini bukan satu-satunya pengaruh dalam pelatihannya. Dia juga tahu dunianya dengan sangat baik. Dalam Kisah Para Rasul 22:3, dia mengatakan di depan semua orang dalam pidato pembelaannya bahwa dia adalah warga Tarsus. Dengan mengatakan bahwa dia berasal dari Tarsus, Paulus mengungkapkan bahwa dia berasal dari kota yang kaya akan budaya.

Tarsus adalah kota utama di dataran subur Kilikia Timur, di Asia Tenggara Kecil. Itu adalah kota yang penting dan memiliki kekayaan budaya. Kekaisaran Romawi menyukai kota Tarsus. Ini menjadi ibu kota provinsi Kilikia, menyusul kemenangan Pompey (67 SM). Para pemimpin Romawi terkemuka mengunjungi kota itu. Orator Cicero tinggal di kota itu (51-50 SM) dan Julius Caesar mengunjunginya pada tahun 47 SM Strabo, ahli geografi dan sejarawan Yunani yang menulis pada awal abad pertama, menceritakan tentang semangat penduduknya untuk belajar, dan terutama untuk filsafat. Dalam hal ini, katanya, Tarsus melebihi Athena dan Alexandria dan setiap kota universitas lainnya (Geographica 14.5.13). Tarsus juga terkenal dengan Sofis terkenal seperti Archademus dan Antipar, dan dikenal oleh para filsuf terkenal seperti Plutiades dan Diogenes (Geographica 14.5.14). Sementara Paulus menerima pendidikannya di Yerusalem, tempat kelahirannya tidak diragukan lagi memberikan pengaruh. Selain pengetahuan tentang dunia yang dimiliki Paulus sejak dibesarkan di Tarsus, Paulus juga banyak bepergian. Sebelum dia menjadi misionaris, dia telah melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk pendidikannya (Kisah Para Rasul 22:3). Dia berada di jalan menuju Damaskus sebelum pertobatannya. Setelah pertobatannya, dia berada di Damaskus, Arabia, dan Fenisia. Perjalanannya kemudian membawanya ke Yunani modern, Kreta, Italia, dan kemungkinan Spanyol.

Pengetahuan tentang dunianya terlihat dari kemampuannya mengutip para pemikir terkemuka pada zamannya. Dengan pemahamannya tentang dunianya, dia dapat berkomunikasi dengan orang-orang Yunani yang terpelajar. Dalam Kisah Para Rasul 17, kita melihat Paulus dapat berdebat dengan orang-orang terpelajar di Bukit Mars di Athena. Saat dia berdiri di depan mezbah kepada Allah yang tidak dikenal, dia dapat menjelaskan dengan cara yang masuk akal kepada mereka bahwa hanya ada satu Allah "yang di dalam Dia kita hidup, bergerak, dan ada" (Kisah Para Rasul 17:28). Hanya seseorang yang mengetahui penyair Yunani yang bisa bernalar dengan baik. Kemudian dalam tulisannya kepada Titus yang ditinggalkannya di Pulau Kreta, dia mengutip seorang nabi Kreta dalam Titus 1:12.

Di tempat lain dalam surat-suratnya, dia menunjukkan pengetahuannya tentang budaya Yunani-Romawi. Dengan jemaat di Korintus, misalnya, tulisannya menunjukkan bahwa dia tahu masalah yang mereka hadapi. Tulisannya mengungkapkan bahwa dia tahu taktik kaum Sofis, pembicara keliling yang mencoba memimpin orang dalam kebijaksanaan manusiawi mereka sendiri. Dia mampu melawan secara efektif retorika dan pembentukan faksi mereka dengan menunjuk ke salib. [5] Saat dia menghadapi inses (1 Kor. 5), dia menunjukkan pengetahuan tentang sistem patronasi yang bisa melindungi seorang pria yang bahkan hidup dalam inses. [6] Dia mengutip penyair kafir dalam 1 Korintus 6. [7] Khotbahnya mengenai makanan yang dikorbankan untuk berhala dalam 1 Korintus 8-10 menunjukkan bahwa dia mengetahui banyak kuil di mana dewa-dewa lain disembah dan di mana pengorbanan untuk berhala dilakukan.

Dia juga seorang pria yang menguasai banyak bahasa. Selain mengetahui bahasa Kitab Suci, dia dapat menulis dalam bahasa Yunani. Dia juga menggunakan bentuk huruf Yunani kuno dalam komposisi surat-suratnya. [8] Hal ini akan membuat surat-suratnya lebih dapat dimengerti oleh para penerima utamanya, orang-orang bukan Yahudi. Sementara bahasa Aram digunakan dalam khotbahnya di sinagoga dan bahasa Yunani adalah lingua franca hari itu, konfrontasinya dengan orang-orang di Lycaonia, Listra, dan Derbe menggambarkan bahwa dia tahu banyak bahasa lain dari dunia kuno (Kisah Para Rasul 14). [9] Para sarjana masih memperdebatkan apakah dia mengerti bahasa Latin. [10]

Paulus tahu ide-ide dunianya. Perjalanannya yang banyak membuat dia terbuka pada ide-ide orang-orang yang dia coba jangkau. Sementara dia tahu Kitab Suci, dia juga tahu dunianya. Dia memahami berbagai macam orang secara bahasa dan budaya.

3. Paulus Bertemu dengan Tuhan Yesus Kristus yang Bangkit

Satu pengaruh terakhir yang membentuk hidupnya sebelum dia memulai pekerjaan misinya adalah perjumpaannya dengan Tuhan Yesus Kristus. Paulus menyebutkan perjumpaan dengan Tuhan ini berkali-kali (lih. 1 Kor. 9:1; 15:8; Gal. 1:12-17). Pentingnya catatan Damaskus tidak hilang dari Lukas saat dia mencatat sejarah gereja mula-mula. Lukas mengacu pada peristiwa itu sebanyak tiga kali dalam Kisah Para Rasul 9, 22, dan 26.

Dalam perjalanan ke Damaskus, hidup Paulus berubah secara dramatis. Banyak tempat dalam surat-suratnya berbicara tentang kehidupan sebelumnya, tetapi setelah penampakan Yesus, dia melihat dirinya sebagai orang yang berbeda (lih. Rom. 5:9; 7:6; 2 Kor. 5:16; Gal. 4:9). Hal ini paling jelas ditunjukkan dalam pernyataan otobiografinya di Filipi 3:4b-11. Dalam perikop ini, Paulus menceritakan tentang banyaknya pencapaiannya yang besar: dari suku Benyamin, seorang Ibrani yang berbahasa Ibrani, seorang Farisi, dan tidak bercacat di bawah Hukum Taurat. Lebih dari dua puluh tahun, dan mungkin bahkan tiga puluh tahun setelah perubahan dalam hidupnya dia masih berkata, "Akan tetapi, segala sesuatu yang dahulu menguntungkan aku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus." Pengenalan akan Juru Selamat melampaui kualifikasinya sebelumnya.

Dalam perjalanan ke Damaskus, Paulus mengalami Yesus Kristus dengan cara yang benar-benar luar biasa. Para pemikir besar Kristen telah mencatat hal ini. Agustinus serta para pemikir Kristen dari periode abad pertengahan percaya bahwa keinginan pemberontak Paulus telah ditundukkan. Lukisan-lukisan dari periode ini mengungkapkan Paulus sebagai orang yang terguling dari kudanya dan dengan demikian ditundukkan melalui pengalamannya oleh Yang Mahakuasa. Pada masa Reformis, pertobatan Paulus dianggap sebagai pengalaman kilat. Misalnya, Tyndale dan Zwingli melihat bahwa pertobatan Paulus adalah saat anugerah yang tiba-tiba ketika terang Allah mengelilinginya secara tak terduga (lih. 2 Kor. 4:6). [11] Jelaslah bahwa pengalaman pertobatannya signifikan.

Selain mengubah hidupnya secara radikal, pertemuan Paulus di jalan Damaskus juga mengubah misinya. Alih-alih menganiaya gereja, panggilannya berfokus pada menjadi rasul dan hamba Yesus Kristus. Kadang-kadang dalam tulisannya, dia bahkan mengacu pada pengalaman Jalan Damaskus sebagai dasar untuk misinya (Gal. 1:15-16; lih. Kis. 26:16-18).

Pengenalan selanjutnya tentang Juru Selamatnya melalui rasa sakit dan penderitaan kemudian menjadi penting untuk komunikasi pesan Injilnya. Pengenalan yang berasal dari penderitaan membedakannya dari para pemimpin dengan praktik sekuler dalam 1 Korintus 4:8-13. Pengalaman mengenal kemuliaan Kristus yang dinyatakan melalui rasa sakit kemudian menjadi "sarana pewahyuan tentang kemuliaan Kristus" kepada jemaat di Korintus (lih. 2 Kor. 2:14-16; 4:7-12; 6:3-10; 11:23b-33; 12:9-10; 13:4). [12] Pengalaman Kristen bagi Paulus bersifat formatif dan sangat penting.

4. Implikasi bagi Pelatihan Misionaris

Ketiga pengaruh ini pendidikan Kitab Suci Yahudi, pemahaman tentang dunia Yunani-Romawi, dan pengalaman akan Tuhan yang disalibkan tetapi bangkit membentuk kesiapan Paulus. Masing-masing dapat memberikan poin dasar bagi persiapan pemimpin saat ini.

Keyahudian Paulus dan karena itu pengajaran yang luar biasa dalam Kitab Suci harusnya mendorong pelatihan intensif dalam Alkitab dan interpretasinya. Paulus memahami teks-teks Kitab Suci yang menonjol serta teks-teks yang kurang penting, dan dia juga tahu bagaimana orang-orang terpelajar menafsirkannya. Dia bisa membaca Kitab Suci dalam bahasa Ibrani dan Aram serta terjemahannya dalam bahasa Yunani. Pada hari di mana literasi Alkitab berkurang, khususnya di dunia barat, pelatihan intensif Paulus dalam Kitab Suci seharusnya mendorong studi biblika dan teologis yang terkonsentrasi.

Pengetahuan yang Paulus miliki tentang dunianya seharusnya juga mendorong para misionaris untuk mengenal dunia serta firman. Dia memahami filosofi serta ide-ide utama orang-orang biasa. Kursus dan pengalaman yang membantu seseorang untuk mengenal dunia seperti magang, pengalaman lintas budaya, filsafat, dan apologetika tidak boleh dipandang sebagai sekunder tetapi bagian dari badan utama pelatihan untuk misionaris masa depan. Pengalaman-pengalaman ini dapat membantu seseorang belajar berkomunikasi dengan orang-orang di dunia secara lebih efektif.

Meskipun pengalaman jalan Damaskus tidak dapat direncanakan dalam kurikulum apa pun, misionaris masa depan dapat didorong untuk bertemu kembali dengan Tuhan yang disalibkan dan bangkit. Devosi pribadi, bimbingan, pemuridan, dan gereja dapat menuntun seseorang untuk mengalami Tuhan yang disalibkan dan bangkit dengan cara yang mendalam dan unik. Para misionaris masa depan hendaknya tidak berpikir bahwa kesulitan dan penderitaan mengganggu panggilan mereka yang sebenarnya. Mungkin saja ini adalah "sarana pewahyuan tentang kemuliaan Allah" seperti halnya bagi Paulus.

Pengetahuan tentang Kitab Suci, dunianya, dan tentang Kristus yang disalibkan dan bangkit membentuk Paulus menjadi rasul misionaris yang agung bagi bangsa-bangsa lain. Demikian pula, elemen-elemen ini layak diprioritaskan dalam membentuk misionaris masa depan bagi Kristus. (t/Jing-Jing)

[1] J. Mandryk, Operation World, edisi ke-6 Downers Grove: IVP 11.
[2] BS Rosner, "'Written for us': Paul's View of Scripture" dalam A Pathway into the Holy Scripture Diedit oleh David Wright dan Philip Satterthwaite (Grand Rapids: Eerdmanns/Paternoster, 1994), 81-105.
[3] Lihat lebih lanjut R. Buth dan S. Notely, editor. The Language Environment of First Century Judea: Jerusalem Studies in the Synoptic Gospels (Leiden: Brill, 2013).
[4] Lihat lebih lanjut C. Stanley, Paul and the Language of Scripture: Citation Technique in the Pauline epistles and Contemporary Literature (SNTSMS 69; Cambridge: CUP, 1992).
[5] BW Winter, Philo and Paul among the Sophists (SNTMS 96; Cambridge: CUP, 1997).v[6] Lihat lebih lanjut JK Chow, Patronage and Power: A Study of Social Networks in Corinth (JSNTSS 75; Sheffield: Sheffield Academic, 1992).
[7] J. Murphy-O'Connor, Keys to First Corinthians: Revisiting the Major Issues (Oxford: OUP, 2008), 20-31.
[8] Lihat lebih lanjut Stanley E. Porter dan Sean A. Adams, editor. Paul and the Ancient Letter Form (6 MASA LALU; Leiden: Brill, 2010).
[9] SE Porter, "Did Paul speak Latin?" di Paul's World, diedit oleh SE Porter (PAST 4; Leiden: Brill, 2008), 289-309.
[10] SE Porter, "The Languages that Paul did not speak" dalam Paul's World , diedit oleh SE Porter (PAST 4; Leiden: Brill, 2008), 131-50.
[11] Lihat lebih lanjut B. Corley, "Interpreting Paul's Conversion -- Then and Now" dalam The Road from Damascus: The Impact of Paul's Conversion on His Life, Thought, and Ministry (RN Longenecker, ed.; Grand Rapids/Cambridge, UK :Eerdmans, 1997), 1-17.
[12] Lihat lebih lanjut, SJ Hafemann, Suffering and the Spirit: An Exegetical Study of 2 Corinthians 2:14-3:3 in the Context of Corinthian Correspondence (WUNT 2.19; TuÌbingen: Mohr [Siebeck], 1986).

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Training Leaders International
Alamat situs : https://trainingleadersinternational.org/jgc/13/three-influences-in-the-training-of-paul-the-missionary-apostle
Judul asli artikel : Three Influences in the Training of Paul, the Missionary Apostle
Penulis artikel : H.H. Drake Williams, III
Kategori: 
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA