Sikap Orang Percaya Terhadap Krisis
Setiap manusia yang ada di dalam dunia ini tidak bisa lepas dari kesulitan, tantangan, dan penderitaan. Karena hal-hal tersebut di atas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, maka kesulitan, tantangan, dan penderitaan harus disikapi dengan benar, karena kalau tidak, akan berkembang menjadi krisis. Norman Wright, seorang penulis dan psikolog Amerika yang ternama, mengatakan bahwa ke mana pun ia pergi, ia selalu bertemu dengan orang-orang yang mengalami stres, depresi, sikap yang panik dan tak berdaya, dan ingin melarikan diri dari masalah-masalah yang ada, sehingga ia cenderung berdoa, "Tuhan, angkatlah segala permasalahanku." Menurut Norman Wright, semua gejala di atas merupakan ciri-ciri dari orang yang mengalami krisis aktif.
Bagaimanakah seharusnya seorang percaya membangun sikap yang benar terhadap krisis, sehingga krisis tidak berkembang menjadi suatu kekuatan negatif yang merusak dirinya? Untuk itu, kita akan belajar dari teladan Tuhan Yesus sendiri dalam menghadapi krisis.
Lukas 22:39-46 menceritakan akan masa-masa akhir pelayanan Tuhan Yesus di muka bumi. Di dalam kemahatahuan-Nya, Dia tahu bahwa sebentar lagi Dia akan ditangkap, disiksa dan disalibkan. Walau Kristus mengetahui bahwa dalam menghadapi segala sesuatu Bapa di Surga selalu menyertai-Nya, tapi ketika waktu-Nya akan tiba, Dia tetap merasa gentar. Dan kegentaran itu mencapai puncaknya pada malam terakhir, sebagaimana yang dicatat oleh Lukas bahwa di tengah-tengah pergumulan-Nya, Dia mencucurkan keringat darah dan tampaklah seorang malaikat memberikan kekuatan kepada-Nya (ayat 43).
Tentang pergumulan Tuhan Yesus yang dahsyat ini, penulis Ibrani juga menulis: "Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah." (Ibrani 12:3-4)
Bagaimana sikap Tuhan Yesus dalam menghadapi krisis?
Pertama, Yesus berdoa: "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku …" (ayat 42). Apakah doa Tuhan Yesus ini menyatakan bahwa Dia ingin menghindarkan diri dari misi-Nya mati di atas kayu salib? Atau apakah doa itu menunjukkan bahwa Dia ragu-ragu untuk melanjutkan pekerjaan-Nya, sehingga ada kesan Dia ingin menyerah di tengah jalan? Sekali-sekali tidak. Tapi justru dengan berkata-kata seperti di atas, kita mendengar suatu doa yang jujur: Apakah kematian di atas kayu salib merupakan satu-satunya cara menyelamatkan manusia berdosa? Doa Tuhan Yesus menjadi contoh dari seorang yang jujur dan terbuka terhadap Allah. William Barclay berkata: "Bukanlah suatu hal yang salah bila kita mengungkapkan perasaan kita yang sesungguhnya terhadap Allah." Hanya mereka yang jujur terhadap Allah, baru dapat jujur terhadap diri sendiri dan sesamanya. Hanya mereka yang terbuka terhadap Allah, baru dapat terbuka terhadap diri sendiri dan sesamanya.
Kedua, Yesus menegaskan kembali akan komitmen-Nya terhadap kehendak Bapa. "… tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (ayat 42). Walau Kristus mempertanyakan adanya alternatif lain dalam menggenapkan misi-Nya untuk menyelamatkan orang yang berdosa, namun pada saat yang sama, Dia menegaskan kembali akan komitmen-Nya terhadap kehendak Bapa di Surga. Meski jalan salib ini sulit, tapi kalau itu kehendak Bapa, Kristus rela menerimanya. Ini adalah suatu ketaatan yang mutlak. Sikap yang demikian juga perlu kita perlihatkan terhadap Allah. James C. Dobson menulis: "Pertumbuhan dalam kehidupan orang Kristen terletak pada ketaatannya dalam masa-masa krisis."
Ada banyak peristiwa yang menakutkan yang setiap saat bisa menimpa kita, tapi jika itu seizin Tuhan, kita akan belajar menerimanya dengan sukacita. Maka: "Janganlah berdoa untuk kehidupan yang mudah, berdoalah menjadi orang yang lebih kuat. Janganlah berdoa untuk tugas-tugas yang sesuai dengan kekuatan Anda, berdoalah untuk kekuatan yang sesuai dengan tugas-tugas Anda" (Philip Brooks).
Lagi pula, dalam mengizinkan berbagai kesulitan dan tantangan dalam kehidupan anak-anak-Nya, Tuhan ingin melatih kita supaya menjadi orang-orang percaya yang kuat. Mensius, salah satu murid Konfusius yang terkemuka, melihat kebenaran ini dan mengungkapkan demikian: "Jikalau langit memberikan tugas yang berat kepada orang tertentu, maka orang itu pasti diberikan kesengsaraan besar, dilatih sampai semua ototnya lelah, dan hatinya penuh kepedihan, barulah dia akan menjalankan tugasnya."
Bagi orang beriman, kita harus percaya bahwa tidak ada masalah yang lebih besar daripada Allah, dan tidak pernah ada problem manusia yang lebih besar daripada solusi Allah. Kesempitan kita adalah kesempatan bagi Tuhan. Oleh sebab itu, marilah kita belajar memunyai ketetapan hati dalam dunia yang terus bergolak ini. Ketiga, Yesus diteguhkan kembali. Setelah berdoa, Dia berkata kepada murid-murid-Nya: "Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat" (Markus 14:42). Di taman Getsemani kita melihat suatu pemandangan yang kontras: Yesus memasuki taman Getsemani dalam kegelapan; Dia keluar dari sana dalam terang karena Dia telah berbicara dengan Allah.
Yesus memasuki taman Getsemani dengan pergumulan; Dia keluar dari sana dengan damai di dalam jiwa-Nya karena Dia telah berbicara dengan Allah. Maka betapa pentingnya doa bagi orang Kristen. Kebiasaan berbicara dengan Tuhan secara intim perlu kita kembangkan. Cho Yonggi, pendeta sejuta umat di Korea Selatan, berkata: "Bagiku doa sangat penting. Doa akan menjawab semua persoalanku." Hal yang sama juga diutarakan oleh Martin Luther: "Doa adalah hal yang terpenting dalam hidupku. Apabila aku tidak berdoa, maka aku akan kehilangan api iman."
Josephus, sejarawan Yahudi yang amat tersohor, setelah menyaksikan berbagai bentuk penganiayaan sadis yang menimpa orang-orang Kristen di awal kekristenan, menulis demikian: "Saya tidak bisa mengerti, pada waktu singa menerkam orang-orang Kristen, mereka tetap memunyai wajah-wajah yang tenang, hati yang begitu stabil dan terus memuji Yesus Kristus. Sebelum mati, suara pujian tidak henti-hentinya keluar dari mulut para martir."
Kita dapat mengasumsikan bahwa jika orang-orang Kristen itu dapat dengan tabah menghadapi semua siksaan yang ada, ini dikarenakan mereka semua telah terlebih dahulu berbicara dengan Allah, dan seperti yang Tuhan Yesus alami, mereka juga memperoleh ketenteraman yang amat besar dalam jiwa mereka dari Allah. Hanya orang Kristen yang memunyai damai dari Tuhan, baru mampu dengan tenang menghadapi semua tantangan hidup. Karena itu, perlu kita mengingat nasihat penulis Ibrani yang berkata: "Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya." (Ibrani 4:16)
Berbagai krisis yang sedang menimpa negara Indonesia kelihatannya belum akan segera berlalu. Dan sebagaimana yang telah kita lihat dan alami bersama, krisis ini telah membawa berbagai dampak negatif dalam kehidupan anak-anak Tuhan. Walau demikian, kita tidak perlu berkecil hati dan putus asa, karena seperti Bapa menyertai Tuhan Yesus, Dia juga akan menyertai kita. Tuhan Yesus tidak akan membiarkan kita yatim piatu.
Pada saat kita mengalami jalan buntu dan kita tidak tahu bagaimana harus berdoa dan menyelesaikan permasalahan kita, kita perlu mengingat perkataan Paulus dalam Roma 8:26: "Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya kita harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tak terucapkan."
Orang Kristen mungkin menghadapi situasi yang berada di luar kemampuannya, tetapi perlu diingat bahwa ia tak pernah di luar kemampuan Allah. Pada akhirnya, Denis Waitley berkata: "Krisis merupakan suatu kesempatan untuk mengendarai angin yang berbahaya. Pandanglah krisis sebagai suatu kesempatan atau batu loncatan untuk menggapai bintang."
Diambil dari:
Nama situs | : | GKA Gloria |
Alamat URL | : | http://gkagloria.or.id/artikel/a01.php |
Judul artikel | : | Sikap Orang Percaya Terhadap Krisis |
Penulis | : | Pdt. William Liem |
Tanggal akses | : | 3 Agustus 2011 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA