Rangkuman Diskusi PKS Maret/April 2008

PKS MARET/APRIL 2008

Termin I

Topik I. CINTA DAN PERNIKAHAN.

Ketika pasangan Kristen menikah, apakah pernikahan tersebut harus berdasarkan pada cinta "eros"? Apakah pernikahan yang dulunya tidak dimulai dengan cinta, maka sesudah menikah cinta dapat bertumbuh kemudian?

Menikah adalah mandat Allah agar manusia melaksanakan kehendak-Nya dengan membentuk lembaga keluarga. Dalam prisip Kristen, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih, termasuk cinta dalam kualitas "eros". Jenis cinta "eros" ini merupakan manifestasi atau bentuk lain dari kasih Allah, "agape", yang praktis dan realistis. Dalam pernikahan, dituntut kesepadanan dan keseimbangan pasangan, yang diukur melalui kedewasan dan kemapanan pribadi dalam berbagai aspek. Motivasi pernikahan adalah rasa hormat terhadap lembaga pernikahan bagi kemuliaan Allah.

Umumnya, proses pernikahan diawali dengan ketertarikan fisik dan hasrat yang manusiawi. Ketertarikan ini membuka jalan ke pendekatan, "pacaran". Hubungan kedua pribadi yang sudah matang ini diikat dalam komitmen yang lebih sakral, yaitu pernikahan. Pernikahan adalah awal pembentukan lembaga keluarga yang akan menjadi komponen sosial. Pernikahan adalah perayaan cinta. Cinta perlu diungkapkan dalam rumah tangga dan komponen di dalam rumah tangga itu harus dicintai. Pasangan pernikahan harus memeliharan cinta dalam rumah tangga mereka.

  1. Apakah pernikahan harus berdasarkan pada cinta?
  2. Dalam pandangan yang tidak berimbang, "eros" hanya dianggap masalah seks belaka. Namun, bila tanpa "eros", seseorang akan merasa hampa? "Eros" adalah "aksesoris" rumah tangga yang paling sempurna. Meskipun terkadang irrasional, eros merupakan tali pengikat yang paling kuat dalam pernikahan. Betapa istimewa dan bahagianya jika rumah tangga beralaskan cinta. Tetapi, perlu diingat, "eros" bukan alasan satu- satunya untuk menikah dan juga bukan segala-galanya dalam pernikahan.

    Realitasnya, selain karena cinta, pernikahan seringkali juga di dasarkan pada faktor-faktor lain. Selain faktor kebutuhan, psikologi dan panggilan kemanusiaan, pertimbangan kultural dan keluarga, status, keturunan, ekonomis, atau lainnya; juga merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan. Demikian juga dengan prinsip atau "cara pandang" terhadap pernikahan itu sendiri.

    Meskipun keputusan menikah dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi pada prinsipnya, jika tidak ada yang "menarik" baik secara fisiologis, psikologis, sosial, dan ekonomi, lebih baik menunda pernikahan. Atau boleh saja mengabaikan pernikahan karena ada tuntutan yang lebih tinggi dari pernikahan itu sendiri. Misalnya, karena tuntutan dalam tugas-tugas sakral - Keimamam Katolik, Biksu Budha, dst.

    Dalam kasus-kasus tertentu, pernikahan tanpa cinta dimotivasi oleh harta dan status serta sebab-sebab dominan lainnya. Gejalanya adalah, seseorang tertarik pada lawan jenis "hanya" karena, fisik, status sosial, ekonomi dan kelebihan lainnya. Atau dalam kasus tertentu, misalnya pernikahan yang di dijodohkan.

    Perlu selalu diingat, meskipun pernikahan telah dilandaskan cinta, dalam prosesnya, jika tidak dipelihara, maka dengan sendirinya pernikahan itu akan runtuh.

  3. Apakah pernikahan yang dulunya tidak dimulai dengan cinta, maka sesudah menikah cinta dapat bertumbuh kemudian?
  4. Cinta dalam kualitas "eros" bukanlah syarat mutlak untuk sebuah pernikahan yang berhasil -- Namun, ada baiknya membuka jalan kepada pernikahan dengan "eros", asal kualitas "cinta manusiawi" ini memotivasi pasangan untuk meresponi kasih "agape", cinta tanpa pamrih.

    Seringkali pernikahan yang diawali tanpa cinta dapat berhasil. Dalam pernikahan seperti ini, sesaat menikah, pasangan harus mulai belajar mencintai sambil mengingat bahwa menikah adalah suatu proses menuju cinta sejati.

    Dasar penentu agar pernikahan tanpa cinta bertahan dan berhasil, adalah kualitas kehidupan rohani pasangan yang mapan. Sehingga mampu menyelami, bahwa pernikahan yang telah terjadi adalah atas Kehendak Tuhan dan telah diserahkan ke hadapan Tuhan. Sambil mengingat, bahwa "pernikahan mereka itu adalah rencana Allah yang harus dijalankan dalam ketaatan."

    Itulah sebabnya, pernikahan tanpa cinta, dalam hal-hal tertentu bukan sebuah masalah. Karena, cinta dapat saja tumbuh dengan iringan waktu. Lagipula, secara psikologis, ada "bibit" cinta yang mampu mengalahkan "ego" setiap orang.

    Pengalaman kehidupan rohani dalam pernikahan seperti ini akan memampukan seseorang untuk mencintai "Tanpa Mengharapan atau menuntut secara berlebihan." Atas dasar ini, kualitas "eros" mestinya bisa ditundukkan di bawah "agape".

    Benarlah anggapan bahwa, pasangan Kristen "tidak harus" menikah karena alasan "erotisme". Sebab, pasangan yang menikah dengan kasih yang ideal, "agape", seringkali merupakan rumah tangga yang berhasil. Cinta "agape" menundukkan segala harapan dan hayalan yang muncul secara "erotis" dan tidak terkendali itu.

    Dalam pengertian ini, lembaga pernikahan bukan sekadar aktivitas seks, hidup bersama, melahirkan anak, membesarkan anak dan seterusnya; tetapi berupaya menjadikan pernikahan itu sebagai sebuah lembaga ilahi, untuk mengerjakan maksud-maksud Allah di dalamnya. Keluarga seperti ini akan selalu berharap dan percaya bahwa Tuhan akan memimpin keluarga mereka baik suka maupun duka. Pasangan ini selalu mengingat janji yang sudah diucapkan di depan Allah, Gereja dan Jemaat-Nya, sebagai jaminan pemeliharaan Allah. Dalam segala keadaan; baik-buruk, kurang-lebih, perang- damai, lapar-kenyang, dsb., pasangan ini harus bersama-sama. -- Mengingatkan! Agar setiap pasangan nikah Kristen mengambil sikap untuk tidak "bertarak", kecuali dalam batas-batas tertentu. Pertimbangan bagi TKW?

    Pernikahan yang tidak karena cinta yang bisa berhasil, harus diusahakan! Cinta harus diterima, dan dibagikan. Cinta adalah anugerah. Cinta tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi dibagikan kepada pasangan Anda! Sikap seperti ini akan menumbuhkan cinta sejati, meskipun awalnya tidak ada alasan untuk berharap.

    Praktisnya, rumah tangga yang dimulai tanpa cinta harus dijalankan oleh pasangan tersebut bersama Tuhan. Hadirkan Tuhan dalam kehidupan rumah tangga Anda. Tanpa Dia, kasih manusiawi dan ilahi tidak akan menajdi kenyataan. Hanya "eros" saja, bukanlah dasar yang teguh untuk mengarungi bahtera pernikahan. Sebaliknya, "agape" harus menjadi alasan melakukan "eros".

    Dengan demikian, tidak masalah, apakah pernikahan dimulai dengan "eros" atau tidak. Karena pernikahan sejati akan menumbuhkan cinta sejati secara bertahap. Ya, misalnya, kelahiran anak-anak merupakan salah satu pemicu rasa cinta dan tanggungjawab.

    Peringatan! Tidak dapat dipungkiri bahwa pernikahan yang bukan karena cinta adalah pernikahan berbahaya. Kondisi ini terkait dengan masa depan yang tidak mungkin diprediksi. Jika pernikahan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan "kasat" mata, namun prosesnya tidak seperti yang dibayangkan, akan menyebabkan pernikahan menjadi tidak menentu. Resiko yang mungkin terjadi adalah, alasan "tidak ada cinta" menjadi pembenaran untuk kegagalan pernikahan. Tetapi, sikap ini bukan milik orang percaya. Seperti pepatah Jawa, "Tresno jalaran soko kulino." Kebersamaan yang berlandaskan "pengabdian, komitmen dan takut akan Tuhan" akan menumbuhkan cinta.

    Ilustrasinya: "Pernikahan ibarat dua orang pemodal yang akan mendirikan sebuh Perusahaan yang prospektif. Meskipun modal keduanya tidak banyak, tetapi ketika keduanya menggabungkan modal usahanya dan bertekad untuk bertanggungjawab mengelolanya dengan baik dan maksimal, maka, impiannya bisa tercapai." Begitu?

    Kasus: "Pernikahan yang Dijodohkan"

    Bagi beberapa golongan, dijodohkan itu dianggap tidak adil, atau melanggar hak dasar. Tetapi, anggapan itu tidak sama dengan pernikahan atas dasar pemaksaan. Hanya saja, perjodohan merupakan proses mencintai "secara diarahkan".

    Malahan, di kalangan tertentu, perjodohan adalah istimewa. Meskipun perjodohan dianggap pernikahan tanpa cinta, tetapi pengingkaran pernikahan yang berujung pada perceraian jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh "kesan" bahwa perceraian adalah "aib" keluarga. Dengan demikian, pernikahan yang sah itu, meskipun bukan atas dasar cinta, harus dijaga demi kehormatan keluarga. Ikatan pernikahan dengan latar belakang seperti ini lebih mementingkan kehormatan sosial dan hukum ketimbang perasaan yang seringkali tidak realistis.

    Meskipun tidak dapat di abaikan, bahwa ada permasalahan yang mengancam. Seringkali juga perjodohan menjadi "aib" pribadi dan keluarga, misalnya, "selingkuh itu indah."

    Catatan: Agar mendapatkan rangkuman yang lebih baik dan lengkap, silahkan membaca kembali hasil diskusi topik ini dalam Mailbox Anda masing-masing dan kembangkan dengan sumber-sumber yang baik.

    Perangkum: Riwon Alfrey

Topik 2. SALAH PILIH?

Meskipun kita sudah menikah secara Kristen, kadang masih timbul perasaan bahwa kita telah salah memilih pasangan, terutama karena secara umum kehidupan pernikahan kita tidak bahagia. Apakah peranan Tuhan dalam pemilihan pasangan? Bukankah Tuhan seharusnya memilihkan pasangan yang terbaik bagi kita? Mungkinkah kita yang salah pilih?

Secara teologis, Allah telah memperlengkapi manusia dengan sarana "free will", yaitu "pikiran, perasaan dan kehendak." Ketiga sarana ini dapat dimanfaatkan untuk membuat keputusan secara bebas namun terikat! Kehendak bebas manusia harus digunakan berdasarkan pertimbangan hukum dan hati nurani serta Alkitab sebagai "standard"nya.

Keputusan manusia yang terbaik adalah keputusan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan "keadaan dan level pengetahuannya." Keputusan semacam ini bersumber dari pengetahuan dan hikmat Allah. Hanya saja, keputusan seseorang akan berbeda jika terjadi intimidasi atau ketidaksadaran.

Bagi orang Kristen, Roh Kudus adalah Jaminan dan Penolong utama dalam membuat sebuah keputusan.

Tentang memilih pasangan nikah, orang percaya harus melibatkan Tuhan dalam menentukan kriteria pasangannya. Sikap ini bisa diawali dengan doa dan permohonan yang tulus. Pilihan Tuhan, pastilah pilihan yang terbaik. Dalam memilih, Tuhan selalu benar. Dalam mengarahkan pasangan jodoh, Tuhan akan menyingkapkan tanda-tanda dan proses yang jelas. Tuhan menekankan pilihan yang realistis, harus antara laki-laki dan perempuan yang seimbang dan sepadan dalam berbagai aspek. Dalam pernikahan, bahkan dalam kasus "dijodohkan", selalu merupakan pilihan terbaik. Hanya saja, "caranya" yang berbeda.

Dalam hal menetapkan pilihan, Tuhan bisa menggunakan beragam kejadian untuk menggenapi rencana-Nya bagi seseorang. Mungkin saja melalui orang terdekat atau kejadian-kejadian terencana dan yang tidak disengaja. Misalnya, pasangan hidup Anda di jumpai dalam suatu pertemuan. Atau pada saat terjadi masalah, dlsb.

Memang, Tuhan tidak menetapkan rincian mendetail mengenai pasangan kita. Namun, orang percaya harus menyadari dalam segala sisi kehidupan, apa lagi dalam perkara besar seperti pernikahan, tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Artinya, Allah terlibat bersama untuk memilih secara tepat pasangan nikah kita. Sebab, jika kita percaya kepada Tuhan, maka tentu pasangan yang kita ambil datangnya dari Tuhan. Dengan melibatkan Tuhan, kita dapat memilih seseorang yang tepat sesuai kehendak-Nya untuk menjadi bagian hidup kita dalam pernikahan sebagai wujud karunia yang mendatangkan kebaikan yang harus diterima secara bertanggungjawab.

Proses perjodohan seringkali sangat sederhana. Dimulai dengan pandangan pertama yang menciptakan kertertarikan dan perkenalan. Karena secara emosional, merasa sejodoh sehingga perkenalan itu diikat dalam keputusan pernikahan. Diharapkan, setelah pernikahan itu, keterbukaan untuk saling mengenal dan melengkapi harus semakin mendalam.

Tentang perasaan telah "salah memilih pasangan", secara teori, tidak realistis. Sebab, mustahil bisa memilih tanpa mempertimbangkan objek pilihannya, apalagi mengambil pasangan nikah. Lagi pula, keputusan menikah adalah keputusan dua pihak; keputusan dua orang yang berbeda. Selain itu, belum pernah(?) ada kasus pernikahan yang dilakukan secara mendadak, di menit pertama pertemuan. Semua atas dasar pertimbangan. Kecuali kasus-kasus "tertentu" yang tidak prosedural. Anggapan yang rasional adalah, bukan telah "salah pilih", tetapi tidak ada panduan dalam "menetapkan" kriteria pasangan yang disebut "seimbang dan sepadan" itu. Prinsipnya jelas, "Berjalankan dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?" (Amo. 3:3).

Jika pasangan nikah terus-menerus merasa "salah pilih", kesalahan ada di pihak diri pasangan itu sendiri. Mungkin mereka telah mengabaikan bimbingan Firman Tuhan dalam membuat keputusan menikah dan menetapkan kriteria pasangannya sebelum mereka menikah. Atau, bisa jadi, perasaan "salah pilih" itu adalah "penghukuman" atas ketidaktaatan pasangan tersebut sebelum dan selama mereka menjalakan pernikahan. Catatan: Kasus perasaan "salah pilih" ini akan berbeda jika pasangan memiliki ketidakstabilan tertentu dalam jiwa dan raga serta kelemahan-kelemahan manusiawi lainnya.

Seringkali perasaan "salah pilih" adalah adalah bentuk ungkapan emosi pribadi yang belum atau tidak stabil. Biasanya muncul setelah berakhirnya masa "bulan madu" pernikahan. Sikap ini yang timbul karena kehidupan setelah menikah tidak sesuai dengan harapan dan angan-angan. Selain itu, karena ada kekurangan yang benar-benar "menjebak" pernikahan. Contohnya, penyakit dan kecacatan "tertentu" yang tidak mungkin ditolerir, tetapi disembunyikan sebelum menikah -- "menipu" pasangan.

Perasaan "salah pilih" semakin kuat ketika pasangan menjadi egois dalam prinsip masing-masing, sering "berantem", perselingkuhan, KDRT, dll., serta atas dorongan pihak lain, misalnya, "keluarga besar" yang turut campur dalam masalah keluarga.

Walau demikian, bila berpegang pada Tuntunan Allah, dalam pernikahan, seharusnya tidak ada kata-kata dan anggapan, bahwa pasangan Anda "bukan jodoh". Karena, menikah bearti menjadi "satu". Bahkan pasangan yang tidak seiman pun akan diberkati dan dipakai oleh Tuhan bagi kemuliaan nama-Nya. Jika ada kelemahan di satu pihak, hal itu merupakan kelemahan bersama dan kelemahan pribadi yang dapat disempurnakan oleh Tuhan yang melembagakan pernikahan itu. Sudah seharusnya, pasangan nikah yang sudah diberkati di Gereja, dihadapan Allah, menyadari, bahwa mereka telah meminta izin kepada Allah agar "pilihan sukarela" mereka untuk saling mencintai itu diteguhkan dan diberkati oleh Allah. Pemberkatan pernikahan di Gereja jangan dianggap seremonial belaka oleh semua orang percaya! Karena anggapan inilah, banyaknya pernikahan Kristen yang gagal, dan kemudian menyalahkan Tuhan, dengan alasan, merasa tidak berjodoh.

Apabila timbul permasalahan rumah tangga, yang membuat pernikahan tidak bahagia, seharusnya dimaknai bahwa, hal itu bukan berarti "salah pilih". Kebahagiaan adalah usaha berdua, bukan hanya masalah sepihak, pasangan kita saja. Kebahagiaan pernikahan bukanlah suatu "hasil" tapi "pilihan". Kita ingin bahagia atau tidak, tergantung bagaimana kita menyikapi keadaan rumah tangga kita. Apakah kita memilih menang atas masalah atau tenggelam bersama masalah itu? Inilah resiko pernikahan.

Perlu diingat, jika pernikahan Anda sesuai kehendak Tuhan, maka, Tuhan akan memelihara pernikahan itu. Dalam lembaga pernikahan, Tuhan berkehendak agar rumah tangga hamba-hambanya yang setia, berbahagia. Karya Tuhan untuk membuat rumah tangga hamba-hamba-Nya berbahagia tidak dapat dihalangi oleh kelemahan-kelemahan masing- masing pasangan pernikahan itu. Jika manusia ciptaan-Nya baik, maka lembaga pernikahan manusia itupun akan baik dan bahagia. Di dalam Tuhan, tidak ada pasangan nikah yang salah. Ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria atau kondisi-kondisi pasangan nikah yang jauh dari knyataan bukanlah halangan untuk menjadi rumah tangga yang ideal dan bahagia. Karena, "Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya." (Rom. 8:28). Berbahagialah Anda yang pernikahan di dan sesuai kehendak Tuhan.

Bagaimana Jika Pasangan Merasa "Salah Pilih"?

Memang dalam prinsip ideal, Allah tidak pernah salah menentukan pasangan nikah. Allah pasti memberikan yang terbaik. Prinsip ideal ini sangat efektif bagi pernikahan yang bahagia. Tetapi, bagaimana dengan pernikahan yang kurang beruntung? Misalnya, sebuah rumah tangga yang sejak awal pernikahan selalu timbul tanda-tanda dan alasan-alasan untuk mengatakan pernikahan itu "salah pilih" menjadi sangat nyata. Dalam pernikahan ini, muncul berbagai malapetaka, kesulitan dan penderitaan fisik dan bathin pasangan, sehingga kehidupan pernikahan sangat merosot. Kondisi ini akan membuat pasangan untuk memikirkan ulang pernikahan mereka. Ya, mungkin pasangan ini akan berkata, "kita telah salah pilih!" dan sebagainya?

Kasus lain, bisa saja seseorang menikahi pasangan yang bukan atau tidak direstui Tuhan. Karena dipilih dengan dasar "instink" atau karena mengikuti siklus hidup (lahir, besar menikah dan beranak cucu dan meninggal) dan hanya mengandalkan "free will" yang duniawi serta jauh dari pertimbangan rohani. Alasan-alasan yang tidak rohani ini menjadi pemicu seseorang menjadi salah dalam bertindak sembrono, termasuk dalam mengambil pasangan nikah.

Kesalahan seseorang dalam mengambil keputusan menikah, karena beberapa faktor, misalnya:

  1. Kepribadian. Sikap yang tidak stabil dapat mempersulit pengambilan keputusan.
  2. Tidak ada bimbingan.
  3. Faktor kemendesakan, "tidak ada pilihan".
  4. Faktor di luar perencanaan atau "kecelakaan".
  5. Mengambil "keputusan" atas dasar emosi, bukan "pertimbangan".
  6. Perasaan berdosa dan luka batin.
  7. Tidak memenuhi prinsip-prinsip Alkitabiah
  8. Keegoisan pribadi.
  9. Dunia kegelapan.
  10. Tekanan sosial dan pihak lain.

Sepuluh faktor ini berpotensi menjadi konflik pernikahan dan keluarga yang bermuara pada perasan "salah pilih". Ironisnya, pernikahan keluarga Kristen tidak bersih dari faktor-faktor ini.

Namun, Sebagai orang percaya, bukanlah hal yang penting apakah kita "salah pilih" atau tidak, yang terpenting adalah, bagaimana kita mempertahankan pernikahan yang telah terjadi. Teguhkan pernikahan Anda dengan cinta, rasa saling percaya dan saling mendukung, dan doa. Dengan tidak melupakan, bahwa Yesus Kristus harus menjadi Tuhan rumah tangga itu. Sambil mengingat juga tentang janji pernikahan dan kekudusan rumah tangga yang telah dibangun di dalam Tuhan itu.

Secara praktis, bagi pasangan yang telah "merasa salah" dalam memilih pasangan, ada beberapa saran yang efektif untuk memperbaharui komitmen pernikahan Anda, antara lain:

  1. Serahkanlah pernikahan Anda kepada Tuhan dan Ia akan menuntun keluarga Anda. Jadilah pasangan yang memiliki komitmen untuk bertumbuh di dalam anugerah Tuhan setiap hari.
  2. Jika sering terjadi konflik, hadapilah dan selesaikan secara dewasa. Karena selalu ada jalan keluar atas suatu masalah. Jangan lupa melibatkan Tuhan untuk mendapatkan jalan keluarnya.
  3. Jangan bercerai, termasuk bagi pasangan yang tidak seiman (1 Kor. 7:12-13), sebab, "Tuhan membenci perceraian." (Mal. 2:16), karena "apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh diceraikan manusia." (Mat. 19:6). Kecuali karena kasus-kasus yang telah ditetapkan secara gerejawi. Jika ada ancaman perceraian, ingatlah, lembaga pernikahan layak dihormati dan dipertahankan.
  4. Walaupun merasa "salah pilih", namun, jika Anda mau menundukkan diri di bawah otoritas Tuhan yang sudah menetapkan sebuah pernikahan, maka, Tuhan Yesus akan mengubah semua "ketidaknyamanan" pernikahan Anda menjadi berkat yang ajaib. Kuncinya adalah:
    1. Jangan berpikir bahwa pasangan nikah "bukan jodoh" kita dengan alasan apapun.
    2. Jangan mengedepankan perbedaan, tetapi, cari kesamaan.
    3. Jangan memelihara masalah, tetapi menyelesaikannya.
    4. Bangunlah hubungan yang akrab dengan Tuhan.
    5. Tekun mendoakan pasangan dan keluarga Anda.
    6. Minta Roh kudus untuk menguatkan supaya bisa mengasihi dengan tulus dan sungguh-sungguh.

Catatan: Agar mendapatkan rangkuman yang lebih baik dan lengkap, silahkan membaca kembali hasil diskusi topik ini dalam Mailbox Anda masing-masing dan kembangkan dengan sumber-sumber yang baik.

Perangkum: Riwon Alfrey

Termin III

Topik 1. ORANG TUA DAN ANAK.

Orang Tua dan Anak Saat ini ada banyak keluarga Kristen yang kedua suami istri harus bekerja di luar rumah, sehingga harus meninggalkan anak-anak pada kakek/nenek (keluarga) atau babysitter. Apakah ada pengaruh negatif dari keadaan ini, dan bagaimana mengatasinya? (Jumlah Posting: 57 surat)

Ada beberapa hal penting yang dibahas dalam diskusi tentang pertanyaan di atas:

  1. Masa pertumbuhan emas anak
  2. Beberapa peserta menyetujui teori pendidikan yang mengatakan bahwa masa pertumbuhan emas anak (golden age) adalah antara umur 0 s/d 7 tahun, karena pembentukan kapasitas otak anak masih berkembang dengan pesat pada umur-umur ini. Pada usia ini otak anak akan menyerap apa saja yang disodorkan oleh lingkungannya, khususnya lingkungan anak tinggal (keluarga), baik untuk hal-hal yang jelek atau baik. Karena itu orang tua harus memberikan perhatian yang paling besar pada usia- usia ini, terkhusus untuk hal-hal rohani supaya terbentuk fondasi iman yang kuat. Hal ini sesuai dengan perintah Alkitab bahwa kita harus mengajarkan ajaran Tuhan berulang-ulang, ketika kita...duduk, berjalan, berbaring, dst. (Ulangan 6:5-8).

  3. Orang tua memiliki tanggung jawab mutlak terhadap anak-anaknya
  4. Semua peserta juga menyetujui bahwa orangtualah yang diberi tanggung jawab mutlak oleh Tuhan untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Orang tua harus memprioritaskan anak-anaknya jika ingin mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan hukum "siapa menabur benih yang baik pada anak-anak, akan menuai yang baik pula nantinya".

    Sebagian besar peserta yakin jika anak dididik oleh orang tuanya sendiri secara intensif dalam takut akan Tuhan, maka mereka akan "bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah." Mendidik anak tidaklah mudah, diperlukan perjuangan, kesabaran dan air mata terutama dalam hal menanamkan arti dan esensi takut akan Tuhan sejak dini. Menyadari ini seharusnya orang tua tidak menyerahkan atau mewakilkan perannya kepada siapapun, termasuk kepada sekolah atau gereja, apalagi kepada seorang baby sitter atau pembantu.

    Proses untuk mendidik anak bertumbuh sesuai dengan firman Tuhan berjalan seperti proses pemuridan. Sangat susah, karena orang tua harus menempatkan dirinya menjadi contoh hidup yang ditiru oleh anaknya secara terus menerus.

    Jadi kesimpulannya, kalau tidak sangat sangat terpaksa janganlah anak diserahkan kepada orang lain, kita harus menjaga titipan Allah sebaik- baiknya! Namun, kita juga harus menyadari tidak mungkin kedua orang tua tinggal di rumah mengasuh anak-anak. Salah satu dari orang tua pasti harus bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya. Maka skenario yang ideal adalah lebih baik ibu yang tinggal di rumah merawat anak-anaknya, karena pada masa kecil ibu lebih dibutuhkan anak daripada ayah. Sepulang bekerja ayah harus berkomitmen memberikan waktu yang berkualitas bagi anak-anaknya.

  5. Keadaan tertentu (khususnya ekonomi) membuat orang tua tidak dapat mendampingi anak secara full time
  6. Namun demikian, peserta juga tidak menyangkal adanya kondisi dan situasi yang berbeda satu dengan yang lain. Ada orang tua yang memang Tuhan pakai untuk mendidik/mendampingi anak secara penuh waktu, namun ada juga orang tua yang harus bekerja dan anak diasuh/dididik oleh orang lain. Dari pengalaman peserta, kedua keadaan ini bisa BERHASIL. Kuncinya adalah selalu menyertakan Tuhan. Toh bagaimana pun tidak mungkin orang tua bisa mengawasi anak-anaknya selama 24 jam penuh. Dengan meminta hikmat dari Tuhan, orang tua bisa tetap memberikan perhatian dan pengajaran yang bisa membawa anak-anak takut akan Tuhan.

    Bila kondisi tidak memungkinkan untuk orang tua mendampingi anak secara penuh waktu, maka dibutuhkan kejelian orang tua untuk memilih pengasuh "terpilih" (nenek, bibi, baby sitter) yang baik. Berdoalah agar Tuhan menolong semua yg terlibat. Yang tetap harus diingat walaupun kedua orangtua bekerja, anak-anak tetap menjadi tanggungjawab penuh dari orangtuanya. Sang anak tidak hanya cukup diberi materi saja, tetapi kasih sayang jauh lebih penting. Orang tua harus selalu mencari waktu kapan saja untuk dapat berkomunikasi dan mengajarkan kebenaran firman Tuhan pada anak.

    Begitu juga jika anak diasuh oleh orang lain (nenek, pengasuh, dll..) Orang tua berkewajiban menkomunikasikan, membina dan memberikan pengetahuan/nilai-nilai kekristenan pada mereka agar mereka dapat menjadi perpanjangan tangan kita untuk mengasuh anak dengan takut akan Tuhan.

  7. Pengaruh negatif dari anak yang ditinggal bersama orang lain karena ayah dan ibunya bekerja
  8. Ada beberapa pengaruh negatif yang disebutkan para peserta pada anak yang ditinggal/diasuh orang lain sementara ayah dan ibunya bekerja:

    1. Anak meniru dan mencontoh hal-hal yang dilakukan oleh pengasuh setiap hari dan hal ini akan tertanam di dalam hati dan di alam bawah sadar anak. Jika pengasuh tidak beriman pada Kristus maka anak akan mudah meniru iman yang lain. Jika pengasuh dari budaya, pendidikan dan kebiasaan yang lain anak akan lebih cepat belajar budaya, pendidikan dan kebiasaan dari pengasuh.
    2. Pengasuh tidak bisa memberikan kasih dan ketulusan yang sama seperti orang tua sendiri. Mereka tidak mempedulikan nilai-nilai yang sama dengan orang tua.
    3. Dari pengalaman para peserta, anak yang diasuh oleh orang lain kadang menunjukkan tanda-tanda seperti berikut:
      1. Tidak teratur
      2. Berani (secara negatif)
      3. Nakal
      4. Suka berteriak
      5. Suka membantah
      6. Suka membalas
      7. Sulit bergaul
      8. Orang tua sering dipanggil guru sekolah karena masalah anak.
      9. Memberontak
      10. Pengaruh kejiwaan
      11. Fisik kurang berkembang
      12. Sulit dikontrol (aktif, tidak mau diam)
      13. Cuek
      14. Tidak ramah dengan teman-temannya
      15. Suka mencari perhatian - minta keinginannya selalu dituruti
      16. Rewel jika pengasuhnya pergi (jangka waktu agak lama)

  9. Bagaimana cara mengatasi jika anak diasuh oleh pengasuh (orang lain)?
  10. Beberapa masukan dari peserta:

    1. Berdoa minta pertolongan Roh Kudus untuk memberikan hikmat.
    2. Pantau kondisi dan keadaan di rumah secara rutin.
    3. Ciptakan komunikasi yang baik dengan semua anggota keluarga, termasuk pengasuh.
    4. Manfaatkan waktu sebaik mungkin ketika bersama anak (berkualitas) misalnya, waktu makan, waktu bermain, sebelum tidur dll.
    5. Memberikan kasih sayang yang cukup untuk anak.
    6. Jangan memanjakan anak dengan materi.
    7. Menciptakan waktu bersama untuk ada dalam hadirat Tuhan dan mengajar Firman Tuhan.
    8. Mengalahkan rasa capai dari pekerjaan untuk bersama dengan anak.
    9. Tanamkan pengertian bahwa Tuhanlah yang memelihara keluarga.
    10. Berikan waktu berkomunikasi lebih banyak pada hari libur.
    11. Usahakan anak bisa mendapat tidur siang supaya anak bisa punya waktu lebih panjang di malam hari dengan orang tua.
    12. Usahakan agar semua PR anak sudah diselesaikan lebih dahulu, sebelum orang tua pulang rumah.
    13. Harus disiplin untuk tidak pulang kerja terlalu malam atau lembur.
    14. Buatlah target keluarga, apa yang ingin dicita-citakan, apa yang ingin dicapai, sehingga harapan keluarga bisa diketahui.
    15. Mengembangkan talenta untuk bisa berwiraswasta di rumah sehingga bisa mengurangi waktu bekerja di luar rumah

Perangkum: Yulia Oeniyati

Topik 2. TUJUAN MEMILIKI ANAK.

Tujuan Memiliki Anak Apakah tujuan keluarga memiliki anak? Banyak orang (orang timur khususnya) berpendapat bahwa memiliki anak penting untuk tujuan investment masa tua. Bagaimana menurut Anda? Bagaimana dengan keluarga yang tidak memiliki anak?] (Jumlah Posting: 61)

Rangkuman Diskusi:

  1. Tujuan Keluarga Memiliki Anak
  2. Tuhan memberikan anak di tengah-tengah keluarga Kristen dengan tujuan khusus yaitu untuk mendidik anak dalam kebenaran akan firman-Nya. Berikut pendapat dari para peserta mengenai tujuan keluarga memiliki anak.

    1. Kemuliaan Nama Tuhan
    2. Melalui anak-anak yang Tuhan berikan kepada keluarga, Tuhan ingin nama-Nya semakin dimuliakan. Hal ini berarti, keluarga (orang tua) bertanggung jawab untuk memelihara dan merawat anak-anak dengan baik, berdasarkan kehendak Tuhan, sehingga kemuliaan Tuhan bisa dinyatakan. Jadi anak-anak yang ada dalam keluarga haruslah mendapatkan perhatian dan pendidikan yang baik sesuai dengan firman Tuhan. Anak-anak yang didik dalam kebenaran firman Tuhan akan menjadi anak-anak yang takut akan Tuhan dan memiliki terang sejati dalam hatinya. Kelak, mereka pun akan menjadi pembawa obor penerang itu kepada generasi-generasi berikutnya, sehingga di manapun keturunan kita berada, disitulah nama Tuhan dimuliakan.

    3. Untuk memenuhi bumi yang telah Tuhan ciptakan ini.
    4. Pendapat ini didasarkan atas firman Tuhan yang terdapat dalam Kejadian 1:28. Saat itu Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk beranak cucu memenuhi bumi dan menguasai/merawat segala yang telah Tuhan ciptakan. Jadi, tujuan keluarga memiliki anak adalah untuk memenuhi perintah Tuhan tersebut.

    5. Sebagai penerus keturunan/ahli waris.
    6. Pada jaman Kitab Perjanjian Lama, anak merupakan penerus nama keluarga maupun sebagai pemilik pusaka keluarga (ahli waris). Anak juga merupakan aset utama utuk membentuk keluarga yang kuat dan berpengaruh. Semakin banyak anak, semakin banyak pula tenaga untuk membantu orang tua mengolah tanah, ternak, dan maju untuk berperang. Sehingga tidak heran jika pada masa PL, orang bisa memiliki istri lebih dari satu. Seperti cerita Hana, karena Hana tidak bisa memberikan penerus keluarga (anak), maka Elkana, suaminya, menikah lagi dengan Penina.

  3. Pendapat Mengenai Anak adalah Investasi untuk Masa Tua
  4. Banyak orang (orang timur khususnya) berpendapat bahwa memiliki anak penting untuk tujuan investment masa tua. Rata-rata peserta kelas PKS kurang setuju dengan pernyataan tersebut. Tuhan memberikan anak di tengah-tengah keluarga bukanlah semata-mata untuk kesenangan dan jaminan orang tua di hari tua. Apa saja pendapat dari para peserta?

    1. Sebagai orang percaya kita tidak boleh kuatir akan hari depan. Orang yang percaya kepada Tuhan tidak akan menggunakan anaknya sebagai investasi jaminan di hari tua. Anak-anak disekolahkan dengan satu tujuan utama, yaitu agar kelak dapat berhasil dan mendapat gaji yang besar dan dengan itu anak dituntut untuk untuk menghidupi orang tua di hari tua. Harus selalu diingat bahwa orang benar tidak akan pernah ditinggalkan Tuhan sampai pada masa tuanya.
    2. Tuhan tidak memberikan anak untuk investasi masa tua, melainkan untuk dididik dalam kebenaran. Anak merupakan karunia yang diberik an Tuhan, dan mereka sepenuhnya milik Tuhan. Oleh karena itu kita harus memeliharanya dengan baik, sepenuh hati, dan dengan cinta yang tulus. Orang tua harus mendidik anak-anaknya untuk takut akan Tuhan dan mengasihi Dia.
    3. Harapan bahwa anak harus membalas pengorbanan orang tua dengan cara menjamin hidup mereka di hari tua justru malah akan mengecewakan. Jika menurut orang tua, anaknya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan semula, maka orang tua akan hidup dalam kesedihan dan kekecewaan. Walaupun banyak pula anak-anak yang dapat memenuhi harapan orang tua, tetapi faktanya banyak orang-orang tua yang mengeluh kecewa kepada anaknya pada masa tuanya karena investasinya tidak kembali sebagaimana yang diharapkan.
    4. Orang tua harus mendidik anaknya agar ketika mereka dewasa mereka juga dapat bertanggung jawab pada keluarganya sendiri. Jika orang tua mendidik anak untuk membalas budi dengan semata-mata menghidupi orang tua di masa tua, maka itu berarti orang tua kehilangan kesempatan untuk mendidik anak-anaknya bertanggung jawab terhadap keluarga mereka sendiri kelak. Justru orang tua harus mendidik anak- anaknya untuk dapat menghidupi keluarga mereka masing-masing.

  5. Keluarga yang Tidak Memiliki Anak
  6. Selain keluarga yang memiliki anak, ada pula keluarga yang tidak dikaruniai anak. Hal ini Tuhan ijinkan terjadi tentu saja bukan tanpa maksud tertentu. Ada pula tujuan khusus yang ingin Tuhan nyatakan melalui keluarga yang tidak memiliki anak. Tentu saja tujuan utamanya adalah nama Tuhan harus tetap dimuliakan, ada maupun tidak ada anak. Bagaimana pendapat para peserta mengenai keluarga yang tidak memiliki anak?

    1. Dapat mengangkat/adopsi anak. Tidak memiliki anak kandung bukan berarti sebuah keluarga tidak dapat memiliki anak. Kita dapat mengadopsi anak dari panti asuhan, anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, anak dari saudara kita, dan lain-lain. Anak-anak yang kita adopsi tersebut menjadi anak kita, yang juga dapat meneruskan nama keluarga/ahli waris dan yang terutama, melalui mereka nama Tuhan juga semakin dimuliakan. Orang tua dengan anak angkat harus tetap mendidik anak tersebut dalam kebenaran firman Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya, sama seperti jika kita mendidik anak kandung kita sendiri. Tetapi, jika memang tidak ingin mengangkat/adopsi anak, maka tidak perlu dipaksakan. Apapun keadaan kita, yang harus dicari adalah kehendak Tuhan.
    2. Tuhan yang menaruh "nyawa" dalam kandungan seorang wanita. Setiap nyawa yang ada dalam rahim seorang ibu tidak terjadi secara kebetulan. Semua terjadi karena ijin dan mutlak adalah kehendak Tuhan. Jika ada keluarga yang sudah lama menikah tetapi tidak dikaruniai anak, harus tetap mengucap syukur dan berserah penuh kepada Tuhan. Apapun yang Dia kehendaki, pastinya baik untuk kita. Anak adalah anugerah Tuhan, tidak memiliki anak juga adalah anugerah Tuhan karena ada rencana Tuhan yang juga indah dalam keluarga tersebut.
    3. Tidak memiliki anak bukanlah sebuah dosa. Bukanlah hal yang penting mencari-cari kesalahan diri sendiri maupun pasangan jika Tuhan tidak atau belum memberikan anak dalam keluarga kita. Jangan pula serta- merta menuduh pasangan yang belum memiliki anak karena memiliki banyak dosa sehingga Tuhan tidak berkenan kepada mereka. Jadi, bagi pasangan yang tidak memiliki anak jangan merasa rendah diri dan terus menerus menyalahkan diri sendiri. Tuhan memiliki rencana yang indah, dan taatlah pada apa yang Dia inginkan terjadi dalam hidup kita.

    Dalam diskusi Termin III ini muncul pula dua pembahasan lain yang cukup menonjol mengenai bayi tabung dan juga program KB (Keluarga Berencana). Ada jawaban yang pro dan kontra dalam hal ini:

    Bayi Tabung

    1. Bukan masalah bagi orang percaya karena bayi tabung merupakan usaha untuk memiliki anak bagi pasangan yang mengalami masalah dalam proses pembuahan.
    2. Tuhan bisa menjawab doa kita untuk memiliki anak melalui proses bayi tabung. Tuhan pun memakai perkembangan teknologi untuk menyatakan kehendak-Nya demi kemuliaan-Nya, termasuk teknologi bayi tabung ini.
    3. Jika kita mengikuti program bayi tabung, maka sepertinya kita tidak percaya dengan kuasa Tuhan yang mampu memberikan kita anak secara alamiah. Tuhanlah yang menenun kita dalam kandungan ibu, itu berarti adanya anak dalam rahim adalah karena kehendak Tuhan, bukan dengan pemaksaan melalui program bayi tabung.
    4. Dikuatirkan, jika mengikuti program bayi tabung, maka janin yang terbentuk tidak hanya satu, sedangkan yang ditanamkan dalam rahim ibu hanya satu janin saja. Itu berarti terjadi pembunuhan terhadap janin-janin lain yang sudah terbentuk namun tidak dalam rahim ibu.
    5. Terjadi penyimpangan jika sperma yang diperoleh untuk pembuahan bukanlah sperma sang suami, tetapi diperoleh dari orang lain.

    Keluarga Berencana (KB)

    1. Pada dasarnya mengikuti program KB bukanlah suatu masalah bagi orang percaya. Selama program KB yang digunakan tidaklah bersifat membunuh atau menggugurkan sel telur dan sperma yang telah mengalami pembuahan, maka hal itu dapat dilakukan.
    2. Dengan program KB bukan berarti kita melanggar perintah Tuhan untuk beranak cucu, bertambah banyak dan memenuhi bumi. Ketika kita memiliki anak, maka kita pun harus cerdik. Beranak cucu bukan berarti sekedar memiliki anak sebanyak mungkin. Bagaimana kita mendidik mereka dengan baik dan benar, bagaimana kita dapat mengukur jumlah anak yang dapat kita didik sesuai dengan kemampuan kita, dan bagaimana kita dapat bertanggung jawab atas setiap anak yang Tuhan berikan kepada kita.
    3. Program KB dapat menunjang terciptanya kebahagiaan keluarga, dimana hak dan peran anggotanya dapat diwujudkan secara memadai. KB, yang intinya mengatur kelahiran, secara filosofis bertujuan untuk melindungi hidup. Kita perlu membatasi hidup. Pandangan ini didasarkan antara lain, bahwa kebahagiaan suatu keluarga bergantung dari tiap anggota, bagaimana ia memainkan peranannya dengan tepat terhadap anggota yang lain.

Perangkum: Davida

TERMIN IV.

Topik I. PERCERAIAN
.

Perceraian Mengapa Tuhan tidak mengijinkan perceraian dalam pernikahan Kristen? Jika keadaan pernikahan sepertinya sudah tidak mungkin dilanjutkan, apakah ada cara lain untuk menyelamatkan perkawinan? Apakah kata Alkitab dalam hal ini? (Jumlah Posting: 63 surat)

  1. Perceraian bukanlah kehendak Tuhan
  2. Pernikahan diciptakan oleh Tuhan dan Alkitab dengan jelas menegaskan bahwa Tuhan menghendaki pernikahan Kristen berlangsung sepanjang hayat. Tapi bagaimanapun, orang Kristen sering tergoda untuk melihat perceraian sebagai salah satu jalan keluar untuk masalah pernikahan mereka. Apa kata peserta tentang perceraian?

    1. Pernikahan adalah suci
    2. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan suci karena itu harus dipertahankan berapapun harganya. Tidak mempertahankan pernikahan artinya melanggar komitmen janji ikatan pernikahan yang sudah dibuat dihadapan Tuhan dan disaksikan di depan jemaat. Pernikahan diikat oleh hukum yang tidak bisa ditawar-tawar untuk dilanggar. Jadi tidak ada kata cerai kecuali salah satu meninggal dunia.

    3. Pernikahan cermin hubungan antara Gereja dan Jemaat.
    4. Allah menghendaki pernikahan sebagai sesuatu yang mutlak, memiliki keeratan hubungan seperti gereja dan jemaat yang tidak mungkin bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Keluarga adalah unsur gereja terkecil. Keluarga adalah pencerminan persekutuan Kristus dengan jemaatnya.

    5. Perceraian menghancurkan keluarga
    6. Perceraian bukanlah cara tepat untuk menangani masalah pernikahan. Perceraian melemahkan semangat, menghancurkan impian-impian dan mencerai-beraikan keluarga. Perceraian juga melemahkan kehidupan karena mengakibatkan kesepian, kepedihan, dendam, sakit hati, kebencian dan kedukaan. Perceraian merupakan pengumuman secara hukum di hadapan umum tentang kehancuran suatu keluarga.

  3. Ayat-ayat Alkitab tentang keluarga, perceraian dan perzinahan
    1. Kejadian 2:18-24. "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
    2. Matius 19:6: "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia"
    3. Mar 10:2-12: "yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia"
    4. Mal. 2:16a: "Aku membenci perceraian,"
    5. Matius 19:7: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."
    6. Roma 7:2,3: Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.
    7. 1 Korintus 7:10: Kepada orang-orang yang telah kawin aku--tidak, bukan aku, tetapi Tuhan--perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.
    8. Mat. 5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

  4. Bagaimana mempertahankan perkawinan yang bermasalah?
  5. Masalah dalam perkawinan memang bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Namun demikian dalam kehidupan Kristen, Tuhan selalu ada di pihak kita dan akan menolong kita mengatasi masalah-masalah yang akan kita harapi asal kita mau taat kepada Tuhan. Berikut ini adalah tanggapan para peserta tentang bagaimana mempertahankan perkawinan yang bermasalah:

    1. Pertama harus bertobat dahulu
    2. Keduanya harus bertobat, dan merendahkan diri dihadapan Tuhan dan mengakui kesalahan masing-masing. Mintalah pengampunan dari Tuhan. Pasti Tuhan akan campur tangan secara ajaib untuk menyelesaikan masalah dan memberikan cinta kasih yang baru.

    3. Tetaplah bertahan dengan mengandalkan Tuhan
    4. Jika masalah sampai terjadi, yang harus ditanyakan adalah keinginan kedua pihak, apakah masih mau berbalik kepada Tuhan atau tetap pada jalannya sendiri, mengandalkan kekuatannya sendiri? Kalau mau berbalik kepada Tuhan, segala sesuatu bisa diperbaiki. Yang penting mendekatlah pada Tuhan dan berpeganglah pada janji-Nya.

    5. Mau menyangkal diri dan bekerja keras
    6. Mempertahankan pernikahan memerlukan perjuangan yg sangat keras. Masing masing pasangan harus berani menyangkal dirinya karena mempertahankan perkawinan merupakan proses untuk saling memberi dan menerima. Keluarga yang kokoh bukanlah nasib, tetapi hasil kerja keras dari: - menerima perbedaan dan kekurangan - mau berkorban untuk apa yang dianggap baik - bersedia belajar komunikasi yang sehat - mengampuni dan melupakan dengan tidak terbatas - kemauan menghadapi masalah bersama - mau membangun rasa humor

    7. Mengikuti konseling
    8. Meminta pertolongan seorang konselor yang terlatih, takut akan Tuhan dan bisa dipercaya supaya terjadi penyegaran dan pembaruan komunikasi di antara suami isteri.

    9. Introspeksi Diri
    10. Kadang bisa membantu kalau untuk sementara suami dan istri berpisah untuk mengadakan introspeksi diri dan mencari hikmat Tuhan dengan bimbingan seorang konselor atau hamba Tuhan yang dewasa. Jangan biarkan konflik terus menguasai kita dan berkembang menjadi konflik-konflik baru. Terbukalah kepada Roh Kudus yang akan memulihkan pernikahan Anda. Landasi niat Anda dengan doa dan terbuka pada firman Tuhan.

    11. Praktikkan kasih
    12. Selama kita mau melibatkan Tuhan dalam permasalahan keluarga kita, maka akan selalu ada jalan keluar. Perceraian bukanlah solusinya. Untuk menyelamatkan perkawinan praktekkan prinsip KASIH dalam I Korintus 13:4-8 dan takut akan Tuhan yang membenci perceraian.

    13. Jangan kawin lagi
    14. Orang Kristen hanya boleh kawin lagi kalau pasangannya sudah meninggal, sesuai dengan tercantum dalam Roma 7:2,3. Namun ada peserta yang menganjurkan walaupun pasangannya sudah meninggal alangkah lebih baik jika ia tetap sendiri untuk mengurusi anak- anaknya (jika anaknya masih kecil) atau menikmati masa tuanya (jika anaknya sudah pada dewasa).

  6. Masalah-masalah sulit dalam perkawinan yang bermasalah
  7. Masalah dalam perkawinan kadang bisa menjadi sangat rumit karena telah melibatkan beberapa pihak lain yang menjadi sebab ataupun menjadi korban. Beberapa masalah yang disebutkan oleh para peserta antara lain:

    1. Bagaimana kalau suami/istri mengijinkan pasangannya berpoligami?
    2. Ada beberapa kasus yang diungkapkan oleh beberapa peserta yang pada intinya menunjukkan bahwa berpoligami adalah pilihan yang mereka ambil.

      Misalnya kasus berikut ini: Istri sahnya tidak mau bercerai dengan alasan kepentingan anak anaknya, akan tetapi suaminya juga tidak mau meninggalkan madunya. Ia sudah ditegur oleh penatua dan gembala, ia tetap bersikukuh untuk mempunyai istri kedua (poligami).

    3. Bagaimana kalau mengancam nyawa atau kebaikan perkembangan anak?
    4. Dalam kasus-kasus tertentu bisa terjadi perceraian adalah jalan yang terbaik bagi semua pihak termasuk demi keselamatan dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Misalnya jika suami seorang penjudi dan pemabuk sehingga sering menyiksa istrinya di hadapan anak- anaknya.

    5. Bagaimana kalau gereja melakukan disiplin kepada jemaatnya yang berpoligami/berselingkuh/bercerai?
    6. Ada pendapat pro dan kontra tentang hal ini. Beberapa kesimpulan telah sangat tepat diambil pleh peserta seperti berikut ini:

      1. Gereja yang dewasa menerapkan disiplinnya secara tegas dengan mengucilkan bahkan memecat jemaat dari keanggotaannya bila orang tsb. telah murtad dan tidak percaya lagi kepada Tuhan Yesus, Allah Tritunggal atau memeluk agama lain.
      2. Tetapi dalam kasus-kasus perilaku moral, biasanya dispilin gereja dilakukan dengan tidak memperkenakan orang tsb. menjadi pengurus atau duduk di dalam kepengurusan gereja (majelis, diaken, ketua organisasi dlsb) atau tidak diperkenankan menjadi aktifis gereja, oleh karena akan menjadi contoh yang buruk bagi anggota gereja lainnya (1Tim 3:12, pejabat gereja harus mempunyai moral yang baik).
      3. Gereja yang dewasa tidak seharusnya memecat mengucilkan atau mengusir anggotanya, atas kesadaran bahwa gereja selama masih di dunia bukanlah kumpulan orang suci, tapi kumpulan orang berdosa yang sedang berproses bertumbuh bersama di dalam anugerahNya menuju kepada kedewasaan rohani di dalam Kristus.

Perangkum: Yulia Oeniyati

Topik II. KELUARGA KRISTEN SEJATI.

Subjek: Keluarga Kristen Sejati Apakah ukuran kesuksesan keluarga Kristen? Mungkinkah keluarga Kristen bisa mencapai idealisme yang diharapkan? (Jumlah posting: 39)

  1. Apakah Ukuran Kesuksesan Keluarga Kristen
  2. Saat membentuk keluarga, pasangan suami istri tentunya ingin memiliki keluarga Kristen yang sukses dan memenuhi tujuan atau kehendak Kristus dalam keluarga tersebut. Apa saja indikasi kesuksesan keluarga Kristen itu? Para peserta PKS telah berdiskusi dan berikut ini hasil rangkuman dari diskusi tersebut.

    1. Keluarga yang hidup seturut dengan firman Tuhan.
      1. Mementingkan kesenangan Allah diatas kesenangan duniawi.
      2. Dipimpin oleh kepala keluarga yang takut akan Tuhan dan mampu memimpin keluarganya hidup dalam firman Tuhan.
      3. Ada penerapan nyata dari hukum KASIH yang telah Kristus ajarkan.
      4. Seia sekata dalam hidup pernikahan sampai maut yang memisahkan.
      5. Istri menjadi penolong suami yang takut akan Tuhan dan bijaksana.
      6. Memenuhi firman Tuhan dalam Mazmur 128: 1-6.
      7. Taat dalam beribadah kepada Allah. h. Keluarga selalu memuliakan nama Tuhan.
      8. Selalu mengandalkan Tuhan.
      9. Mau memikul salib Kristus dalam keluarga kita.
      10. Selalu mengucap syukur dalam segala hal.

    2. Ada "kebahagiaan" dalam keluarga tersebut.
      1. Arti kebahagiaan disini bukan berarti memiliki segala sesuatunya dalam hal materi sehingga hidup akan terus senang karena terpenuhinya seluruh kebutuhan. Kebahagiaan disini berarti nyatanya penyertaan tangan Tuhan dalam hidup keluarga tersebut.
      2. Ketaatan seluruh keluarga kepada Tuhan akan membuahkan kebahagiaan. Dengan kata lain, keluarga Kristen yang sukses bukan keluarga yang dibentuk dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika kebahagiaan adalah tujuan, maka kita akan menjadikan pasangan kita sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan yang kita inginkan, bukan sebagai pasangan sepadan yang Tuhan berikan kepada kita untuk melaksanakan kehendak-Nya.
      3. Adanya kebahagiaan karena setiap orang dalam keluarga saling menghormati, mengasihi, melaksanakan perintah-perintah Tuhan.
      4. Kebahagiaan juga adanya rasa saling mencintai, yang berarti mau saling berbagi dan merasakan susah maupun senang bersama.
      5. Masing-masing anggota keluarga tahan uji sehingga membuahkan kebahagiaan karena bisa tetap kuat dan bertahan walaupun diterpa badai yang begitu besar.

    3. Pernikahan yang semakin hari semakin dewasa.
      1. Dewasa dalam kepribadian. Ini berarti setiap pasangan suami istri maupun seluruh anggota keluarga mampu menyangkal diri dan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan keluarga.
      2. Dewasa dalam Tuhan. Adanya pertumbuhan rohani yang skalanya terus meningkat hari demi hari sebagai hasil dari ketaatan pada firman Tuhan dan kemauan untuk dewasa pula secara pribadi.
      3. Semakin setia kepada Tuhan dan kepada pasangan.

    4. Mungkinkah keluarga Kristen bisa mencapai idealisme yang diharapkan?
    5. Dari pendapat-pendapat di atas timbul pertanyaan lanjutan, apakah keluarga Kristen mampu mencapai idealisme yan diharapkan dalam ukuran kesuksesan keluarga Kristen tersebut?

      1. Semua hal yang dirasa idealis untuk ukuran kesuksesan sebuah keluarga Kristen dapat terwujud dan membawa keluarga tersebut kepada kebahagiaan sejati. Akan tetapi, terwujudnya hal tersebut sangat tergantung dari ketaatan penuh setiap anggota keluarga terhadap firman Tuhan dan ketaatan untuk hidup dalam pimpinan Roh Kudus.
      2. Dalam Matius 6:33 dan Yohanes 15:4-5 nyata janji Tuhan bahwa setiap anggota keluarga harus terus mendahulukan kerajaan Allah dan kebenaran-Nya serta terus tinggal di dalam Bapa. Dengan begitu, mereka akan mendapatkan berkat dan sukacita melimpah di dalam Tuhan, bahkan akan berbuah banyak. Ini berarti, setiap keluarga Kristen dapat menjadi keluarga yang "sukses" dalam Tuhan.
      3. Penerapan sejati hukum Kasih yang Tuhan Yesus ajarkan juga dapat menjadikan sebuah keluarga Kristen menjadi keluarga Kristen yang sukses di hadapan Tuhan maupun dalam masyarakat.
      4. Untuk mencapai keluarga Kristen yang sukses dibutuhkan aplikasi nyata dari setiap firman yang telah Tuhan sampaikan. Jika hanya sekedar tahu perintah Tuhan tetapi tidak menerapkannya, maka tidak akan ada hasilnya. Setiap orang yang mau menguji, melaksanakan dan mengandalkan firman Tuhan - maka Roh Kudus sendiri yang akan menyempurnakan keluarga tersebut. Keluarga yang ideal tersebut akan terus disempurnakan oleh Roh Kudus sampai Tuhan Yesus menjemput mereka masuk ke dalam kerajaan surga.

    Perangkum: Davida

Umum: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA