Prinsip Mendidik Anak
Mendidik anak bukanlah memikirkan tentang bagaimana melakukan kehendak diri sendiri, melainkan memikirkan apa yang terbaik untuk mereka. Saya kira dalam hal ini banyak para ibu yang gagal. Seorang ibu yang cerewet tidak habis-habis adalah seorang yang setelah cerewet, tidak melakukan apa-apa. Namun, seorang ayah lebih banyak diam, dan hanya pada saat tertentu di kala perlu, akan memukul anaknya dengan keras. Jadi, makin banyak ibu berbicara, seorang anak akan makin merasa itu sebagai hal biasa yang tidak ada pengaruhnya, makin cerewet makin tidak didengar. Namun seorang ayah yang memukul, sampai-sampai anak tidak tahu mengapa dia dipukul, juga tidak melakukan hal yang mendidik. Kita melihat begitu banyak ibu yang merasa dirinya sudah mendidik anak, padahal apa yang dikiranya mendidik, isinya hanya membereskan kesumpekan diri sendiri. Seorang ibu yang mengeluh tentang anak tidak berarti bahwa dia mendidik anak. Yang menjadi ibu, mulai hari ini berhentilah dari kecerewetan Anda dan mulai memikirkan tentang apa yang Anda katakan di hadapan anak-anak Anda: Apakah itu mendidik atau mengeluh? Jika seorang ibu hanya mau membereskan kesulitan sendiri, dia belum mempunyai kekuatan mendidik anak. Pendidikan orang tua mulai berfungsi, jika segala perkataan Anda didasarkan dari hati yang memikirkan segala yang terbaik untuk anak. Jangan lupa, waktu Anda mengomel, waktu Anda mengatakan kalimat yang begitu banyak, tetapi yang sebenarnya tidak begitu perlu ingatlah bahwa hal itu malah akan menjengkelkan anak-anak Anda. Namun, kalimat-kalimat yang penting, katakanlah, katakan dan laksanakan, itu akan membuat anak-anak mau mendengarkan perkataan Anda. Bagaimana anak-anak mendengarkan orang tua, jika orang tua tidak memikirkan yang terbaik untuk anak-anaknya? Hendaklah kita seumur hidup berkeputusan untuk hanya mengatakan hal-hal yang berguna itu menjadikan diri berbobot, dan tidak akan dianggap sembarangan oleh orang lain. Dengan menjadi orang berbobot, kehadiran Anda akan lebih dihormati anak-anak Anda.
Suatu hari sehabis pergi mengabarkan Injil, ibu saya pulang dan menemukan kami sedang berkelahi. Lalu, dia menanyakan sebab musababnya, tetapi tidak ada seorang pun dari kami yang mau mengaku. Dia memerintahkan kami berdoa sama-sama, tetapi kami menolak, tidak ada satu pun yang mematuhinya. Ibu lalu pergi ke kamarnya, berhadapan dengan lemari kaca, lalu beliau memukul kaca dengan tangannya dan darah mulai bercucuran. Kami tidak tahan lagi, lalu menangis dan berlutut untuk berdoa. Ibu berkata, "Hari ini kamu semua menghina saya. Saya merasa tidak bisa mendidik anak, maka saya pecahkan kaca. Kalau kalian tidak mau taat kepada saya, hal itu tidak mengapa. Namun, kalau kalian tidak mau taat kepada Tuhan, mau jadi apa?" Akhirnya, kami empat saudara yang berkelahi semua berlutut, menangis dan, berdoa minta pengampunan Tuhan.
Mendidik anak bukan hanya teori, bukan hanya suatu kepintaran atau kefasihan lidah, tetapi mendidik anak adalah menerjunkan diri, mengorbankan diri, sampai suara hati kita bisa menembusi awan gelap, masuk ke dalam hati anak sampai mereka menyadari arti pendidikan. Berpikirlah untuk kepentingan mereka, bukan hanya mau membereskan kesulitan sendiri. Pendidikan berarti: Berhenti dari memikirkan kesulitan-kesulitan sendiri dan mulai memikirkan apa yang bisa diterima dan dirasakan oleh anak kita.
Menetapkan Sasaran Pendidikan
Pendidikan tanpa sasaran akan menghamburkan tenaga, waktu, dan lain sebagainya, sama seperti orang naik mobil kelebihan bensin, berputar-putar tidak tahu mau ke mana. Apa tujuan kita mendidik anak? Saya kira orang yang paling malang, adalah orang-orang yang mempunyai ayah ibu yang hanya bisa melahirkan anak, tetapi tidak tahu bagaimana mengarahkan hidup anaknya. Pada bulan Februari tahun 1974, saya berkhotbah di Vietnam; di tengah perjalanan ke Dalat, ada seorang menceritakan kepada saya tentang tentara-tentara Amerika yang meniduri wanita Vietnam, lalu perempuan-perempuan itu melahirkan anak-anak yang cantik. Ada orang-orang tertentu yang mau mengambil anak-anak tanpa ayah itu. Tindakan yang mereka lakukan kelihatannya penuh kasih, tetapi sebenarnya tidak. Mereka mengambil anak-anak cantik tersebut agar dididik dan dibesarkan untuk menjadi pelacur dan menghasilkan banyak uang. Saya tidak tahu mengapa orang yang memiliki hati sedemikian dapat disebut sebagai manusia.
Jikalau Allah sudah memberikan anak-anak ke dalam tangan kita, tetapi kita tidak memiliki tujuan untuk hari depan mereka, kita bukanlah orang tua yang baik; kita tidak menjadi wakil yang baik dari Tuhan. Bagaimana menetapkan sasaran? Tetapkanlah tujuan-tujuan yang mulia untuk anak-anak, galilah potensi mereka semaksimal mungkin. Jikalau anak-anak Anda memang tidak berpotensi besar, jangan paksa mereka karena sampai tengah jalan mereka bisa jadi gila. Itu sebabnya, dalam menetapkan sasaran untuk anak-anak pun, kita perlu berhati-hati untuk dua hal.
Pertama: mempunyai pengertian tentang apa potensi dan karunia Tuhan bagi mereka.
Kedua: sampai sejauh mana potensi dan karunia itu, punya kemungkinan untuk digali.
Dalam hal ini, kita harus senantiasa bertanggung jawab dalam mengoreksi dan memonitor; mendidik anak bukanlah hal gampang. "Set up a goal for your children." Orang Kristen memiliki satu sasaran penting, yaitu memuliakan Tuhan dalam pikiran, percakapan, hidup sehari-hari, dalam pekerjaan dan dalam semua segi kehidupan. Konsep teologi Reformed ini, paling sedikit dapat kita taruh dalam hidup anak-anak, agar di mana pun mereka berada, Allah dipermuliakan.
Setelah menggali, menggarap, mengembangkan potensi dan karunia anak, kita tidak perlu menjadi minder. Ada kesaksian tentang seorang yang rela bekerja melayani Tuhan. Akhirnya pada suatu hari, bukan saja dia tidak sempat melayani Tuhan, bahkan kedua kakinya rusak dan harus diamputasi. Pada waktu kedua kakinya dipotong habis, dia menangis. Dia berkata: "Tuhan saya tidak berguna lagi. Saya perempuan, kedua kaki saya dipotong, hidup saya tidak ada arti lagi." Seorang pendeta datang kepadanya, waktu ia sedang menangis. Pendeta itu berkata: "Engkau sudah kehilangan dua kaki, tetapi masih punya dua tangan, kenapa tidak kau persembahkan dua tanganmu untuk Tuhan?" Kalimat itu dipakai oleh Roh Kudus dan memberi satu sinar cerah bagi hatinya. Dia sadar, lalu berkata dalam hatinya, "Ya, Tuhan sekarang saya sudah kehilangan kaki, kaki saya tidak dapat dipergunakan lagi, tetapi saya masih memiliki dua tangan, sekarang saya mau persembahkan tangan saya untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan." Mulai hari itu, dia mulai menulis surat mengabarkan Injil, kalau ada orang yang tergerak, dimintanya dalam surat itu untuk memberikannya kepada orang lain - demikian cara dia mengabarkan Injil.
Pada waktu dia mati, dia sudah mengabarkan Injil kepada sebelas ribu orang, melalui koresponden. Dalam lacinya, ditemukan catatan-catatan tentang orang-orang lain yang bertobat melalui pemberitaannya, jumlahnya ada 680 jiwa. Hal ini diceritakan Dr. Bob Pierce pada saya, di Switzerland tahun 1969 (Dokter Bob Pierce adalah pendiri World Vision). Carilah potensi yang ada pada Anda dan pada anak-anak Anda. Kadang-kadang apa yang Anda inginkan terjadi pada anak Anda, berbeda dengan apa yang Tuhan inginkan, jangan paksakan keinginan Anda. Galilah kemungkinan yang terdapat pada anak Anda sehingga boleh mengembangkan potensi yang Tuhan sudah tanamkan dalam dirinya, hingga dia berguna menurut kehendak Tuhan, bukan kehendak Anda sendiri.
Kesehatian Orang Tua
Seorang ayah yang mempunyai cara pendidikan yang berbeda dengan ibu akan menimbulkan konflik, yang kemudian berkembang menjadi "self defeating power" atau kekuatan yang saling melemahkan. Akibat dari hal ini, yaitu anak tidak hormat dan segan pada kedua orang tuanya. Kalau anak itu melihat ada dualisme dalam didikan ayah dan ibu, dia akan mencari sesuatu untuk bisa diperalat - ini berbahaya sekali. Anak yang sedang bertumbuh menjadi besar dan mulai menilai akan segera melihat adanya dualisme, dan dengan demikian orang tua akan melemahkan pendidikan terhadap anak sendiri. Perselisihan karena cara mendidik anak yang berbeda dapat menimbulkan perpecahan dan konflik antara kedua orang tua, itulah sebabnya saling menyesuaikan diri, merupakan hal yang penting sekali. Walaupun masih ada banyak perbedaan konsep dalam mendidik anak, tetapi sebagai orang tua, kita harus memiliki kesehatian.
Satu kali ada seorang anak kecil memecahkan sebuah kaca yang besar. Waktu ibunya pulang, dia marah sekali dan bertanya, "Siapa yang memecahkan kaca ini?", lalu anaknya menjawab, "Saya." Ibunya berkata, "Nanti saya kasih tahu ayahmu, baru tahu berapa hebat ayahmu!" Anaknya jawab, "Ayah sudah tahu, dia bilang: 'Nanti saya kasih tahu ibumu, biar kamu tahu berapa hebat ibumu!'" Ayah memakai ibu untuk menggertak anak, ibu memakai ayah untuk mengancam anak. Anak melihat kedua orang tuanya tidak hebat. Ini suatu contoh yang kecil, tetapi selalu terjadi. Ketidaksepakatan merupakan kelemahan dalam pendidikan anak. Seorang ayah jangan sekali-kali memakai anak untuk melawan ibu, atau seorang ibu memakai anak memihak dirinya melawan ayah, itu adalah kebodohan besar.
Orang tua juga harus mengerti bahwa di antara diri Allah Tritunggal, ada suatu kerja sama di antara ketiga oknum, menjadi contoh dari segala komunitas. Kerja sama dalam diri Allah Tritunggal, menjadi basis atau dasar semua komunitas dalam dunia. Satu dasar dalam hubungan komunikasi yang rukun. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus begitu rukun. Allah Tritunggal menjadi dasar bagi para wakil Tuhan; baik ibu ataupun bapak untuk belajar bagaimana rukun dan sehati.
Kasih dan Keadilan
Jika ada anak kita yang tidak bisa diperlakukan dengan keras, jangan perlakukan dia dengan keras, tetapi anak yang tidak bisa dididik dengan kelembutan, jangan terus diperlakukan lembut. Perlu suatu kebijaksaaan untuk mengatur kedua hal ini. Di atas salib terdapat suatu bijaksana yang paling sempurna dan mendalam. Di kayu salib kita melihat, bagaimana Tuhan tidak menyayangi dosa, bahkan Anak-Nya yang Tunggal harus disalibkan; tetapi justru di atas kayu salib ada kelembutan paling besar, sehingga perampok yang berdosa besar pun bisa diampuni. Inilah kekristenan.
Kalau kita mau mendidik anak kita dengan baik, jadilah orang yang mempunyai sifat keadilan dan kelembutan Tuhan, sehingga anak kita mendapatkan pengertian dan bijaksana tentang bagaimana bisa menggabungkan keadilan dan kelembutan menjadi satu dan inilah bijaksana, dan kalau kedua hal ini menjadi satu, akan menjadi kuasa. Itu sebabnya di kayu salib semua terjadi: kasih, kelembutan, keadilan, bijaksana.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Membesarkan Anak dalam Tuhan |
Judul artikel | : | Prinsip Mendidik Anak |
Penulis | : | Stephen Tong |
Penerbit | : | Momentum, Surabaya 2012 |
Halaman | : | 19 -- 25 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA