Pertumbuhan Rohani, Kekhawatiran, dan Doa
Kebahayaan terbesar bukan hanya ketika kita berhadapan dengan berbagai tantangan atau ancaman yang terpampang secara nyata di depan mata kita. Kebahayaan terbesar pun bisa terjadi ketika kondisi terlihat baik-baik saja. Bukan hanya angin badai yang membahayakan kita, tetapi juga angin sepoi-sepoi basa yang bisa membuat kita mengantuk dan terjatuh karena hilangnya kewaspadaan kita. Banyaknya tantangan dan ancaman sering kali meningkatkan kewaspadaan kita, tetapi kestabilan justru bisa membuai kita dalam ketenangan dan akhirnya lupa untuk terus waspada dan berjuang. Hal ini berlaku juga di dalam kehidupan rohani kita. Hal inilah yang menjadi isi dari surat Paulus kepada jemaat Filipi. Kondisi spiritual jemaat Filipi sendiri berada dalam keadaan sehat: jemaat ini tidak dikritik seperti Korintus atau Galatia, dan mereka mendukung pelayanan Paulus, baik melalui doa maupun pemberian-pemberian yang menolong pelayanannya, termasuk seorang rekan, yaitu Epafroditus. Jemaat Filipi sedemikian dikasihi oleh Paulus sehingga Paulus menyebutnya "sukacitaku" dan "mahkotaku" (Filipi 4:1). Meskipun demikian, Paulus mengingatkan jemaat Filipi untuk tidak berpuas diri, beristirahat, dan tenang-tenang, karena Injil terlalu mulia, dan dunia begitu halus dan berbahaya. Ada beberapa pesan atau dorongan yang Paulus berikan kepada jemaat di Filipi.
Paulus mendorong jemaat Filipi untuk bertumbuh secara spiritual. Di dalam surat Filipi ini, Paulus mendefinisikan apa artinya bertumbuh secara spiritual, yaitu kerinduan untuk makin mengenal Allah (Filipi 3:8-16) dan ketekunan untuk mempraktikkan kasih dan pelayanan bagi sesama (Filipi 2:2-4). Makin bertumbuh di dalam pengenalan kita akan Allah sudah menjadi dasar atau prinsip kehidupan Kristen yang tidak mungkin ditawar lagi. Seorang yang benar-benar sudah bertobat di dalam hatinya pasti memiliki kerinduan yang tidak habis-habisnya untuk makin hari makin mengenal Allah. Bahkan, Paulus sendiri menganggap pengenalan akan Allah sebagai hal yang sedemikian penting, hingga baginya segala sesuatu yang lain adalah sampah, jikalau dibandingkan dengan pengenalan akan Allah. Tidak berhenti sampai di pengenalan akan Allah saja, seorang yang bertumbuh secara spiritual pun akan menerapkannya dalam wujud kasih dan pelayanan terhadap sesama. Hal ini dapat kita lihat dari teladan kehidupan Paulus, Timotius, Epafroditus, dan, yang terutama, Tuhan Yesus Kristus, yang melayani sesama. Bahkan, Alkitab menggunakan istilah melayani ini dikaitkan dengan istilah hamba, yang berarti kita diajak untuk merendahkan diri kita dalam melayani sesama. Hal ini sudah terlebih dahulu dilakukan oleh Kristus yang telah merendahkan diri-Nya untuk menebus kita dari dosa dan memberikan kita anugerah keselamatan. Berdasarkan kedua hal ini (pengenalan akan Allah dan melayani sesama), kita perlu juga menyadari bahwa di satu sisi pertumbuhan spiritual ini membutuhkan effort (Filipi 2:12) atau usaha dari manusia, tetapi di sisi yang lain kita pun harus menyadari bahwa keinginan dan kekuatan untuk melakukan effort ini datangnya dari Tuhan (Filipi 2:13). Sehingga, di dalam konteks pertumbuhan rohani, baik anugerah Allah maupun usaha manusia, keduanya berjalan secara sinkron.
Selain mendorong pertumbuhan spiritual dan kasih terhadap sesama, Paulus juga mendorong jemaat Filipi untuk bersukacita di dalam Tuhan. "Bersukacitalah" adalah kalimat yang berulang kali ditulis oleh Paulus di dalam suratnya ini. Paulus sendiri sangat bersukacita, sekalipun berada dalam penjara. Keadaan terbelenggu, tersendiri, dan perencanaan eksekusi Paulus merupakan perampas sukacita yang sangat kuat. Namun, di dalam surat ini kita dapat melihat Paulus tidak mengasihani dirinya. Dia memastikan kepada jemaatnya bahwa kondisi kerohaniannya baik dan berulang kali dia menyatakan bahwa dia bersukacita. Alasan Paulus dapat bersukacita di tengah keadaan yang sulit sekalipun adalah karena sukacita Paulus didasarkan pada sesuatu yang tidak berubah. Sukacita Paulus tidak dilandaskan pada keadaan, karena keadaan selalu berubah. Juga bukan pada manusia, karena manusia selalu berubah. Hanya Allah yang tidak berubah. Karena itu Allah harus menjadi landasan jika kita ingin memiliki sukacita yang sejati. Allah yang tidak berubah adalah Allah yang Mahakuasa dan berdaulat sehingga seluruh sejarah ada dalam rencana-Nya dan ditopang oleh pemeliharaan-Nya. Allah juga adalah Allah yang mengasihi kita, yang tidak akan memberikan ular atau kalajengking kepada anak-Nya (Lukas 10:11-13) dan yang mengerjakan segala sesuatu demi kebaikan orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Segala sesuatu ditopang oleh Allah dalam kuasa dan pemeliharaan-Nya dan segala sesuatu itu juga dikerjakan dengan kebaikan hati-Nya sebagai Bapa. Inilah yang menjadi dasar sukacita Paulus sehingga sukacitanya tidak dapat dirampas oleh belenggu, kesendirian, bahkan kematian sekalipun.
Ketiga hal ini (pertumbuhan rohani, bersukacita, dan melayani sesama) harus menjadi bagian dari kehidupan kita sebagai orang percaya atau umat Allah. Namun, dalam melakukan hal ini, tentu saja terdapat hambatan-hambatan yang harus kita hadapi. Di dalam konteks ini, Paulus mengangkat salah satu isu yang biasa dihadapi, yaitu masalah kekhawatiran. Hal yang terdengar sederhana dan umum ini bisa menjadi penghambat atau bahkan jebakan di dalam pertumbuhan rohani kita. Dalam Filipi 4:6-7, Paulus melarang jemaat Filipi untuk khawatir. Bagian ini mengingatkan kita pada khotbah Yesus di bukit (Matius 6:25-34). Kekhawatiran sedemikian berbahaya sehingga orang yang melakukannya disamakan dengan orang yang tidak mengenal Allah (Matius 6:32). Seorang budayawan Indonesia, Sujiwo Tejo pernah berkata, "Menghina Tuhan tidak perlu dengan umpatan atau membakar kitab-Nya. Khawatir besok tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan." Kekhawatiran sama saja dengan seorang yang tidak percaya bahwa Tuhan berdaulat dan mengatur segala sesuatu untuk kebaikan orang-orang yang takut kepada-Nya. Atau dengan kalimat lain, seorang yang khawatir adalah seorang yang lebih percaya terhadap kemampuan diri dalam mengatur segala sesuatu dibandingkan dengan menyerahkan masalahnya kepada Allah yang berdaulat. Di dalam kekhawatiran, kita sedang membenturkan antara diri yang otonom dan sikap yang mau tunduk dan percaya kepada Allah yang berdaulat. Oleh karena itu, kekhawatiran bukanlah hal yang sepele atau dapat kita abaikan begitu saja.
Namun, kalau kita tidak boleh khawatir, apakah ini artinya hidup kita harus senantiasa tenang, tidak memikirkan masa depan, dan tidak berusaha? Saya rasa orang yang berpikir demikian tidak mengerti pemeliharaan dan kasih Allah. Tidak boleh khawatir tidak sama dengan membius diri. Tidak boleh khawatir bukan berarti kita seperti orang Stoik yang kebal atau orang yang sambil mabuk mengatakan, "Don’t worry, nikmati saja hidup ini, jangan khawatir." Ketenangan seperti ini bukanlah ketenangan yang Alkitab ajarkan. Ketenangan seperti ini hanyalah buah dari sikap hati manusia yang tidak peduli akan tanggung jawabnya sebagai ciptaan Allah. Tuhan Yesus mendefinisikan kekhawatiran yang Dia larang, yaitu kita tidak boleh khawatir akan apa yang kita makan, minum, pakai, bahkan tubuh kita sendiri. Ini adalah kekhawatiran yang berpusat pada diri yang menjadikan kita begitu egois. Kita begitu khawatir akan makanan dan minuman sehingga kita akan mengorbankan segala sesuatu untuk dapat makan dan minum. Kita begitu khawatir akan status sosial kita di masyarakat (makan makanan yang mahal, minum minuman yang mahal, menggunakan pakaian yang mahal) sehingga menjual iman kita. Ini semua disebabkan kekhawatiran yang berpusat pada diri.
Kita dapat mengaitkan antara kekhawatiran ini dengan tiga tujuan Paulus menulis surat kepada jemaat Filipi. Yang pertama, terkait dengan pertumbuhan rohani. Matius 6:25-34 mengatakan bahwa ada firman Tuhan yang terhalang bertumbuh di dalam diri seseorang akibat kekhawatiran. Kekhawatiran hidup dapat menyebabkan kita sulit bertumbuh. Orang yang terus khawatir tidak akan memiliki waktu merenungkan firman Tuhan. Orang yang tidak merenungkan firman Tuhan akan sangat sulit mengaplikasikan firman tersebut di dalam hidupnya. Orang yang tidak mengaplikasikan firman Tuhan tidak akan pernah bertumbuh. Alkitab mengatakan bahwa iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran akan firman Tuhan (Roma 10:17). Yang kedua, kekhawatiran akan merampas sukacita di dalam hidup kita. Kita hidup di dalam zaman yang penuh dengan ketidakpastian. Kalau kita sebagai orang Kristen tidak memiliki sukacita, kita tidak akan menjadi saksi Kristus yang efektif di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini. Dan yang ketiga, kekhawatiran menghambat kita untuk melayani dan mengasihi. Orang yang terus-menerus khawatir akan terus mengasihi diri dan menarik segala sesuatu di dunia ini untuk keuntungan dirinya atau orang-orang yang dekat dengan dirinya.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, Paulus memerintahkan jemaat Filipi untuk berdoa dan memohon damai sejahtera dari Tuhan yang melampaui pikiran. Hal ini akan memelihara dan menjaga hati dan pikiran kita di dalam Yesus Kristus (Filipi 4:4-7). Damai sejahtera inilah obat penawar dari kekhawatiran dan damai sejahtera ini kita jumpai dalam doa. Di dalam doa, kita belajar untuk berserah dan bergantung kepada Tuhan, sebab Pribadi yang kepada-Nya kita berdoa adalah Allah yang berdaulat dan menopang seluruh keberadaan dan sejarah dunia ini. Di dalam doa, kita meminta ketenangan yang sejati sehingga pikiran kita tidak dipenuhi kekhawatiran yang berpusat kepada diri, tetapi apa yang berkenan kepada Allah: apa yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, kebajikan, dan apa yang patut dipuji (Filipi 4:8). Pikiran yang dipenuhi firman Allah akan membuat iman kita bertumbuh dan membuahkan karakter Kristen atau pelayanan bagi umat Tuhan.
Hal ini juga akan membawa sukacita yang sejati kepada kita. Kita berdoa kepada Allah yang baik. Kalau pun ada hal yang menurut kita tidak baik, kita akan berdoa meminta Tuhan menyatakan kehendak-Nya. Selain itu, kita pun harus tetap berusaha mencari kebaikan Tuhan di dalam kesulitan itu, yaitu pelajaran yang Tuhan berikan agar kerohanian kita makin dewasa dan matang. Di dalam kedewasaan rohani inilah kita dapat terus bersukacita di dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Sukacita inilah yang akan menjadi kesaksian yang indah. Para martir tetap bersukacita ketika mereka akan dibunuh, sebab mereka tahu kematian tidak dapat memisahkan mereka dari Allah (Roma 8) dan kematian merupakan suatu sukacita sebab kita akan bertemu dengan Pribadi yang sangat mengasihi kita. Sukacita para martir ketika ditekan dan diancam hukuman mati, membuat para penganiaya itu heran. Sehingga, sukacita kekal ini menjadi kesaksian yang indah bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus.
Terakhir, di dalam doa yang baik, kita akan terus mengucap syukur. Orang yang mengucap syukur akan selalu melihat rahmat Tuhan yang melimpah sehingga dia rindu membagikannya kepada orang lain di dalam rupa-rupa pelayanan. Sebaliknya, orang khawatir selalu merasa diri kurang dan tidak akan ada yang dapat dia berikan kepada orang lain. Katekismus Heidelberg mengatakan, "Ingatlah betapa dalam kita telah jatuh, dan betapa tinggi kita diangkat." Kesadaran ini akan membuat diri kita limpah dengan syukur dan mendorong kita untuk berbagi dan juga mengenal Pribadi Agung yang menyelamatkan kita. Doa seperti ini akan memimpin kita untuk terus mengenal Allah dan mengasihi orang lain.
Kiranya Tuhan boleh menguatkan kita agar doa-doa kita dipenuhi dengan kesadaran memohon kepada Allah yang berkuasa sekaligus baik. Biarlah setiap doa kita dipenuhi dengan ucapan syukur sehingga kerohanian kita bertumbuh, sukacita kita berlimpah, dan hati kita penuh kasih melayani Tuhan dan sesama. Amin.
Audio Pertumbuhan Rohani, Kekhawatiran, dan Doa
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Bulletinpillar.org |
Alamat situs | : | https://www.buletinpillar.org/artikel/pertumbuhan-rohani-kekhawatiran-dan-doa |
Judul artikel | : | Pertumbuhan Rohani, Kekhawatiran, dan Doa |
Penulis artikel | : | Marthin Rynaldo |
Tanggal akses | : | 10 Desember 2019 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA