Pendidikan Anak Kristen dan Yahudi serta Pandangan Alkitab

Mazmur 78:5 Telah ditetapkan-Nya peringatan di Yakub dan hukum Taurat diberi-Nya di Israel; nenek moyang kita diperintahkan-Nya untuk memperkenalkannya kepada anak-anak mereka

Pembinaan anak dalam Taurat begitu jelas tergambar dalam Mazmur 78 dengan tujuan yang sangat jelas pula, yaitu :

78:6 supaya dikenal oleh angkatan yang kemudian, supaya anak-anak, yang akan lahir kelak, bangun dan menceritakannya kepada anak-anak mereka, 78:7 supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan Allah, tetapi memegang perintah-perintah-Nya; 78:8 dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah

Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7). Sejak sebelum usia lima tahun anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah Yahweh.

Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah Sinagoge di mana mereka dapat belajar firman Tuhan kembali, termasuk di antara mereka adalah anak-anak kecil. Orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah lima tahun ke Sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru menjadi fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah Sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. Sebagaimana anak-anak Yahudi yang lain, ketika masih kecil Tuhan Yesus juga menerima pengajaran Taurat di Sinagoge. Dan pada usia dua belas tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Timotius 3:15) dan gereja mula-mula.

Namun, tempat untuk mendidik anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di Sinagoge tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul. Bila mengamati hasil pendidikan Agama Yahudi dengan konsep Talmudnya yang berjuang tidak terjerumus dalam sekulerisasi dengan agama Kristen dengan semangat sistem pendidikan sekularisasi maka akan terlihat perbedaan yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Yahudi yang benar-benar menerapkan apa yang dikatakan dalam Mazmur sesuai dengan teks di atas.

Mereka menghasilkan :

Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia, menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja, tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.

Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.

Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi. Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat.

Prinsip pendidikan Kristen yang terdapat dalam Alkitab seharusnya sama dengan yang diterapkan oleh Yahudi dengan perbedaan bahwa Talmud memberi

tambahan soal perdagangan namun menganggap ringan konsep penebusan dan keselamatan dalam Kitab Imamat.

Mengapa Gereja Barat masuk dalam arus sekularisasi yang meruntuhkan moral, etika dan peradaban yang luhur dan mulia? Bandingkan dengan pelajaran yang tidak disekularisasi dalam agama Yahudi sehingga menghasilkan prinsip:

1. Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah.

Menurut konsep Yahudi tidak ada perbedaan nilai antara duniawi dan rohani, semuanya ada dalam wilayah Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh hidup adalah suci".

2. Pendidikan berpusatkan pada Allah.

Bandingkan dengan Habakuk 2:10, kegagalan campur tangan Allah adalah kegagalan bangsa. Bagi anak Yahudi tidak ada buku lain yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain Alkitab (Taurat) untuk menjadi pegangan dan pelajaran tentang Allah dan karya-Nya.

Pendidikan adalah kegiatan utama dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki sistem pendidikan nasional (Ula. 6:4-9)

3. Dalam tradisi pendidikan Yahudi tidak ada sekularisiasi (suatu pembedaan antara nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai kepentingan duniawi)!

Bukankah sejak dini anak-anak Yahudi sudah dibiasakan menaati peraturan agama yang dilakukan sesuai tahapan usianya. Pada usia sekitar 5 tahun anak-anak diberi pelajaran dasar membaca Taurat. Usia 10 tahun mulai diberi pengajaran, yaitu misyna (secara harafiah berarti bahan ulangan yang perlu dihafalkan).

Pada usia 12–13 tahun anak-anak wajib menaati sepenuhnya peraturan hukum Yahudi yaitu, mitswoth. Pada tahap ini anak laki-laki telah dianggap sebagai “anak-anak hukum Taurat” yaitu, bar-mitswa segera setelah berusia 13 tahun tambah satu hari.

Sesudah masa pembuangan, pendidikan iman bergeser dari wadah keluarga ke Sinagoge (rumah sembahyang orang Yahudi yang ada hampir di setiap perkampungan). Sinagoge adalah wadah berkumpul sekaligus lembaga tempat orang Yahudi membicarakan berbagai hal menyangkut kehidupan mereka. Dalam wadah ini orang Yahudi belajar Syemo Esre, harfiah berarti delapan belas.

Syemone Esre adalah doa yang terdiri dari 18 pengucapan dan diucapkan setiap hari (pagi, sore dan malam) dalam ibadah di sinagoge. Pembacaan Taurat menduduki posisi penting. Taurat merupakan bagian Kitab Suci yang sentral dan mendasar bagi orang Yahudi. Iman dan kehidupan mereka seluruhnya didasarkan atas Taurat. Pengajaran diberikan dengan cara membaca dan menjelaskan kitab-kitab Musa. Khusus untuk anak-anak pelajaran yang diberikan adalah Syema Yisrael bagaikan kredo pengakuan iman dan pengucapan syukur yang dibaca setiap hari (pagi dan malam) dalam ibadah di sinagoge tersebut.

Pada tahun 75 Sebelum Masehi yakni, sebelum kelahiran Tuhan Yesus, bangsa Yahudi mengadakan semacam sekolah dasar yang disebut beth-ha-sefer artinya, rumah sang kitab (bet = rumah; sefer = kitab). Di sekolah ini pengetahuan tentang Taurat diajarkan kepada anak-anak Yahudi. Taurat dibaca berulang-ulang dan anak-anak wajib menghafalnya secara seksama dan harfiah. Sekolah ini bukanlah lembaga tetap yang terdapat di banyak tempat, melainkan hanya suatu kumpulan murid yang diberi pelajaran oleh para ahli Taurat.

Sejak usia 6 atau 7 tahun seorang anak sudah dibawa orangtuanya ke sekolah ini. Tujuannya bukanlah untuk memperoleh pendidikan umum, melainkan khusus mempelajari pengetahuan tentang Taurat. Selanjutnya, pada tingkat yang lebih tinggi lagi setingkat sekolah menengah pertama anak-anak yang berusia 10 atau 11 tahun dikirim ke beth-ha-midrasy (beth = rumah; midrash = pengajaran).

Tujuan sekolah ini bukan hanya untuk mempelajari isi Taurat, tapi yang utama adalah penelitian mengenai manfaat dan maknanya. Sejalan dengan timbulnya sekolah, timbul pula pentingnya jabatan guru. Dalam kebudayaan Yahudi, seorang guru begitu dihormati, sehingga seorang murid patut menunjukkan pengabdian kepada guru sama seperti budak kepada majikannya, kecuali dalam satu hal yang sangat rendah yaitu, membuka tali kasut.

Mengutip bkputrawan.blogspot.com, dijelaskan di sana tentang nilai-nilai pendidikan Kristen:

1. Tanggung jawab pendidikan Kristen pertama-tama dan terutama terletak pada orang tua, yaitu ayah dan ibu (Amsal 1:8).

Banyak keluarga Kristen masa kini yang menyerahkan pendidikan rohani anak mereka sepenuhnya pada gereja atau sekolah minggu. Mereka beranggapan bahwa gereja atau sekolah minggu tentunya memiliki "staf profesional" yang lebih handal dalam menangani pendidikan rohani anak mereka. Namun, mereka lupa bahwa lama waktu perjumpaan antara anak mereka dengan pendeta, pastor, gembala, guru sekolah minggu, atau pembimbing rohani anak yang hanya beberapa jam dalam seminggu, yang tentunya terlalu singkat untuk mengajarkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan tentang Allah. Satu hal lain yang terpenting adalah Allah sendiri telah meletakkan tugas untuk merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak ke dalam tangan orang tua. Merekalah yang harus mempersiapkan anak-anak mereka agar hidup berkenan kepada Allah. Gereja dan sekolah minggu hanya membantu dalam proses pendidikan tersebut.

2. Tujuan utama pendidikan Kristen adalah untuk mengajar anak-anak takut akan Tuhan, hidup menurut jalan-Nya, mengasihi-Nya, dan melayani-Nya dengan segenap hati dan jiwa mereka (Ulangan 10:12).

Berlainan dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk menciptakan generasi muda yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri, dan percaya pada kekuatan diri sendiri, pendidikan Kristen mendidik anak-anak untuk memiliki sikap

mementingkan Tuhan di atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada kekuatan Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting dalam pendidikan Kristen adalah kasih, ketaatan, kerendahan hati, dan kesediaan untuk ditegur.

3. Orang tua yang baik mendidik anaknya dengan teguran dan hajaran dalam kasih (Amsal 6:23).

Ada teori pendidikan modern yang menyarankan agar orang tua jangan pernah menyakiti anak-anak mereka, baik secara fisik maupun secara verbal, atau melalui kata-kata karena hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan dendam pada orang tua dalam diri anak-anak. Teori ini menganjurkan orang tua untuk membangun anak-anaknya hanya melalui pujian dan dorongan.

Hal ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab yang mengatakan bahwa teguran dan hajaran juga dapat mendidik anak sama efektifnya dengan pujian dan dorongan, selama semuanya dilakukan dalam kasih.

4. Pendidikan Kristen harus dilakukan secara terus-menerus melalui kata-kata, sikap, dan perbuatan (Ulangan 6:7). Kata bahasa Ibrani yang dipakai dalam ayat ini adalah "shinnantam", yang berasal dari akar kata "shanan" yang berarti mengasah atau menajamkan, biasanya pedang atau anak panah. Kata ini dipakai sebagai simbol untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti orang mengasah sesuatu dengan tujuan untuk menajamkannya.

Orang tua tidak dapat hanya mengandalkan khotbah atau pelajaran Alkitab setiap hari Minggu untuk memberi "makanan rohani" bagi anak-anak mereka. Orang tua harus secara rutin dan dalam segala kesempatan menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada anak-anak mereka. Lebih jauh lagi, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, bukan hanya melalui perkataan, tapi juga perbuatan.

Martin Luther, mengatakan, ”Tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah melibatkan semua warga jemaat, khususnya yang muda, dalam rangka belajar teratur dan tertib agar semakin sadar akan dosa mereka serta bergembira dalam Firman Yesus Kristus yang memerdekakan mereka disamping memperlengkapi mereka dengan sumber iman, khususnya pengalaman berdoa, Firman tertulis, Alkitab, dan rupa-rupa kebudayaan sehingga mereka mampu melayani sesamanya termasuk masyarakat dan negera serta mengambil bagian secara bertanggung-jawab dalam persekutuan Kristen, yaitu Gereja".

Sementara, Yohanes Calvin, berkata,” Tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan Firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan yang diejawantahkan semakin mendalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan-tindakan terhadap sesamanya.

Alkitab memiliki perhatian besar terhadap pendidikan anak. Pendidikan agama Kristen sepertinya mengalami ketertinggalan dari penganut agama Yahudi. Perhatian orang kristen sangat tertinggal dibandingkan dengan agama Yahudi dalam memberikan makna pendidikan, dimana Kristen membedakan antara pendidikan agama dengan pendidikan non agama.

Berbeda dengan tradisi Yahudi yang tidak memberikan perbedaan antara pendidikan yang bersifat agama maupun yang tidak bersifat agama. Dalam masyarakat Yahudi semua pendidikan di dasarkan dan diletakan di dalam Taurat untuk mempelajari segala hal.

Pelajaran apakah yang Saudara dapatan dari membaca artikel ini? Silakan bagikan kepada anggota keluarga yang lain. Tuhan Yesus memberkati! (Sumber : weruah.wordpress.com 2012/07/19/ pendidikan-anak-kristen-dan-yahudi-serta-pandangan-aliktab)

Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA