Bagaimana Seharusnya Penulis Kristen Menggambarkan Kata-Kata Kasar

Kata-kata kasar, seperti kebanyakan topik dalam komunitas Kristen, telah menimbulkan kontroversi. Apakah kata-kata dalam bahasa Inggris, yang pada dasarnya hanyalah kombinasi subjektif antara vokal dan konsonan, menyinggung Sang Pencipta, atau hanya ketika dikaitkan dengan nama-Nya? Apakah kita harus menghindari penggunaan kata-kata tertentu di dekat anak-anak? Bagaimana dengan menuliskannya?

Ini semua adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh penulis Kristen pada suatu saat dalam karier mereka. Anda mungkin pernah menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini jika pernah membaca bagian bahasa dalam ulasan Plugged In. Intinya, pertanyaan utama adalah: Apakah orang Kristen boleh menyertakan kata-kata kasar dalam tulisan mereka?

Jawaban ini melampaui sekadar ya atau tidak. Karena tujuan kita sebagai pencerita Kristen adalah memuliakan Allah dalam ucapan dan tindakan kita, mari kita lihat ajaran Alkitab tentang kata-kata kotor.

Kecaman Alkitab Terhadap Kata-Kata Kasar

Alkitab memang tidak secara khusus mencantumkan daftar kata atau frasa yang harus dihindari, tetapi Perjanjian Baru memberikan banyak petunjuk tentang bagaimana ucapan yang saleh seharusnya terdengar.

"Jangan ada perkataan kotor, perkataan bodoh, atau lelucon-lelucon kasar -- yang tidak pantas -- sebaliknya, ucapkanlah syukur." (Efesus 5:4, AYT)

"Dari mulut yang sama, keluar pujian dan kutukan. Saudara-saudaraku, seharusnya tidaklah seperti itu." (Yakobus 3:10, AYT)

Kita dipanggil untuk memberkati, bukan mengutuk; mengekspresikan rasa syukur, bukan terlibat dalam ucapan kasar atau kotor. Namun yang paling penting, firman Tuhan menegaskan,

"Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sia-sia karena TUHAN akan memandang bersalah siapa pun yang menyebut nama-Nya dengan sia-sia." (Keluaran 20:7, AYT)

Ini bukanlah saran opsional, melainkan perintah yang serius agar kita tidak menodai kekudusan nama Tuhan. Berbeda dari kata-kata makian yang datang dan pergi mengikuti zaman, perintah ini tetap berlaku untuk selamanya. Saat ini, seruan seperti "OMG" sering digunakan dengan sembarangan, bahkan oleh anak-anak kecil, tetapi kebiasaan itu tidak seharusnya ditemukan di antara orang-orang yang telah ditebus.

Contoh-Contoh Penggunaan Kata-Kata Kasar dalam Alkitab

Kata-Kata Kasar dalam Alkitab

Kita semua tentu sepakat bahwa kata-kata kasar bersifat menjijikkan. Idealnya, manusia berbicara dengan hati dan lidah yang bersih serta penuh kasih sepanjang waktu. Namun, sering kali terdapat ketidaksesuaian antara perilaku yang seharusnya menjadi teladan dan sifat dosa yang masih melekat pada diri manusia.

Dalam 1 Samuel 20:30 (AYT), ketika Raja Saul mengetahui bahwa putranya melindungi Daud, dia melontarkan makian: "Anak sundal kurang ajar! Tidakkah aku mengetahui bahwa kamu lebih suka kepada anak Isai itu? Sebuah cela memalukan bagi perut ibumu!"

Ungkapan Ibrani yang bersifat eufemistis ini dapat dimengerti jika diganti dengan istilah modern seperti, "Dasar anak @#&!"

Penulis Perjanjian Lama sedang menggambarkan, bukan memerintahkan. Dia tidak sedang membenarkan bahasa kasar, tetapi menekankan kebusukan hati Raja Saul dalam menyerang anaknya secara verbal -- dan dengan demikian juga menghina istrinya. Penulis bisa saja menulis, "Kemarahan Saul bangkit terhadap Yonatan," tetapi pilihan itu tidak akan menimbulkan dampak emosional yang sama kuatnya.

Dalam Filipi 3:8 (AYT), Paulus membandingkan nilai ambisi duniawi dengan pengenalan akan Kristus:

"Sungguh, segala sesuatu kuanggap rugi dibandingkan dengan pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhanku, yang jauh lebih berharga dari apa pun. Demi Kristus, aku telah kehilangan semuanya – karena semua itu sekarang kuanggap sampah! -- supaya aku boleh mendapatkan Kristus."

Kata "sampah" di sini terasa terlalu lembut, mengingat istilah Yunani "skúbalon" secara harfiah berarti "kotoran" atau "tinja." Karena kata ini hanya muncul sekali dalam Alkitab tetapi jauh lebih sering ditemukan dalam dokumen Yunani non-sastra, Paulus tampaknya sengaja memilih kata yang kasar untuk mengejutkan pendengarnya. Tingkat kekasarannya kira-kira berada di antara "sampah" dan makian yang lebih tajam (setara dengan s-word dalam bahasa Inggris).

Berbeda dengan Raja Saul yang menggunakan bahasa kasar dalam kemarahan dan dosa, Paulus memakai kata ini dalam konteks pengajaran rohani. Dia adalah orang yang telah ditebus dalam Kristus, dan meskipun di tempat lain dia menasihati, "Jangan biarkan perkataan kotor keluar dari mulutmu" (Efesus 4:29, AYT), di sini Paulus menggunakan istilah tersebut untuk tujuan yang mendidik, bukan karena amarah atau kemalasan berbicara.

Mengingat fleksibilitas ekstrem dari f-word dalam bahasa Inggris -- yang bisa berfungsi sebagai kata benda, kata kerja, atau kata sifat -- bahasa kasar sering kali menggantikan kreativitas. Namun, sebagai penulis Perjanjian Baru yang paling produktif dan terdidik, Paulus tidak kekurangan pilihan kata yang halus. Justru dia dengan sengaja memilih istilah yang kuat agar secara akurat menyampaikan rasa jijik yang seharusnya kita miliki terhadap hidup di luar Kristus.

Alkitab berisi beberapa contoh lain penggunaan bahasa kasar. Namun, demi menghormati pembaca muda, kita tidak akan membahasnya di sini. Singkatnya, ada dua alasan yang dapat dibenarkan untuk memasukkan kata-kata kasar dalam karya fiksi:

  1. untuk menunjukkan kebejatan tokoh, dan
  2. untuk menekankan suatu poin.

Bagaimana Menampilkan Kata-Kata Kasar dengan Bijaksana

Sekarang, setelah kita menetapkan dasar dari firman Tuhan, kita siap membahas topik berikutnya: bagaimana menyesuaikan penulisan kita dengan audiens yang kita layani.

Karena sebagian orang Kristen menganggap penggunaan kata-kata kasar atau penyalahgunaan nama Tuhan sebagai sesuatu yang menjijikkan, kita perlu menyadari bahwa karya kita bisa dinilai negatif, bahkan diboikot, jika mengandung hal-hal yang dipertanyakan. Namun, kekerasan, konsumsi alkohol, atau unsur romansa juga memiliki risiko serupa. Karena itu, kita harus memilih pertempuran kita dengan bijaksana.

Menjadi penulis cerita Kristen bukan berarti kita harus menutupi kejelekan dosa atau menggambarkannya secara tidak jujur. Namun, kehati-hatian tetap sangat diperlukan. Anak-anak dan orang dewasa dapat memahami kisah Yusuf dan istri Potifar, atau Daud dan Batsyeba, tanpa perlu menampilkan detail tragis dari perselingkuhan itu. Saat mempertimbangkan cara menampilkan bahasa dalam tulisan, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah cerita ini ditujukan bagi pembaca dewasa yang membacanya sendiri, atau untuk dibacakan bersama keluarga? Memiliki gambaran yang jelas tentang siapa audiens kita akan membantu mempermudah pengambilan keputusan terkait isi tulisan.

Sering kali, seruan buatan dalam kisah fantasi, atau sekadar keterangan singkat bahwa seorang tokoh sedang memaki, sudah cukup untuk menggantikan kata-kata kasar secara harfiah. Jika tidak memungkinkan, terapkan pedoman dari firman Tuhan yang telah kita bahas sebelumnya. Umumnya, kebejatan moral seorang tokoh dapat ditampilkan tanpa harus dijelaskan dengan bahasa eksplisit.

Salah satu bentuk penyalahgunaan bahasa kasar dalam budaya populer adalah anggapan bahwa menambahkan kata-kata kotor di akhir lelucon otomatis membuatnya lucu. Sikap sembrono seperti ini mendorong orang untuk melihat bahasa kasar sebagai hal yang ringan dan menyenangkan, bukan sesuatu yang kotor dan memalukan. Karena itu, "lelucon kasar" yang dikecam dalam Efesus 5 harus dihindari, terutama jika tujuan kita hanyalah menimbulkan tawa, bukan rasa sadar diri atau pertobatan.

Tantangan lain muncul ketika kita menulis tokoh yang secara impulsif menggunakan bahasa kasar, terutama dalam kisah nyata. Misalnya, beberapa biografi militer yang pernah saya baca menggambarkan hal ini secara intens. Menghapus seluruh bahasa kasarnya bisa membuat kisah terasa kurang autentik bagi pembaca, tetapi menuliskannya secara penuh justru akan membanjiri halaman dengan kata-kata kotor. Bahasa kasar mudah menyusup ke dalam pikiran kita, sehingga membaca dan menulisnya berulang kali dapat berdampak buruk secara rohani bagi penulis maupun pembaca. Karena itu, keputusan untuk menyertakannya tidak boleh diambil dengan ringan.

Secara pribadi, saya menyarankan agar penggunaan bahasa kasar dilakukan secara sangat terbatas, dan hanya ketika konteks benar-benar menuntutnya. Frekuensinya pun sebaiknya disesuaikan dengan tingkat kedewasaan pembaca.

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa orang Kristen tidak boleh menghujat, tetapi menggambarkan tokoh yang melakukannya sah-sah saja, karena hal itu hanya mencerminkan realitas hidup. Pendapat ini ada benarnya sampai batas tertentu -- menulis tentang pembunuh tidak membuat penulis menjadi pembunuh -- tetapi demi kesehatan rohani pembaca dan sebagai pertimbangan gaya penulisan, saya pribadi memilih untuk membatasi hal itu seminimal mungkin dalam karya saya.

Perspektif Staf

"Saya memiliki keunggulan tersendiri dalam menangani bahasa kasar karena saya menulis karya fantasi. Genre ini memberi saya kebebasan untuk menciptakan kata-kata yang dianggap ofensif dalam budaya fiksi saya, tetapi tidak bagi para pembaca di dunia nyata. Meskipun begitu, kebebasan ini tidak serta-merta menghapus semua potensi dilema.

Ketika saya mempertimbangkan apakah akan menyertakan bahasa kasar dalam dialog, pertanyaan pertama yang saya ajukan adalah: dampak seperti apa yang ingin saya timbulkan pada pembaca dan tokoh dalam cerita? Untuk menegaskan kekuatan bahasa, saya lebih memilih menyimpan kata-kata kasar hanya untuk adegan-adegan yang benar-benar intens.

Jika saya menilai sebuah adegan memang membutuhkan dialog yang kuat, saya kemudian mempertimbangkan apakah dialog itu masih bisa memiliki intensitas yang sama tanpa melibatkan kata-kata kasar. Jika bisa, saya memilih untuk menghindarinya, agar dapat lebih kreatif dalam menyusun prosa. Namun, jika tidak, dan kata-kata kasar adalah cara terbaik untuk mengekspresikan emosi serta kepribadian tokoh, maka saya akan menggunakannya dengan hati-hati dan proporsional.

Walau dalam kehidupan nyata orang tidak selalu menahan diri dalam berbahasa, dialog dalam karya sastra tidak pernah meniru ucapan secara persis. Dialog hanya berusaha menyerupai kenyataan dengan cara yang menonjolkan pesan atau karakter yang perlu disampaikan. Karena itu, saya hanya menggunakan "senjata berat" ini bila saya benar-benar yakin bahwa adegan tersebut membutuhkannya." (Josiah DeGraaf, Summit & Marketing Director)

"Setelah banyak penelitian, saya sampai pada kesimpulan bahwa kata-kata kasar bisa menjadi alat penulisan yang sah dalam situasi tertentu. Namun, ada satu ranah yang bagi saya tetap tabu, yaitu penistaan.

Karena nama Tuhan adalah suci dan agung, Dia secara hakiki berbeda dari semua kata-kata kasar lainnya -- yang meskipun tidak pantas, menghina, atau kejam, tidak menodai kekudusan ilahi. Menyebut nama Pencipta kita dengan cara yang tidak hormat jauh lebih serius daripada menggunakan bahasa vulgar untuk tujuan vulgar. Dalam Perjanjian Lama, penistaan merupakan dosa yang hukumannya adalah mati. Bahkan jika kita hanya menggambarkan tokoh yang menghujat dalam cerita, nama Tuhan -- yang seharusnya berharga bagi kita -- tetap menjadi objek penghinaan.

Apakah kita pernah bisa menulis tokoh yang menghujat tanpa melanggar perintah ketiga? Saya belum siap membuat pernyataan mutlak. Bagaimanapun, saya percaya bahwa kata-kata kasar lain bisa dimasukkan ke dalam fiksi bila dilakukan dengan bijaksana. Namun, saya harus bertanya dengan sungguh-sungguh: apakah nama Allah benar-benar satu-satunya pilihan yang dapat menggambarkan frustrasi atau kekecewaan tokoh saya, sampai saya tidak bisa menggunakan kata lain? Jika saya memakai nama Allah padahal masih ada alternatif yang memadai (dan saya percaya selalu ada), maka tindakan itu sama saja memperlakukan nama-Nya yang suci dengan sia-sia dan hampa makna." (Daeus Lamb, Outreach & Community Director)

Kekuatan Kata-Kata

Kata-kata memiliki kekuatan yang besar, bahkan ketika diucapkan oleh tokoh fiksi di dunia fantasi. Pada akhirnya, kita ingin pembaca menilai karya kita berdasarkan kualitasnya, bukan dari seberapa banyak kata-kata kasar yang digunakan. Menerapkan prinsip-prinsip dari firman Tuhan tentang penggunaan bahasa akan menolong kita menemukan kejelasan dalam setiap dilema pemilihan kata yang kita hadapi.

(t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Story Embers
Alamat situs : https://storyembers.org/how-should-christian-authors-depict-swearing/
Judul asli artikel : How Should Christian Authors Depict Swearing?
Penulis artikel : Sierra Stevenson