MENJAGA INTEGRITAS
Saya teringat ketika masih kecil, di lingkungan kompleks, bapak saya terkenal sebagai orang yang jujur. Tidak ada yang berani memberikan "tanda terima kasih" kepada bapak karena pasti ditolak dan diberi wejangan tentang kehidupan yang benar.
Suatu hari, ada satu perusahaan rekanan yang merasa sangat berterima kasih sehingga mencari cara lain untuk menyampaikan tanda terima kasihnya, dengan memberikannya kepada ibu di rumah ketika bapak masih bekerja. Ketika bapak pulang, beliau melihat ada segepok uang di atas meja, kemudian menanyakan kepada ibu itu uang apa. Ketika dijelaskan bahwa itu adalah "tanda terima kasih", bapak hanya minta kalau ibu sudah menerima, sekarang ibu juga yang harus mengembalikan kepada yang memberi. Jadilah ibu kalang kabut mencari tahu di mana hotel pemimpin perusahaan yang sudah datang ke rumah, dan langsung ke sana untuk mengembalikannya. Tidak ada kompromi!
Akibat dari kejujuran yang ekstrem itu, kita melihat ada perbedaan kehidupan keluarga kita dibandingkan keluarga-keluarga perwira yang lain yang tinggal di kompleks. Kita melihat keluarga dan anak-anak perwira yang lain hidupnya "tajir melintir" sementara kita tetap menjadi "orang kebanyakan".
Sebagai anak-anak yang belum mengerti asam garam kehidupan, kita hanya berpikir mengapa bapak tidak mau menerima bergepok-gepok uang tanda terima kasih, padahal bapak tidak pernah menjanjikan apa-apa. Itu diberikan mereka sebagai tanda terima kasih setelah semua urusan sudah selesai, bukan seperti yang lainnya sebagai bagian dari awal perjanjian?
Tapi alih-alih tenggelam dalam urusan "banding-bandingan", bapak menekankan kepada kita dan keluarga untuk menjaga integritas dan kejujuran. Saya yang masih kecil tidak paham apa saja yang dikatakan bapak, hanya manggut-manggut dan menyebutnya sebagai "omong tuwo" -- "bicaranya orang tua yang tidak dipahami anak-anak".
Karena tempaan pola pendidikan di keluarga, kita semua bisa menyelesaikan sekolah, bekerja, dan berumah tangga dengan baik dan mandiri. Ketika bapak sakit sebelum meninggal tahun 1994, saya sampaikan terima kasih karena sudah mendidik kami dengan semangat dan integritas tinggi, bukan dengan harta benda atau kekayaan. Itu adalah rasa syukur dari seorang anak yang mulai melihat "rimba kehidupan" yang sebenarnya.
Pada saat itu, bapak bercerita mengenai kehidupan anak-anak keluarga sesama perwira yang dahulu tinggal di kompleks. Ternyata ketika dewasa hampir semuanya bermasalah, baik ketika sekolah maupun ketika masuk dalam kehidupan rumah tangga -- dan itu membuat dukacita dan penderitaan di hati orang tua di masa tuanya, bahkan menggerus habis harta benda berlimpah yang dahulu pernah dimiliki.
Saya dahulu berpikir bahwa teman-teman saya dahulu salah pola didikan, mereka hanya dimanjakan dengan materi yang berlimpah-limpah -– sementara kita dididik dengan integritas orang tua dan keluarga yang tinggi. Memang benar itu penyebabnya, tetapi itu baru salah satu sebab dan ada penyebab yang lain yang saya pahami setelah kami terlibat dalam pelayanan pelepasan dan pemulihan anak-anak Tuhan bertahun-tahun sampai sekarang ini.
=====================================
Hepeng Ni Begu Diallang Begu
Jawaban yang cukup tepat saya peroleh ketika banyak melayani anak-anak Tuhan dari "halak kita" (suku Batak). Ada satu pepatah dalam bahasa Batak yaitu : "Hepeng Ni Begu Diallang Begu" yang artinya : "Duit setan dimakan jin." "Begu" adalah roh jahat, yang bisa berbentuk apa saja, setan atau jin. Maksudnya yang sederhana adalah jika kita mendapat uang haram, akan diambil lagi oleh setan dalam perbuatan haram dan berbagai penderitaan. Kita tidak akan bisa menikmatinya untuk kesejahteraan pribadi atau anak cucu seperti yang kita bayangkan, tetapi akan menyebabkan berbagai-bagai dukacita dan penderitaan, baik ketika masih hidup maupun ketika mati. Ketika setan memberikan uang, dia akan mengambil kembali beserta dengan "bunganya" baik saat masih hidup maupun sudah mati.
Saya yang adalah orang Jawa, ketika mendengar pepatah itu langsung diingatkan Tuhan mengenai teman-teman sepermainan yang tadinya "tajir melintir", setelah dewasa dan berumah tangga diterpa berbagai-bagai penderitaan dan dukacita, bahkan orang tuanya juga meninggal di dalam penderitaan dan kesedihan yang mendalam. Itu adalah bukti nyata dari pepatah "hepeng ni begu diallang begu".
"Hepeng ni begu" (uangnya setan) itu bukan hanya uang yang didapat kegiatan haram misalnya bisnis narkoba, prostitusi, perjudian, penyelundupan, dll., tetapi adalah semua uang yang diperoleh dengan tidak jujur dan secara hukum bukan menjadi hak kita. Uang itu bisa berupa uang komisi yang tidak dilaporkan, korupsi langsung, ucapan terima kasih, dst. -– di mana sekarang ini KPK memberi istilah "gratifikasi".
Saya paham sekali apa yang dimaksud dengan "hepeng ni begu" karena hal itu yang keluarga saya hadapi di masa kecil, termasuk ketika saya mulai bekerja dan setelah puluhan tahun bekerja di perusahaan multinasional sampai sekarang ini.
"Hepeng ni begu" ini begitu menggoda dan manis, baik ketika saya mulai mempunyai posisi untuk mengambil keputusan di kantor sampai sekarang ini menjadi pimpinan selama belasan tahun. Saya tidak perlu susah payah mencari "gepokan uang" karena itu semua datang sendiri, disodorkan di depan mata.
Pada saat itu saya langsung teringat pengalaman pada masa kecil ketika "gepokan uang" datang sendiri ke rumah. Ingatan itu begitu membekas, yang membuat saya dan keluarga sekarang ini sama sekali tidak tergoda untuk menerima. "So naïve"? – Tampaknya sangat naif? Namun, memang itulah yang terjadi sebenarnya. Pendidikan orang tua di masa kecil akan membentuk karakter yang kuat sampai usia dewasa.
Setiap kali berhadapan dengan "gepokan uang" yang disodorkan, saya menolak dengan sopan dan meminta pimpinan perusahaan rekanan itu untuk bekerja secara profesional. Saya pasti akan membantu proses "development" karena perusahaan kita bisa survive ketika ditopang para perusahaan rekanan yang berkualitas. Setelah tahu siapa yang dihadapi, para perusahaan rekanan mulai bekerja secara profesional dan tidak coba-coba "main belakang" untuk mengeruk keuntungan sepihak.
Tulisan ini ada di dalam artikel : "HEPENG NI BEGU DIALLANG BEGU" --> (http://pesta.sabda.org/hepeng_ni_begu_diallang_begu)
============================================
Di bawah ini ada contoh nyata perlunya integritas kejujuran dan menolak korupsi ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sedari kecil. Saya adalah orang Jawa yang juga memiliki budaya "ewuh pekewuh", tetapi terhadap uang suap bisa ditolak dengan sopan dan berintegritas.
Terima Uang dari Pengusaha, Mantan Dirjen Hubla Beralasan "Ewuh Pekewuh"
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Antonius Tonny Budiono, mengaku, khilaf menerima uang dari Komisaris PT Adiguna Keruktama, Adi Putra Kurniawan. Menurut Tonny, penerimaan itu secara terpaksa karena segan menolak pemberian.
Hal itu dikatakan Tonny saat memberikan keterangan sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (4/4/2018). "Saya sebagai orang Jawa itu ada budaya ewuh pakewuh," ujar Tonny kepada majelis hakim.
Kepada majelis hakim, Tonny mengaku, awalnya dia paling anti terhadap praktik korupsi. Apalagi, pemberian uang di muka untuk memengaruhi proses lelang proyek.
Tonny mengakui, menerima suap Rp 2,3 miliar dari Komisaris PT Adiguna Keruktama, Adi Putra Kurniawan. Uang itu disebut sebagai ucapan terima kasih. Menurut jaksa, uang Rp2,3 miliar itu terkait proyek pekerjaan pengerukan alur Pelabuhan Pulang Pisau Kalimantan Tengah tahun 2016 dan pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Samarinda Kalimantan Timur tahun 2016.
Selain itu, uang Rp 2,3 miliar itu diberikan karena Tonny telah menyetujui penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK) untuk PT Indominco Mandiri, PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan (UJP) PLTU Banten. Kemudian, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Tanjung Emas Semarang, yang pengerukannya dilakukan oleh PT Adhiguna Keruktama.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA