Kedaulatan Allah Atas Pekerjaan
Karena Allah berdaulat atas waktu, Dia juga berdaulat atas pekerjaan kita. "Enam hari lamanya kamu bekerja," kata-Nya. Banyak orang berpikir bahwa pekerjaan adalah akibat dari kejatuhan manusia -- bagian dari kutuk -- tetapi asumsi itu keliru. Bahkan, sebelum Dia menciptakan dunia, Tuhan bermaksud untuk menempatkan laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan mengelola dunia ini.
"Berfirmanlah Allah: 'Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.'" (Kejadian 1:26-28)
Ketika Allah menempatkan Adam di dalam taman, Dia menetapkan untuknya pekerjaan mengelola dan memelihara taman itu (Kejadian 2:15). Salah satu pekerjaan Adam adalah mengidentifikasi dan mengklasifikasi semua varietas binatang yang telah Allah ciptakan, dan selanjutnya, Adamlah yang bertanggung jawab untuk mengaturnya (Kejadian 2:19-20). Salah satu alasan pemberian tugas ini kepada Adam adalah untuk menunjukkan kepada Adam bahwa tidak ada penolong yang "sepadan" untuknya di kerajaan binatang (artinya, tidak ada penolong yang "sebanding dengannya" [NKJV]). Semua ini terjadi sebelum kejatuhan (Kejadian 3).
Kita diciptakan untuk bekerja. Dunia ini milik Allah, dan kita adalah ciptaan Allah, yang menyandang gambar Allah untuk mengikuti teladan-Nya dalam bekerja dan beristirahat. Penting bagi kita untuk memahami konsep ini karena kita hidup dalam masyarakat yang kebanyakan anggotanya menyangkal arti penting dan makna dari bekerja.
Kita hidup di dunia yang manusianya berpikir bahwa semakin sedikit pekerjaan yang Anda lakukan akan menjadi semakin baik pula keadaan Anda. Akan tetapi, Allah, yang menciptakan dunia, mengatakan bahwa arti dari keberadaan kita tidak dapat dipisahkan dari apa yang kita kerjakan. Menyangkal arti penting dari bekerja berarti menyangkal diri kita sendiri, dan pada akhirnya menghancurkan diri sendiri.
Perintah keempat menyatakan bahwa bekerja merupakan respons kesetiaan seorang manusia kepada firman Allah. Oleh karena itu, semua pekerjaan yang jujur merupakan suatu panggilan spiritual dan bermakna, entah itu berjerih payah dalam pelayanan firman Allah atau bercocok tanam, baik sebagai misionaris atau sebagai pekerja. Kita telah kehilangan konsep bahwa semua pekerjaan merupakan panggilan. Kita berpikir kalau menjadi pendeta dan misionaris adalah panggilan, tetapi orang lain hanya mencari pekerjaan.
Suatu dualisme memenuhi pikiran kita, memisahkan antara yang sakral dan yang sekuler. Berkhotbah jelas-jelas merupakan suatu pekerjaan sakral yang dilakukan demi kemuliaan Allah. Akan tetapi, pekerjaan yang biasa seperti mencangkul tanah, memalu, menyapu lantai, atau menjual beras dikatakan sebagai pekerjaan sekuler. Semua orang dapat melakukannya. Akan tetapi, perintah keempat menempatkan semua pekerjaan langsung di bawah kekuasaan Tuhan dan menjadikan setiap panggilan yang sah sebagai suatu kesempatan untuk memuliakan Dia. Memalu untuk kemuliaan Allah merupakan panggilan yang sakral. Inilah pandangan alkitabiah yang khas tentang pekerjaan.
Efek dari Kejatuhan adalah penderitaan, kesukaran, dan frustrasi dalam setiap pekerjaan. Tanah sendiri dikutuk karena dosa kita. Semua ciptaan mengeluh dan menderita karena perbudakan kebinasaan (Roma 8:20-22). Sebagai keturunan yang telah jatuh, kita menemukan bahwa pekerjaan kita sulit: tanah menghasilkan, baik gandum maupun lalang, dan semua hasil jerih lelah kita pun lenyap bersama dengan kematian kita.
Dalam penebusan, yaitu ciptaan baru, Yesus Kristus mengembalikan umat manusia kepada pandangan yang sebenarnya tentang pekerjaan. Oleh kemurahan Allah, kita dimampukan kembali untuk memahami pentingnya pekerjaan sebagai salah satu bentuk respons kita yang taat kepada Allah.
Ada sejumlah orang percaya di Tesalonika yang beranggapan bahwa Kristus sudah menuntaskan siklus bekerja dan beristirahat. Mereka percaya bahwa mereka sudah masuk ke dalam perhentian dan hanya menunggu kedatangan-Nya yang kedua. Memang kedengarannya sangat rohani, tetapi hal itu menimbulkan beberapa masalah -- mereka kelaparan selama masa penantian sehingga mereka meminta saudara-saudari seiman mereka yang tidak berpandangan sama untuk membagikan hasil jerih payahnya kepada mereka. Intinya, mereka berharap untuk menikmati hasil jerih payah orang lain, seperti parasit makan dari inangnya.
Paulus menulis kepada jemaat Tesalonika untuk mengoreksi penyimpangan dan kesalahan penerapan dari kebenaran ini. Dia memberitahukan kepada mereka untuk "menjauhkan diri dari setiap saudara yang tidak melakukan pekerjaannya dan yang tidak hidup menurut pengajaran yang telah kamu terima dari kami," dan untuk menekankan prinsip bahwa "jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2 Tesalonika 3:6, 10). Kepada orang seperti itu, Paulus mengatakan dengan kuasa apostolik "supaya mereka tetap tenang melakukan pekerjaannya dan dengan demikian makan makanannya sendiri" (2 Tesalonika 3:12). Jadi, di dalam Kristus, bekerja adalah bagian yang penting dari kehendak Allah.
Diambil dan disunting dari:
Judul buku | : | Merayakan Sabat |
Penulis | : | Bruce A. Ray |
Penerbit | : | Momentum, Surabaya 2006 |
Halaman | : | 21 -- 24 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA