Keadilan dan Kurban Kebenaran

Lalu Yesus dihadapkan kepada wali negeri. Dan wali negeri bertanya kepada-Nya: "Engkaukah raja orang Yahudi?" Jawab Yesus: "Engkau sendiri mengatakannya." Tetapi atas tuduhan yang diajukan imam-imam kepala dan tua-tua terhadap Dia, Ia tidak memberi jawab apa pun. Maka kata Pilatus kepada-Nya: "Tidakkah Engkau dengar betapa banyaknya tuduhan saksi-saksi ini terhadap Engkau?" Tetapi Ia tidak menjawab suatu kata pun, sehingga wali negeri itu sangat heran. (Matius 27:11-14)

Tema Injil Matius adalah tentang Kerajaan Surga. Pusat pembicaraan dari Kerajaan Surga adalah pada Sang Raja, yaitu Kristus. Klimaks pembahasan itu adalah pada 2 pasal, yaitu pasal 26 dan 27. Dua pasal ini merupakan pasal terpanjang dari seluruh pasal yang ada dalam Injil Matius. Dua pasal yang sangat panjang ini, didedikasikan untuk menyampaikan kisah selama 24 jam, di mana Sang Raja menjalankan misi-Nya, yaitu 24 jam pada hari terakhir Kristus disalibkan. Tema dari pasal 26 dan 27 ini adalah "via dolorosa" atau jalan salib.

Nas di atas menceritakan suatu bagian yang paling krusial, ketika Kristus harus diadili di pengadilan tertinggi pada waktu itu, yaitu pengadilan wali negeri. Enam ratus tahun sebelum kejadian ini, Nabi Yesaya dalam Yesaya 53:7 mengungkapkan: "Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya."

Yang terjadi dalam Matius 27:11-14 sepertinya tidaklah masuk akal, ditambah lagi ayat Yesaya 53:7, yang menyatakan bahwa Dia tidak membuka mulutnya. Pengadilan wali negeri adalah pengadilan yang tertinggi dan sangatlah menentukan nasib terdakwa. Pengadilan ini merupakan pengadilan yang paling krusial, karena keputusannya bersifat final. Sangatlah diharapkan bahwa pengadilan tertinggi ini adalah pengadilan yang adil.

Pilatus sebagai wali negeri, sudah melakukan ketidakadilan dalam pengadilan Kristus. Pilatus tahu bahwa Kristus tidaklah bersalah, tetapi demi kepentingannya untuk menyelamatkan posisinya, dia melakukan ketidakadilan dengan menghukum mati Kristus. Hal ini menunjukkan betapa bejat posisi pengadilan tertinggi saat itu.

Kita akan belajar dari Tuhan Yesus dalam hal menghadapi pengadilan, supaya kita juga bisa menghadapi dunia ini. Kita orang yang benar, ketika dihadapkan pada pengadilan yang tidak adil seperti ini, maka kita akan merasa sakit hati dan putus asa, apalagi Tuhan Yesus harus mempertaruhkan nyawa-Nya. Kalau kita ada pada posisi Tuhan Yesus, maka kita akan melakukan berbagai hal untuk menyelamatkan nyawa kita dulu. Dalam Matius 27:11-14 di atas, kita justru melihat hal yang terbalik. Ketika Pilatus bertanya apakah betul Yesus adalah raja orang Yahudi, Tuhan Yesus menjawab: Engkau sendiri mengatakannya, artinya: Tuhan Yesus setuju dan mengonfirmasikan pertanyaan Pilatus. Ketika muncul tuduhan-tuduhan palsu dari para Imam Kepala dan ahli Taurat, Tuhan Yesus tidak menjawab satu kata pun. Pilatus heran dengan hal ini.

Tuhan Yesus melakukan hal di atas, karena Dia memiliki cara pandang yang berbeda dengan pandangan umum. Tuhan Yesus memiliki sudut pandang dan penglihatan dari Allah, sedangkan Pilatus melihat dari sudut pandang manusia. Dalam menghadapi suatu kasus, yang terpenting bukanlah melihat responsnya terlebih dahulu, melainkan harus melihat cara pandangnya terlebih dahulu, karena akan sangat menentukan respons kita. Respons merupakan hasil dari cara kita melihat suatu masalah. Cara pandang yang tepat akan menghasilkan respons yang tepat pula.

Pertanyaan yang diajukan oleh Pilatus kepada Tuhan Yesus, yaitu: "Engkaukah raja orang Yahudi?" merupakan pertanyaan yang bersifat politis dan sangat berbahaya, karena dia bukan berada di posisi agama. Kalau Tuhan Yesus mengakuinya berarti Dia adalah seorang pemberontak negara. Seharusnya, Tuhan Yesus tidak perlu menjawab pertanyaan ini karena bersifat menjebak. Ketika Tuhan Yesus dituduh macam-macam, seharusnya Tuhan Yesus menjawab untuk mengklarifikasi, untuk membela diri. Tuhan Yesus justru melakukan kebalikannya, sehingga Pilatus menjadi heran.

Cara pandang dunia adalah untuk mengamankan diri sendiri, sehingga ketika suatu hal membahayakan dirinya, maka dia tidak mau menjawab. Sebaliknya, ketika suatu hal dianggap merugikan dirinya, maka dia harus membela diri. Kalau kita memiliki cara pandang seperti ini, maka kita juga akan mengalami seperti Pilatus. Tindakan Pilatus merupakan respons dari cara pandangnya tersebut, dan hasilnya adalah kehancuran. Pilatus terbawa melihat persoalan dari untung ruginya dia sendiri.

Tuhan Yesus melihat dari sudut kebenaran. Apa yang benar dan apa yang seharusnya merupakan dua aspek yang menentukan segala sesuatu yang kita hadapi. Pertanyaan: "Engkaukah raja orang Yahudi?" merupakan pertanyaan yang mempertanyakan tentang kebenaran, sehingga perlu untuk mendapatkan jawaban yang benar. Tuhan Yesus menjawab pertanyaan tersebut, walaupun berisiko mati. Semua kalimat yang tidak benar, seperti: tuduhan-tuduhan palsu, tidaklah perlu merespons. Hal yang salah tidaklah perlu dibela, karena kebenaran akan muncul dengan sendirinya tanpa perlu pembelaan.

Kita harus belajar untuk melihat bagaimana cara Tuhan melihat suatu kasus, dan bagaimana reaksi Tuhan terhadap kasus tersebut, dan kita harus sinkron dengan cara Tuhan tersebut. Dalam gerakan Reformed Injili, saya belajar dari pendiri gerakan ini, yaitu Pdt. Stephen Tong dalam menghadapi berbagai fitnahan dari orang-orang yang membenci beliau. Beberapa Hamba Tuhan ingin sekali menjawab fitnahan tersebut, tetapi Pdt. Stephen Tong berkata bahwa beliau bukan dipanggil untuk menjawab fitnah. Lagi pula daripada menghabiskan waktu untuk menjawab fitnah, lebih baik dipakai untuk melakukan penginjilan. Pertanyaan yang benar, ditanyakan dengan benar, harus mendapatkan jawaban yang benar. Semua pertanyaan yang salah, yang memiliki motivasi tidak benar, tidaklah perlu mendapatkan jawaban. Tidak menjawab pertanyaan yang benar adalah merupakan dosa. Menjawab pertanyaan yang tidak benar juga merupakan dosa, karena telah memakai waktu dan tenaga untuk hal yang tidak benar.

Kita seringkali mengasihani diri, sehingga cenderung mengurus hal-hal yang tidak penting dan meloloskan hal yang penting. Cara yang terbaik adalah mengerjakan semua hal yang penting, dan meloloskan hal yang tidak penting. Kalau kita melakukan hal ini, maka seluruh hidup kita akan beres.

Kita juga dituntut memunyai hati Allah dan juga pikiran Allah, bukan hanya melihat seperti Tuhan melihat, tetapi juga berpikir seperti cara pikir Tuhan. Tuhan Yesus tidak menjawab pertanyaan Pilatus bukan karena Dia tidak bisa menjawab, tetapi karena Dia sengaja tidak mau menjawab. Tuhan Yesus tidak melawan bukan karena tidak bisa melawan, melainkan karena sengaja tidak melawan. Dia membiarkan hal itu terjadi. Seorang Pilatus mengadili Tuhan Yesus, merupakan cara pikir yang tidak tepat sejak di titik pertama. Hal ini menyangkut penempatan diri/posisi. Di era Postmodern ini, kita cenderung dibaurkan posisinya dan kita mulai terjebak dengan permainan ikonisasi. Manusia mulai kehilangan personalitas karena diganti dengan logo dan simbol. Secara ikon, kita hanya melihat adanya hakim yang mengadili terdakwa. Bagi Tuhan Yesus, hakim dan terdakwa belumlah cukup, karena bukan merupakan orangnya dan hanya merupakan definisi yang tanpa isi dari suatu posisi.

Dalam tataran manajemen, kita cenderung membuat suatu tatanan sistem, lalu memasukkan orang ke dalam tatanan sistem tersebut, dan yang kita lihat adalah sistemnya. Tanpa sadar, hal ini akan menjebak kita sendiri karena banyak ketidakteraturan terjadi. Hal ini saya sadari beberapa tahun yang lalu, ketika Pdt. Stephen Tong mengeluarkan pernyataan bahwa beliau tidak suka organisasi. Bukan berarti beliau anti organisasi, melainkan beliau mencurigai organisasi. Kita jangan hanya melihat organisasi, melainkan harus selalu melihat orangnya. Dalam setiap rapat, beliau selalu menanyakan siapa orang yang ada di posisi tertentu, lalu tempatkan dia di posisi tersebut.

Layakkah Pilatus menjadi hakim, bagaimanakah hidupnya, layakkah dia mengadili? Yang menjadi terdakwa adalah Kebenaran, sedangkan yang menjadi hakim adalah orang yang rusak, suatu posisi yang tidak cocok! Maka dari itu, Tuhan Yesus merasa tidak perlu menjawab. Di dunia ini begitu banyak simbol untuk menutupi diri kita. Seberapa jauh kita menjaga kemurnian posisi kita, sehingga ketika kita diverifikasi/menjalani ujian kelayakan, kita dapat lulus? Ketika kita bisa melihat segala sesuatu dengan tepat, maka kita tidak akan mudah dikecewakan maupun ditipu.

Bukan hanya perlu memiliki hati Allah, pikiran Allah, kita juga perlu memiliki pengorbanan seperti Allah. Kristus membiarkan Diri-Nya diam, bukan berarti kalah, melainkan membiarkan Diri-Nya untuk ditindas dan dihancurkan. Kalau Kristus kalah, gagal dalam misi-Nya, maka kekristenan hari ini juga selesai. Tuhan Yesus tidak kalah! Ketika manusia berpikir bahwa Tuhan Yesus kalah, justru di situlah terjadi kemenangan yang paling dahsyat. Ketika manusia berpikir bahwa para Imam Kepala, ahli Taurat, dan Pilatus telah menang, justru di situlah terjadi kekalahan yang paling tuntas. Tuhan Yesus membiarkan Diri-Nya berkurban dan disiksa untuk membawa Injil yang sejati. Injil yang sejati adalah Injil yang bermodal dengan penderitaan dan pengorbanan. Tidak ada Injil tanpa pengorbanan.

Penginjilan tidak sama dengan pemasaran. Pemasaran selalu memikirkan keuntungan, sedangkan penginjilan memerlukan pengorbanan. Injil membawa sukacita bagi orang lain, karena orang bisa melihat adanya orang yang berkorban demi nyawanya. Berita Injil membawa pesan sebuah pengorbanan diri. Hanya kekristenan yang memiliki jiwa pengorbanan yang dahsyat demi orang lain. Kekristenan mula-mula dianiaya habis-habisan, tetapi demi Injil mereka tetap mau mengabarkan Injil. Sepanjang sejarah Gereja, inilah esensi dari pemberitaan Injil. Pada hari ini sering kali kita ingin mengabarkan Injil dengan enak. Suatu kali, Pdt. Stephen Tong ditanya tentang cara beliau mengabarkan Injil, sehingga bisa membawa banyak orang bertobat. Beliau menjawab bahwa penginjilan bukan tergantung pada cara/metode, melainkan memerlukan pengorbanan diri. Itulah jiwa Injil. Injil bukan tergantung pada metodologi, melainkan memerlukan hati yang seperti Kristus. Kiranya kita bisa memiliki hati yang seperti Kristus yang berkata: Aku mencintai kamu, dan Aku mati bagimu.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama Situs : GRII Andika
Alamat URL : http://www.grii-andhika.org/
Ringkasan Khotbah : Justice & Sacrifice of Truth (10 Juli 2011)
Pengkhotbah : Pdt. Sutjipto Subeno
Penyadur : Tidak dicantumkan
Tanggal akses : 19 Agustus 2011
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA