Kasih dan Disiplin
Kita telah membicarakan mengenai penerimaan dan pengembangan, dan kini kita akan memasuki satu pasangan kata yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu kasih dan disiplin (love and discipline).
Pembentukan karakter Kristen sangat membutuhkan kasih. Tanpa kasih tidak ada disiplin yang dapat dibicarakan.
A. Kasih
Saya kurang mampu menguraikan tentang kasih, tetapi kasih yang sejati dapat dirasakan. Sering kali, seorang ibu mengatakan kepada anaknya: "Saya melakukan semua hal ini karena saya mengasihi engkau." Namun, anak itu tidak merasakan kasih tersebut, malah mungkin dia merasa bahwa dia bukan anak kandung dari orang tuanya, karena dia merasa justru dibenci oleh ibunya.
Sebenarnya, setiap orang tua yang normal pasti mengasihi anaknya. Namun, mengapa komunikasi itu tidak sampai ke diri anaknya? Anaknya tidak merasakan kasih itu. Hal ini disebabkan karena adanya kasih yang kurang tepat, atau bukan kasih sejati.
1. Kasih yang Kurang Tepat
Kasih yang kurang tepat ada beberapa macam, seperti:
a. Kasih yang bersifat memiliki.
Keinginan untuk memiliki menjadikan orang tua atau guru mendorong anak untuk bersandar kepada mereka secara berlebihan. Ketika anak masih muda, adalah kecenderungan yang wajar jika dia bergantung kepada orang tuanya. Tingkat ketergantungan ini bisa mencapai 100%. Anak itu sangat bergantung dan memerlukan orang tuanya. Namun, semakin meningkat usia anak itu, tingkat ketergantungan itu seharusnya semakin berkurang. Kalau tidak demikian, maka perkembangan emosi anak tersebut akan terganggu dan terpengaruh.
Banyak orang tua yang menginginkan anak-anak itu terus-menerus bergantung kepada mereka. Anak-anak asuhan mereka dianggap sebagai milik mereka. Orang tua demikian menganggap anak-anak tidak lebih dari sekadar benda berharga saja, yang pada akhirnya akan menghalangi mereka menjadi anak-anak yang mandiri. Kasih seperti ini adalah kasih yang kurang tepat.
b. Kasih yang bersifat menggantikan.
Kasih yang tidak tepat ini adalah kasih yang menghendaki agar anak-anak dapat menggenapi cita-cita yang diidamkan oleh orang tua, di mana pada masa lalu, orang tua itu gagal mencapai cita-cita tersebut. Misalnya, seorang ayah olahragawan menginginkan anaknya menjadi olahragawan dan menjadi sukses seperti yang diinginkan orang tua. Akibatnya, anak itu dilatih, digembleng, dipaksa sedemikian rupa agar dapat berhasil. Kasih seperti ini merupakan kasih yang salah.
Ada seorang ibu yang terjun ke dunia musik, menginginkan anak gadisnya juga terjun ke dunia musik dan mencapai kesuksesan seperti yang diidamkan oleh sang ibu, padahal anak tersebut tidak berbakat di bidang musik. Ada guru-guru yang melakukan hal seperti itu pada muridnya. Hubungan kasih seperti ini adalah hubungan kasih yang bersyarat, di mana anak itu dituntut melakukan sesuatu yang sesuai dengan cita-cita, jikalau tidak maka kasih tidak diberikan.
Kasih seperti ini adalah kasih yang berbahaya, karena kasih seperti ini adalah kasih yang mempunyai batasan tingkah laku, bakat anak merupakan kasih yang memuaskan orang tua. Kasih ini adalah kasih yang tidak adil, tidak tepat.
c. Kasih yang bersifat memutarbalikkan peranan.
Di sini, orang tua bertukar peran dengan anak demi kepuasan dirinya sendiri. Sebagai contoh, kita dapat melihat orang tua yang kesepian, maka dia akan berperan sebagai anak yang menuntut untuk dimengerti anaknya. Mungkin dia berkata bahwa dia kesepian sehingga menuntut agar anak memperhatikannya, tidak hanya bermain dengan teman-temannya saja. Ibu itu lalu meminta anaknya mendampingi dia.
Ada ayah yang selalu mengajak anaknya ke kantor karena dia merasa aman jika anaknya menemani dia ke kantor. Kasih seperti ini merupakan kasih yang memutarbalikkan peranan. Orang tua yang berperan seperti anak, yang memerlukan pertolongan, pendampingan dalam hidupnya, sering kali adalah orang tua yang memiliki emosi kurang stabil, yang kekurangan kasih dan menuntut kasih seperti ini dari anaknya. Kasih seperti ini adalah kasih yang kurang tepat.
d. Kasih yang bersifat pilih kasih.
Entah bagaimana, tetapi sangat sering terjadi kasus di antara kita, di bawah sadar, memilih kasih terhadap anak-anak kita. Mungkin termasuk saudara dan saya. Kita bisa memilih kasih, karena kasih itu bersyarat. Umumnya, anak yang pandai, cerdas, cantik, menarik, dsb. mendapatkan kasih yang lebih dari pada anak-anak yang lain. Sebenarnya, biasanya anak-anak yang pandai, cantik, menarik sudah dipuaskan kasihnya oleh orang tuanya atau banyak orang lain, maka mereka bisa berkembang dengan normal. Justru mereka yang sering kali kurang menarik, mereka membutuhkan kasih itu. Mungkin mereka berasal dari keluarga yang tidak bisa merasakan kasih itu dari orang tua mereka. Namun, sering kali kita memilih justru mereka yang sudah dipuaskan dalam kebutuhan kasih mereka. Seolah-olah seperti yang sering dikatakan dalam peribahasa China: "Sudah cantik masih bertambah cantik", sebenarnya kasih seperti itu tidak dibutuhkan.
Justru, sering kali mereka yang tidak menarik, yang sering dikategorikan sebagai slow-learnes tidak diperhatikan dan tidak mendapatkan kasih yang cukup dari orang tua atau guru-guru mereka. Sering kali mereka justru menampilkan diri dengan cara berbuat kenakalan atau kekacauan sehingga menjadikan guru-guru mereka jengkel terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang yang sulit dikasihi, padahal justru mereka sangat membutuhkan kasih. Kalau bukan guru sekolah minggu atau guru-guru Kristen yang memiliki cinta kasih kepada mereka, siapa lagi yang bisa memberikannya? Biasanya mereka tidak mendapatkannya dalam keluarga atau pergaulan mereka. Jika kita memberikan kasih kepada mereka yang sudah berlimpah kasih, itu merupakan pelimpahan kasih yang kurang tepat.
Kasih seperti ini sering kali menimbulkan masalah. Contoh konkret dalam Alkitab terlihat dalam kasus Ishak. Dia lebih mengasihi Esau dibandingkan Yakub yang akhirnya menimbulkan masalah dalam keluarganya, atau juga kasus Yakub yang lebih mengasihi Yusuf yang akhirnya menimbulkan masalah dalam keluarganya. Muncul kecemburuan, sampai-sampai hampir terjadi pembunuhan. Kasih seperti ini sering menyebabkan kesulitan dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. Ini adalah kasih yang kurang tepat.
2. Kasih yang Tepat: Kasih Kristus
Lalu, bagaimanakah kasih yang tepat? Kasih yang tepat adalah kasih yang agung. Sebenarnya, kita tidak mengerti dan tidak mengetahui metode kasih Allah yang seperti itu. Namun, ketika kita menerima kasih Kristus, seluruh cara pandang kita berubah. Kita akan melihat wajah-wajah yang ada di hadapan kita sebagai orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan. Kita menjadi ingin sekali mengabarkan Injil kepada mereka. Allah telah mengasihi kita dan menyatakan kasih itu secara jelas kepada kita dalam Yohanes 3:16. Saya sangat senang dengan ungkapan: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini ...." Allah begitu mencintai dunia ini sehingga rela menyerahkan diri-Nya untuk berkorban di atas kayu salib demi menyelamatkan umat manusia. Tanpa karya Kristus di kayu salib, kita tidak mungkin mengerti apa itu kasih yang sejati. Kasih itu adalah kasih yang tanpa syarat.
Allah telah mengasihi kita, Kristus telah mati untuk kita, bahkan ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Bukan karena adanya syarat-syarat atau tingkah laku tertentu dalam diri kita yang menjadikan Allah mengasihi kita.
Kasih ini adalah kasih yang tanpa syarat. Kasih yang menjadikan kita rela memberi, memberi diri kita untuk mereka; kasih yang menjadikan kita rela berkorban nyawa seperti Yesus Kristus. Mungkin di zaman seperti ini, Tuhan tidak sampai menuntut Saudara untuk berkorban nyawa, tetapi istilah ini dapat juga dimengerti sebagai penyangkalan diri sendiri. Mungkin bisa mengorbankan waktu, mengorbankan uang sampai mengorbankan perasaan bila perlu. Kasih juga menjadikan kita bisa melihat anak tidak secara lahiriah, tetapi melihat anak sebagai jiwa yang berharga. Oleh karena itu, kita menerobos hal lahiriah dari anak itu, lalu melihat jiwa yang bernilai kekal dalam diri anak itu.
Pada saat bertobat, saya begitu mencintai jiwa anak-anak dan ingin memberitakan Injil kepada mereka. Saya menjadi anak muda pertama di gereja saya yang dipercayakan untuk turut serta mengajar Sekolah Minggu. Bagi saya, mereka adalah jiwa-jiwa yang sangat berharga di mata Tuhan. Kasih seperti ini memang tidak sesempurna kasih Allah, tetapi biarlah kita memiliki sebagian dari kasih Allah ini untuk bisa kita bagikan kepada anak-anak dan murid-murid kita.
Kalau kita tidak pernah mengalami kasih Allah dan menghayatinya, tidak ada metode apa pun yang bisa memberikan kasih yang tepat seperti demikian. Tanpa kasih tidak ada disiplin.
B. Disiplin
Guru tidak cukup hanya menerima, mengasihi, dan mengembangkan anak didik mereka. Mereka juga membutuhkan disiplin. Dalam sebuah buku yang saya baca dikatakan bahwa kita tidak boleh melarang anak-anak menggambar atau mencoret-coret dinding atau meja sekolah sebab itu merupakan tanda kreativitas anak itu. Bagi saya, itu bukan kreatif, tetapi kurang disiplin. Anak itu tidak memiliki self-control (penguasaan diri). Dalam Ibrani 12:5-6 dikatakan bahwa kita tidak boleh menganggap enteng didikan Tuhan dan jangan putus asa apabila kita diperingati-Nya karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya. Kutipan ini juga diambil dari Amsal 3. Kasih berhubungan dengan menghajar atau mendisiplin. Tanpa kasih, tidak ada disiplin yang sesungguhnya. Disiplin yang sesungguhnya harus didasarkan pada kasih. Disiplin mempunyai beberapa aspek pengertian:
1. Faktor Pengarahan
Disiplin mengandung arti: pengarahan akan hal-hal yang benar dan yang salah. Pembentukan karakter Kristen berdasarkan fondasi Alkitab sebenarnya ingin menyatakan kepada kita apa yang benar dan apa yang salah. Namun, sayang sekali, dasar benar dan salah telah mengalami sekularisasi. dan lebih bersifat sangat duniawi. Pola hidup guru sudah luntur dan tidak lagi murni. Kita kehilangan standar akan apa yang benar-benar benar dan apa yang benar-benar salah.
Itu sebabnya, jika kita ingin kembali kepada standar hal yang benar dan yang salah, kita harus sungguh-sungguh mendalami kebenaran firman Tuhan. Kita perlu mendalami standar hidup yang sesuai firman Tuhan karena kita membicarakan pengarahan tentang apa yang benar dan yang salah. Kita perlu membicarakan hal ini karena apa yang kita mengerti sebagai yang benar dan yang salah telah luntur karena sekularisasi ini.
2. Faktor Pengendalian
Disiplin juga berarti pengendalian diri. Manusia dilahirkan dan dibesarkan sebagai manusia berdosa. Semenjak dilahirkan, sudah terlihat benih-benih atau sifat dosa tersebut. Hal ini bukan hanya terlihat dan dinyatakan oleh firman Tuhan, tetapi juga dinyatakan oleh suatu hasil riset tentang kriminalitas di Minnesota. Hasilnya adalah: setiap bayi dilahirkan sebagai manusia yang tidak berabad, yaitu egois. Apa saja yang diminta harus segera dipuaskan. Kalau tidak segera dipuaskan, dia akan marah-marah. Tidak ada seorang ibu pun yang mengajar anaknya marah-marah atau menangis kalau tidak diberi apa yang dia inginkan. Tetapi hal ini langsung terlihat pada bayi sejak lahirnya.
Dikatakan oleh ahli riset non-Kristen itu bahwa bila mereka tidak dikendalikan, tidak dilihat untuk menguasai diri mereka, anak itu dapat dipastikan akan dilahirkan menjadi seorang kriminal. Oleh sebab itu, mereka memerlukan pengendalian diri. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa selain cara manusia untuk menolong anak-anak melakukan pengendalian diri, kita juga memerlukan pertolongan Tuhan untuk mengubah jiwa anak-anak, mengubah jiwa kita, agar kita memperoleh hidup yang baru dalam Kristus. Disiplin berarti melatih anak melakukan pengendalian diri.
3. Faktor Konsistensi
Ketika kita menjalankan disiplin, disiplin itu haruslah selalu dilakukan dengan konsisten. Biasanya, sering terjadi ketidakkonsistenan antara suami dan istri dalam mendidik. Akibatnya, anak menjadi bingung akan apa yang menjadi standar. Perlu konsistensi antara orang tua dan kakek-nenek, juga antara orang tua dan pembantu atau pengasuh, konsistensi dalam segala situasi emosi. Kalau saya sedang sedih, ada sesuatu hal yang tidak boleh dikerjakan, dan ketika sedang senang, ada juga yang tidak boleh dikerjakan. Standar kita tidak boleh disandarkan pada emosi, kalau senang menjadi boleh, kalau sedang pusing menjadi tidak boleh. Oleh karena itu, anak akan kehilangan standar akan apa yang benar dan salah, akan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Semuanya hanya berdasarkan situasi atau kondisi. Terkadang ketika ada tamu, anak boleh melakukan apa saja, tetapi kalau tidak ada tamu, anak dilarang melakukan apa pun.
Juga perlu adanya konsistensi antara tutur kata dan tindakan. Sering kali kita menggunakan berbagai ancaman yang terlalu berlebihan, tetapi kemudian yang kita katakan tidak kita jalankan karena memang tidak mungkin. Hal seperti ini membuat perkataan orang tua atau guru menjadi tidak berotoritas. Memang terkadang ada hal-hal perkecualian sehingga kita perlu lebih lunak untuk memikirkan hal lain, tetapi sebisa mungkin kita harus konsisten.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Seni Membentuk Karakter Kristen |
Judul artikel | : | Kasih dan Disiplin |
Pengarang | : | Dr. Mari Setiawani dan Dr. Stephen Tong |
Penerbit | : | Momentum, Surabaya 1995 |
Halaman | : | 12 -- 19 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA