Kanon dan Tafsir Alkitab

Meneliti Alkitab

Pada akhir dari paruh kedua abad lalu, konsep kanon Perjanjian Baru mengalami tantangan lewat versi modern dari studi penyelidikan Yesus Sejarah di Amerika [1]. Luas kanon PB, yang sudah diterima sejak akhir abad ke-4, [2] dipersoalkan dan tulisan-tulisan lain diusulkan supaya diterima setara dengan kanon PB yang selama ini berlaku. Dipersoalkannya kembali kanon PB pada dasarnya juga menyentuh kanon Alkitab secara keseluruhan. Apakah benar bahwa jumlah kitab dalam Kitab Suci tidak bisa lagi bertambah? Bagaimana dengan status tulisan-tulisan Kristen lain pada zaman yang kurang lebih bersamaan? Pernahkah tulisan-tulisan lain itu "bertanding" untuk masuk ke dalam kanon? Mengapa kitab yang satu diterima dan yang lain ditolak masuk ke dalam kanon? Apa kriterianya? Siapa yang berwenang memberi kata akhir dalam penentuan kriteria itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menjadi debat tanpa akhir dalam sejarah teologi Kristen. Maka, tulisan ini tidak berpretensi untuk memberi jawaban yang akan memuaskan semua pihak, menyadari bahwa pada akhirnya posisi teologis seseorang menentukan diterima atau ditolaknya jawaban tertentu. Namun demikian, akan dibahas juga beberapa prinsip konservatif yang mendasari penetapan kanon, mengapa kanon pada suatu saat perlu ditutup, dan pentingnya korelasi antara kanon dan tafsir Alkitab. Untuk yang terakhir akan diambil sebuah contoh negatif dari PB dan sebuah contoh positif dari PL.

Kanon Alkitab

Kanon Kitab Suci (Yun. kanon, "daftar," "aturan," "standar") merujuk pada kumpulan kitab-kitab yang diterima umat sebagai yang memiliki otoritas firman Allah, dan karena itu, menjadi tolok ukur tertinggi bagi iman dan kehidupan umat. Implikasinya, kitab-kitab tertentu, dan hanya kitab-kitab itu, bersifat normatif untuk umat [3]. Sesudah Kitab Suci terbentuk, umat tidak mempersoalkan otoritas dari kitab-kitab kanonik. Konsep kanon baru lahir kemudian sebagai respons terhadap pendekatan modern historiskritis atas Alkitab pada zaman Pencerahan yang berusaha menganalisis Alkitab secara kritis (biblical criticism). Sejak itu, kanon Alkitab dan otoritasnya mulai dipersoalkan. Hasilnya, pada abad ke-17 dan ke-18 muncul konsep kanon Kitab Suci, di mana penerimaan akan otoritas dari kitab-kitab kanonik dikukuhkan kembali oleh gereja atau sinagoga.

Kanonisasi

Apabila kanon merupakan koleksi dari kitab-kitab tertentu yang otoritas ilahinya diakui, maka kanonisasi merupakan proses di mana kitab-kitab itu dikenali dan diakui memiliki otoritas firman Allah. Proses ini memakan waktu yang lama dan melibatkan faktor-faktor manusiawi, institusional, dan dalam pemahaman konservatif, tidak lepas dari bimbingan Roh Kudus. Secara sederhana dikatakan demikian: Allah yang lebih dahulu telah mengilhami para penulis Kitab Suci, kemudian membimbing umat-Nya untuk mengenali kitab-kitab itu sebagai firman Allah, mendorong umat-Nya mengumpulkan kitab-kitab itu melalui proses bertahap dan rumit, sampai pada suatu saat menetapkan penutupan kanonisasi Alkitab, artinya tidak ada lagi penambahan kitab.

a. Kanon PL

Kapan kanon PL terbentuk tidak jelas. Di dalam tradisi Yahudi sendiri ada tiga penjelasan: Pada zaman Ezra (ca. 400 BC), pada masa Sinagoga Agung di bawah dorongan Ezra (abad ke-4 SM), atau pada konsili para rabi di Jamnia (ca. 90-100 AD). Ketiga kemungkinan ini pun masih dipersoalkan oleh para pakar, sehingga Raymond E. Brown dan Raymond F. Collins mengusulkan akhir abad ke-2 sebagai waktu yang paling aman untuk penutupan kanon Yahudi (New Jerome Biblical Commentary, 1040).

Kriteria kanonisasi PL sendiri tidak pernah tertulis jelas. Empat kriteria berikut biasa dipakai untuk penentuan kanon PL.

1. Pertama, kanonisitas dikaitkan dengan nubuat. Musa menerima Taurat dalam posisi sebagai nabi dan boleh dikatakan ia bertanggung jawab atas kepengarangan kelima kitab Kejadian-Keluaran-Imamat-Bilangan-Ulangan. Kemudian, Musa dipercaya menjadi prototipe dari nabi-nabi berikut (bnd. Ulangan 18:17-19) yang menghasilkan koleksi kitab Nabi-nabi. Selain itu, dikenal juga penyair-penyair profetis seperti Daud dan Asaf, yang menghasilkan koleksi kitab Tulisan. Dalam PL memang nabi, imam, raja, dan tokoh lain secara resmi menerima firman Allah untuk disampaikan kepada orang lain. Lalu, tulisan-tulisan yang diilhami itu dikumpulkan dan disimpan oleh umat dari generasi ke generasi.

2. Kedua, kanonisitas dikaitkan dengan konsep perjanjian. Apabila disederhanakan, bisa dikatakan bahwa Taurat mendirikan perjanjian Allah, Naratif Sejarah menggambarkan ketaatan dan ketidaktaatan Israel terhadap perjanjian, Kitab Nabi-nabi memanggil umat supaya kembali kepada hubungan perjanjian yang semestinya, dan Literatur Hikmat memperluas tema ketaatan kepada perjanjian.

3. Ketiga, PB meneguhkan kanon PL. Di seluruh PB terdapat lebih dari 250 kali kutipan PL. Yesus sendiri dalam pengajaran-Nya mengutip atau merujuk kepada PL sebagai firman Allah yang berotoritas sebanyak 31 kali. Jika Yesus saja (mewakili orang Yahudi) tidak mempersoalkan otoritas PL sebagai firman Allah, umat Kristen lebih tidak pantas lagi mempersoalkannya. Apa yang cukup baik bagi Yesus cukup baik pula bagi umat-Nya. Yang Yesus koreksi bukan PL an sich melainkan tambahan-tambahan dan interpretasi-interpretasi para ahli Taurat terhadap PL, yang pada zaman Yesus memiliki otoritas tersendiri. Pada intinya, pengajaran Yesus seharusnya tidak bertentangan dengan pengajaran PL.

4. Keempat, pemakaian kitab-kitab dalam ibadah Israel seperti liturgi Bait Allah. Sebagai contoh, dalam kanon Yahudi dikenal megilloth (har. "gulungan kitab") [4], yakni sebuah kelompok kitab yang terdiri atas Kitab Rut, Kidung Agung, Pengkhotbah, Ratapan, dan Ester. Kelima kitab ini dibacakan pada hari-hari raya utama orang Yahudi sepanjang tahun.

    - Rut - hari raya Tujuh Minggu/Pentakosta (Imamat 23:34; Ulangan 16:13) atau Pengumpulan Hasil (Kel. 23:16; 34:22), yang menandai akhir dari musim panen gandum.
    - Kidung Agung - hari Paskah
    - Pengkhotbah - hari raya Pondok Daun
    - Ratapan - hari ke-9 dari bulan Ab untuk memperingati runtuhnya Yerusalem
    - Ester - hari raya Purim

Seperti urutan hari-hari raya ini, demikianlah urutan kelima kitab ini dipertahankan dalam Alkitab Ibrani, dibaca dalam suasana siklus tahunan menabur dan menuai, sebuah suasana pengalaman universal.

b. Kanon PB

Kriteria kanon PB biasanya berkisar pada empat hal, yakni daftar kanon dari bapa-bapa Gereja, kerasulan, ortodoksi, dan kekatolikan.

Pertama, daftar-daftar yang dibuat para tokoh Gereja pada zaman dahulu bermanfaat untuk memberikan gambaran kepada kita paling tidak itulah kitab-kitab yang dipakai di gereja lokal tempat mereka melayani. Walaupun demikian daftar-daftar ini tidak seragam satu sama lain dan tidak lengkap, sehingga juga tidak bersifat mutlak. Di sini bisa disebutkan nama-nama sebagai berikut: Muratori, Origenes, Eusebius, Cyril dari Yerusalem, dua kanon Latin, Athanasius, Agustinus, konsili-konsili dari Hippo dan Kartago III.

Kedua, kriteria kerasulan berarti bahwa semua tulisan PB berkaitan, langsung atau tidak, dengan rasul atau berasal dari zaman rasul pada abad pertama. Maka, ini tidak berarti bahwa pengarang kitab PB harus salah satu dari rasul-rasul. Pengarang PB yang tergolong rasul adalah Matius, Yohanes, Petrus, dan Paulus yang dipandang sebagai rasul. Pengarang PB yang bukan rasul tetapi berhubungan erat dengan rasul adalah Markus (dikaitkan dengan Petrus), Lukas (dikaitkan dengan Paulus), penulis surat Ibrani (kalau bukan Paulus minimal dari salah seorang yang dekat dengannya). Ke dalam kelompok ini termasuk juga mereka yang berkaitan erat dengan Yesus seperti saudara-Nya (Yakobus, Yudas).

Yesus sendiri memilih rasul dan murid, supaya mereka meneruskan ajaran-Nya. Untuk itu, mereka dijanjikan Roh Kudus, yang akan membangkitkan ingatan mereka akan kata-kata Yesus (Yohanes 14:26). Roh juga akan memperlihatkan hal-hal yang akan datang (Yohanes 16:13). Maka, tulisan-tulisan para rasul dan murid Yesus dalam PB berotoritas firman Allah seperti terlihat dalam kuatnya kesadaran para rasul bahwa tulisan dan perkataan mereka adalah firman Allah (2 Tesalonika 3:14; 1 Tesalonika 2:13; 1 Korintus 2:13; 14:37). Ada juga penulis PB yang mengakui kitab lain, yang kemudian masuk ke dalam kanon PB, sebagai yang diilhamkan. Petrus mengakui tulisan Paulus (2 Petrus 3:15f.), Timotius mengutip Lukas 10:7 (1 Timotius 5:18), Yudas mengutip 2 Petrus 3:3 sebagai bagian dari perkataan rasul (ay 17, dsb.).

Ketiga, ortodoksi kanon berarti bahwa teologi dan etika dari kitab-kitab PB secara keseluruhan terpadu. Sekalipun ada perbedaan tekanan dari kitab yang satu dengan kitab yang lain, namun tidak ada kontradiksi secara esensial.

Keempat, kekatolikan kanon berarti kitab-kitab PB terpelihara, karena terbukti bermanfaat untuk mayoritas jemaat sejak awal sampaii sekarang. Ambillah contoh, seandainya surat Paulus kepada jemaat Korintus sebelum 1 Korintus ditemukan (lihat 1 Korintus 5:9), surat itu bisa dinilai tidak memenuhi kriteria kekatolikan. Pada masa lampau, surat itu terbukti tidak relevan dengan jemaat-jemaat di luar Korintus. Selama hampir dua ribu tahun surat itu tidak pernah memiliki otoritas atas jemaat, jadi itu tidak layak untuk sebuah status kanon.

Catatan Kaki:
[1] Menarik bahwa di Jerman, tempat lahirnya studi Penyelidikan Yesus Sejarah pada abad ke-19 (Wrede, Schweitzer), kontroversi Yesus Sejarah di Amerika ini ternyata tidak mendapat respons yang hangat di kalangan teolog Jerman.
[2] Pada abad ke-4 AD, melalui penetapan di Timur, Surat Paska dari Atanasius ke-39 (367 AD), untuk pertama kali dicantumkan daftar kanon PB seperti yang kita kenal sekarang. Di situ dibuat jelas antara kanon yang menjadi sumber bagi pengajaran agama dan tulisan-tulisan lain yang boleh dibaca (seperti Didakhe, Gembala Hermas). Sedangkan apokrifa PB yang bersifat bidat disebut sebagai pemalsuan yang disengaja untuk menyesatkan. Melalui penetapan di Barat pada keputusan konsili di Kartago (397 AD), sebuah daftar seperti milik Atanasius juga disetujui.
[3] Kitab-kitab mana saja yang menyusun kanon tidak akan dibahas dalam tulisan ini, karena umat Protestan, Katolik, dan Ortodoks masing-masing tidak sependapat dengan luasnya kanon Perjanjian Lama.
[4] Barangkali untuk waktu yang cukup lama liturgi Yahudi memakai kelima kitab ini dalam bentuk gulungan, sebagaimana sampai sekarang masih ditemukan dengan Kitab Ester.

Diambil dari:
Judul Jurnal : FORUM BIBLIKA
Judul artikel asli : Kanon dan Tafsir Alkitab
Penulis : Yonky Karman
Penerbit : Lembaga Alkitab Indonesia: Bogor, 2001
Halaman : 15 - 18
Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA