Nama Kursus | : | APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I) |
Nama Pelajaran | : | Permulaan dari Segalanya |
Kode Pelajaran | : | AUA I-P02 |
Pelajaran 02 - PERMULAAN DARI SEGALANYA
Daftar Isi
Doa
PERMULAAN DARI SEGALANYA
"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." (Kej. 1:1)
Dalam pelajaran kedua ini, kita akan mengembangkan prinsip-prinsip dan penerapan pembelaan iman Kristen berdasarkan kebenaran Alkitab sebagai firman Tuhan. Sesuai dengan keyakinan ini, ada beberapa hal yang harus dibahas. Pertama, kita akan memulainya dengan mempelajari konsep penciptaan secara alkitabiah.
Allah dan Ciptaan-Nya
Alkitab menempatkan kebenaran bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu sebagai kalimat pembukaannya. Hal ini menyatakan betapa pentingnya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa seluruh Alkitab berisi penjelasan mengenai kebenaran yang satu ini, yakni Allah sebagai Pencipta dan Tuhan.
Taman Eden merupakan penyataan (wahyu) dari keharmonisan Allah dengan ciptaan-Nya. Dosa merupakan pemberontakan ciptaan melawan Penciptanya. Keselamatan merupakan pembebasan dari dosa dan hak ciptaan untuk dapat berdiri di hadapan Allah. Rasul Yohanes berbicara mengenai sifat yang hakiki dari aktivitas penciptaan Allah sebagai berikut: "Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan." (Yoh. 1:3)
Jika kita mengamati Kej. 1:1, kita dapat melihat bahwa aktivitas penciptaan terdiri dari dua bagian. Di satu pihak, kita melihat Seseorang yang menciptakan. Di pihak lain, kita melihat ciptaan yang Ia ciptakan. Akibatnya, kita dapat melihat garis pemisah atau pembeda antara Allah sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya. Kita akan menyebut hal ini sebagai "perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan". Ini merupakan konsep yang akan diselidiki lebih jauh dan merupakan referensi yang akan selalu kita lihat kembali.
Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya ini tidak boleh kita lupakan atau kesampingkan barang sedetik pun dalam usaha mengembangkan apologetika alkitabiah.
Orang-orang Kristen pada zaman ini kadang masih berpikir bahwa Allah hanyalah gambaran dari seorang kakek tua yang duduk di atas awan sambil memerhatikan semua peristiwa menyedihkan yang terjadi di dunia ini tanpa mampu berbuat apa-apa. Karena itu, Allah sering dilihat sebagai Allah yang tidak berguna dan tidak penting bagi dunia ini, kecuali jika manusia sendiri yang memiliki kerinduan dan kebutuhan pribadi yang ingin dipenuhi oleh Allah.
Dalam pikiran kebanyakan orang, Allah tidak ada hubungannya dengan proses yang terjadi di dunia. Mereka mengatakan bahwa "Allah dibutuhkan hanya jika ada malapetaka atau masalah pribadi yang berat". Lebih dari itu, Allah sendiri sering dimengerti sebagai Allah yang bergantung pada ciptaan-Nya. Dia merindukan sesuatu terjadi di tengah dunia ini, namun yang Ia dapatkan adalah sebaliknya, yang tidak Ia duga, karena kepandaian tingkah manusia. Pikiran-pikiran demikian, yang jauh dari gambaran firman Tuhan, juga tumbuh di gereja.
Allah bukanlah Allah yang tidak dapat berdiri sendiri atau seperti "ayah yang hanya bisa duduk manis"; padahal Ia adalah Pencipta yang Mahakuasa serta terus-menerus terlibat dan bertanggung jawab atas ciptaan-Nya. Roma 11:36 berbicara mengenai hal ini:
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!"
Pengamatan yang lebih teliti pada bagian firman Tuhan ini akan menyatakan kedalaman dari pengetahuan tentang Allah. Pertama, Paulus berkata bahwa semua ciptaan adalah "dari Dia". Ayat ini berarti Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada dan semua ciptaan tidak terjadi dengan sendirinya. Kedua, Paulus mengatakan ciptaan diciptakan "bagi Dia". Ini berarti ciptaan diciptakan untuk kemuliaan Allah dan untuk menyenangkan Allah, bukan untuk manusia atau ciptaan lain.
Penciptaan adalah "melalui Dia". Di sini, Paulus tidak berbicara mengenai awal atau akhir dari hubungan Allah dengan ciptaan-Nya. Ia berbicara mengenai Allah sebagai Pencipta yang memelihara dan menunjang keberadaan ciptaan-Nya setiap saat sampai akhir. Ciptaan dapat terus melangsungkan keberadaannya oleh karena Allah.
Inti dari kebenaran ini adalah: Sebagaimana Allah berkuasa menciptakan dari permulaan, Dia juga berkuasa memungkinkan atau mendukung ciptaan ini untuk terus ada sampai sekarang. Demikian juga Allah tidak diciptakan oleh ciptaan-Nya, Dia sekarang pun tidak didukung oleh ciptaan-Nya dalam hal apa pun juga.
"dan (Allah) juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang." (Kis. 17:25)
Sangat jelas dikatakan bahwa Allah tidak membutuhkan apa pun yang harus atau dapat dipenuhi oleh ciptaan-Nya, karena pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ciptaan dipenuhi oleh Allah. Allah adalah Allah yang tidak bergantung atas apa pun atau siapa pun.
Jika kita mengatakan bahwa Allah adalah Allah yang tidak bergantung pada apa pun (siapa pun), di lain pihak kita harus menegaskan ketergantungan ciptaan pada Allah sebagai Pencipta. Kita tahu bahwa ketergantungan anak pada orang tua akan semakin berkurang saat mereka tumbuh menjadi dewasa. Bahkan bayi yang baru lahir pun, pada waktu yang singkat masih dapat hidup tanpa orang tuanya. Tetapi tidak demikian halnya dengan ketergantungan ciptaan kepada Allah. Ciptaan tidak dapat memisahkan keberadaannya dari Allah atau tidak dapat berdiri sendiri sedetik pun tanpa kuasa pemeliharaan Allah. Demikian kata firman Tuhan:
"Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang." (Kis. 17:25)
"Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia." (Kol. 1:17)
Allah mengatur, memenuhi kebutuhan, dan memelihara segala sesuatu tanpa terkecuali. Dari yang terbesar sampai yang terkecil, setiap aspek dari ciptaan secara keseluruhan bergantung kepada Allah untuk kelangsungan keberadaannya.
Kita harus setuju dengan John Calvin, bahwa kepercayaan pada Allah sebagai Pencipta harus disertai dengan kepercayaan bahwa Allah adalah Pengontrol sejarah. Dunia tidak dapat berlangsung dengan kekuatannya sendiri. Segala keberadaan adalah dari Allah dan melalui Allah. Karena itu, kita harus berpikir bahwa ciptaan secara keseluruhan bergantung kepada Allah.
Kita dapat melihat dalam pelajaran yang berikutnya bahwa kesadaran akan perbedaan antara Allah yang berdiri sendiri dengan ciptaan yang bergantung pada Penciptanya merupakan hal yang membedakan antara orang-orang Kristen dengan non-Kristen. Orang Kristen berusaha melihat segala sesuatu dari sudut pandang ciptaan yang bergantung pada sang Pencipta, sedangkan orang non-Kristen mencoba untuk menyangkal ketergantungannya dari sang Pencipta.
Penyangkalan yang sangat keras atas perbedaan Pencipta dan ciptaan dari orang-orang tidak percaya akan dapat dilihat dari ketidakpercayaan mereka pada keselamatan dalam Kristus. Mereka menempatkan Allah dan ciptaan-Nya saling bergantung dan mengatakan bahwa ciptaan bergantung pada Allah hanya dalam taraf tertentu saja. Orang tidak percaya mengemukakannya dengan berbagai cara, tetapi pada intinya adalah sama -- penyangkalan akan perbedaan antara Pencipta dan ciptaan.
Sebagai orang Kristen, kita harus menekankan perbedaan antara Allah (Pencipta) dan ciptaan-Nya. Kita juga tidak boleh melupakan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya sendiri dan kehendak-Nya kepada manusia. Walaupun Allah telah mengadopsi berbagai cara untuk menyatakan diri-Nya pada waktu yang berbeda, kita akan memerhatikan dua cara yang Allah pilih untuk menyatakan diri-Nya sepanjang waktu.
Secara luar biasa, Allah telah membangun seluruh jaga raya ini sehingga setiap bagiannya menyatakan diri-Nya kepada manusia. Setiap elemen dari dunia, tanpa kecuali, menyatakan Allah dan kehendak-Nya kepada manusia.
"Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam." (Maz. 19:1-2)
Ciptaan dengan segala keindahan dan kemegahannya menyatakan kemegahan dan kualitas Allah dan tuntutan kebenaran yang Ia minta dari manusia. Sebagaimana yang dikatakan Paulus dalam Roma 1:20, 32:
"Sebab apa yang tidak nampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan Keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih .... Sebab walaupun mereka mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang melakukan hal-hal demikian patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya."
Meskipun manusia, yang telah jatuh dalam dosa, menyangkalinya dan orang-orang Kristen sering kali menemukan kesulitan untuk melihatnya, Alkitab mengajarkan secara jelas bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya dalam setiap aspek ciptaan dan semua manusia, bahkan rupa manusia sendiri menyatakan semua itu.
Penyataan Allah ini tidak dapat dihindari atau disangkali. Kita tidak dapat mengetahui satu aspek dari ciptaan tanpa memikirkan Penciptanya. "Langit memberitakan keadilan-Nya, dan segala bangsa melihat kemuliaan-Nya." (Maz. 97:6)
Contohnya, tidaklah cukup untuk mengetahui bahwa sapi makan rumput. Pengertian yang benar akan sapi dan rumput akan menyatakan kuasa pemeliharaan Allah serta tanggung jawab manusia untuk menaklukkan ciptaan yang lain bagi kemuliaan Allah (lihat Kej. 1:28). Jarak terdekat antara bumi dan salah satu bintang akan dapat dimengerti hanya dengan kesadaran terhadap penyataan Allah. Begitu besarnya jarak tahun cahaya semata-mata merupakan pekerjaan tangan Allah dan memerlihatkan kepada manusia akan kebutuhan mereka untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan bersyukur atas anugerah-Nya (lihat Maz. 8:1-5).
Sebagaimana ciptaan tidak dapat terpisah dari Allah, ciptaan tidak dapat berdiam diri mengenai keberadaan Allah. Semakin seseorang mengerti tentang fakta-fakta dari jagat raya ini, semakin kita menyadari bahwa semua itu menyatakan Allah dan kehendak-Nya.
Dalam banyak hal, Allah selalu membarengi penyataan-Nya akan ciptaan dengan penyataan-Nya secara khusus mengenai diri-Nya. Di taman Eden, Allah berbicara dengan suara-Nya kepada Adam mengenai pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Kepada para patriakh (Abraham, Musa, dll.), Allah menyatakan diri-Nya melalui mimpi-mimpi dan penglihatan- penglihatan. Kepada Musa, Allah berbicara di semak duri yang menyala dan di atas kitab batu. Kepada para rasul, Ia berbicara melalui kehidupan dan perkataan Tuhan Yesus, Putra-Nya. Pada masa kini, Allah berbicara melalui Alkitab sebagai firman Tuhan yang telah diinspirasikan oleh Roh Kudus.
Penggunaan beberapa aspek tertentu dari ciptaan untuk menyatakan wahyu dimaksudkan untuk menambahkan kualitas pewahyuan dari ciptaan yang lain. Sebelum dosa masuk ke dalam dunia, ketaatan manusia diuji dengan wahyu khusus. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, penyataan secara khusus memunyai dua maksud, yakni untuk memerlihatkan jalan keselamatan melalui Kristus dan untuk menolong manusia mengerti lebih baik tentang penyataan akan Allah dan kehendak-Nya dalam aspek-aspek ciptaan lain.
Dosa telah menempatkan manusia di bawah penghakiman dan membutakan kesadaran manusia terhadap penyataan Allah melalui semua ciptaan. Akibatnya, firman Allah berfungsi sebagai alat di mana melaluinya manusia mengerti akan dirinya sendiri, dunia, dan Allah.
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah, memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik." (2 Tim. 3:16, 17)
Penyataan (wahyu) Allah melalui firman Tuhan diberikan kepada kita untuk memimpin kita kepada pengetahuan yang benar. Penyataan Allah melalui semua ciptaan dan firman Tuhan tidak menghapuskan kepastian perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Sebagaimana kita ketahui, semua bentuk penyataan Allah pada manusia justru menunjukkan perbedaan atau pemisahan yang harus diakui oleh manusia.
Ketergantungan Manusia kepada Allah
Pemazmur mengingat kedudukan kita sebagai manusia dengan perkataan ini:
"Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah: Dialah vang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya." (Maz. 100:3)
Manusia tidak lebih dan tidak kurang dalam hal ketergantungannya pada Allah dibandingkan ciptaan Allah yang lain; keduanya adalah ciptaan Allah yang perlu Ia dukung. Manusia merupakan mahkota dari aktivitas penciptaan Allah, tetapi ia tetap merupakan makhluk ciptaan dan akan kembali kepada debu nantinya (Kej. 2:7).
"Di dalam Dia kita hidup dan bergerak." (Kis. 17:28). Karena itu, bila terpisah dari Allah, kita bukanlah apa-apa. Segala sesuatu yang dimiliki manusia merupakan pemberian Allah. Layaknya ciptaan lain, bila Allah lepas tangan atas kita, kita akan berhenti dari keberadaan kita karena kita ada semata-mata hanya karena kehendak-Nya.
Ketergantungan manusia secara mutlak pada Allah memunyai banyak implikasi, namun ada dua aspek dari kebutuhan kita akan Allah yang secara khusus penting untuk pekerjaan apologetika selanjutnya.
Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan memengaruhi pandangan iman Kristen akan kemampuan manusia untuk mengetahui dirinya sendiri, dunia di sekelilingnya, dan Allah. Dalam pelajaran berikut ini, kita akan memerhatikan diri kita sendiri dalam hal pengetahuan, khususnya setelah dicemari oleh dosa.
Jika manusia secara mutlak bergantung pada Allah, maka demikian juga dalam hal pengetahuan. Pengetahuan Allah akan diri-Nya dan ciptaan adalah berdiri sendiri, namun pengetahuan manusia tidak. Pemazmur mengatakan:
"Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang." (Maz. 36:10)
Lepas dari pengetahuan Allah melalui penyataan-Nya dalam ciptaan dan firman Tuhan, kita tidak akan pernah mengerti pengetahuan apa pun. Allah mengetahui segala sesuatu, karena itu kita bergantung pada pengetahuan-Nya untuk dapat mengetahui sesuatu. Setiap pengertian yang benar yang telah manusia dapatkan, baik secara sadar atau tidak sadar, semua itu didapatkan dari Allah. Hal ini berlaku bagi manusia pertama dan semua orang sampai sekarang. Tuhan Yesus sendiri mengakuinya:
"Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yoh. 14:6)
Rasul Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan:
"sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan." (Kol. 2:3)
Segala sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai kebenaran, termasuk kebenaran yang tidak secara langsung berkenaan dengan agama atau kerohanian, bersumber dari Allah. Manusia hanya dapat mengetahuinya apabila manusia datang kepada penyataan Allah akan diri-Nya sebagai sumber kebenaran. Oleh karena Allahlah yang mengajarkan kepada manusia akan segala pengetahuan (Maz. 94:10).
Kita akan melihat kemudian bahwa ketergantungan manusia pada Allah dalam ruang lingkup pengetahuan tidaklah berarti bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengasah pikirannya. Juga tidak berarti bahwa manusia diprogram oleh Allah seperti halnya sebuah komputer dalam memproses pengumpulan data sehingga komputer mengetahui sesuatu. Manusia memang memunyai kemampuan untuk dapat berpikir, namun pengetahuan yang benar bergantung pada pengetahuan dari Allah yang telah dinyatakan pada manusia.
Sebagaimana halnya manusia harus bergantung pada Allah untuk pengetahuan secara umum, demikian juga halnya dengan petunjuk dalam moralitas. Pada saat nilai-nilai dan tujuan-tujuan tradisi dipertanyakan, kita dipaksa untuk memikirkan bagaimana manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, atau yang baik dan yang jahat.
Salah satu cara untuk menemukan jawaban atas berbagai pertanyaan kita harus sekali lagi kembali pada pengakuan akan perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan. Sebagai Pencipta, sejak semula Allah adalah Pemberi hukum yang berdiri di atas hukum-Nya dan yang mengharapkan ketaatan dari makhluk ciptaan-Nya.
Pada saat Allah berkata, "Ini adalah baik," Ia menyatakan diri-Nya sebagai satu-satunya Hakim yang benar yang dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. Dia juga mengaplikasikan hak itu bagi diri- Nya sendiri sampai sekarang. Kepada Adam dan Hawa, Ia berkata, "tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya ...." (Kej. 2:17). Kepada Musa, Ia menyatakan, "Aku adalah Tuhan Allahmu ... dan jangan ada allah lain di hadapan-Ku." (Kel. 20:2, 3). Mengenai Yesus, Allah mengatakan, "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi dan kepada-Nyalah Aku berkenan; dengarkanlah Dia." (Mat. 17:5)
Tidak akan pernah ada sidang pengadilan yang dapat menghakimi Allah; karena Ia adalah Hakim yang tertinggi. Oleh karena itu, penyataan-Nya mengenai moralitas berlaku bagi semua orang, dan apabila kita ingin mengetahui mengenai hal yang baik dan yang jahat, kita harus ingat akan ketergantungan kita pada Allah.
DOA
Ya, Tuhan, beri kami ketetapan hati untuk mengakui Engkau sebagai Pencipta langit dan bumi, yang terus-menerus terlibat dan bertanggung jawab atas ciptaan-Mu. Bimbinglah kami untuk selalu menyadari akan kedaulatan-Mu supaya kami memiliki hati yang bijaksana. Biarlah hidup kami boleh berpusat pada Engkau, melalui Engkau, dan bagi Engkau. Amin.
Nama Kursus | : | APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I) |
Nama Pelajaran | : | Dasar yang Kokoh |
Kode Pelajaran | : | AUA I-P01 |
Pelajaran 01 - DASAR YANG KOKOH
Daftar Isi
Doa
DASAR YANG KOKOH
"Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan dan siap sedialah pada segala sesuatu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat." (1 Pet. 3:15)
Kehidupan yang taat pada firman Tuhan adalah seperti rumah yang dibangun di atas dasar yang teguh. Akhir dari khotbah Tuhan Yesus di atas bukit berkata:
"Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakkannya." (Mat. 7:24-27)
Tuhan Yesus menunjuk pada suatu fakta yang nyata, yakni kekuatan fondasi menentukan kemampuan rumah itu untuk dapat bertahan dari deras dan kuatnya angin yang menerjang. Jika seseorang membangun rumahnya di atas pasir, rumah itu akan runtuh; tetapi jika ia membangunnya di atas batu yang kokoh, rumah itu akan tetap berdiri teguh, walaupun diterjang angin badai yang dahsyat. Mempelajari pelajaran-pelajaran ini seperti membangun sebuah rumah di mana kita akan tinggal tenang ketika ada hujan dan angin dari orang-orang tak percaya yang menyerang rumah tersebut karena kita yakin bahwa kita membangun dasar rumah kita dari batu yang kokoh -- firman Kristus.
Sebelum meletakkan dasar, sebaiknya kita mengetahui rumah macam apa yang akan kita bangun. Karena itu, mari kita mulai dengan memikirkan dasar ini.
Rumah Apologetika
Istilah "apologetika" sering kali disalahmengerti karena biasanya dipakai saat kita bersalah kepada seseorang dan kita merasa perlu mendatangi orang tersebut untuk meminta maaf. Namun dalam pelajaran-pelajaran berikut, istilah ini akan dipakai secara terbatas untuk pengertian khusus.
Kata "apologetika" berasal dari bahasa Yunani "apologia". Kata ini sering dipakai dalam literatur non-Kristen dan Kristen (Perjanjian Baru). Contohnya, "The Apology of Socrates" adalah sebuah catatan pembelaan Socrates yang disajikannya dalam sidang di Athena. Justin Martyr, dalam "Apology"nya, berusaha memberikan pembelaan untuk saudara-saudara seimannya dari tuduhan orang-orang tidak percaya. Pada waktu Paulus berdiri di hadapan banyak orang di Yerusalem, ia berkata, "Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan kepadamu sebagai pembelaan diri." (Kis. 22:1). Berapologetika, dalam hal ini berarti memberikan pembelaan; jadi "apologetika" adalah studi yang mempelajari bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan itu secara langsung.
Apologetika memang merupakan suatu bidang yang mendapatkan perhatian secara khusus dari berbagai agama dan filsafat. Tetapi dalam pelajaran-pelajaran ini, perhatian kita hanya akan ditujukan pada pembelaan kebenaran kristiani yang telah diwahyukan kepada manusia melalui firman Tuhan dalam Alkitab. Apologetika semacam ini disebut "apologetika Kristen", yakni pembelaan filsafat hidup Kristen terhadap berbagai bentuk filsafat hidup non-Kristen (Cornelius Van Til, Apologetics). Karena itu, kita tidak akan mempelajari apologetika secara umum, namun hanya apologetika yang berkaitan dengan kekristenan. Sesuai dengan analogi yang telah diberikan di atas, rumah yang akan kita bangun dalam pelajaran-pelajaran berikut ini adalah rumah apologetika Kristen.
Pengertian Apologetika Alkitabiah
Ketika Tuhan Yesus berbicara mengenai fondasi kokoh yang harus mendasari setiap area kehidupan kita, fondasi kokoh itu adalah firman Allah. Firman Allah adalah satu-satunya fondasi yang dapat memberikan kekuatan yang kita butuhkan untuk tetap berdiri teguh di tengah badai dosa yang dahsyat dan menghancurkan. Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah firman Allah. Merupakan pengakuan umum semua orang Kristen bahwa Alkitab adalah:
"Segala tulisan yang diilhamkan Allah, memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik." (2 Tim. 3:16, 17)
Alkitab adalah penuntun berotoritas yang mutlak bagi setiap orang percaya; tanpa Alkitab, kita hanya akan menerka-nerka pikiran Allah, tetapi dengan Alkitab, semua petunjuk dan pimpinan Allah dalam setiap aspek kehidupan menjadi pasti dan jelas. Seperti pemazmur katakan:
"Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku." (Maz. 119:105)
Tidaklah cukup kalau hanya menyebutkan Alkitab sebagai fondasi untuk berapologetika karena orang percaya yang tidak terlatih pun tahu bahwa otoritas Alkitab merupakan hal yang terpenting dalam kebutuhan pembelaan iman. Serangan terbesar dalam iman Kristen ditujukan kepada Alkitab itu sendiri. Alkitab sering kali dituduh mengandung banyak kesalahan dan hanya memunyai sedikit otoritas yang tidak berbeda dengan tulisan literatur lainnya. Karena kita harus sering membela keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, hubungan apologetika dengan Alkitab kadang-kadang disalahmengerti. Sebagai firman Tuhan, Alkitab adalah fondasi di mana kita membangun pembelaan kita dan juga merupakan salah satu kepercayaan yang harus kita pertahankan. Dua peran Alkitab ini yang kadang kita lupakan.
Ada orang-orang Kristen yang memiliki pandangan yang keliru mengenai karakter Alkitab sebagai fondasi dan cenderung membangun pembelaan mereka hanya di atas dasar hikmat dan kemampuan berpikir manusia. Firman Tuhan ditempatkan sebagai atap dari bangunan yang didukung oleh apologetika mereka. Kesulitan untuk mendukung firman Tuhan dengan bangunan yang didasarkan pada hikmat manusia sebagai otoritas yang tertinggi, sering kali menjadi terlampau berat. Pembangun-pembangun rumah semacam itu mungkin akan menutup mata dan mengatakan hal yang sebaliknya atau menyangkalinya, tetapi kehancuran rumah tidak dapat dihindarkan, bagaikan rumah yang dibangun di atas pasir.
Sebagai pengikut Kristus, kita harus selalu ingat untuk membangun pembelaan iman Kristen kita di atas fondasi yang kuat, yaitu Alkitab. Dengan demikian, tidak akan ada beban yang terlampau berat untuk ditunjang dan tidak akan ada angin yang terlalu kencang untuk ditahan. Apologetika harus membela Alkitab dengan ketaatan secara mutlak kepada prinsip-prinsip pembelaan dan petunjuk yang diwahyukan oleh Alkitab sendiri.
Peranan Alkitab sebagai penuntun dalam berapologetika dapat terlihat dengan jelas dalam 1 Pet. 3:15:
"Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.
Pada konteks sebelumnya, Petrus menulis tentang penderitaan yang harus dihadapi orang-orang Kristen pada masa itu. Petrus tahu bahwa dalam masa penderitaan, serangan-serangan dari dunia yang berdosa sering kali dapat membuat kita lupa bahwa kita sedang melayani Kristus dan harus tetap percaya dan taat pada-Nya. Petrus berharap para pembaca suratnya akan memberikan tanggapan yang tepat atas pertanyaan- pertanyaan yang para penganiaya mereka mungkin akan lontarkan. Karena itu, Petrus memberikan petunjuk untuk mempersiapkan diri menghadapi penderitaan itu dengan memohon supaya mereka memunyai sikap yang tepat terhadap Kristus.
Kita harus memerhatikan dengan saksama bagaimana Petrus menyusun petunjuk dalam ayat-ayat berikut ini. Pertama, Petrus berkata, "Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan!" dan kemudian ia menambahkan, "siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab ...." Sebelum pembelaan atau jawaban diberikan, Kristus harus dikuduskan terlebih dulu sebagai Tuhan yang memerintah dan mengatur setiap segi kehidupan kita.
Perhatikanlah bahwa kita harus menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati kita. Ini tidak berarti hanya emosi saja yang harus didasarkan pada Kristus, sementara pikiran kita bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Tidak juga berarti bahwa ke-Tuhanan Kristus harus tinggal hanya dalam hati kita yang terdalam dan tidak pernah memengaruhi jawaban-jawaban kita atas pertanyaan-pertanyaan dari dunia. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hati adalah pusat personalitas kita, yang darinya "terpancar kehidupan" (Ams. 4:23). Hati tidak hanya memerintah emosi, tetapi juga pikiran dan setiap aspek kehidupan lainnya. Lebih dari itu, menguduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hati kita berarti ke-Tuhanan-Nya juga akan efektif dalam semua yang kita ekspresikan, termasuk pembelaan iman kita. Karena itu, menurut Petrus, penaklukkan terhadap otoritas Kristus merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembelaan yang benar dan tepat. Sebagai Tuhan, Kristus akan memimpin pada saat kita melakukan pembelaan iman. Pimpinan ini datang melalui firman-Nya, dan tanpa pimpinan-Nya, segala sesuatu akan menjadi sia-sia.
Dalam pelajaran berikut, kita akan memerhatikan bagaimana membangun pembelaan untuk iman Kristen yang didasarkan pada batu karang yang teguh, yaitu Alkitab. Ada beragam buku yang mengajarkan bagaimana membela kebenaran iman Kristen. Keanekaragaman ini sering kali membingungkan orang Kristen. Namun di tengah kebingungan ini, ada satu hal yang tetap jelas bagi kita, yaitu jangan mengadopsi cara berapologetika hanya karena orang-orang terkenal menggunakannya, atau karena ternyata banyak yang berhasil, atau karena memberikan kekuatan kepada iman percaya kita. Jika kita rindu membangun pembelaan yang akan selalu tegak berdiri dan tidak pernah goyah dan jatuh, kita harus membangunnya di atas dasar firman Allah.
Kepentingan Apologetika
Mempelajari apologetika dan mengembangkan kemampuan berapologetika secara benar adalah tanggung jawab setiap orang percaya. Dari yang tertua sampai yang termuda, terkaya sampai yang termiskin, terpandai sampai yang sederhana, setiap orang yang telah percaya pada keselamatan dalam Yesus Kristus bertanggung jawab untuk mempelajari apologetika. Namun sering kali, maksud baik orang Kristen melaksanakan tanggung jawab ini gagal secara serius.
Salah satu alasan yang biasa dikemukakan untuk mengabaikan apologetika terletak pada kesalahmengertian dari apa yang Tuhan Yesus katakan dalam Mat. 10:19: "Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga."
Kesalahmengertian yang serius berkenaan dengan ayat ini, khususnya jika kita membaca terjemahan dari King James: "... give no thought how or what ye shall speak ...." ("... tidak perlu dipikirkan bagaimana atau apa yang harus kita katakan ...."). Ayat tersebut sering kali ditafsirkan bahwa kita harus bersandar mutlak pada pimpinan Roh Kudus saat membela iman kita. Karena itu, kita tidak perlu mempersiapkan diri dengan mempelajari cara berapologetika.
Lebih jauh dikatakan bahwa orang yang mempelajari apologetika malah menunjukkan bahwa ia kurang beriman dan hatinya tidak sungguh-sungguh berserah pada Allah. Penafsiran seperti ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebab tidak memertimbangkan pengamatan secara menyeluruh terhadap konteks dari ayat tersebut dan juga firman Tuhan secara keseluruhan.
Perlu diperhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak mengatakan "jangan pikirkan tentang apa yang akan kamu katakan" seperti yang sering dimengerti oleh pembaca terjemahan King James. Ayat ini sebenarnya berkenaan dengan peringatan Tuhan Yesus supaya orang-orang percaya jangan cemas dan kuatir. Pada ayat-ayat sebelumnya (Mat. 10:19), Tuhan Yesus mengatakan bahwa murid-murid-Nya akan diserahkan ke hadapan para gubernur dan raja. Kenyataan bahwa mereka akan berhadapan dengan orang-orang penting seperti itu tentu merupakan pengalaman yang sangat menggentarkan. Karena itu, Tuhan Yesus mendorong dan memberi semangat kepada para murid-Nya untuk tidak cemas dan takut. Segala ketakutan harus lenyap sebab mereka tidak akan sendiri. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Roh Kudus dari Allah akan memberikan kepada kita kekuatan dan hikmat saat kita membutuhkannya. Seperti apa yang rasul Paulus katakan: "Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak seorang pun yang membantu aku ... tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku ...." (2 Tim. 4:16, 17)
Sangatlah penting untuk dimengerti bahwa jaminan akan diberikannya kekuatan dari Roh Kudus tidak boleh dipakai untuk mengganti ketekunan dan kesetiaan dalam mempelajari dan mempersiapkan diri untuk berapologetika. Contoh lain, meski kita dianjurkan untuk tidak kuatir akan makanan dan pakaian (lihat Mat. 6:25, dst.), kita tetap diminta berjerih payah bekerja untuk mendapatkannya. Demikian juga halnya dengan berapologetika, kita harus memenuhi tanggung jawab kita untuk mempersiapkan diri.
Petrus menulis bahwa kita harus "selalu bersiap sedia (sudah mempersiapkan diri) untuk memberikan jawaban" (1 Pet. 3:15). Karena itu, mereka yang mengabaikan hal ini berarti tidak taat secara mutlak kepada ke-Tuhanan Kristus dan tidak bergantung pada Roh Kudus, sebab ketaatan dan penyerahan yang sungguh-sungguh akan dinyatakan dengan mempelajari apologetika secara serius.
Alasan lain yang sering dipakai untuk mengabaikan apologetika adalah alasan bahwa pembelaan iman merupakan pekerjaan mereka yang terlatih (seperti pendeta atau sarjana teologi), bukan tugas orang Kristen awam. Dosen teologi dan pendeta diharapkan dapat memberikan jawaban secara sistematis, sebab apologetika bersifat terlalu filosofis, abstrak, dan tidak praktis bagi kaum awam. Oleh karena itu, banyak orang Kristen yang berpikir bahwa tugas mereka hanyalah mengabarkan Injil. Dan kalau ada pertanyaan mengenai kredibilitas iman Kristen, mereka akan membawa orang itu kepada pendeta, yang dianggap sebagai "tenaga ahli".
Memang benar bahwa dosen teologi dan pendeta memunyai tanggung jawab yang lebih berat dalam berapologetika daripada kebanyakan kaum awam, namun ini tidak berarti berapologetika adalah tanggung jawab pendeta dan dosen saja. Setiap orang percaya bertanggung jawab untuk dapat berapologetika. Ayat yang telah kita pelajari mengatakan bahwa tidak ada pengecualian bagi orang Kristen dalam berapologetika (1 Pet. 3:15). Setiap orang harus siap untuk menderita bagi Kristus dan memberikan jawaban serta pembelaan atas pengharapan mereka di dalam Kristus.
Lebih dari itu, Paulus secara jelas menyatakan bahwa setiap orang percaya harus menjadi pembela iman. Sebagai rasul, Paulus secara khusus "dipilih untuk menjadi pembela Injil" (Flp. 1:16). Tetapi Paulus mengerti bahwa pekerjaan berapologetika bukan hanya tanggung jawabnya sendiri. Karena itu, ia berkata pada orang-orang Filipi:
"Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil." (Flp. 1:7)
Paulus dipenjara karena berkhotbah mengenai Injil, tetapi orang- orang Kristen di Filipi tidak meninggalkannya. Mereka mengirimkan pemberian-pemberian yang disampaikan oleh wakil gereja mereka. Malahan, mereka sangat terlibat dengan pelayanan Paulus sehingga mereka juga "mengalami hal yang sama" (Flp. 1:30) seperti Paulus. Salah satu yang mereka alami dijelaskan sebagai "pembelaan dan pengukuhan dari Injil" (Flp. 1:7). Orang-orang Filipi dihargai dan dipuji karena mereka membela iman Kristen dengan serius. Demikian pula setiap orang yang membela iman Kristennya akan dihargai dan dipuji oleh Allah.
Kepentingan apologetika dapat dilihat dari berbagai segi lain. Kemampuan untuk memertahankan kepercayaan kita akan membuat penginjilan lebih efektif. Kita tidak perlu takut mengemukakan masalah kekristenan di antara kawan-kawan dan tetangga kita bila kita mampu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Kita tidak perlu takut menghadapi orang tidak percaya dari kalangan intelektual bila kita mampu memertahankan iman kepercayaan kita. Semangat penginjilan akan bertambah dengan memelajari apologetika. Lebih dari itu, keraguan orang yang mendengar Injil sering kali menjadi sirna setelah mendengar jawaban yang benar atas pertanyaan dari keraguan mereka.
Selain itu, apologetika alkitabiah dapat menguatkan iman orang- orang percaya. Banyak orang Kristen yang terkena wabah keragu-raguan. Keraguan ini sering menjadi penyebab orang percaya kehilangan kemampuannya melayani Kristus. Apologetika memampukan orang percaya mengatasi berbagai macam pencobaan, seperti jatuh dalam ketidaksetiaan yang mungkin akan dialami. Kemampuan ini juga akan memungkinkan mereka kreatif dalam pelayanan.
Bagi orang Kristen yang belum pernah mengalami keraguan, mempelajari apologetika secara sungguh-sungguh akan membuatnya semakin bertambah yakin dan bersemangat untuk lebih taat menjadi anak Tuhan. Apologetika adalah subjek yang sangat penting, yang seharusnya menjadi perhatian semua orang percaya.
Dalam pelajaran yang berikut, kita akan membangun satu bata demi satu bata dari rumah apologetika yang sangat penting ini. Rumah ini akan dibangun secara kokoh atas dasar firman Tuhan. Satu pengharapan kami adalah orang percaya akan diperlengkapi untuk lebih baik lagi melayani Tuhan dan untuk membangun kerajaan-Nya dengan ketaatan pada- Nya. Serta secara efektif dapat memenangkan jiwa-jiwa yang terhilang.
DOA
Ya, Tuhan, Engkaulah dasar iman dan pengharapan kami. Ajarkan kepada kami untuk memiliki sikap yang siap sedia memertanggungjawabkan iman kami kepada mereka yang memintanya. Tapi terlebih dahulu, berikan kami kekuatan untuk menguduskan Engkau dalam hati kami sebagai Tuhan dan Juru Selamat supaya hidup kami sungguh mememuliakan Engkau. Amin.
Nama Kursus | : | APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I) |
Nama Pelajaran | : | Karakter Manusia Sebelum Jatuh dalam Dosa |
Kode Pelajaran | : | AUA I-P03 |
Pelajaran 03 - KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
Daftar Isi
Doa
KARAKTER MANUSIA SEBELUM JATUH DALAM DOSA
"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan- Nya mereka." (Kej. 1:27)
Pengertian apologetika alkitabiah terletak pada pandangan yang tepat akan kebenaran mengenai karakter manusia. "Kenalilah dirimu sendiri" merupakan semboyan yang sangat populer di kalangan para pemikir sejak awal permulaan sejarah filsafat. Pengetahuan tentang diri sendiri akan melengkapi manusia untuk dapat melaksanakan berbagai macam tugas di dunia ini dengan lebih baik.
Alkitab melihat sejarah dunia dan manusia dalam tiga tahap -- penciptaan, kejatuhan, dan penebusan. Manusia diciptakan, lalu jatuh dalam kutuk dosa, kemudian ditebus dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Sejajar dengan tiga macam perspektif ini, kita akan mengamati karakteristik manusia dalam tiga kategori. Dalam pelajaran ketiga ini, kita akan mengamati manusia sebelum kejatuhan. Dan dalam dua pelajaran berikutnya, kita akan mempelajari manusia yang telah jatuh dalam dosa dan manusia yang telah ditebus.
Penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain (Kej. 1:27). Fakta ini memunyai banyak sekali implikasi yang dapat kita pelajari. Kita harus membatasi diri kita sendiri dalam hal ini dengan hanya mempelajari sebagian dari makna manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Dari luar, manusia seperti Allah dalam hal kemampuan dan karakteristiknya secara fisik. Dari dalam, manusia dapat berpikir dan mengembangkan pemikirannya di mana dalam hal ini hanya manusia yang dapat melakukannya. Keunikan lain yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah jiwa yang bersifat kekal (Kej. 2:7). Lebih dari itu, manusia sebagaimana Penciptanya, telah dijadikan penguasa atas bumi ini. Sebagai wakil Allah, ia menggali dan mengolah kekayaan ciptaan Allah untuk digunakan sebagai pelayanan bagi Allah (Kej. 1:27-31).
Karakteristik ini berlaku dalam batas-batas tertentu bagi semua manusia dalam dunia ini. Karena sebelum jatuh dalam dosa, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah secara khusus. Dan manusia yang diciptakan Allah ini adalah sempurna.
"... Allah telah menjadikan manusia yang jujur." (Pengkh. 7:29)
Sebelum kejatuhannya dalam dosa, manusia merupakan gambar dan rupa Allah yang tanpa dosa. Di taman Eden, Adam dan Hawa hidup secara harmonis dengan Allah. Mereka berjalan di hadapan Allah tanpa malu. Paulus menjelaskan tahap ini sebagai:
"... pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya." (Kol. 3:10)
Di bagian lain, Paulus mengatakan bahwa apabila seseorang diperbaharui menurut karakter Adam yang semula, maka ia telah:
"... diciptakan ... di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya." (Ef. 4:24)
Dari bagian firman Tuhan ini, ada dua kualitas penting dari manusia sebelum jatuh dalam dosa yang dapat kita lihat. Pertama, dia memunyai "pengetahuan yang benar" (Kol. 3:10). Dengan kata lain, Adam dan Hawa tidak pernah melupakan perbedaan Pencipta dan ciptaan dalam hubungan dengan pengetahuan mereka. Mereka bergantung pada penyataan Allah akan diri-Nya sendiri sebagai sumber dari kebenaran mereka, dan mereka menyamakan semua pemikiran mereka dengan standar dari kebenaran yang Allah nyatakan. Oleh karena itu, Adam dapat diberi tugas yang sukar, yakni untuk memelihara taman dan menamai setiap binatang di bumi. Dia secara sadar tahu akan kebutuhannya untuk mendengarkan Allah dalam setiap keadaan apabila ia menghendaki pengetahuan yang benar. Sebelum kejatuhan dalam dosa, pengetahuan manusia akan kebenaran dibarengi dengan karakter moralitasnya, di mana Adam memiliki "pengetahuan yang benar dan suci". Adam mengerti bahwa karena sifat dari Pencipta-Nya, maka ia harus mempelajari apa yang sepatutnya dan yang tidak sepatutnya dari Allah.
Oleh karena bersandar pada pengetahuan Allah, Adam dan Hawa taat secara sempurna pada semua perintah Allah dan hidup secara damai dengan-Nya sebelum jatuh dalam dosa. Sebelum jatuh dalam dosa, dalam segala keadaan, manusia mengetahui kebenaran dan hidup sesuai dengan kebenaran itu.
Tanpa Dosa dan Fana
Meskipun manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang sempurna sebelum kejatuhan, namun manusia adalah manusia yang fana dan terbatas. Allah adalah Allah yang Mahaada (1 Raj. 8:27; Yes. 66:1), namun manusia terbatas oleh fisiknya dalam keberadaan yang terbatas. Allah adalah Allah yang Mahakuasa (Maz. 115:3); tidak ada yang dapat mengatasi atau melampaui kuasa-Nya. Oleh karena itu, sehebat-hebatnya teknologi mutakhir yang telah dicapai untuk menunjukkan kehebatan manusia, tetap tidak dapat menandingi kemahakuasaan Allah. Di hadapan Allah, manusia tetap jauh lebih lemah dan terbatas.
Demikian juga halnya dengan keterbatasan pengetahuan manusia dibandingkan dengan pengetahuan Allah yang lengkap dan sempurna (Ay. 37:15; Maz. 139:12; Ams. 15:3; Yer. 23:23-24). Sebagaimana penulis surat Ibrani mengatakan:
"Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan- Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia dan kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibr. 4:13)
Bahkan Adam akan setuju dengan Yesaya yang mengatakan:
"Seperti tingginya langit dan bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yes. 55:9)
Tentu saja dibandingkan dengan pengetahuan Allah, pikiran manusia "hanyalah seumpama napas" (Maz. 94:11). Demikianlah manusia terbatas dalam pengertiannya oleh apa yang Allah nyatakan dan harus puas dengan pengetahuan yang tidak lengkap dan tidak sempurna.
"Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini." (Ul. 29:29)
Pengertian mengenai keterbatasan pengetahuan manusia membawa kita kepada hal yang penting dalam diskusi yang berikutnya. Walaupun Adam tidak mengetahui segala sesuatu, dia tetap memiliki pengetahuan yang benar (Kol. 3:10). Pengertian manusia akan segala sesuatu yang ia ketahui dibatasi oleh perspektifnya akan waktu dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal-hal yang ia ketahui. Keterbatasan-keterbatasan ini merupakan bagian dari sifat penciptaan manusia.
Namun, kita harus ingat bahwa sebelum jatuh dalam dosa, pengetahuan Adam miliki berasal dari Allah dalam ketergantungannya pada penyataan Allah. Oleh karena itu, segala sesuatu Adam ketahui, diketahuinya dengan benar sebab ia datang pada sumber kebenaran untuk memerolehnya, yaitu Allah. Sangat nyata bahwa keterbatasan manusia tidak membuat ia tidak mampu untuk mengetahui kebenaran. Sepanjang pengetahuan yang manusia dapatkan itu berasal dari Allah, pengetahuan itu pasti benar.
Oleh karena keterbatasannya, Adam harus menghadapi misteri dalam kehidupannya, "hal-hal yang tersembunyi" (Ul. 29:29) yang ia tidak dapat ketahui. Dari fakta ini, kita dapat melihat bahwa manusia yang sempurna pun tidak mampu untuk menyusun atau menyimpulkan setiap aspek dari pengetahuan yang didapatnya ke dalam suatu gambaran lengkap yang baik dan sempurna; selalu ada titik buntu dalam pemikirannya, yaitu paradoks-paradoks dan kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dipecahkan oleh akal pikiran manusia. Namun sebagaimana besarnya misteri ini, pengetahuan manusia dalam tahap ini tetap dapat diperhitungkan serta dipertanggungjawabkan kepastian dan kebenarannya.
Kepastian dan keyakinan Adam terletak pada penyataan Allah, tidak pada kemampuannya untuk mengetahui yang terpisah dari pengetahuan Allah. Pengetahuan Allah yang sempurna dalam segala sesuatu mengabsahkan pengetahuan manusia yang terbatas sepanjang manusia bergantung pada Allah. Mari kita lihat contoh dari suatu misteri yang kita hadapi atau temui pada zaman ini.
Inkarnasi dari Juru Selamat kita, Tuhan Yesus Kristus, merupakan suatu hal yang penuh dengan misteri. Kita mengakui bahwa Ia adalah 100% Allah dan juga 100% manusia. Kita dapat mengerti kesejatian dari ke-Tuhanan-Nya dan kesejatian dari kemanusiaan-Nya sampai pada taraf tertentu, namun jika kita mencoba untuk menyelidiki lebih lanjut implikasi dari pengajaran ini, kita akan terbentur pada batas kemampuan kita dalam memahami hal tersebut. Misalnya, dapatkah kita menjelaskan bagaimana Yesus "bertambah dalam hikmat-Nya" (Luk. 2:52) apabila Ia adalah Allah yang Mahatahu? Apakah kita dapat menjelaskan bagaimana Yesus yang adalah Allah dapat mati di atas kayu salib? Kita dapat berusaha sekuat tenaga menjawab pertanyaan ini, namun orang yang jujur segera akan menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan ini, juga pertanyaan-pertanyaan lain yang semacamnya, adalah di luar batas kemampuan manusia untuk mengerti.
Meski kita tidak dapat menyelami semua konsep ini, namun kita dapat yakin bahwa Yesus adalah 100% Allah dan juga 100% manusia, dan bahwa Ia bertambah dalam hikmat dan kemudian Ia mati. Keyakinan ini bukan bergantung pada ketidakmampuan kita untuk mengerti secara tuntas, melainkan karena kita percaya pada penyataan Allah.
Semakin kita mengerti akan kebenaran kristiani, kita akan menemukan bahwa di akhir setiap pengajaran dari firman Tuhan, terlihat fakta ketidakmampuan manusia untuk menyelami secara tuntas konsep-konsep dalam hubungannya dengan konsep-konsep kebenaran yang lain. Ada banyak hal-hal yang kelihatannya berlawanan satu dengan yang lain dalam kebenaran kristiani, namun hal ini seharusnya tidak boleh menyebabkan kita meragukan pengajaran Alkitab. Ada dua alasan mengapa kita tidak boleh meragukan pengajaran Alkitab.
Pertama, hal itu seharusnya membuat kita sadar akan keterbatasan diri kita. Manusia harus menyadari keberadaan mereka sebagai makhluk ciptaan dan bersama Paulus menyatakan kalimat berikut ini:
"O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!" (Rom. 11:33)
Kedua, Alkitab tidak seharusnya diragukan pada saat kita tidak dapat mencocokkan kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain. Penyataan Alkitab merupakan pemikiran Allah di mana bagi-Nya tidak ada satu hal pun yang bersifat misteri. Allah dapat menuntaskan konsep- konsep yang paling sukar, yang tidak dapat dituntaskan oleh pikiran manusia. Tidak ada satu hal pun yang merupakan misteri bagi Allah; Ia mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Namun, misteri merupakan keterbatasan dari makhluk ciptaan, bukan Pencipta. Sepanjang kita bergantung kepada-Nya dalam pengetahuan kita, misteri yang paling besar pun tidak akan menghalangi kita dari kebenaran.
Logika, Allah, dan Manusia
Suatu hal yang terus-menerus timbul dalam suatu diskusi dan yang memengaruhi apologetika alkitabiah adalah peranan logika dalam hubungan antara Allah dan manusia. Dalam pelajaran ini, kita akan membatasi pada sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Adam diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya, hal ini mencerminkan hikmat Allah dan juga yang membedakannya dengan binatang (2 Pet. 2:12, Yud. 10). Kita telah mempelajari bahwa di taman Eden, Adam telah menggunakan akal budinya dalam ketergantungan-Nya pada Allah. Dia membangun pola berpikir yang sesuai dengan petunjuk Allah. Adam pasti menggunakan logika meskipun dalam bentuk yang sederhana, dan ia menggunakannya dalam ketaatannya pada Allah. Ia tidak pernah mengabaikan ketergantungannya pada Allah dengan berpikir bahwa logikanya mampu memberikan penjelasan dan pengetahuan secara terpisah dari Allah. Akibatnya, dalam menggunakan kemampuannya, Adam menggunakan akal budi yang selalu tunduk pada keterbatasan dan pimpinan penyataan Allah. Allah selalu dilihat sebagai dasar dari kebenaran dan sumber dari kebenaran, karena keadaan Adam pada saat itu adalah sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan tanpa dosa.
Dari peran akal budi yang berdasarkan logika, yang dimiliki manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia, maka ada beberapa pengamatan yang dapat kita lakukan. Pertama, menggunakan akal budi dan mengembangkan pikiran itu bukanlah sesuatu yang salah dan jahat. Kekristenan telah mendapat berbagai macam serangan dari mereka yang mengklaim bahwa segala sesuatu harus "masuk akal" dan "ilmiah".
Beberapa orang Kristen berpikir bahwa perlindungan satu-satunya adalah dengan cara menolak ilmu pengetahuan dan pemakaian akal budi serta menganggap kedua hal itu sebagai sesuatu yang jahat dan saling bertentangan. Penggunaan akal budi bukan merupakan sesuatu yang jahat sebab di dalam taman Eden, Adam juga menggunakan akal budi dan mengembangkan pikirannya. Adamlah yang menamai binatang-binatang dan yang memelihara taman. Ia tidak menghilangkan logikanya dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari.
Yang perlu diperhatikan adalah bila manusia memakai akal budi dan mengembangkan pikirannya secara berdiri sendiri atau terlepas dari Allah, hal ini akan memimpinnya kepada ketidakbenaran dan kesalahan. Tetapi apabila kedua hal itu dipergunakan dalam ketergantungan pada penyataan Allah, kebenaran akan ditemukan. Menggunakan akal budi dan mengembangkan pikiran itu sendiri tidaklah berlawanan dengan iman atau kebenaran.
Kedua, logika tidaklah berada di atas fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan. Saat kita berbicara tentang manusia dalam menggunakan akal budinya, kita harus ingat bahwa logika hanya merupakan refleksi dari hikmat dan pengetahuan Allah. Meskipun dalam firman Tuhan, Allah merendahkan diri dan menyatakan diri-Nya dengan istilah yang sesuai dengan daya pikir, logika manusia, namun itu tidak berarti logika manusia berada di atas atau sejajar dengan Allah dan juga tidak merupakan bagian dari keberadaan Allah.
Logika dalam bentuk-bentuk yang paling kompleks dan tajam tetap berada dalam ruang lingkup ciptaan dan kualitasnya sesuai dengan kualitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan dengan kualitas yang sama seperti Allah.
Oleh karena logika merupakan bagian dari ciptaan, maka logika memiliki keterbatasan. Pertama terlihat dari logika sebagai sistem yang selalu dalam proses berubah dan berkembang. Bahkan, ada beberapa sistem logika yang dalam titik tertentu, berlawanan satu sama lain. Tidak ada definisi dari "kontradiksi" yang diakui secara universal. Meskipun semua manusia dapat saja sepakat dalam satu sistem untuk mengembangkan suatu pemikiran, logika manusia tidak dapat dipergunakan sebagai hakim untuk menentukan kebenaran dan ketidakbenaran.
Kekristenan, pada hal-hal tertentu, dapat dikatakan masuk akal dan logis, namun logika menemui batas kemampuan pada saat diperhadapkan dengan hal-hal seperti inkarnasi dari Kristus dan doktrin Tritunggal. Logika bukanlah Allah dan tidak boleh diberikan penghormatan. Penghormatan hanya boleh diberikan kepada Allah saja. Kebenaran hanya ditemukan pada penghakiman Allah, bukan pada pengadilan logika.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk menghindari dua sisi ekstrim yang biasanya diambil dalam hubungannya dengan penggunaan akal budi dan logika. Di satu pihak, ada manusia yang menolak menggunakan akal budi dan setuju pada iman yang buta. Di lain pihak, ada manusia yang memberikan logika sejumlah ruang untuk berdiri sendiri dan terlepas dari Allah. Kedua posisi tersebut tidak sesuai dengan karakter manusia sebelum kejatuhan. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang dapat berpikir dan mengembangkan pikirannya, namun ia diharapkan menyadari keterbatasan pikirannya dan ketergantungan logikanya pada Penciptanya.
Karakter manusia sebelum dosa masuk ke dalam dunia merupakan dasar dari tugas berapologetika. Meskipun pada saat ini tidak ada seorang pun di dunia yang sama sekali lepas dari dosa, namun ada kualitas manusia sebelum kejatuhan yang terbawa sampai hari ini. Pada saat kita membela iman Kristen, kita berhubungan dengan laki-laki dan perempuan keturunan Adam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memunyai pengertian yang kuat akan keadaan manusia sebelum kejatuhan.
Akhir Pelajaran (AUA I-P03)
DOA
Ya, Tuhan, meskipun kami telah diciptakan menurut gambar dan rupa-Mu yang sempurna, namun kami hanya manusia yang fana dan terbatas secara fisik maupun keberadaan. Sedangkan Engkau adalah Allah Yang Mahakuasa; tidak ada yang dapat mengatasi atau melampaui kuasa-Mu. Tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Mu sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata-Mu. Oleh sebab itu, kepada-Mu sajalah kami harus memberikan pertanggungjawaban. Amin.