AUA-I Pelajaran 06
Nama Kursus | : | APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I) |
Nama Pelajaran | : | Filsafat Non-Kristen dan Kristen |
Kode Pelajaran | : | AUA I-P06 |
Pelajaran 06 - FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN
Daftar Isi
- Struktur Filsafat Non-Kristen dan Filsafat Kristen
- Struktur Filsafat Non-Kristen
- Struktur Filsafat Kristen
- Dilema Orang Non-Kristen dan Jawabannya
- Pemikiran Berkenaan dengan Allah
- Pemikiran Mengenai Dunia di Luar Diri Manusia
- Pemikiran Mengenai Manusia
- Mitos dari Netralitas
Doa
FILSAFAT NON-KRISTEN DAN KRISTEN
"Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi menurut Kristus." (Kol. 2:8)
Dari pengamatan singkat akan karakter manusia, terlihat fakta adanya dua macam kelompok manusia yang hidup di sekitar kita hari ini. Kedua kelompok ini memegang pandangan yang berlawanan mengenai Allah, dunia, dan diri mereka sendiri. Dua pandangan ini akan disebut filsafat Kristen, yang berakar pada ketergantungan secara total pada Allah; dan filsafat non-Kristen, yang berakar pada kemandirian, terlepas dari Allah. Kedua pandangan ini memengaruhi setiap aspek kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam berapologetika, sangat penting untuk mengetahui kedua filsafat ini dengan jelas.
- Struktur Filsafat Non-Kristen dan Filsafat Kristen
- Struktur Filsafat Non-Kristen
Dalam Ef. 4:17-19, Paulus menjelaskan keberadaan orang non-Kristen untuk menyatakan bentuk filsafat yang mereka hasilkan. Mereka berjalan: "Sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran."
Orang non-Kristen menyangkali fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan dan memalingkan diri dari Allah supaya terlepas dari Allah. Akibatnya, mereka hidup dalam kesia-siaan. Semua usaha mereka adalah kegelapan dan kefanaan.
Kita harus berhati-hati dalam menafsirkan perkataan Paulus untuk mendapatkan pengertian yang tepat. Dalam pernyataan itu, Paulus tidak melawan filsafat secara umum; ia sendiri adalah seorang ahli filsafat. Yang ia lawan adalah filsafat yang mengadopsi kemandirian untuk lepas dari Allah, yang akan menghasilkan kehancuran dan kematian kekal.
Mungkin kita berpikir bahwa Paulus terlalu berlebihan dalam mengomentari soal ini, namun perkataannya yang berikut ini justru membuktikan kesungguhannya:
"Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi menurut Kristus." (Kol. 2:8)
Filsafat orang non-Kristen berdasar pada kemandirian pikiran manusia dan kesetiaan atas "tradisi manusia" serta "prinsip-prinsip dasar dari dunia". Tidak ada yang benar bagi mereka selain bisa dibuktikan benar oleh pikiran manusia yang mandiri.
Untuk lebih jelasnya, Paulus menunjukkan karakter filsafat non- Kristen yang dengan tegas menolak Kristus dan bersikeras memertahankan kemandirian mereka. Orang-orang yang mengambil posisi netral juga telah menolak pernyataan Kristus sebagai Tuhan atas seluruh alam semesta. Oleh karena itu, filsafat non-Kristen dapat diumpamakan sebagai bangunan yang atapnya mendukung fondasinya; tidak ada dasar yang kokoh di bawahnya.
- Struktur Filsafat Kristen
Filsafat Kristen menunjukkan usaha untuk menghindarkan diri dari kesia-siaan yang berasal dari kemandirian. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus:
"Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." (1 Kor. 2:12)
Paulus selanjutnya menyatakan sifat dari komitmen agamawi yang merupakan dasar dari filsafat Kristen:
"Sebab dalam Dialah (Kristus) berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa." (Kol. 2:9-10)
Paulus memberikan tiga prinsip yang penting sehubungan dengan filsafat Kristen:
"Di dalam Dia, seluruh kepenuhan ilahi tinggal." Kristus adalah penyataan Allah dalam bentuk fisik. Karena itu, filsafat manusia harus berdasarkan pada komitmen bahwa Kristus adalah yang diwahyukan Allah dalam Alkitab. Hanya Allah yang mengetahui alam semesta ini secara mendalam dan menyeluruh; hanya Dia yang dapat mengajarkan kebenaran kepada manusia. Karena Kristus adalah Allah, maka kita harus menyerahkan diri pada-Nya apabila kita ingin memiliki kebenaran.
"Di dalam Dia, kamu telah menjadi sempurna." Hanya melalui persekutuan dengan Kristus dalam iman, kita dimungkinkan untuk dapat melihat Allah, dunia, dan diri kita sendiri dengan tepat dan benar. Lepas dari iman pada Kristus sebagai komitmen dasar hidup, kita tidak mungkin mendapatkan filsafat yang benar.
"Dia adalah kepala dari segala pemerintah dan penguasa." Apabila kita lebih memercayai prinsip yang tidak bergantung secara total pada Allah sebagai dasar pikiran kita, maka ini sama dengan menganggap bahwa ada otoritas lain yang melebihi Kristus. Padahal tidak ada pengadilan yang dapat mengadili Kristus. Tidak ada hakim di atas Dia.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh Kristus harus diterima sebagai kebenaran, sebab Dialah yang memiliki otoritas mutlak/terakhir atas segala sesuatu. Setiap aspek dari filsafat kristiani harus bersandar pada komitmen ketergantungannya pada Allah. Filsafat Kristen dapat digambarkan sebagai suatu bangunan yang besar dan disangga oleh satu tiang utama -- Kristus.
Komitmen orang Kristen akan ketergantungannya pada Allah sering kali disalahmengerti dalam dua hal:
Pertama, komitmen pada Kristus dianggap hanya dilaksanakan apabila berurusan dengan masalah-masalah gerejawi. Oleh karena itu, persoalan-persoalan sekuler tidak perlu didasarkan pada komitmen ketergantungan mutlak pada Allah. Pandangan ini sangat tidak benar. Komitmen ketergantungan secara mutlak pada Allah harus dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Contohnya, dalam bercocok tanam, orang-orang percaya harus menyadari bahwa pengetahuannya adalah berasal dari Allah.
"Bukankah setelah meratakan tanahnya, ia menyerakkan jintan hitam dan menebarkan jintan putih, menaruh gandum jawawut dan jelai kehitam- hitaman dan sekoi di pinggirnya? Mengenai adat kebiasaan ia telah diajari, diberi petunjuk oleh Allahnya." (Yes. 28:25-26)
Semua hikmat dan pengetahuan kita berasal dari Allah.
"yang memberi kita akal budi melebihi binatang di bumi, dan hikmat melebihi burung di udara?" (Ay. 35:11)
Orang Kristen berusaha untuk bergantung pada Allah dalam segala sesuatu supaya dapat mengatasi segala sesuatu sesuai dengan prinsip berikut:
"Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita." (Kol. 3:17)
Kedua, komitmen ketergantungan pada Allah disalahmengerti secara total dalam pengertian bahwa filsafat Kristen hanya sekadar membaca firman Tuhan dan berdoa. Padahal, orang-orang Kristen tidak mendapatkan keseluruhan filsafat mereka hanya dari Alkitab dan berdoa, walaupun kedua hal itu paling utama. Orang Kristen juga melihat dunia dan menemukan jawaban atas pertanyaannya setelah secara aktif melakukan pengamatan dan penganalisaan.
Allah tidak mewahyukan jawaban secara rinci dalam Alkitab atas setiap pertanyaan yang diajukan manusia. Yang Allah berikan kepada kita adalah prinsip-prinsip sebagai pedoman untuk membangun filsafat kita. Saat Allah memerintahkan nabi Nuh untuk membangun bahtera, petunjuk tertentu diberikan melalui wahyu khusus, namun hal-hal yang terperinci dipelajari dengan menerapkan prinsip-prinsip sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, Allah mengatakan kepada nabi Nuh untuk memplester bahtera itu, namun jumlah aspal yang akan dipergunakan tidak diberitahukan oleh Allah. Karena itu, nabi Nuh harus menentukan sendiri jumlah aspal dengan melihat seberapa banyak yang diperlukan untuk menjaga bahtera dari kebocoran. Filsafat Kristen bukan hanya membaca Alkitab dan berdoa. Tetapi merupakan sebuah konstruksi yang dibangun berdasarkan prinsip firman Tuhan.
Tuduhan yang sering kali diberikan kepada orang Kristen adalah bahwa komitmen orang Kristen akan ketergantungan pada Allah merupakan hasil keputusannya yang mandiri. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa ketergantungannya pada Allah adalah proses kemandirian orang Kristen yang memutuskan bahwa kekristenan merupakan pilihan yang terbaik. Memang, seakan-akan terlihat seperti itu jika dilihat dari sudut pandang orang non-Kristen. Namun, orang Kristen menyadari bahwa kenyataannya tidak demikian. Orang Kristen tidak mendasarkan kemandiriannya saat menyerahkan diri untuk bergantung kepada Allah. Terlebih dahulu, ia telah diberi anugerah kelahiran baru, lepas dari kehendaknya sendiri. Oleh karena anugerah Allahlah, ia dimungkinkan untuk menyerahkan dirinya pada ketergantungan secara total pada Allah.
"Hal itu tidak bergantung kepada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah." (Rom. 9:16)
Sirkulasi pemikiran orang Kristen terdiri dari pengakuan bahwa tidak ada yang lebih tinggi daripada otoritas Allah dan firman-Nya. Sirkulasi pemikiran orang non-Kristen merupakan bukti dari pemikiran yang mandiri dan lepas dari Allah yang berusaha untuk mendukung dirinya sendiri. Perbedaan kedua pandangan ini membentuk jurang pemisah yang besar yang hanya bisa dijembatani oleh anugerah kelahiran baru dari Allah.
- Struktur Filsafat Non-Kristen
- Dilema Orang Non-Kristen dan Jawabannya
Saat manusia menolak fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan dan menyerahkan dirinya kepada kemandirian yang lepas dari Allah, manusia dihadapkan pada suatu dilema yang tidak dapat dihindari oleh orang-orang non-Kristen. Suatu analogi dapat kita lihat dalam teater Yunani kuno, di mana aktor yang sama sering kali harus memainkan berbagai peran dengan cara menggonta-ganti topengnya. Demikian juga halnya dengan orang non-Kristen yang tidak mengenal kebenaran Allah, mereka terpaksa harus memakai dua topeng. Saat berpaling kepada Allah, mereka menyatakan keyakinannya yang mutlak bahwa fakta perbedaan Pencipta dengan ciptaan-Nya adalah tidak benar; karena itu, ia memakai topeng "keyakinan yang mutlak". Namun ketika berpaling dari Allah, mereka berada pada posisi di mana ia tidak memunyai dasar yang kuat untuk pengetahuan. Karena itu, ia harus menggunakan topeng "ketidakyakinan yang mutlak".
Suatu saat, orang non-Kristen memakai topeng yang satu dan memakai topeng yang lain pada saat lain. Sesungguhnya, mereka diperhadapkan pada suatu dilema yang tidak dapat dipecahkan di balik topeng itu, di mana kedua-duanya, pada saat yang sama, yakin secara mutlak dan tidak yakin secara mutlak. Pembukaan atau upaya menyingkapkan topeng orang tidak percaya dan memerlihatkan dilema ini kepada mereka, merupakan bagian penting dalam pembelaan (apologetika) alkitabiah.
Apabila orang yang non-Kristen bersikeras untuk berpegang pada pandangannya, maka dia harus mengabaikan secara total kesadarannya akan keterbatasan manusia. Sering kali, keadaan ini diperlihatkan oleh orang non-Kristen sebagai usaha untuk menghindari kesombongan atau membuat dogma (memutlakkan sesuatu). Mereka akan mengatakan bahwa kita tidak yakin akan apa yang kita pikir kita tahu, atau bahwa kita hanya akan sampai kepada "pengetahuan yang berdasarkan pada suatu kemungkinan". Pernyataan ini kelihatannya seperti "kerendahan hati" pada permukaannya, namun sebenarnya merupakan pernyataan keyakinan dan ketidakyakinannya yang mutlak pada waktu bersamaan.
Titik ini akan sangat menolong untuk menggambarkan lebih lanjut bagaimana filsafat orang non-Kristen memerlihatkan dilema "keyakinan yang mutlak bahwa tidak ada keyakinan-keyakinan yang mutlak". Penjelasan akan diberikan berdasarkan tiga hal utama dari pemikiran manusia -- tentang Allah, dunia di luar manusia, dan manusia sendiri. Penjelasan ini bukan merupakan penjelasan yang mendalam karena kita hanya akan memerlihatkan beberapa contoh untuk mendukung gambaran yang akan diberikan. Hal-hal ini sangat penting bagi apologetika alkitabiah.
Filsafat Kristen menyediakan jawaban atas dilema orang non- Kristten. Kristus adalah dasar dari kepastian manusia dan jawaban atas ketidakpastian yang ditemukan. Allah dilihat sebagai sumber dari segala pengetahuan, maka orang Kristen tidak lagi dihadapkan pada masalah pasti dan tidak pasti yang tidak terpecahkan. Memang ada kepastian dan ketidakpastian dalam filsafat kristiani, namun itu semua ada di bawah bimbingan ke-Tuhanan Kristus.
Di satu pihak, orang Kristen memiliki kepastian akan pengetahuan manusia selama ia bergantung pada wahyu Allah. Mendasari filsafat kita atas Allah dan wahyu-Nya, berarti menerima secara pasti hal-hal yang telah diwahyukan. Kepastian orang Kristen tidak dihancurkan oleh apa yang tidak diketahuinya karena Allah mengetahui segala sesuatu secara mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu, Ia dapat menyediakan pengetahuan yang cukup bagi manusia, bahkan dalam keterbatasan manusia sekalipun. Manusia akan mengetahuinya dengan benar tanpa disertai rasa takut akan salah.
Di pihak lain, memang ada ketidakpastian dalam diri orang Kristen. Ia menyadari bahwa tidak mungkin ia mampu memahami semua pengetahuan. Ini berkenaan dengan hal-hal yang melampaui akal budinya dan yang belum dinyatakan Allah kepada manusia. Dalam hal-hal seperti itu, orang Kristen mengakui ketidakpastiannya, tetapi tetap percaya pada hikmat Allah dan pengertian-Nya yang sempurna. Contohnya, orang percaya tidak mampu untuk memecahkan misteri ke-Tuhanan dan kemanusiaan Tuhan Yesus. Namun, ia percaya bahwa hal itu bukanlah suatu misteri bagi Allah dan hal itu pasti benar karena Allah yang mengatakannya. Ketergantungan pada Allah ialah tetap memercayai-Nya dalam hal-hal yang belum dapat kita pahami sepenuhnya sekalipun. Dapat dikatakan, orang Kristen dapat memiliki ketidakpastian yang bergantung pada pengetahuan Allah yang sempurna.
Supaya kita dapat melihat dengan jelas perbedaan antara kepastian dan ketidakpastian antara orang Kristen dan orang non-Kristen, kita akan melihat beberapa gambaran berikut ini.
- Pemikiran Berkenaan dengan Allah
Salah satu keterbatasan filsafat non-Kristen adalah dalam hal pertanyaan akan keberadaan Allah. Di satu pihak, orang non-Kristen (mungkin seorang ateis) berpegang pada keyakinan yang mutlak bahwa Allah tidak ada. Untuk berpegang pada pandangan ini, orang ateis berusaha untuk mengabaikan fakta keterbatasannya dalam menyelidiki seluruh alam semesta dan mendorongnya menyadari bahwa mereka tidak yakin secara mutlak akan keberadaan Allah. Oleh karena orang non-Kristen belum menyelidiki semua kemungkinan yang membuktikan keberadaan Allah, ia tidak dapat yakin secara mutlak bahwa Allah tidak ada.
Orang Kristen memiliki kepastian yang bergantung pada Allah mengenai keberadaan dan karakter Allah melalui wahyu Allah dalam Alkitab. Allah telah berfirman dan menyatakan diri-Nya bahwa Ia dapat dikenali oleh mereka yang menyerahkan dirinya untuk percaya kepada Anak-Nya. Namun, orang Kristen memiliki ketidakpastian yang bergantung pada Allah karena ia tidak mengetahui segala sesuatu mengenai Allah. Allah merahasiakan sebagian mengenai diri-Nya. Selain itu, dosa yang tersisa dalam kehidupan orang percaya menahannya untuk mengetahui apa yang telah diwahyukan sebagaimana seharusnya. Namun demikian, ketidakpastian ini tidak menghancurkan segala sesuatu yang dapat diketahui oleh orang Kristen mengenai Allah, sebab Allah memiliki semua pengertian dan pengetahuan akan segala sesuatu.
- Pemikiran Mengenai Dunia di Luar Diri Manusia
Dilema dari filsafat orang non-Kristen dapat dilihat pula dari apa yang dikatakan mengenai lingkungan ciptaan di sekitar mereka. Klaim akan keyakinan yang mutlak telah dikemukakan, misalnya, saat mereka mengatakan bahwa dunia ini, dalam pengertian tertentu, merupakan dunia yang teratur dan dapat dimengerti. Mereka yakin secara mutlak bahwa keteraturan yang telah benar-benar diamati merupakan suatu realitas dari dunia ini. Namun, orang tidak percaya diperhadapkan pada fakta bahwa ia belum dan tidak dapat menyelidiki keseluruhan dari dunia di luar dirinya, sehingga ia tidak dapat menghindari ketidakpastian yang mutlak.
Kepastian yang bergantung pada Allah dapat ditemukan dalam pandangan Kristen yang mengajarkan bahwa Allah telah menciptakan dunia yang teratur ini. Orang Kristen dapat mengerti tentang dunia ini sebab Allah telah menyediakan garis-garis petunjuk dalam Alkitab untuk dapat mengerti dunia ini. Ketidakpastian hadir dalam pandangan kristiani untuk beberapa alasan. Membutuhkan waktu untuk menerapkan pengajaran Alkitab ke dalam setiap aspek dari keseluruhan alam semesta ini. Lebih dari itu, kehadiran dosa menyebabkan orang Kristen mungkin mengabaikan Alkitab sehingga salah mengerti akan dunia, Alkitab, atau kedua- duanya. Akibatnya, filsafat Kristen memiliki ketergantungan kepastian dan ketergantungan ketidakpastian dalam memertimbangkan dunia di luar dirinya.
- Pemikiran Mengenai Manusia
Bukanlah hal yang mengejutkan apabila orang non-Kristen juga memerlihatkan ketidakkonsistenan pemikiran ketika membicarakan diri mereka sendiri. Dengan beragam cara, orang non-Kristen menyelewengkan gambaran manusia secara alkitabiah sebagai manusia menurut gambar Allah dan menggantikannya dengan konsep mereka sendiri, lepas dari ketergantungannya pada Allah. Mereka bisa mengatakan tentang manusia seperti yang mereka mau. Apa pun masalahnya, orang non-Kristen sebenarnya membuat klaim yang berpegang pada kepastian yang mutlak dan mengabaikan fakta keterbatasan dari penyelidikan mereka sebagai manusia, serta akhirnya mengembalikan diri mereka pada ketidakpastian yang mutlak.
Ketika memikirkan dirinya sendiri, orang Kristen kembali diperhadapkan pada kepastian dan ketidakpastian dalam ketergantungannya pada Allah. Orang Kristen mengetahui bahwa ia merupakan gambar Allah karena Allah mewahyukannya dalam Alkitab. Namun, ada misteri mengenai diri kita sendiri di mana orang Kristen tidak mampu memahaminya. Lebih dari itu, dosa menyebabkan orang Kristen salah mengerti dan kadang menolak kebenaran dari karakter mereka sendiri. Namun, orang Kristen menyerahkan dirinya pada pengertian bahwa secara menyeluruh, Allah mengerti karakter manusia. Oleh karena itu, saat orang Kristen berada dalam ketidakpastian yang bergantung pada Allah, saat itu pula mereka berada dalam kepastian yang bergantung kepada Allah.
- Pemikiran Berkenaan dengan Allah
- Mitos dari Netralitas
Setelah kita melihat perbedaan filsafat non-Kristen dan Kristen, maka penting bagi kita untuk tahu bahwa dua filsafat inilah yang menjadi pilihan manusia, tidak ada daerah netral di antara keduanya. Dalam kerangka berpikir abad ke-20, yang menghargai ilmu pengetahuan, banyak orang non-Kristen mengklaim bahwa mereka sulit sekali untuk tiba pada keyakinan mereka setelah melihat dunia dari pandangan yang netral. Hampir tidak pernah satu hari berlalu tanpa kita mendengar seseorang mengatakan, "Saya hanya ingin berhubungan dengan fakta objektif sebagaimana adanya. Saya ingin menghindarkan diri dari pertanyaan- pertanyaan yang bersifat rohani/agamawi." Walaupun kalimat ini dinyatakan dengan ketulusan, namun orang non-Kristen sebenarnya sangat jauh dari keberadaan netral (objektif). "Kejujuran yang netral" yang mereka kemukakan hanyalah bentuk lain dari penyerahan kepada kemandirian yang lepas dari ketergantungan pada Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan Yesus:
"Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia menceraiberaikan." (Mat. 12:30)
Meskipun terlihat aneh, ada juga orang Kristen yang berusaha untuk menemukan tempat netral. Bahkan konsep daerah netral di antara orang non-Kristen dan Kristen telah merupakan konsep dasar yang banyak dipakai dalam berapologetika di masa lampau. Pada dasarnya, orang-orang Kristen berusaha mencari titik pertemuan pada dasar yang sama dengan orang non-Kristen di mana di atasnya mereka ingin membangun kredibilitas kristiani. Sangatlah penting dalam perkembangan apologetika untuk melihat beberapa hal yang dikatakan atau dianggap sebagai konsep netral dan melihat mengapa mereka sebenarnya sama sekali tidak netral.
Konsisten dalam logika merupakan prinsip yang disuguhkan, di mana orang Kristen dan orang non-Kristen bersepakat. Apabila kita bermaksud untuk memerlihatkan kebenaran kekristenan kepada orang non-Kristen, maka kita dapat memberikan logika dari kepercayaan kita pada Allah, Kristus, dan Alkitab. Dengan suatu pengharapan bahwa penjelasan berdasarkan logika ini dapat meyakinkan atau memenangkan mereka ke dalam Kerajaan Allah, atau paling tidak ke arah itu. Namun, walaupun kita setuju akan keharusan berpikir secara logis, pengertian kristiani akan keterbatasan dan fungsi logika sangat berbeda dengan apa yang dimengerti oleh orang-orang non-Kristen. Pemikiran manusia, dalam bentuk yang paling murni dan yang paling lengkap, tetap tidak lebih dari pemikiran makhluk yang diciptakan Allah dan yang telah dipengaruhi oleh bentuk pemikiran yang subjektif. Jadi pada dasarnya, logika pun tidak ada yang bersifat netral.
Juga, sebenarnya tidak ada fakta dari ilmu pengetahuan di mana orang Kristen dan orang non-Kristen memegangnya sebagai satu kesepakatan. Baik dalam psikologi, biologi, sejarah, matematika, filsafat, teologi, dan lain-lain. Fakta-fakta ilmiah pada dasarnya dimengerti secara berlainan oleh orang Kristen dan non-Kristen. Tidak ada daerah netral untuk berbicara mengenai "fakta-fakta" tanpa pengaruh dari komitmen dasar kita, yang pada dasarnya berbeda.
Karena perbedaan yang begitu jelas, bagaimana orang Kristen dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang non-Kristen? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada fakta bahwa meskipun tidak ada netralitas, ada titik temu di antara orang Kristen dan non-Kristen, yaitu di tempat-tempat yang memiliki persamaan -- dunia di mana kita hidup, keberadaan kita sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, dan penawaran Injil yang bersifat anugerah.
Orang Kristen dan non-Kristen sama-sama hidup di dunia yang sama, kita hidup di bumi yang sama, belanja di toko yang sama, dan makan makanan yang sama. Dalam pengertian ini, kita dapat melakukan fungsi secara mekanis yang sama. Sebagai gambar Allah, manusia yang telah jatuh tetap dapat berargumentasi, berpikir, merasakan sesuatu, dan dapat menggunakan bahasa manusia. Akibatnya, kita dapat berkomunikasi dan benar-benar sampai pada kesepakatan, meskipun hanya secara permukaan saja, sebab perbedaan kita yang radikal tetap ada. Lebih dari itu, sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, orang non-Kristen mengenal Allah dan tuntutan-Nya dalam hati mereka. Walaupun mereka berusaha untuk menyangkalinya, namun setiap fakta dari ciptaan berbicara kepada mereka tentang Allah. Bahkan pembicaraan orang Kristen mengenai kesadaran akan Allah akan menyebabkan mereka tidak dapat luput dari kesadarannya akan Allah.
Kita hanya dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang non- Kristen karena kekuatan dan pekerjaan kelahiran baru yang dilakukan Roh Kudus, yang selalu ada dan bekerja. Melalui Injil yang diberitakan, Roh Kudus membuka hati dan membawa seseorang pada iman pada Kristus. Pengakuan akan konsep mitos netralitas tidak akan menghancurkan semua pengharapan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang non-Kristen. Sebenarnya, dengan kesadaran bahwa tidak ada netralitas, kita mulai berkomunikasi dengan orang non-Kristen dengan cara yang relevan dengan kebutuhan mereka akan Kristus. Tanpa pengakuan akan adanya perspektif-perspektif ini, apologetika alkitabiah tidak dapat dikembangkan.
DOA
Ya, Tuhan, kami bersyukur karena Engkau memberikan dasar kepercayaan yang kokok dalam firman-Mu. Dengan demikian, kami tidak lagi terombang-ambing oleh apa pun yang dikatakan, diklaim, dan diakui oleh dunia. Sebaliknya, bimbinglah kami untuk bisa membawa kebenaran- Mu kepada dunia. Hanya karena pekerjaan-Mulah, mereka akan bisa dimenangkan. Amin.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA