AUA-I Pelajaran 04
Nama Kursus | : | APOLOGETIKA UNTUK AWAM I (AUA I) |
Nama Pelajaran | : | Karakter Manusia yang Berdosa |
Kode Pelajaran | : | AUA I-P04 |
Pelajaran 04 - KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA
Daftar Isi
- Kejatuhan Umat Manusia
- Akibat Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa
- Ketidakkonsistenan dan Permukaan Kebenaran
Doa
KARAKTER MANUSIA YANG BERDOSA
"Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani." (1 Kor. 2:14)
Pada pelajaran sebelumnya, kita telah mendiskusikan karakter manusia sebelum jatuh dalam dosa. Namun, pengertian kita akan manusia tidaklah lengkap apabila kita tidak mempelajari sebab akibat dari kejatuhan manusia. "Pengetahuan tentang diri kita sendiri, yang pertama adalah berdasarkan pada apa yang telah diberikan pada waktu penciptaan ..., kedua, kita perlu mengingat akan keadaan kita yang menyedihkan dan tidak menyenangkan setelah kejatuhan Adam."
Karakter manusia telah berubah di bawah kutuk dosa. Manusia bukan merupakan gambar Allah yang sempurna lagi; manusia tidak lagi hidup dan berpikir sebagaimana halnya Adam dan Hawa sebelum jatuh dalam dosa. Dalam pelajaran berikut, kita akan melihat lebih jelas lagi bagaimana dosa sangat memengaruhi manusia dan sebagai akibatnya manusia telah menyangkali ketergantungannya secara mutlak pada Allah.
- Kejatuhan Umat Manusia
Allah telah membuat laki-laki dan perempuan menurut gambar-Nya dan telah menempatkan mereka di taman Eden. Saat Adam dan Hawa menyadari akan keberadaan mereka sebagai makhluk ciptaan Allah, mereka dengan senang hati mendedikasikan diri mereka untuk melayani Allah. Waktu pun berlalu dan kesetiaan manusia kepada Allah diuji. Allah telah menempatkan pohon pengetahuan baik dan jahat di tengah-tengah taman, dan berkata:
"tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya pastilah engkau mati." (Kej. 2:17)
Dalam hal ini, banyak yang perlu dipertaruhkan manusia dari hanya sekadar menahan diri untuk tidak makan buah tersebut. "Pada mulanya Adam berhasil menghindari pohon pengetahuan baik dan jahat serta membuktikan bahwa ia dengan sukarela berada di bawah perintah Allah." Allah telah berkata dan mewahyukan kehendak-Nya tentang pohon yang terlarang itu. Adam dan Hawa ditempatkan pada posisi untuk menguji kesadaran mereka apakah mengakui atau menyangkali otoritas Allah dan ketergantungan mereka akan Dia.
Pasal ketiga dari kitab Kejadian berpusat pada kejatuhan manusia. Ular, yang disebut Alkitab si Iblis (Kej. 3:15; Rom. 16:20), menghampiri Hawa dan mencobainya untuk mengabaikan perintah Allah. Dengan menghadapkan Hawa pada pilihan yang paling penting dalam hidupnya, Iblis berkata:
"Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat." (Kej. 3:4-5)
Perkataan Iblis jelas bertolak belakang dengan penyataan (wahyu) Allah. Hawa dihadapkan pada pilihan, siapakah yang dapat dipercaya? Allah mengatakan "kamu akan mati" dan ular berkata "kamu tidak akan mati". Perempuan itu harus percaya pada salah satu dari dua pernyataan yang berlawanan itu. Kemudian ular yang licik itu tidak puas hanya dengan mengatakan bahwa Allah membuat kesalahan. Ia bahkan membujuk Hawa untuk percaya bahwa bila ia memakan buah itu, perbedaan antara Pencipta dan ciptaan akan hilang. "Kamu akan menjadi seperti Allah," (Kej. 3:5) kata Iblis dengan penuh kesombongan.
Hawa tertipu oleh tipuan ular yang licik. Kita dapat mengatakan bahwa tindakan Hawa ini merupakan tindakan yang sangat bodoh, namun rupanya pencobaan untuk menjadi seperti Allah terlalu besar untuk dihindari. Setelah semua penghormatan Hawa kepada Penciptanya digoncangkan, Hawa memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada Allah untuk mengetahui pengetahuan yang benar, demikian juga untuk petunjuk yang berkenaan dengan moralitas.
Ular mempertanyakan keabsahan dan kemampuan Allah dalam hal-hal ini, dan Hawa telah termakan oleh saran-sarannya. Sebelumnya, Hawa menerima wahyu Allah dan mengakui ketergantungannya secara mutlak pada Allah. Namun, sekarang ia memutuskan bahwa ketergantungannya pada Allah merupakan suatu pilihan. Pembacaan yang teliti dari Kej. 3:6 memerlihatkan inti dari kesalahan Hawa.
"Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya."
Hawa tidak secara langsung menolak firman Allah dan menerima perkataan dari si ular. Melainkan, ia mengamati sendiri pohon itu dan kemudian memutuskan karakter dari pohon itu berdasarkan pengertiannya sendiri. Dia berkata kepada dirinya sendiri, "Mengapa mendengarkan orang lain? Aku akan membuat hukum bagi diriku sendiri; Aku akan memutuskan sendiri!" Dengan melakukannya, Hawa menolak perbedaan antara Pencipta dan ciptaan. Dia menyamaratakan wahyu Allah yang berdiri sendiri dengan perkataan si ular dan menempatkan dirinya di atas mereka berdua sebagai hakim.
Hawa lalu memberikan buah itu kepada Adam. Adam memakannya dan sejak itu umat manusia jatuh di bawah kuasa dosa. Ini merupakan inti dari dosa; manusia memberontak melawan ketergantungannya pada Allah dan manusia berasumsi bahwa dia mampu untuk berdiri sendiri tanpa Allah.
Sangat penting untuk diingat bahwa perbedaan Pencipta dan ciptaan tetap berlangsung meskipun manusia memilih untuk tidak mengakuinya. Adam dan Hawa tidak menjadi berkurang dalam ketergantungannya pada Allah setelah kejatuhan dibanding dengan keberadaan mereka sebelum jatuh dalam dosa. Mereka hanya menolak untuk mengakui ketergantungan mereka. Seorang anak balita dapat menipu dirinya sendiri untuk berpikir bahwa ia tidak memerlukan orang tuanya, namun penyangkalannya ini tidak membedakan kenyataan bahwa ia tergantung pada orang tuanya.
Sama halnya dengan Adam dan Hawa yang berpikir mereka berdiri sendiri terlepas dari Allah, kenyataannya mereka tetap membutuhkan Allah dalam segala sesuatu, bahkan untuk kemampuan menolak Allah. Persyaratan Allah bagi Adam dan Hawa adalah supaya mereka mengakui ketergantungan mereka dan hidup sesuai dengan kebenaran ini. Mereka telah gagal untuk memenuhi tuntutan Allah dan jatuh ke dalam dosa. Mereka berpikir dirinya cukup bijak, mereka telah menjadi bodoh, sebab firman Allah ternyata benar; dan mereka mati.
- Akibat Kejatuhan Manusia ke dalam Dosa
Kejatuhan manusia ke dalam dosa di taman Eden bukan kejadian masa lalu yang terpisah dari masa kini, dalam arti hanya memunyai akibat yang sedikit bagi manusia yang hidup pada masa kini; peristiwa kejatuhan telah membuat semua manusia berada di bawah belenggu dosa.
"Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa." (Rom. 5:12)
Sejak lahir, semua manusia telah dicemarkan oleh dosa (Maz. 51:5; Ef. 2:3). Sebagaimana Adam dan Hawa yang telah menolak perbedaan antara Pencipta dan ciptaan, semua manusia telah menyangkal wahyu Allah, baik melalui semua ciptaan maupun melalui wahyu khusus (firman Tuhan).
Paulus menjelaskan penolakan manusia akan wahyu melalui penciptaan dalam Rom. 1:18-32. Paulus mengatakan bahwa meskipun ciptaan dengan jelas menyatakan karakter Allah dan kehendak-Nya, namun manusia yang tidak percaya telah menindas "kebenaran dengan kelaliman" (ay. 18). Mereka menolak untuk mengakui Allah yang telah mewahyukan diri-Nya melalui ciptaan sebab "pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap" (ay. 21). "Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh" (ay. 22), sebab mereka memilih untuk menyembah "makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin" (ay. 25). Oleh karena "mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk ...." (ay. 28). Manusia yang telah jatuh dalam dosa, menolak untuk mengakui penyataan Allah dalam semua aspek.
Orang-orang yang tidak percaya juga tidak memberikan tempat yang sewajarnya pada wahyu khusus Allah. Tuhan Yesus menggambarkan bagaimana Israel menolak ketergantungannya pada wahyu khusus Allah dalam perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Mat. 21:33-44). Penggarap-penggarap kebun anggur memeroleh mata pencaharian mereka dari kemurahan hati si empunya tanah, tetapi mereka menolak untuk menghormatinya. Akibatnya, si pemilik tanah mengutus utusan-utusan khusus kepada si petani. Bahkan, Ia telah mengutus Anak-Nya. Namun, si petani membencinya, bahkan membunuh Anak itu. Sama halnya dengan semua manusia yang seharusnya tunduk kepada wahyu khusus Allah melalui firman Tuhan, sebaliknya mereka telah menolaknya. Dosa telah mencengkeram manusia sedemikian rupa sehingga manusia tidak mampu lagi menundukkan dirinya kepada firman Allah.
"Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya." (Rom. 8:7)
"ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani." (1 Kor. 2:14)
Manusia tidak menundukkan diri pada wahyu Allah. Manusia telah mengikuti teladan Adam dan Hawa yang mengira bahwa segala sesuatu harus diukur oleh "garis pengukur dari kebodohan kedagingan mereka".
Kegagalan manusia untuk mengakui wahyu Allah dalam alam semesta dan untuk menerima firman Tuhan sebagai alat untuk mengenal Allah dan mengetahui kehendak-Nya, telah membuat manusia berada di posisi yang sulit. Yeremia menyerukan pada zamannya sebagai berikut:
"Sesungguhnya, mereka telah menolak Firman Tuhan, maka kebijaksanaan apakah yang masih ada pada mereka?" (Yer. 8:9)
Apa yang dapat kita lihat bila mata kita tertutup? Apa yang dapat memuaskan dahaga kita bila sumur kita kering? Tidak ada! Sama halnya dengan hikmat dan pengetahuan. Allah sendiri "mengajar manusia akan pengetahuan" (Maz. 97:4) melalui wahyu-Nya. Jika kita menolak firman- Nya, itu berarti kita menolak semua kebenaran, dan secara prinsipil, kita tidak mengetahui apa-apa selain ketidakbenaran.
"Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan." (Ams. 1:7)
Karena penolakan mereka akan wahyu Allah, maka manusia:
"hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka." (Ef. 4:17-18)
Atas dasar ini, dikatakan bahwa:
"Tuhan mengetahui rancangan-rancangan orang berhikmat; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka." (1 Kor. 3:20)
- Ketidakkonsistenan dan Permukaan Kebenaran
Akibat dosa, orang-orang yang tidak percaya sangat jelas menolak kebenaran yang diwahyukan melalui firman Tuhan, dan secara sembarangan menyalahtafsirkan dunia sekelilingnya. Namun, tidak semua pemikiran dan pernyataan orang-orang itu dapat diartikan salah. Bagaimana mereka dapat berpikir dan mengekspresikan ide-ide yang benar? Orang-orang percaya dan tidak percaya sama-sama menyatakan bahwa dua tambah dua adalah empat. Ada beberapa peristiwa dalam Alkitab yang menyatakan bahwa orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa dapat memiliki kebenaran (Mat. 23:1, dst.; Kis. 17:28). Bagaimana kita dapat mengerti hal-hal ini dalam hubungan penolakan manusia yang berdosa akan Allah sebagai sumber kebenaran?
Pemecahan masalah ini terletak pada pengamatan yang lebih dekat atas kondisi manusia yang telah jatuh dan dua aspek dari pengetahuannya. Pertama, meskipun orang-orang tidak percaya menolak wahyu Allah mengenai diri-Nya, mereka tidak dapat secara terus-menerus menolak secara konsisten. Dasar dari ketidakkonsistenan dalam taraf tertentu adalah karena manusia berdosa tetap merupakan gambar Allah dan tetap memiliki banyak kemampuan yang telah dimilikinya sejak semula (Kej. 9:6; Yak. 3:9). Oleh anugerah umum, Allah telah menahan akibat dosa dan pencemaran sehingga orang-orang non-Kristen tetap dapat berpikir dan bertindak atau bereaksi sesuai dengan keberadaan mereka sebagai gambar Allah, walaupun mereka tidak mengakui Allah sebagai Pencipta.
"Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela." (Rom. 2:14, 15)
Manusia yang telah jatuh dalam dosa, memulai pendapatnya tentang ketidaktergantungan dirinya pada Allah dan kemampuan untuk mengetahui kebenaran terpisah dari Allah. Apabila ia mengembangkan asumsi ini secara terus-menerus dengan konsisten, ia tidak akan menemukan pengetahuan yang benar sebab ketergantungan pada Allah adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan kebenaran. Karena itu, orang-orang yang tidak percaya tidak berhasil dan telah gagal.
Sejalan dengan ketidaksinambungan usaha orang-orang yang tidak percaya untuk menahan dan menyangkali wahyu Allah, kita dapat mengerti kemampuan mereka untuk mengetahui kebenaran saat kita melihat karakter dari pemahaman mereka akan kebenaran. "Kapasitas manusia yang telah jatuh dalam dosa untuk mengerti ... merupakan sesuatu yang labil dan transisi dalam pandangan Allah ...." Orang-orang yang tidak percaya mampu untuk mengetahui kebenaran, hanya saja mereka gagal memberi kesinambungan dalam prinsip-prinsip berpikir mereka yang berdosa sehingga menyebabkan pengetahuan mereka hanya terlihat benar di permukaan saja.
Berikut ini adalah analogi yang akan menolong kita untuk lebih mengerti. Perkataan Tuhan Yesus kepada orang Farisi sering kali menunjukkan perbedaan antara perilaku mereka secara luar dengan motivasi mereka dari dalam hati. Nilai dari tugas rohani yang sangat besar telah dicemari oleh motivasi mereka yang merasa diri paling benar dan sombong. Amsal mengatakan bahwa:
"Korban orang fasik adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi doa orang jujur dikenan-Nya." (Ams. 15:8)
Orang-orang Farisi memiliki kerohanian yang hanya terlihat dari luar saja, namun kesucian mereka atau kerohanian mereka telah dicemari oleh apa yang ada di belakang tindakan yang terlihat dari luar.
Perbedaan yang serupa dapat kita terapkan dalam area pengetahuan secara umum. Kita tidak boleh pernah merasa puas dengan penampilan yang kelihatannya merupakan pernyataan yang benar dari manusia yang berdosa. Kita harus berhati-hati dengan apa yang terletak di balik ide-ide yang ditunjukkan. Misalnya, Saksi Yehova dengan jujur dapat mengatakan, "Yesus adalah Tuhan." Kita semua akan setuju dengan pernyataan ini sebagai hal yang benar secara permukaan. Namun, Saksi Yehova menolak ke-Tuhanan Kristus dan berpendapat bahwa ke-Tuhanan Kristus merupakan keberadaan-Nya sebagai malaikat yang khusus. Oleh karena itu, kita harus memertimbangkan dan mengatakan bahwa pernyataan mereka tidak benar.
Alasan kita untuk menyetujui dan menyangkali suatu pernyataan pada saat bersamaan disebabkan oleh perbedaan antara permukaan pernyataan dengan apa yang ada di balik pernyataan itu. Pemisahan ini dapat nyata karena apa yang dikatakan oleh seseorang berbeda dengan maksud di balik perkataannya tersebut.
Salah satu cara untuk menyelidiki suatu pernyataan adalah dengan cara selalu menanyakan apa yang dimaksud dengan perkataan atau pemikirannya. Manusia yang telah jatuh dalam dosa dapat mengatakan bahwa dunia ini bulat, namun apa yang dimaksudkan "dunia" oleh mereka? Apakah merupakan hasil ciptaan Allah yang dinyatakan oleh firman Tuhan atau sebagai hasil dari proses evolusi yang berlangsung sangat lama? Mereka dapat mengatakan bahwa kejujuran adalah baik dan pembunuhan adalah jahat. Namun, apa yang mereka maksudkan dengan "baik dan jahat"? Apakah baik dan jahat itu didefinisikan oleh hukum Allah atau hukum yang lain? Sama halnya dengan pohon yang indah yang baru saja ditanam di tanah yang beracun, demikian juga orang tidak percaya yang menyangkali kebenaran dan tidak mau kembali kepada wahyu Allah yang tidak dapat disangkali. Tanda kemandirian mereka yang terpisah dari Allah, dapat terlihat benar dari permukaan. Kadang-kadang, kita harus melihat jauh ke dalam sebelum kita dapat menemukan pengertian yang salah.
Akar dari setiap ide dan pernyataan yang dikemukakan oleh orang yang tidak percaya adalah berdasarkan asumsi bahwa "saya tidak bergantung pada Allah dan mengetahui hal ini dari diri saya sendiri terpisah dari Allah dan pertimbangan kehendak-Nya".
Untuk menyimpulkan pandangan yang tepat dari pernyataan yang benar, yang dibuat oleh orang tidak percaya, dapat dikatakan bahwa mereka benar dan juga salah. Orang-orang yang tidak percaya mungkin dapat berpikir dan berbicara tentang kebenaran dalam pengertian bahwa pikiran mereka bisa berasal dari wahyu Allah yang tidak dapat dihindari dan dihasilkan dari anugerah umum Allah melalui kualitas manusia sebagai gambar Allah yang tidak dapat disangkali. Lebih dari itu, mereka benar dalam pengertian bahwa wahyu Allah memang sebenarnya mengiyakan pernyataan mereka dari permukaan. Diharapkan kebenaran yang mereka dapatkan secara permukaan ini dapat memimpin mereka kepada pengakuan akan Allah dan ketaatan kepada-Nya.
Bersamaan dengan pernyataan bahwa orang tidak percaya itu benar, kita dapat juga mengatakan pernyataan orang-orang tidak percaya adalah tidak benar. Oleh karena pernyataan-pernyataan itu bukan merupakan hasil dari kerelaan untuk taat kepada wahyu Allah, melainkan sebagai hasil dari penyangkalan fakta perbedaan antara Pencipta dengan ciptaan.
Pernyataan-pernyataan orang tidak percaya dinyatakan tidak benar oleh karena struktur pemikiran mereka memimpinnya kepada pengertian yang salah dan membawa mereka jauh dari penyembahan kepada Allah. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa komitmen kepada kemandirian manusia terlepas dari Allah, membuat semua pernyataan orang tidak percaya salah.
Pengertian akan kondisi manusia setelah kejatuhannya dalam dosa dan keberadaan orang-orang yang tetap dalam ketidakpercayaan merupakan hal yang sangat penting bagi apologetika kristen. Kesadaran akan ketidakadaan harapan dan keterbatasan pikiran orang-orang yang tidak percaya, memberi petunjuk dan keyakinan kepada orang-orang percaya dalam memertahankan imannya.
Akhir Pelajaran (AUA I-P04)
DOA
Ya, Tuhan, kami menyadari bahwa karakter kami telah berubah di bawah kutuk dosa. Kami bukan lagi gambar Allah yang sempurna. Hal ini tercermin dari hidup dan cara pikir kami yang jauh dari suci. Dosa sangat memengaruhi kami sehingga kami selalu menyangkali ketergantungan kami secara mutlak pada Allah. Oleh sebab itu, tolong kami untuk menyadari kebodohan ini. Hindarkan kami dari pikiran yang sia-sia, pengertian yang gelap dan jauh dari hidup persekutuan dengan Allah. Amin.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA