Berdansa dengan Ketakutan

Lukas 2:10-11, "Kata malaikat itu kepada mereka, 'Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.'"

Matador adalah petarung banteng ala Spanyol. Namun, matador juga adalah pedansa, dengan seni tinggi menghibur para penonton ketika mempecundangi banteng yang sedang mengamuk. Tubuh meliuk-liuk menghindari kejaran banteng yang mau menubruk dan menginjak-injak si matador. Tak terhitung banyaknya matador yang terhuyung-huyung, mati ditanduk dan ditubruk lalu dinjak-injak sang banteng yang kalap. Tidak adakah rasa takut dalam hati sang penakluk banteng ini? Begitulah pertanyaan kepada dia yang berprofesi berbahaya ini. "Takut? Tentu saja!" Itulah jawabannya. Tentu ini bukan urusan rambut yang bisa dianggap enteng dengan pertanyaan, "Siapa takut?" Mengapa? Karena ini urusan mati atau hidup, membunuh atau dibunuh. Kemudian si matador melanjutkan jawabannya. "Takutlah yang membuat saya tetap hidup. Rasa takut tidak harus ditakutkan tetapi harus dijadikan teman agar ia bermanfaat." Jawaban yang amat positif, bukan? Mengapa? Karena takut sebagai kondisi di mana matador melakukan aksinya telah menjadi temannya untuk berdansa.

Ketika malaikat datang kepada para gembala di padang saat Tuhan Yesus lahir, ia mengatakan "Jangan takut..." Mengapa malaikat berkata demikian? Jawabannya adalah karena para gembala berada dalam arena yang disebut "takut." Sang malaikat tidak sedang bicara sama seperti matador tadi. Mengapa? Pertama, karena "takut" yang dimaksud bukanlah atas dasar berhadapan dengan banteng, yang walaupun sedang kalap tetap bisa dikalahkan juga, tetapi takut yang eksistensial, yaitu takut yang berada karena diri manusia sendiri. Takut ini diekspresikan ketika berhadapan dengan makhluk surgawi, yang tidak fana, tidak bisa mati! Mengapa demikian? Sebab bagi gembala Yahudi kedatangan makhluk surgawi adalah pertanda kematian. Itulah yang ada dalam benak para gembala! Jadi para gembala sedang amat takut, sebab eksistensi kemanusiaan (yaitu takut) mereka sendiri segera membuahkan kematian. Maka dari itu, adalah janji luar biasa ketika malaikat itu mengatakan "Jangan takut" kepada para gembala. Janji itu menghancurkan ketakutan akan kematian, sebab janji itu berasal dari Tuhan, sumber kehidupan. Akibatnya, tidak dinyana kalau perkataan malaikat ini mengubah para gembala menjadi pedansa dalam arena yang menakutkan.

Kedua, "Jangan takut" dihubungkan dengan berita yang dibawa malaikat yaitu berita gembira, berita yang tidak pernah ada di benak para gembala dan orang-orang kebanyakan pada waktu itu. Berita apa itu? Juru Selamat, Kristus, Tuhan lahir!

Rentetan tiga gelar ini menunjukkan signifikansi dan inti dari berita gembira itu. "Juru Selamat" bukan hanya berbicara tentang keselamatan rohani, seperti dikenal dalam kamus orang Kristen. Arti lain yang bisa dikenakan kepadanya ialah "pembebas", "penyedia", "penyokong". Singkatnya, seseorang yang menolong umat manusia. Juru Selamat itu akan melepaskan rantai-rantai ketakutan yang mengikat tangan dan kaki manusia. Juru Selamat itu akan menyediakan apa yang diperlukan agar ketakutan dikalahkan. Juru Selamat itu akan menyokong mereka yang takut secara rohaniah dan badaniah.

Istilah "Kristus" merujuk pada janji mengenai Mesias yang sudah dinanti-nantikan kaum saleh Yahudi sejak ratusan tahun. Lalu janji itu genap pada malam Natal pertama. Mesias, itulah sosok yang akan mengubah segala sesuatu menjadi baru (bdk. Yes. 48 dan 65). Janji kedatangan-Nya amat dinanti-nantikan, karena itulah satu-satunya pengharapan orang Yahudi agar bisa terlepas dari ketidakadilan (Mzm. 9:9-10) politis dan penjajahan spiritual. Secara politis, tekanan pajak menjadi lebih besar ditambah lagi situasi keamanan yang amat kacau karena banyaknya peperangan dan pengkhianatan masa itu. Secara spiritual, ada kehausan sebab penguasa baru tidak pernah membawa angin segar. Keputusasaan rakyat menjadi-jadi, ada sesuatu yang "kosong" dalam hidup mereka yang disebabkan hilangnya shalom.

Nuansa benderang yang kemudian dimaknai oleh kata "Kristus" ialah kejayaan Sang Mesias atas maut, sehingga Kristus yang artinya "Yang Diurapi" mendapatkan beban teologis sebagai penyandang kebangkitan. Paulus berulang-ulang memakai gelar Kristus dalam arti kemenangan Yesus atas kematian (mis. Rm. 6:9). Jangan lupa, dengan gelar "Kristus" ini pula Dia akan datang kembali sebagai Hakim dan Raja semesta (Yes. 65; Why. 19:11; Kol. 3:4; 2 Tes. 2:1).

Berikutnya, secara langsung, gelar "Tuhan" ditujukan kepada Yesus muncul dalam ayat ini (ay. 11) dan dalam peristiwa ketika Maria mengunjungi Elisabet (Luk. 1:43) lalu Elisabet berseru "sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?" Kedua referensi ini adalah gelar "Tuhan" yang dikenakan kepada Yesus sebelum Dia dilahirkan. Tuhan atau "tuan" sama artinya dengan "pemilik." Dalam arti inilah gelar itu dipakai untuk sang bayi Natal. Bayi Natal itu adalah tuan. Dialah pemilik alam semesta.

Semua sebutan itu amat berarti bagi para gembala. Secara sosial mereka adalah kaum rendahan, tak berumah, tak berpendidikan, hidup kasar, dan secara spiritual mereka dianggap sebagai kaum tak peduli agama, kaum abangan; pendeknya, orang yang membutuhkan kelepasan. Jangan heran kalau berita kelahiran Sang Juru Selamat, Kristus dan Tuhan membuat para gembala bisa menegakkan kepala mereka atas ketakutan. Mereka bisa hidup dalam ketakutan, karena rasa takut tidak harus menakutkan lagi. Ringkasnya, ketakutan telah dipecundangi!

"Jangan takut, hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, Kristus, Tuhan" menjadi berita relevan sebab pertama-tama ditujukan bukan hanya untuk para gembala tetapi untuk pribadi Anda sendiri (bagimu!). Kedua, rasa takut meneror seantero hidup manusia. Ketakutan datang dari segala penjuru, kesehatan, usaha, relasi, situasi politik, ancaman teroris, ormas pelaku kekerasan dan juga sejumlah sumber di era BBM ini (benar-benar mabok!). Bagaimana sikap kita?

Matador sedang berdansa dengan ketakutan, dan itulah yang membuatnya hidup! Kita tidak mungkin hidup tanpa ketakutan, sebab ketakutan adalah natur kita, namun ketakutan seharusnya tidak melumpuhkan kita. Psikolog Sigmund Freud mengajarkan bahwa ketakutan adalah signal terhadap sesuatu yang tidak beres di sekitar kita, dan itu betul! Seharusnya takut bisa menjadi teman kita berdansa. Namun, mungkinkah kita dimampukan oleh diri kita sendiri? Tidak! Janji malaikat "Jangan takut" sebab Juru Selamat, Kristus, Tuhan telah lahir adalah titik tolak supaya tidak takut. Tidak percaya? Pikirkan apa yang bisa dibuat oleh ketakutan, dan olehnya membuat kita benar-benar takut. Lalu, tanyakan pada diri apa yang tidak bisa ditangani Juru Selamat, Kristus dan Tuhan kita? Masih takut? Selamat tidak takut!

Diambil dari:

Judul buletin : Stauros, Oktober 2010
Penulis : Pdt. Andreas Hauw, Th.M.
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara
Halaman : 1 - 2
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA