Referensi SHA Pillar - Hukum Kesembilan Bagian 1
Hukum Kesembilan (Part 1)
Hukum kelima hingga kesepuluh dari Sepuluh Hukum membahas tentang kewajiban, etika, moral antarmanusia secara horizontal. Jangan mengucapkan saksi dusta atas sesamamu. Terjemahan lain yang lebih tepat adalah jangan berbohong, merugikan, melukai, dan mencelakakan orang lain. Terjemahan yang berbeda ini memiliki pengertian yang sama, yaitu bahwa manusia harus menghargai sesamanya yang juga dicipta menurut peta dan teladan Allah. Kita tidak boleh memiliki niat jahat atasnya. Kalimat ini juga muncul di dalam semua agama besar. Ini disebut golden rule (hukum emas). Hillel, seorang rabi besar sebelum Kristus, mengajarkan, "Hormatilah orang supaya engkau juga dihormati orang." Konfusius mengajarkan, "Apa yang engkau tidak inginkan, jangan lakukan itu kepada orang lain." Jika engkau tidak ingin diejek, jangan engkau mengejek orang lain. Kalau engkau tidak ingin difitnah, jangan memfitnah orang lain. Manusia harus menghargai sesamanya, selalu mengingat bahwa orang lain juga memiliki perasaan seperti engkau. Memang banyak orang yang tidak menyadari hal ini sampai mereka dilukai orang, baru mulai mengerti perasaan orang lain. Jadi, hanya orang yang peka dan peduli akan perasaan orang yang mampu menciptakan damai dan keharmonisan di dalam masyarakat. Itu sebabnya, Allah memberikan hukum kesembilan. Hukum ini secara khusus berbicara tentang etika berkata-kata. Yakobus mengatakan, "Orang yang sempurna adalah orang yang sanggup mengekang lidahnya." Lidah bagaikan kemudi yang meskipun kecil namun sangat berpengaruh karena menentukan arah kapal yang besar. Seperti setir mobil, selain mengarahkan mobil juga menyangkut mati hidup penumpangnya. Begitu juga orang yang sanggup mengontrol lidahnya akan aman seumur hidupnya.
Manusia adalah makhluk yang sejak lahir sudah bisa bersuara dan mendengar suara orang-orang di sekitarnya. Mereka mulai menggabungkan suara dengan makna dan keluarlah kata-kata dari mulutnya yang mencetuskan isi hatinya. Itulah yang dilukiskan dalam peribahasa Tionghoa 'Kata-kata adalah ekspresi jiwa'. Apa yang ada di dalam hatinya akan terlontar dari mulutnya. Maka orang agung akan mengucapkan kalimat yang agung dan orang yang pikirannya dalam akan mengucapkan kalimat yang sangat bermakna. Orang egois akan mengungkapkan egoismenya. Orang rendah akan mengucapkan kata-kata yang kasar. Jadi, dari kata-kata kita dapat mengerti apa yang tersimpan di dalam hati seseorang. Tepatlah perkataan Tuhan Yesus, "Apa yang memenuhi hatimu, itulah yang keluar dari mulutmu." Orang Perancis berkata, "Saat engkau membuka mulut, engkau memperkenalkan dirimu sendiri." Bagi orang Tionghoa, "Saat bergaul, jangan banyak bicara. Semakin banyak bicara, semakin banyak salah." Tetapi bukan berarti orang yang tidak banyak bicara hidupnya pasti beres, karena beres tidaknya seseorang ditentukan oleh pikirannya. Jika pikirannya penuh dengan kejahatan, kenajisan, egoisme, tidak mungkin tidak bocor dari mulutnya. Itulah sebabnya Yakobus mengatakan, "Barangsiapa dapat menguasai lidahnya, dia adalah orang yang sempurna." Kita harus mampu mengontrol mulut, tahu rahasia etika berbicara.
Hukum kesembilan: Jangan mengucapkan saksi dusta. Saksi yang tidak benar, yang tidak sesuai dengan fakta, akan merugikan, melukai, dan mencelakai orang lain. Menurut peribahasa Tionghoa kuno 'Satu kalimat mungkin membangunkan, tetapi juga menghancurkan seluruh bangsa'. Semua kalimat ini adalah kebijaksanaan orang-orang kuno yang sadar betapa bahayanya orang yang sembarangan berbicara karena dapat merusak hari depan seorang pribadi maupun seluruh bangsa.
Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah yang merupakan sumber dan diri kesempurnaan itu. Dialah yang tertinggi, yang menciptakan manusia menurut peta dan teladan-Nya yang sempurna, adil, suci, dan bajik. Itu sebabnya orang yang meneladani Penciptanya, dia mencerminkan sifat moral-Nya yang tertinggi. Manusia diberi hikmat untuk mengutarakan makna yang kekal lewat bahasa sementara, karena di balik suara terdapat nafas, di balik nafas terdapat makna, di balik makna terdapat Roh, di balik Roh terdapat Firman. Rangkaian ini tidak bisa dipisahkan dari Allah dan Firman. Karena Firman menciptakan manusia, bahkan Dia sendiri datang menjadi manusia, mengisi manusia, memampukan manusia, dan mengutarakan makna yang sungguh bernilai lewat bahasa. Bahasa bergabung dengan suara yang ditopang oleh nafas. Itu sebabnya, tanpa menggunakan nafas, seseorang tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Nafas bagaikan air yang menopang kapal yang membuatnya terapung. Begitu juga Allah Bapa bernafas. Nafas Allah adalah Roh, dan firman Allah adalah manifestasi dari kehendak-Nya. Berdasarkan kehendak-Nya, Allah berfirman, maka Firman beserta dengan Allah, dan Firman adalah Allah. Firman keluar dari Allah lewat gerak Roh Kudus. Roh Kudus memberikan inspirasi, menghembus kepada nabi-nabi Perjanjian Lama dan kepada rasul-rasul Perjanjian Baru. Mereka pun dapat berbicara tentang firman Tuhan yang kekal. Orang yang mengenal firman akan menerima hidup kekal dan menggunakan kata-kata yang bermakna. Itulah sebabnya, hamba-hamba Tuhan yang ingin dipakai Tuhan, harus belajar dan minta Roh Kudus menghembuskan firman ke dalam hatinya sehingga memampukan dia untuk sepanjang hidup tidak henti-hentinya memberitakan firman. Jika tidak ada Roh Allah, tidak ada firman Allah yang mengontrol dan mengisi pikiranmu, sehingga apa yang kau katakan akan sia-sia.
Banyak orang dari pagi hingga malam, dari awal tahun hingga akhir tahun, hanya mengeluarkan kata-kata sampah. Hanya mencaci-maki orang, mengkritik orang, tidak puas ini dan itu. Berbeda dengan orang yang dipenuhi oleh Roh Kudus, kata-katanya selalu menjadi pedoman, arahan yang mengandung benih hikmat, dan memberikan inspirasi dan manfaat dari kebenaran. Suara mengandung bahasa, bahasa mengandung makna, makna mengandung firman, dan firman mengandung kehendak Allah.
Kita memang dilahirkan dan dibesarkan di suatu lingkungan kebudayaan, agama, dan tradisi. Orang dilahirkan di keluarga Budha, Islam, Hindu, Konfusianisme; hal itu akan memengaruhi pola pikir, pemahaman, pemikiran umum, dan hukum umum sehingga cara bicaranya tidak terlepas dari ikatan-ikatan itu. Lingkungan ikut membentuk seluruh pola pikir dan karakter seseorang. Sampai suatu hari terang Injil menembus limitasi itu, barulah seseorang bisa menerima yang baru. Jadi memang sulit sekali, kata-kata yang sudah terbiasa kita ucapkan dapat mengikat kita.
Mengapa seseorang suka berbicara kotor? Itu terjadi karena mulutnya diikat oleh isi yang berbeda dengan firman. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terus mendengar firman? Apakah orang yang terus-menerus mendengar firman akan membuat kita bosan dengan firman? Tidak. Firman yang sejati tidak mungkin membuat orang bosan. Banyak pendeta yang minder, takut khotbahnya tidak disukai orang, lalu membubuhi khotbahnya dengan lelucon. Padahal kalau setiap hari kita melucu, justru orang akan bosan karena lelucon bukan firman. Kita harus membawa manusia yang rasionya tidak lagi setia kepada Tuhan untuk kembali. Setelah kita diisi dengan firman kebenaran maka kita tidak lagi mengenal ketakutan.
Saya bukan orang yang studi ekonomi, hukum, politik, namun karena penuh dengan firman, dan mau sungguh-sungguh mengamati dan mengerti, maka saya berani berbicara tentang hukum kepada ahli hukum, berbicara tentang musik kepada ahli musik, berbicara tentang ekonomi kepada ahli ekonomi, karena semua itu ada di dalam firman Tuhan yang begitu limpah, begitu dalam, dan begitu akurat. Itulah yang membuat saya berani berkata, "Ini adalah dunia Bapa-Ku." Apa pun yang harus saya sampaikan tersimpan di gudang pengertian, kebijaksanaan, yang akan mengalir keluar tidak habis-habisnya. Oleh karena itu, mulut kita harus dipersembahkan kepada Tuhan. Jadi wadah yang menyampaikan kebenaran dan selalu menjadi berkat bagi orang yang kita ajak bicara.
Setiap hukum dalam Sepuluh Hukum memang tidak kita bahas secara harfiah. Maka ketika membicarakan hukum kedelapan, kita tidak memulai dengan definisi mencuri sebagai mengambil atau merampas milik orang lain. Kita melihat bahwa mencuri menyangkut hak kepemilikian orang yang sah, yang Tuhan jamin. Tidak menggunakan pemberian Tuhan dengan setia juga termasuk mencuri. Begitu juga ketika kita membahas hukum kesembilan, kita tidak langsung berbicara mengenai bohong, melainkan menelusuri akarnya terlebih dahulu. Bohong selalu diawali dengan kesalahan menggunakan mulut. Kesalahan itu terjadi karena kita tidak mempunyai kebenaran firman. Jadi, alangkah indahnya orang yang tidak menempuh jalan yang salah, tidak mengambil keputusan yang salah, karena pikirannya diurapi oleh kebenaran yang diwahyukan di Kitab Suci. Jadi, jika kebenaran menguasai semua aspek hidupmu, engkau akan melihat, mendengar, dan mengatakan hal yang benar. Bagaimana dengan hal-hal yang tidak benar? Orang yang benar, hatinya akan mampu menyaring kesalahan. Hidup yang mampu menyaring semua kesalahan – hanya mengutarakan kebenaran – adalah hidup yang sangat bernilai. Firman Tuhan akan meresap masuk ke dalam setiap aspek kehidupan orang percaya. Hal itu memampukan kita untuk mengabdikan seluruh organ hidup kita menjadi alat kebenaran Allah. Dengan demikian setiap kali engkau berkata-kata, orang akan mendapat berkat, setiap kali engkau menganalisa, menyatakan, orang akan segera mengerti apa itu kebenaran. Amsal berulang kali berkata bahwa mulut orang bijak adalah pohon hidup. Apa maksudnya? Firman dan perkataan yang keluar dari mulutnya adalah pohon hidup yang memberikan buah yang hidup. Karena kalimat yang seorang dapatkan melalui pergumulan yang sulit maka saat dia bagikan akan menerangi sejarah selama ribuan tahun. Kiranya Tuhan memberkati kita menjadi orang Kristen yang beriman, yang mau diisi dengan kebenaran, dan memakai mulut kita untuk mengutarakan firman Kebenaran.
Tuhan mencipta manusia dengan begitu luar biasa. Tuhan memberi kita dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, tetapi hanya satu mulut. Padahal tugas mulut begitu banyak. Seorang filsuf Gerika kuno, Xenophanes, mengatakan, "Alam memberi kita dua telinga dan dua mata, tetapi hanya satu mulut, agar kita lebih banyak melihat dan mendengar ketimbang berkata-kata." Sungguh kalimat yang bijaksana. Orang yang bawel, banyak bicara akan dibenci orang. Orang yang banyak mendengar, tidak banyak bicara, namun sekali berbicara – apalagi jika kata-katanya begitu bermakna – orang akan memperhatikan. Semakin sedikit engkau berbicara maka setiap kata-kata yang bermakna akan berpengaruh besar. Guru dan ibu yang suka mengomel biasanya tidak disukai oleh anak-anaknya. Setelah saya membaca tulisan Xenophanes, saya menyadari bahwa banyak orang tidak disukai orang lain karena begitu bawel sementara yang dikatakannya selalu sama, sampah. Sebaliknya, kita melihat orang-orang yang jarang berbicara, tetapi ketika ia mengatakan kalimat yang tepat, dia berhasil menangkap waktu, menangkap momen, tepat mengisi kesempatan yang ada, dan menjadi berkat serta inspirasi bagi orang lain. Amsal berkata, "Kata-kata yang tepat ketika dikatakan pada waktu yang tepat, bagaikan apel emas yang diletakkan di sebuah pinggan perak" (Ams. 25:11). Ketika saya membayangkan sebuah apel emas dalam pinggan perak, betapa indahnya cahaya keemasan yang memancar lewat pinggan perak. Tentu hal sedemikian memancarkan keindahan yang tidak mungkin dibuang atau disia-siakan. Saya menggubah ulang kalimat Xenophanes menjadi, "Allah menciptakan kita dengan dua mata dan dua telinga, tetapi hanya dengan satu mulut, untuk melihat hal yang baik dan jahat, mendengar apa yang benar dan salah, tetapi hanya mengatakan kesaksian kebenaran." Inilah kesimpulan: Hendaklah kita bersaksi bagi kebenaran. Amin.
Sumber asli:
Judul Buletin | : | Pillar, Edisi 112 November/2012 |
Penulis | : | Pdt. Dr. Stephen Tong |
Penerbit | : | Gereja Reformed Injili Indonesia |
Halaman | : | 1 - 3 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA