Referensi SHA Pillar - Hukum Kesepuluh Bagian 1
Hukum Kesepuluh (Part 1)
Melalui hukum kesembilan, kita telah belajar bagaimana kita mengontrol mulut kita. Kita harus berbicara dengan kata-kata yang benar, yang tidak mencelakakan atau merugikan orang lain. Kini kita masuk ke dalam satu tahap lagi, yang begitu panjang seolah merupakan rangkuman dari seluruh hukum yang kelima hingga kesembilan. Inti pembahasan di dalam hukum kesepuluh adalah tentang niat manusia.
Manusia yang Tuhan ciptakan memiliki kapasitas yang menjadikan dia tidak pernah puas dengan apa yang telah ia miliki. Hal ini membedakan manusia dari semua binatang. Binatang hanya memiliki dua keinginan dasar, yang disebut sebagai naluri (instinct): keinginan makan (untuk mempertahankan hidup) dan keinginan seks (untuk mempertahankan jenis).
Dua ribu tiga ratus delapan puluh tahun silam, Mensius, seorang filsuf terkenal Tiongkok, pernah mengatakan akan kedua kebutuhan paling dasar dari setiap makhluk hidup ini. Hidup binatang hanya melayani kedua kebutuhan tersebut. Tetapi manusia memiliki kebutuhan lebih dari sekadar makanan dan seks. Manusia masih memiliki kebutuhan akan pakaian, rumah, bahkan sampai ke berbagai hal dengan lingkup yang sangat luas. Pdt. Fosdick dalam bukunya menulis, "Waktu kecil aku ingin mempunyai sebuah sepeda, ayahku menjanjikan tahun depan akan membelikannya untukku. Maka mulai hari ini, selain rajin belajar, setiap pagi aku bangun, aku menghitung mundur hari-hariku. Maka pada hari ayahku membelikan sepeda itu, hatiku sangat bersukacita." Tetapi pernyataan Pdt. Fosdick berikutnya sangat menyentuh saya. Ia berkata, "Tetapi anak sekarang tidak lagi merasakan sukacita seperti itu, karena orang tua mereka tidak pernah menyuruh mereka menunggu, tetapi langsung membelikan apa yang mereka minta. Padahal menanti dengan penuh harap adalah suatu hal yang sangat penting yang membawa kita melintasi masa sekarang sambil memandang pada masa depan yang belum tiba, yaitu masa dia mendapatkan apa yang dia inginkan." Keinginannya ditahan oleh proses waktu.
"Keinginan" dalam Ajaran Plato Dari mana datangnya "keinginan"? Menurut filsuf Arthur Schopenhauer, "Keinginan selalu menguasai rasio manusia." Plato membagi manusia ke dalam tiga kategori. Yang paling bawah disebut orang rendah, yaitu orang yang hidupnya dikontrol oleh kemauannya. Hidup orang seperti ini bagai kereta yang ditarik oleh kuda yang kuat, suatu kemauan yang tidak sanggup dihentikannya. Menurut Plato, orang seperti ini adalah budak dari volition (kemauan kuat), yang mengakibatkan hidupnya merasa tidak berarti, tidak puas, dan tidak pernah bersukacita.
Surat kabar belakangan ini banyak mengungkapkan adanya ayah yang memerkosa anak perempuannya sendiri, ada orang yang tega memerkosa nenek berusia 80 tahun, bahkan ada yang meniduri mayat wanita di kamar jenazah. Ini menyatakan betapa bobroknya dunia ini. Manusia bisa menjadi begitu biadab. Menurut ajaran Buddha, hal ini terjadi karena manusia dikuasai oleh kemauannya. Maka manusia harus terus-menerus melakukan pemurnian diri (self-purification) sampai sempurna sehingga ia bisa masuk ke nirwana, tempat di mana tidak ada lagi nafsu yang merupakan sumber dari semua kesusahan dan penderitaan manusia. Orang menjadi sangat susah dan menderita ketika keinginannya tidak terpenuhi. Itu sebabnya ajaran Buddha memiliki daya tarik yang kuat, sampai ada raja di Tiongkok dari Dinasti Qing yang rela turun takhta dan hidup menyendiri di gunung untuk meniadakan nafsunya.
Saat orang-orang Mongolia dari Utara di bawah pimpinan Genghis Khan menyerbu ke Selatan, Beijing saat itu merupakan kota kecil dan tidak berarti. Beijing berada di dekat Gurun Gobi, sehingga jika terjadi badai gurun, Beijing akan mengalami hujan pasir. Tetapi di akhir abad ke-12, Kublai Khan, cucu Genghis Khan, memindahkan ibukota Mongolia ke Beijing. Sejak itu Beijing menjadi kota penting, baik di dalam bidang politik maupun ekonomi.
Sebenarnya, perang antara para penunggang kuda (gembala) dan penunggang sapi (petani) di Tiongkok sudah berlangsung lebih dari 2.500 tahun. Daerah Mongolia, Xinjiang, Siberia memiliki padang rumput yang luasnya ribuan kilometer. Gunung Tian (Tian Shan) merupakan gunung barisan yang panjangnya lebih dari 1.500 km dan puncaknya diselimuti salju. Para penunggang kuda lebih liar karena tempat tinggal mereka tidak menetap. Mereka tinggal di tenda-tenda yang bentuknya seperti payung besar, disebut Meng Gu Bao (bakpao Mongolia). Mereka makan dengan satu piring besar berdiameter sekitar 50 cm, dan memasak daging, sayur semua dicampur di situ, lalu mereka makan bersama dengan memakai sumpit dari satu piring itu. Oleh karena itu, orang Tionghoa menganggap mereka barbar karena orang Tionghoa makan dengan mangkok kecil. Piring Mongolia yang istimewa berwarna Islamic blue (Mohammedan blue) yang dibuat dari kobalt Turki atau Irak (ada tiga buah di Museum Gajah, Jakarta; masing-masing satu buah di museum di Beijing dan Taipei).
Sebaliknya, orang Mongolia menghina orang Tionghoa, penunggang sapi dari Selatan. Sapi tidak bisa berlari dengan cepat. Tetapi para penunggang sapi ini memperkembangkan agrikultur dan kaligrafi karena mereka menetap. Mereka memiliki tempat tinggal yang besar, memiliki istana, dan kebudayaan. Maka, kebudayaan di Selatan berkembang pesat, tetapi kekuatan Utara sering kali datang dengan tiba-tiba dan cepat, bagai badai yang tidak terduga, lalu membunuh, merampas, memerkosa, dan menghilang, menyisakan puing-puing rumah yang mereka bakar. Oleh karena itu, orang-orang Selatan takut sekali kepada para penunggang kuda. Mereka menemukan bahwa kuda tidak bisa melompat lebih dari 3 m, maka 3.000 tahun yang lalu, mereka membangun tembok besar, yaitu Great Wall of China, yang tingginya lebih dari 3 meter. Tetapi baru pada tahun 228 SM, kaisar pertama Tiongkok memerintahkan untuk menyatukan kepingan-kepingan tembok itu menjadi satu kesatuan dengan panjang lebih dari 6.000 km, menjadi satu-satunya bangunan yang bisa dilihat dengan mata telanjang dari bulan.
Kuda memiliki kekuatan yang besar, bagaikan orang liar yang tidak dapat dikendalikan. Itu sebabnya manusia perlu mengendalikan kemauannya dengan rasio. Tetapi menurut Schopenhauer, rasio adalah budak dari keinginan. Orang yang menginginkan sesuatu dengan kuat, cenderung tidak memikirkan hal itu dengan cermat dan mencari alasan yang tepat sebelum melakukan. Ia cenderung melakukan dulu, baru mencari alasan kemudian. Menurut Schopenhauer, kemauan adalah bos kita. Martin Luther lebih tajam lagi melukiskan: Rasio adalah pelacur. Saat pelacur bersetubuh dengan pria, ia menunjukkan seolah-olah begitu mencintai pria itu, padahal semua itu hanya pura-pura untuk mendapatkan uang. Jadi, pria yang tidur dengan pelacur merasa seperti ia mendapatkan cinta dan kepuasan seksual, padahal ia hanya menggunakan uangnya untuk membeli cinta yang palsu. Begitu juga dengan rasio manusia, yang mau menyetujui semua ajaran bahkan ajaran yang menyeleweng dari Kitab Suci. Oleh karena itu, rasio tidak dapat diandalkan. Bahkan sekalipun ia sudah menyatakan komitmen kepada Tuhan, ia tetap masih bisa menyeleweng. Dan ketika ditegur, ia akan mengeluarkan berbagai alasan. Akibatnya, manusia sering menyesal. Maka Plato mengatakan bahwa orang yang dikuasai oleh nafsu adalah orang rendahan.
Tingkat kedua bagi Plato adalah orang yang lebih tinggi moralnya, yang dikendalikan oleh perasaannya. Orang Yunani mengatakan bahwa alam telah membuat hati manusia di atas alat kelaminnya, maka seharusnya manusia mengontrol nafsu seks dengan cinta yang murni, tidak boleh sebaliknya, yang membuat ia bagaikan binatang. Maka nafsu manusia harus dikuasai oleh emosi yang murni.
Tetapi tingkat ketiga, orang yang paling tinggi moralnya dalam ajaran Plato adalah orang yang meletakkan emosinya di bawah kontrol akal sehat. Jadi, orang yang dapat menggunakan rasionya untuk mengontrol emosinya, dan menggunakan emosinya untuk mengontrol kemauannya, adalah orang yang paling agung. Ini adalah sesuai dengan aturan alam, di mana otak terletak di paling atas, jantung (heart) di tengah, dan alat kelamin di bawah. Itu sebabnya, filsafat (philo + sophia = cinta kebijaksanaan) ingin agar kita menggunakan otak untuk menguasai emosi dan emosi untuk menguasai keinginan. Dengan demikian keinginan kita tidak menguasai hidup kita.
Keinginan Menurut Hukum Kesepuluh Di dalam hukum kesepuluh, Tuhan ingin kita mengontrol keinginan. Maka kita tidak bisa menganggap sepi hukum ini, karena di dalamnya tersimpan makna yang sangat mendalam. Sekalipun ada bagian-bagian yang juga diajarkan oleh agama lain, tetapi hukum ini disampaikan oleh Tuhan Allah, Pencipta alam semesta, untuk mengatur manusia.
Tuhan memerintahkan kita untuk mengontrol keinginan dan nafsu kita. Tetapi bagaimana mengontrolnya? Jawabannya tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama, melainkan di dalam Perjanjian Baru. Elemen buah Roh Kudus yang terakhir adalah penguasaan diri. Pikiran manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa selalu dikontrol oleh kemauannya. Maka manusia yang ingin meniadakan keinginannya, karena ingin masuk ke nirwana, tetap akan memiliki keinginan. Di sini keinginan tidak mungkin bisa ditiadakan. Tidak bisa dibayangkan jika manusia tidak memiliki keinginan. Keinginan adalah elemen dasar pembentuk suatu pribadi. Seseorang boleh dan harus memiliki keinginan. Ia boleh memiliki keinginan untuk maju, keinginan untuk menjadi pemimpin, keinginan untuk melayani Tuhan. Allah yang meletakkan keinginan di dalam hati manusia, sehingga itu tidak boleh ditiadakan. Tuhan Yesus mengajarkan, "Jika engkau ingin menjadi besar, jadilah hamba semua orang." Tuhan bukan meniadakan keinginan, tetapi mengarahkan keinginan ke jalur yang benar. Orang yang ingin menerima mahkota sorgawi, dia harus memikul salib dahulu; orang yang ingin dibangkitkan, harus mau mati dahulu, karena tidak ada kebangkitan tanpa melalui kematian. Prinsip-prinsip Alkitab menegaskan bahwa orang boleh saja memiliki keinginan. Itu tidak salah. Ajaran ini berbeda dari ajaran agama lain yang mengharuskan manusia meniadakan keinginan. Maka, intinya, kita harus memiliki keinginan yang dikuduskan.
Allah yang meletakkan keinginan di dalam hati manusia, sehingga itu tidak boleh ditiadakan. Tuhan Yesus mengajarkan, "Jika engkau ingin menjadi besar, jadilah hamba semua orang." Tuhan bukan meniadakan keinginan, tetapi mengarahkan keinginan ke jalur yang benar.
Ada banyak orang Kristen, termasuk Reformed, yang mencampuradukkan visi dan mimpi. Visi bukanlah mimpi dan mimpi bukan visi. Namun, di balik itu, para motivator, sekolah, partai, gembar-gembor tentang visi dan misi, yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Bagi saya, orang yang tidak mengenal Allah, tidak berhak menggunakan istilah ini. Visi hanya dari Tuhan, yang membukakan isi hati-Nya kepada orang-orang tertentu untuk menjalankan kehendak-Nya. Maka orang dunia yang memakai kata ini telah menghujat istilah yang penting ini. Ia menggunakan istilah yang agung, yaitu visi, untuk menggantikan istilah yang buruk, yaitu nafsunya, ambisi pribadinya, keinginannya, dan mimpinya.
Orang seperti Yonggi Cho menawarkan doa yang divisualisasikan. Kita bisa memvisualisasikan (membayangkan keinginan kita sampai terbayang jelas di pikiran kita) apa yang kita inginkan dan memintakannya kepada Tuhan, maka Tuhan akan mengabulkan permintaan kita. Ini adalah hujatan melawan kehendak Tuhan. Dia tidak mengajarkan bagaimana berdoa untuk taat kepada Tuhan, tetapi memaksa Tuhan untuk taat pada keinginannya dengan bersembunyi di balik istilah yang begitu suci, yaitu berdoa. Ini adalah tindakan yang sangat kurang ajar terhadap Tuhan. Mereka melandaskan kepastian pengabulan doa dengan dua dasar. 1) Allah Maha Kuasa, sehingga Dia bisa melakukan apa saja. Tetapi di sini kita melihat Allah yang begitu maha kuasa berhasil dikuasai dan didikte oleh keinginan manusia dengan doanya. Doa yang benar, yang didasarkan pada kemahakuasaan Allah, harusnya seperti Doa Bapa Kami, "Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga." Yonggi Cho dan para pengikutnya lebih suka, "Jadilah kehendakku, di sorga seperti di bumi." Oleh karena itu, gereja yang mengutamakan kehendak Tuhan tidak diminati banyak orang, sementara gereja yang mengutamakan keinginan diri, jemaatnya bertambah dengan cepat.
Tetapi saya tidak akan berkompromi dalam memberitakan firman Tuhan, meninggikan salib Kristus, menantang orang-orang yang mengasihi Tuhan untuk memikul salib menggenapkan rencana dan keinginan Tuhan. 2) Janji Tuhan. Di Alkitab, Tuhan Yesus pernah berjanji, "Apa pun yang kamu minta kepada Bapa di dalam nama-Ku akan diberikan kepadamu." Allah pasti akan menggenapkan janji-Nya. Ayat ini tidak bermaksud demikian. Ayat di dalam Yohanes 15:16b ini adalah sebagian dan merupakan suatu janji di balik penugasan yang Tuhan Yesus berikan. Ayat itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang dipilih dan ditetapkan Allah untuk pergi dan menghasilkan buah yang tetap, orang yang hidupnya sungguh-sungguh menjalankan keinginan Tuhan, bukan keinginan dirinya.
Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan batasan bahwa doa yang dikabulkan harus di dalam perkenanan Tuhan Yesus sehingga di dalam nama-Nya doa itu dikabulkan. Kalau Tuhan tidak setuju dan doa itu tidak sesuai dengan keinginan dan kebenaran-Nya, maka Ia berhak untuk menolak doa itu, bagaikan tanda tangan persetujuan permintaan barang. Jika penanggung jawab tidak mau menandatangani bon pembelian, tidak ada dana yang akan dikeluarkan untuk itu. Iman bukanlah sarana pemaksa Tuhan, iman adalah dasar ketaatan kita kepada Tuhan. Ini yang membuat kebaktian doa gereja yang sejati sepi pengunjung (bukan berarti gereja yang kebaktian doanya sepi pengunjung pasti gereja sejati) dan gereja yang tidak beres kebaktian doanya ramai sekali, karena semua sibuk menuntut keinginannya dikabulkan. Lalu orang luar mengira gereja yang terlihat begitu serius berdoa adalah gereja yang rohani dan beriman.
Hukum kesepuluh menekankan masalah keinginan manusia. Bagaimana kita menggunakan keinginan kita? Adakah yang membatasi keinginan tersebut? Ya, batasan itu adalah relasi antara pribadi dengan pribadi lainnya. Caranya adalah kita tidak boleh menginginkan milik orang lain. Hukum ini selain membahas batasan keinginan kita, juga membahas hak milik orang lain. Inilah inti dari hukum kesepuluh yang akan dibahas kemudian. Amin.
Sumber asli:
Judul Buletin | : | Pillar, Edisi 116 Maret/2013 |
Penulis | : | Pdt. Dr. Stephen Tong |
Penerbit | : | Gereja Reformed Injili Indonesia |
Halaman | : | 1 - 3 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA