PKB-Referensi 06b
Pelajaran 06 | Pertanyaan 06 | Referensi 06a
Nama Kursus | : | Penulis Kristen yang Bertanggung Jawab |
Nama Pelajaran | : | Kesempatan Menjadi Terang Melalui Tulisan |
Kode Pelajaran | : | PKB-R06b |
Referensi PKB-R06b diambil dari:
Judul Buku | : | Menulis dengan Cinta |
Judul artikel | : | Tantangan dan Peluang Jurnalistik Kristen |
Penulis | : | Xavier Quentin Pranata |
Penerbit | : | ANDI, Yogyakarta: 2002 |
Halaman | : | 37-49 |
REFERENSI PELAJARAN 06b - TANTANGAN DAN PELUANG JURNALISTIK KRISTEN
Dengan melihat arus globalisasi yang demikian pesat menghantam segala segi kehidupan, jurnalistik Kristen pun mengalami tantangan yang tidak kalah beratnya. Tantangan itu bukan saja datang dari sesama produk, melainkan juga produk lain. Misalnya saja, minat baca terhadap majalah Kristen yang kurang akan semakin parah dengan semakin banyaknya hiburan nonbacaan seperti bioskop, pertunjukan langsung seperti musik, tarian dan sebagainya, pameran, wisata dan lain-lain. Namun, kalau dipilah, secara garis besar ada dua tantangan: tantangan dari dalam dan dari luar.
Tantangan dari Dalam
- Sedikit Pekerja
- Kurangnya iklim yang kondusif
- Kurangnya dana
- Kemampuan kurang
Tidak banyak (kalau tidak boleh dikatakan sedikit) orang yang terpanggil untuk melayani di bidang ini. Saya mengetahui hal ini setelah lebih dari sepuluh tahun mengadakan Rally Pelita (Pelayanan Literatur) dari satu gereja ke gereja lain dari satu kota ke kota lain di berbagai wilayah di Indonesia. Ketika kebaktian tantangan diadakan, tidak banyak yang datang. Saat panggilan dari mimbar untuk menyatakan komitmen dilakukan, makin sedikit yang maju ke depan untuk ikut terjun langsung di bidang jurnalistik Kristen.
Kalau ada jemaat yang bersedia terjun ke dunia jurnalistik Kristen, gerejanya belum tentu mendukungnya atau paling sedikit menciptakan iklim yang kondusif. Tentu saja semangat yang membara ini akan segera padam jika tidak diiringi dengan tindak lanjut berupa tindakan nyata. Misalnya, menerbitkan buletin gereja atau, paling tidak warta gereja atau majalah dinding di gereja.
Belum banyak gereja yang menyediakan dana untuk pelayanan jurnalistik Kristen di gerejanya. Saya mengamati bahwa gereja yang besar dan kaya belum tentu mau menyediakan anggaran untuk meningkatkan peranan jurnalistik Kristen di gereja. Sebuah gereja yang saya kunjungi bahkan menganggap pelayanan literatur hanya memboroskan uang saja.
Kalau minat untuk terjun ke dunia jurnalistik Kristen saja belum besar, apalagi kemampuan untuk itu. Bahkan gereja yang sudah memiliki media intra gereja belum dikelola secara profesional. Alasan yang paling menonjol adalah belum tersedianya sumber daya manusia yang memadai.
Inilah salah satu alasan yang kuat mengapa penulis mengangkat tema ini agar gereja lebih memberikan perhatian kepada pelayanan yang sangat strategis ini.
Tantangan dari Luar
Di samping tantangan dari dalam, tantangan-tantangan dari luar pun tidak kalah beratnya. Tantangan-tantangan itu adalah:
- Hiburan menyerbu seperti banjir.
- Tenggelam di tengah-tengah jurnalistik sekuler.
- Pedoman yang berbahaya
- Jurnalistik Sekuler Membludak
- Modal yang Besar
Hiburan yang dulu tidak terbayangkan sekarang sudah berada di depan mata kita. Amerika Serikat, satu-satunya negara adidaya setelah Uni Soviet bubar, dijadikan tolok ukur kemajuan dunia hiburan di dunia. Apa saja yang ada di Amerika dalam bilangan bulan, bahkan minggu, sudah masuk ke tanah air. Dunia hiburan di Amerika sudah tidak terbayangkan bukan saja oleh kakek dan nenek kita, tetapi bahkan oleh orangtua kita.
Arus informasi yang sedemikian deras membuat jurnalistik Kristen "terkubur" di tengah-tengah jurnalistik sekuler. Para jurnalis sekuler ini memodifikasi, memanipulasi, bahkan memutar balik fakta yang ada di masyarakat untuk disajikan sebagai berita. A Muis, Guru Besar Program Pascasarjana UI dan Unhas, mengatakan media cetak "di Tanah air ini mau tak mau harus menghadapi kepungan media baru yang tidak terlalu merasa terikat pada norma-norma kode etik dan prinsip-prinsip atau teori-teori jurnalistik."
Karena manipulasi berita di lapangan maupun di ruang pers, baik karena subjektivitas wartawan maupun untuk kepentingan ekonomi, maka berita yang tersaji di media massa tidak lagi seratus persen dipercaya. Untuk menanggapi berita terdistorsi semacam itu, ada orang-orang yang memilih dan memilah mana media massa yang baik dan mana yang tidak. Bukan hanya itu, ada orang-orang yang bertindak ekstrem. Mereka menolak berita sama sekali.
Di dalam dunia jurnalistik sekuler ada adagium yang berbunyi "Berita yang baik itu adalah berita yang buruk." Pedoman ini berbahaya sekali bagi orang Kristen dan merupakan tantangan yang cukup serius bagi jurnalistik Kristen untuk menjawabnya. Jamie Buckingham, seorang jurnalis Kristen terkenal, semasa hidupnya pernah memperingatkan umat Kristen untuk berhati-hati terhadap pers sekuler. Jangan terikut arus dan memakan umpan itu.
Jurnalistik sekuler telah menjadi raja di mana-mana karena kekuatannya yang mahadahsyat dalam membentuk opini publik, yang pada gilirannya akan mengubah karakter pembacanya sedikit demi sedikit atau revolusioner. Aleksander Solzhenitsyn pernah berkata, "Pers telah menjadi kekuatan paling dahsyat di negara-negara Barat, melampaui kekuatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, seseorang seharusnya bertanya: Menurut hukum apa dia dipilih dan kepada siapa dia harus bertanggung jawab?"
Pertanyaan Solzhenitsyn itu tidak hanya valid bagi orang Barat, tetapi juga orang yang berada di Timur, termasuk gereja, karena pers saat ini tidak memiliki batas lagi. Jika terbitan cetaknya bisa dibatasi masuk suatu negara, terbitan online-nya tidak.
Lewat internet, pembaca bisa mengakses berita kapan saja dan di mana saja. Warnet (warung internet) yang menjamur di mana-mana memudahkan pembaca untuk mengakses berita -- yang baik maupun amburadul -- dengan sangat mudah dan sangat murah. Dalam artikel yang berjudul "Online Jurnalism", "Christian Jurnalism", saya menulis demikian:
Kelebihan jurnalisme online paling tidak ada tiga. Pertama, berita bisa diakses kapan saja, siapa saja dan di mana saja serta setia setiap saat. Kedua, jurnalisme online memungkinkan kita memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Jika kita tidak mau biaya pulsa kita membengkak, kita bisa melakukan sistem "multitasking" (multitugas), "choosing" (memilih) and "saving" (menyimpan). Hanya dengan satu disket "kecil" kita bisa menyimpan banyak informasi yang bisa kita baca belakangan. Ketiga, jurnalisme online -- tidak seperti yang dibayangkan banyak orang - murah harganya. Jika kita tidak mempunyai saluran internet sendiri, kita bisa datang ke warnet hanya dengan membawa uang sekian ribu rupiah per jamnya. Satu jam saja kita sudah bisa membuka dan memperoleh berita dari berbagai situs yang tersedia.
Karena begitu kuatnya pengaruh media internet ini sehingga media massa cetak mau tidak mau harus merujuknya. A Muis pun mengakui kedahsyatan pengaruh internet ini bagi media massa cetak. Dia menulis:
Masalah bagaimana membangun strategi survival bagi media cetak memang merupakan persoalan yang berat. Boleh dikatakan sistem media cetak khususnya dan sistem media massa umumnya sudah menjadi unsur yang tak terpisahkan dari komunikasi dunia maya (cyberspace) atau sistem media global yang dikenal luas sebagai jaringan internet global. Komunikasi dunia maya penuh dengan rimba raya informasi mulai dari yang paling sopan hingga yang paling vulgar. Era eufaria kebebasan pers di Indonesia telah melibatkan diri secara total di dalamnya dan otomatis sebagai bagian (tak semua) penerbitan pers baru, tabloid baru, terpaksa menjadikan internet sebagai sumber berita utama.
Pengusaha di jalur jurnalistik sekuler memiliki modal yang boleh dikatakan tak terbatas. Mereka bersedia mengeluarkan modal berapa pun karena keyakinannya yang kuat bahwa tidak hanya modal mereka yang kembali, tetapi mereka pun akan memperoleh keuntungan berlipat kali ganda. Di dunia jurnalistik televisi, misalnya, untuk tahun 2001, Riza Primadi direktur pemberitaan Trans TV, menyebutkan bahwa pemilik stasiun TV minimal harus menyediakan uang sebesar Rp 500 milyar. Sebaliknya, keuangan yang dimiliki pemodal jurnalistik Kristen tidak besar. Banyak jurnalistik Kristen yang baru terbit beberapa nomor tidak terbit lagi. Bahkan ada majalah gereja yang terbit hanya satu nomor saja setelah itu menghilang ditelan zaman.
Peluang Jurnalistik Kristen
Kalau melihat perkembangan jurnalistik televisi yang demikian pesat, adakah peluang bagi jurnalistik Kristen? Saya yakin peluang itu tetap ada.
- Media cetak tidak akan hilang
- Ladang jurnalistik cetak luas
- Merangkul jurnalistik sekuler
- Tuhan membuka jalan
Bagaimanapun hebatnya pengaruh media audio-visual ini, media cetak tetap tidak akan hilang. Atmakusumah, pakar dan pengamat jurnalistik, berkata, "Terbitan pers bisa dibaca berulang-ulang dan, sampai sekarang, masih tetap menjadi sumber penting bagi pengecekan autentisitas informasi, termasuk Man. Lagipula, surat kabar dan majalah lebih praktis untuk dibawa ke mana saja, suatu "kenikmatan" yang tidak mudah disaingi oleh media elektronik."
Jurnalistik yang berbasis audio-visual pun membutuhkan tulisan. Nah, jurnalis cetak tidak perlu berkecil hati. Ladang mereka sangat luas. Keterampilan mereka tidak saja dibutuhkan di dunia media massa cetak, tetapi juga media massa televisi.
"Musuh" atau "lawan" bisa dijadikan "kawan" dengan merangkulnya. Jurnalistik Kristen tidak perlu memusuhi jurnalistik sekuler. Langkah yang lebih baik untuk dilakukan adalah dengan "menggarami" jurnalistik sekuler. Dengan demikian, jurnalis Kristen bisa masuk dan bekerja di jurnalistik sekuler serta menggarami dari dalam.
Betapapun besarnya pengaruh jurnalistik sekuler, dengan pertolongan Tuhan, jurnalistik Kristen masih memiliki peluang. Di sinilah perlunya kita meminta hikmat kepada Tuhan untuk menunjukkan niche (celah) yang bisa kita pakai untuk meluncurkan jurnalistik Kristen. Jika Tuhan yang membuka jalan, siapa yang dapat menutupnya (Wahyu 3:7)?
Dari pengalaman memimpin Bahana selama lebih dari dua belas tahun, saya yakin pintu itu sudah Tuhan buka. Ketika pertama kali menerbitkan Bahana, banyak media Kristen lain yang tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Media Kristen itu harus disubsidi terus-menerus baik oleh sinode maupun gereja yang menerbitkannya. Demikian juga dengan Bahana. Namun, atas pertolongan Tuhan dan lewat hikmat yang Dia berikan, kami bisa mengatasi kendala itu. Ketekunan yang bersandarkan kepada Roh Kudus membuat Bahana sedikit demi sedikit dapat menutup defisitnya.
Peluang apakah yang bisa diraih jurnalistik Kristen di tengah belantara media sekuler? Ada beberapa peluang yang bisa diraih jurnalistik Kristen. Pertama, meskipun media sekuler begitu hebat mengepung kita, orang Kristen mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat, sehingga media Kristen dapat diterima dengan tangan terbuka. Kedua, orang Kristen makin menyadari bahwa banyak media sekuler yang berbahaya bagi perkembangan iman mereka. Ketiga, di tengah-tengah dunia yang semakin bengkok ini, dunia menantikan suara yang dapat dipercaya. Di dalam Perjanjian Lama, para nabi dituntut suara kenabiannya untuk memberi arahan hidup yang benar menurut firman Tuhan. Di Perjanjian Baru, terutama di surat Paulus yang pertama kepada Timotius pasal tiga, suara kenabian ini diemban oleh para rasul dan juga para penatua, penilik jemaat dan diaken yang syarat-syaratnya sangat ketat. Jurnalistik Kristen yang memakai Alkitab sebagai landasan utamanya memenuhi kualifikasi ini.
Dengan melihat peluang di atas, jurnalis Kristen perlu meraihnya. Peluang semacam itu, tidak selalu ada: Jangan sampai Iblislah yang merebut peluang itu untuk merusak generasi sekarang. Jika hal itu terjadi, jurnalis Kristen akan menyesal seumur hidupnya karena tidak bisa mempertanggungjawabkan talenta yang Tuhan berikan kepadanya.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA