PKB-Referensi 03b
Pelajaran 03 | Pertanyaan 03 | Referensi 03a
Nama Kursus | : | Penulis Kristen yang Bertanggung Jawab |
Nama Pelajaran | : | Memulai Kebiasaan Menulis |
Kode Pelajaran | : | PKB-R03b |
Referensi PKB-R03b diambil dari:
Judul Buku | : | Menuju Budaya Menulis |
Judul artikel | : | Bagaimana Menulis Kreatif |
Editor | : | Pangesti Wiedarti, Ph.D. |
Penerbit | : | Tiara Wacana, Yogyakarta: 2005 |
Halaman | : | 73-77 |
REFERENSI PELAJARAN 03b - BAGAIMANA MENULIS KREATIF
Bagaimana Menulis Kreatif
- Ancang-ancang
- Apa persiapan yang harus disediakan bagi para (calon) penulis kreatif.
- Bagaimana calon pengarang berhadapan dengan greget atau passion yang mengalami tegangan dengan kesadaran akan bentuk.
- Hasil cipta harus dibaca orang; kalau tidak, kita akan frustrasi. (Banyak buku yang dibakar atau kertasnya dirajang untuk didaur ulang karena buku itu tidak laku. Buku yang tidak laku itu justru buku yang penting, misalnya Kalangwan karangan P.J. Zoetmulder dan sejumlah buku filsafat. Mungkin juga buku-buku fiksi.)
- Persoalan dengan publikasi atau sosialisasi karya itu: (a) berhadapan dengan penerbit buku; (b) berhadapan dengan redaksi koran, tabloid, mingguan, bulanan; (c) berhadapan dengan majalah-majalah khusus, misalnya Horizon, Kalam, dan Basis.
- Langkah-Langkah
- Bagaimana seorang pengarang mempersiapkan dirinya.
- Greget versus Bentuk Tulisan
- Menulis Fiksi
- Menulis Lakon
- Menulis Puisi
- Menulis Esai
- Penutup
Pada dasarnya, menulis kreatif dapat dikatakan sebagai penciptaan karya tulis. Kegiatan itu bukan dan sangat berbeda dengan kegiatan analisis, seperti yang dilakukan oleh para sarjana sastra, misalnya A. Teeuw, yang sama sekali bukan seniman. Walaupun kegiatan kreatif itu, sebenarnya, secara psikologis peristiwanya sama saja, akan tetapi demi kepentingan sistem pendidikan, karya sastra kreatif dimaksud dapat dikategorikan dalam empat kelompok, yang oleh para ahli disebut dengan istilah berbahasa Perancis, yakni genre. Adapun genre dimaksud adalah: (1) fiksi, yang dapat dibagi lagi menjadi sub-genre romance, novel, novella, cerita pendek, dan jenis-jenis sastra yang seperti ini, yang intinya adalah mengandalkan kekuatan naratif. Ini termasuk di dalamnya sastra pop, sebangsa Harry Potter, dll; genre (2) adalah lakon, yang juga sering disebut drama atau play. Genre ini lebih mengandalkan kekuatan dramatik. Genre yang ke (3), yakni genre yang kadang-kadang dipandang sebagai yang paling sulit, ialah puisi atau sering pula disebut sajak. Dalam genre ini termasuk di dalamnya, lirik dalam lagu-lagu, misalnya Autumn Leaves, Sound of Silence, Aku ingin, dll. Di samping itu, jingle atau lagu-lagu pendek dalam iklan: "Aku dan kau, suka Dancow", juga "Buktikan Merahmu", termasuk dalam karya cipta kreatif puisi. Adapun genre yang ke (4) adalah esai.
Saya paham, para ahli sastra yang kelewat bookish atau semacam a textbook thinker, misalnya A. Teeuw, menolak pandangan ini. Jelasnya, esai tidak dimasukkan sebagai genre sastra kreatif, karena kurang memenuhi syarat yang ditawarkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren dalam bukunya Theory of Literature. Di sana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan karya sastra, pada dasarnya, bersifat fictional atau rekaan. Oleh karena itu, esai, yang pada dasarnya lebih banyak menggunakan reference atau bahkan acuan, dan data yang disajikan dituntut validitas dan akurasinya, tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori genre sastra.
Untuk lokakarya ini, kita dengan tegas menolak. Alasan kami, kategori seperti itu sudah tidak relevan dengan Zeitgeist atau jiwa zaman. Dalam kenyataan, tidak ada tulisan yang 100% fiksi dan tidak ada tulisan yang 100% faktual. karya fiksi itu sendiri, sekarang sudah menjadi fakta, ialah yang disebut dengan istilah fakta mental atau yang di dalam kajian Amerika disebut dengan istilah a mental evidence. Sementara itu, kita juga bisa mengatakan bahwa karya ilmiah apapun, termasuk disertasi yang mendapat predikat Summa Cumlaude, pada dasarnya adalah fiksi, dalam arti, ia bukan kenyataan itu sendiri tetapi suatu bangunan pikiran yang merupakan kenyataan tersendiri.
Dalam diskusi yang nanti akan lebih mendasarkan pada materi tersaji ini, pembicaraan kita akan berkisar sekitar penciptaan: fiksi, lakon, puisi (dan jika disetujui dan ada waktu) juga esai. Pembicaraan akan menyangkut beberapa langkah:
Pertama-tama harus dikatakan bahwa setiap pengarang mempunyai gayanya sendiri, tetapi ada yang paling sederhana. Kita mulai saja dengan issue. Kita mau melempar issue apa ke dalam masyarakat pembaca? Apakah issue yang sedang aktual, misalnya BBM, film Gie, budaya korupsi, tubuh perempuan yang dijadikan komoditi: rambut untuk iklan Sunsilk, bibir untuk iklan lipstiks, ketiak untuk iklan deodorant dan lain-lain.
Akan tetapi, jika issue itu hanya berhenti pada fenomena fisiknya saja, karangan kita hanya akan semacam informasi, yang pada dasarnya sudah kalah dulu dengan berita-berita di koran, televisi, dan radio yang begitu cepat. Sesuatu yang membuat karangan ini tampak memberikan pandangan baru, jika kita kreatif. Untuk bisa kreatif, kita jangan hanya jadi tukang menerima yang pasif, tetapi aktif bertanya, bahkan mempertanyakan dan malah menggugat. Akan tetapi, yang kita gugat diri sendiri supaya mata lebih melihat telinga lebih mendengar. Kita bahkan harus meraba, mencecap, dan mengendus bau kehidupan. Inti semuanya memusat kepada perlunya kita melatih diri untuk bisa "nyurasa" kehidupan.
Dalam kegiatan nyurasa itu, kita akan melihat sesuatu yang baru pada fenomena biasa yang setiap hari kita lihat. Ketika krisis BBM terjadi, kita semua mengeluh. Ini pandangan mata biasa. Mata seorang pengarang akan melihat bahwa krisis BBM adalah apa yang oleh Bung Karno diistilahkan dengan "the blessing indisguise", yakni rahmat Allah yang terselubung. Dengan krisis itu, kita sadar bahwa (a) kita kelewat boros; sering menjalani hidup tidak proporsional; (b) krisis membuat kita dipaksa hemat BBM, kalau tidak terpaksa, tidak naik motor atau mobil -- akan mengakibatkan polusi udara terkurangi. Kita menjadi lebih sehat karena berjalan kaki atau naik sepeda. Bahkan, jika ada ekstra uang bisa naik becak untuk membantu penariknya mendapatkan sesuap nasi. Dan, yang lebih penting, dengan berhemat, seperti kata Albert Camus, kita melakukan metaphysical rebellion. Pemberontakan melawan kecenderungan diri, dalam hal ini, sikap kita yang semakin hari semakin konsumtif dan rakus.
Dengan hemat, kita melaksanakan amanah para leluhur yang telah mewariskan semacam local wisdom, dalam wujud tembang, antara lain, "oesunen sariranipun, cegah dahar lawan guling ..." Kita harus menguasai wadhag kita agar kita "bisa menahan diri untuk tidak terus makan dan tidur". Sebab, hal itu bisa "nyuda prayitnaning batin", yaitu mengurangi ketangkasan kita untuk tanggap terhadap keadaan. Jadi, dengan kata lain, kita harus mengasah terus-menerus indra kita sehingga mata kita melihat yang tidak tampak; telinga mendengar yang tanpa bunyi atau suara; perabaan mampu meraba wujud yang tak kelihatan; pencecapan bisa merasakan rasa yang tawar (tastelles food, seperti orang Jepang). Dengan singkat, untuk memicu greget kita menulis, kita harus -- meminjam istilah yang digunakan Mas Willy alias Rendra -- "Manjing ing Sajroning Kahanan" selalu hadir
dalam konteks. Ada banyak di antara kita yang "at present" atau "a present" yakni hadir, tetapi tidak dengan seluruh dirinya. Ia belum "manjing ing sajroning kahanan". Dengan kata lain, kita harus "engaged" yang dalam bahasa Inggris disebut "to be concerned" atau prihatin dan karena itu ingin melakukan sesuatu. Karena kita bukan politikus, bukan orang DPR atau MPR, melainkan orang yang bergerak dalam bidang tulis menulis, ya .... kita memicu greget kita untuk menulis.
Kalau kita terus-menerus meninggalkan kebiasaan cuek, kita akan menjadi peka. Kambing yang mengembik terus-menerus di samping rumah, harus kita tanggapi sebagai suatu sasmita mungkin ia lapar, ikatannya di leher terlalu keras; pokoknya meminta perhatian kita.
Latihan semacam ini akan membuat kita tiba-tiba tersentak melihat cincin yang melingkar pada jari manis kita: cincin itu adalah sebuah penjara. Cincin itu suatu janji bahwa gaji yang kita terima di kantor harus kita bawa pulang semua, bulat, seperti cincin itu dan kita serahkan istri kita utuh. Cincin juga adalah seperti spion, kalau kita berani mencolek perawan, cincin itu bisa melapor pada istri. Sebab, pada bagian dalam cincin itu ada nama istri, bukan nama kita ... 'kan? Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Ketika kita menatap fenomena, kita melihat wadhag, istilah Jonathan Culler dalam bukunya yang berjudul Structurak Poetics (1975:96) yang kita lihat pertama adalah "the first order-semiotic system" yakni, sistem tanda tingkat pertama. Yakni apa adanya saja. Seumpama melihat kursi, ya hanya itu kayu untuk duduk. Akan tetapi, kalau kita merenungkannya dalam-dalam, kita akan perlahan-lahan melihat bahwa pada kursi membayang kedudukan, posisi, persoalan politik, uang miliaran kalau itu kursi DPR .... Dalam konteks ini, kursi yang sama dipandang sebagai "the second order semiotict system" .... Demikianlah persiapan dan latihan yang harus kita lakukan sebelum kita memutuskan menjadi penulis.
Sebelum kita mulai menulis fiksi, lakon, atau puisi, kita perlu menyadari bahwa beda yang paling hakiki antara karya cipta dan karya ilmiah adalah bahwa dalam karya cipta menyertakan tone dalam karangan. Tone adalah nada dasar pada karangan itu, malahan suatu sikap karangan, jiwa karangan kita, roh, terhadap objek yang menjadi perhatian dan keprihatinannya. Oleh karena itu, tone di
maksud mencakup: sedih, gembira, hopefullness, hopelessness, sinikal, konfirmatif, afirmatif, interogatif, kritis yang menyerang, bernuansa kebasahan, kering, dan lain sebagainya.
Dari latihan mempertajam indera itu muncullah isu yang mulai mengganggu pikiran; perasaan menjadi sesak. Apa yang akan kita tulis: cerita pendek, lakon, puisi, atau esai saja? Ini sudah merupakan masalah yang sangat pribadi.
Jadi, Anda lebih suka mendongeng, misalnya dongeng Kancil, mungkin isu itu disajikan dalam bentuk cerita pendek. Kalau Anda adalah orang yang cenderung pada hal-hal yang menegangkan, konflik, pertentangan, konfrontasi, yang sebaiknya menjadi sebuah lakon atau drama. Kalau Anda mau yang ekspresif, lembut menyentuh, ya ditulis saja menjadi puisi link. Akan tetapi, kalau Anda lebih langsung menilik pada masalah dengan gaya khas Anda, ya tulislah esai.
Kekuatan fiksi adalah narasinya. Di dalam menulis, kita bisa memilih apakah narasi yang bergerak ke depan dengan lurus-lurus, yang oleh para ahli disebut dengan alur linear ataukah alur melingkar. Setiap alur akan berpengaruh pada apa yang telah disebutkan dengan istilah tone. Dengan kata lain, alur dipilih sesuai dengan sikap pengarang. Jika pengarang ingin mengomunikasikan suasana yang lurus-lurus saja, semuanya berjalan lancar, ia akan memakai alur lurus linear. Akan tetapi, kalau ingin mengomunikasikan hilangnya harapan, seperti kebanyakan rakyat kecil yang mendambakan ketentraman di negera Republik Indonesia, kita menggunakan alur berputar atau cyclical plot . Suasana kegamangan yang ingin digambarkan juga harus didukung diksi atau pilihan kata yang menunjukkan suasana resah, putus asa, gelap.
`Malam sudah larut, jam berapa? Tanyanya. Di depannya komputer lama yang sudah sejak beberapa bulan ingin dijualnya. Atau, bahkan, kalau memang tidak laku lagi dijual, dibuang saja ke keranjang sampah ....
Jangan. Jangan kau buang aku" Surili kaget. Suara siapa itu. Suara siapa itu, ia bertanya.
`Suaraku. Masak kamu tak mengenal. Barang yang sudah kau pakai hampir tujuh abad, yang sudah berhasil mengantarmu menjadi sarjana, tetapi tak kau kenali suaranya ... "
(Cerita terus berjalan dan menjelang penutup, Surili mengulangi pernyataannya bahwa ia ingin sekali menjual barang itu).
"Jangan. Jangan kau buang aku."
Inti lakon adalah suasana dramatik. Suasana itu bisa dihadirkan dalam bentuk konflik atau tegangan-tegangan. Di dalam lakon selalu terkandung dua jenis teks; teks dimaksud yang disebut dengan istilah hauptext dan nebentext.
Yang dimaksud dengan haupttext adalah tokoh dan dialognya. Misalnya:
Hamlet:
(TERMENUNG)
Bertindak atau tidak
Bertindak itulah soalnya.
Mana yang lebih
luhur melawan ombak laut yang ganas atau tidur, mati tak lebih ...
Kita melihat ada tulisan: (TERMENUNG) yang menggunakan huruf kapital dan berada dalam kurung. Itulah yang dimaksud dengan nebentext atau teks samping. Sedangkan tokoh, yakni Hamlet, dan dialognya disebut haupttext. Nebentext bisa kita buat serinci mungkin, jika penulis lakon menginginkan lakonnya dimainkan persis seperti yang dimauinya. Akan tetapi, kalau penulis lakon
memberi banyak kebebasan kepada sutradara dan pelaksana pemanggungan, nebentext dibuat longgar.
Sama halnya dengan menulis fiksi, alur kita susun sesuai dengan keinginan kita, artinya, untuk mendukung tujuan penulisan lakon itu. Seperti "Menunggu Godot" misalnya, di sana, pengarang menyajikan alur berputar; tetapi lakon-lakon konvensional biasanya alurnya linear. Tokoh sangat penting dalam lakon. Apakah pengarang mau menampilkan tokoh tunggal, misalnya seperti Othello, Hamlet, Caligula, Oedipus Rex, atau pengarang ingin menampilkan kondisi situasi, misalnya "Hantu-Hantu" karangan Ibsen, "Dodeklanken" karya Manuel van Logem. Atau, lakon-lakon yang tokohnya kroyokan seperti lakon-lakon karya Putu Wijaya, misalnya "Aduh", dan masih banyak lagi.
Gambaran tokoh dalam "lakon" modern biasanya mewakili watak tertentu: buas, fanatik-picik, luas pandangan, lembut atau merupakan simbol pandangan kefilsafatan tertentu, misalnya dalam wayang. Yudhistira menggambarkan watak jujur dan sangat religius, Arjuna watak selalu siap tempur.
Konflik bersumber pada apa yang disebut dengan istilah interest atau kepentingan. Menyangkut soal isu BBM, kepentingan bisa diungkap antara mereka yang ingin memanipulasi kontrol yang kurang ketat versus kesadaran akan kepentingan orang banyak. Sementara itu, kita juga bisa bikin lakon absurd, misalnya minyak tiba-tiba sungguh menghilang. Orang yang biasa menimbun bensin dan minyak tanah pun "gulung-koming" mencari. Tak semua lakon harus berakhir dengan penyelesaian tuntas. Seperti film masa kini, Gie misalnya, lakon pun juga bisa berakhir dengan tanda tanya.
Puisi, menurut Jaques Maritain dalam bukunya "Creative Institution in Art and Poetry", bersifat roh. Ia merupakan jiwa setiap karya seni, yang oleh Plato sama dengan mousike. Jadi, menulis puisi, pertama-tama mempertimbangkan sentuhannya. Sentuhan itu bisa kita sajikan dengan irama (rhythm) dan pilihan kata.
Puisi, sejak zaman purbakala, hadir di mana-mana. Sekarang, banyak nyanyian yang sebenarnya merupakan lirik yang bagus. Sebuah nyanyian seriosa yang senantiasa muncul pada waktu lomba BRTV, kurang lebih sebagai berikut:
Engkaulah embun
Yang turun di waktu malam
Di kala rumput-rumput melayu Engkaulah hujan Yang turun dalam jiwaku Di kala hati haus dahaga
Bait pertama menunjukkan berita biasa: embun turun pada waktu malam. Bait kedua, mulai tampak tone puisi ini, yakni betapa besar harapan si aku dalam sajak kepada kekasihnya. Wanita yang dicintainya diibaratkan sebagai hujan yang memberikan kesegaran jiwanya yang haus. Mungkin bukan hanya dalam kasih saja, tetapi juga sikap kemanusiaan dan penghargaan kepadanya sebagai makhluk yang memerlukan pemanusiaan (diuwongke).
Link ini menjadi menarik karena sangkutannya dengan pengalaman sangat individual; dengan demikian, puisi bisa bicara dengan siapa saja. Contoh lain yang menunjukkan hal ini, misalnya sebuah sajak yang berjudul "Aku Ingin" karangan Sapardi Djoko Damono. Dalam sajak itu, antara lain ditulis:
"Aku ingin mencintaimu/dengan sederhana ... "
Kalau kita membaca puisi ini, kita bisa bertanya: siapa yang dimaksudkan dengan "mu" pada mencintaimu". Kita tidak tahu. Tetapi, bukankah kita merasa disentuh. Seakan-akan "mu" itu ditujukan kepada kita. Daya sentuh yang lembut itulah yang oleh Plato disebut dengan istilah mousike.
Untuk bisa menulis puisi yang demikian, kita merenungi pengalaman-pengalaman yang membuat kita merasa hati kita tersentuh. Seperti halnya tatkala kita menulis fiksi dan lakon, dalam persiapan menulis puisi pun kita harus membuka indra kita selebarnya untuk menangkap isyarat-isyarat dan sasmita alam.
Esai adalah karangan yang bersifat prosais, yaitu menerangkan dan menjelaskan, dengan pemusatan masalah sejauh pengarang tertarik dengan masalah itu. Oleh karena itu, subjektivitas yang tersirat dari esai juga lumayan tinggi. Esai ditulis untuk mengomentari suatu fenomena dalam masyarakat, termasuk tentang masalah sastra, yang perlu mendapat perhatian. Sebagai contoh, selama ini, sastra pop atau pop lit dianggap kurang bermutu sehingga tidak mendapat perhatian dari dosen-dosen sastra untuk mendorong mahasiswa menulis tesis atau skripsi. Melihat fenomena demikian, kita lalu mengangkat pena dan menunjukkan betapa pentingnya sastra pop itu untuk ditulis menjadi sebuah skripsi.
Berbeda dengan penelitian yang memerlukan dukungan data sahih, penulisan esai bisa mengambil data dari pengetahuan umum biasa. Misalnya, kita cukup kalau bisa membicarakan tentang serial "Harry Potter", yang hampir setiap orang tahu.
Demikianlah langkah-langkah kegiatan penulisan kreatif. Apabila kita memang tertarik menulis karya kreatif, kita tak usah khawatir akan mutunya. Sebab, kita baru memulai. Dan, yang penting bukan mutu karya. Itu bukan urusan kita. Mutu adalah urusan para penilai. Yang penting, dengan menulis karya kreatif, kita meningkatkan penguasaan Bahasa Indonesia; kita mendorong agar kata-kata yang kita gunakan lebih bisa menari, ketimbang hanya menjelaskan yang lurus-lurus. Kita pun mengasah kepekaan untuk menangkap yang tak kasat mata, mendengar yang tak bersuara, meraba yang tak berwujud, "mengambu" yang tak berbau, dan mengecap yang tak terasa. Hal itu adalah nilai-nilai hidup kita sendiri.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA