PIR - Referensi 03b

Nama Kursus : Pembinaan Iman Remaja
Nama Pelajaran : Perkembangan Remaja
Kode Pelajaran : PIR-P03

Referensi PIR-R03b diambil dari:

Judul Buku : Psikologi Perkembangan
Penulis : Desmita
Penerbit : PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005
Halaman : 210 - 217

REFERENSI PELAJARAN 03b - PERKEMBANGAN REMAJA

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa selama masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang dramatis, baik dalam fisik maupun dalam kognitif. Perubahan-perubahan secara fisik dan kognitif tersebut, ternyata berpengaruh terhadap perubahan dalam perkembangan psikososial mereka. Dalam uraian berikut, kita akan membahas beberapa aspek perkembangan psikososial yang penting selama masa remaja ini.

  1. Perkembangan Individuasi dan Identitas

    Masing-masing kita memiliki ide tentang identitas diri sendiri. Meskipun demikian, untuk merumuskan sebuah definisi yang memadai tentang identitas itu tidaklah mudah. Hal ini adalah karena identitas masing-masing orang merupakan suatu hal yang kompleks, yang mencakup banyak kualitas dan dimensi yang berbeda-beda, yang lebih ditentukan oleh pengalaman subjektif daripada pengalaman objektif, serta berkembang atas dasar ekplorasi sepanjang proses kehidupan (Dusek, 1991).

    Dalam psikologi, konsep identitas pada umumnya merujuk kepada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan, sekalipun terjadi berbagai perubahan. Menurut Erikson (dalam Cremers, 1989) seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha "menjadi seseorang", yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai "AKU" yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi "seseorang" yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskannya bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan "siapakah" atau "apakah" yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya.

    Adams dan Gullotta (1983), menggambarkan tentang identitas sebagai berikut:

    Identity is a complex psychological phenomenon. It might be thought of as the person in personality. It includes our own interpretation of early childhood identification with important individual in our lives. It includes a sense of direction, commitment, and trust in a personal ideal. A sense of identity integrates sex-role identification, individual ideology, accepted group norms and standards, and much more.

    Dalam konteks psikologi perkembangan, pembentukan identitas merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja. Meskipun tugas pembentukan identitas ini telah mempunyai akar-akarnya pada masa anak-anak, namun pada masa remaja ia menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan relasional (Grotevant & Cooper, 1998). Selama masa remaja ini, kesadaran akan identitas menjadi lebih kuat, karena itu ia berusaha mencari identitas dan mendefinisikan kembali "siapakah" ia saat ini dan akan menjadi "siapakah" atau menjadi "apakah" ia pada masa yang akan datang. Perkembangan identitas selama masa remaja ini juga sangat penting karena ia memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones & Hartmann, 1988).

    Menurut Josselson, 1980 (dalam Seifert & Hoffnung, 1994), proses pencarian identitas - proses di mana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda dan terpisah dari orang lain ini - disebut dengan individuasi (individuation).' Proses ini terdiri dari empat sub tahap yang berbeda, tetapi saling melengkapi, yaitu: diferensiasi, praktis dan eksperimentasi, penyesuaian, serta konsolidasi diri. Untuk lebih jelasnya masing-masing sub tahap ini, dapat dilihat dalam penjelasan berikut.

  2. Sub Tahap Perkembangan Identitas:
    1. Sub tahap Diferentiation

      Antara usia 12 - 14 tahun, memiliki karakteristik sbb: Remaja menyadari bahwa ia berbeda secara psikologis dari orang tuanya. Kesadaran ini sering membuatnya mempertanyakan dan menolak nilai-nilai dan nasihat-nasihat orang tuanya, sekalipun nilai-nilai dan nasehat tersebut masuk akal.

    2. Sub tahap Practice

      Antara usia 14 - 15 tahun, memiliki karakteristik sbb: Remaja percaya bahwa ia mengetahui segala-galanya dan dapat melakukan sesuatu tanpa salah. Ia menyangkal kebutuhan akan peringatan atau nasehat dan menantang orang tuanya pada setiap kesempatan. Komitmennya terhadap teman-teman juga bertambah.

    3. Sub tahap Rapprochment

      Antara usia 15 - 18 tahun, memiliki karakteristik sbb: Karena kesedihan dan kekhawatiran yang dialaminya, telah mendorong remaja untuk menerima kembali sebagian otoritas orang tuanya, tetapi dengan bersyarat. Tingkah lakunya sering silih berganti antara eksperimentasi dan penyesuaian, kadang mereka menantang dan kadang berdamai dan bekerjasama dengan orang tua mereka. Di satu sisi ia menerima tanggung jawab di sekitar rumah, namun di sisi lain ia akan mendongkol ketika orangtuanya selalu mengontrol membatasi gerak-gerik dan aktivitasnya di luar rumah.

    4. Sub tahap Consolidation

      Antara usia 18 - 21 tahun, memiliki karakteristik sbb: Remaja mengembangkan kesadaran akan identitas personal, yang menjadi dasar bagi pemahaman dirinya dan diri orang lain, serta untuk mempertahankan perasaan otonomi, indenpenden, dan individualitas.

  3. Teori Psikososial Erikson

    Erikson adalah salah seorang teoritisi ternama dalam bidang perkembangan rentang hidup. Salah satu sumbangannya yang terbesar dalam psikologi perkembangan adalah teori psikososial tentang perkembangan. Dalam teorinya ini, Erikson membagi perkembangan manusia berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan. Kedelapan tahap perkembangan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan berikut:

    Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson:

    1. Kepercayaan vs ketidakpercayaan (Trust vs. mistrust) - Usia kira-kira: Lahir - 1 tahun (masa bayi).
    2. Otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu (Autonomy us. shame and doubt) - Usia kira-kira: 1 - 3 tahun (masa kanak-kanak).
    3. Inisiatif vs rasa bersalah (Initiative us guilt) - Usia kira-kira: 4 - 5 tahun (masa pra-sekolah).
    4. Ketekunan vs rasa rendah diri (Industry vs. inferiority) - Usia kira-kira: 6 - 11 tahun (masa sekolah dasar).
    5. Identitas dan kebingungan peran (ego identity vs. role confusion) - Usia kira-kira: 12 - 20 tahun (masa remaja).
    6. Keintiman vs. isolasi (intimacy vs. isolation) - Usia kira-kira: 20 - 24 tahun (masa awal dewasa).
    7. Generativitas vs stagnasi (generativity vs. stagnation) - Usia kira-kira: 25 - 65 tahun (masa pertengahan dewasa).
    8. Integritas ego vs keputusan (Ego integrity vs. despair) - Usia kira-kira: 65 tahun - mati (masa akhir dewasa)

    Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas, yang mengharuskan individu menghadapi suatu krisis. Krisis ini bagi Erikson bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi, yang mempunyai kutup positif dan negatif. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya (Santrock, 1995).

    Dalam karya klasiknya yang berjudul Identity: Youth and Crisis (1968), terlihat bahwa dari kedelapan tahap perkembangan tersebut, Erikson, lebih memberi penekanan pada identitas vs kebingungan identitas (identity vs identity confusion), yang terjadi selama masa remaja. Hal ini adalah karena tahap tersebut merupakan peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahap ini sangat menentukan perkembangan kepribadian masa dewasa.

    Selama masa ini, remaja mulai memiliki suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, suatu perasaan bahwa ia adalah manusia yang unik. Ia mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang diinginkan tercapai di masa mendatang, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol kehidupannya sendiri. Di hadapannya terbentang banyak peran baru dan status orang dewasa.

    Akan tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak, dan kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di pihak lain, maka selama tahap pembentukan identitas ini seorang remaja mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan-peranan atau kekacauan identitas (identity confusion). Kondisi demikian menyebabkan remaja merasa terisolasi, hampa, cemas, dan bimbang. Mereka sangat peka terhadap cara-cara orang lain memandang dirinya, dan menjadi mudah tersinggung dan merasa malu. Selama masa kekacauan identitas ini tingkah laku remaja tidak konsisten dan tidak dapat diprediksikan. Pada satu saat mungkin ia lebih tertutup terhadap siapa pun, karena takut ditolak, atau dikecewakan. Namun pada saat lain ia mungkin ingin jadi pengikut atau pencinta, dengan tidak mempedulikan konsekuensi-konsekuensi dari komitmennya (Hall & Lindzey, 1993).

    Berdasarkan kondisi demikian, maka menurut Erikson, salah satu tugas perkembangan selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga diharapkan terbentuk suatu identitas diri yang stabil pada akhir masa remaja. Remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil, akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat (Erikson, 1989). Kegagalan dalam mengatasi krisis identitas dan mencapai suatu identitas yang relatif stabil, akan sangat membahayakan masa depan remaja. Sebab, seluruh masa depan remaja sangat ditentukan oleh penyelesaian krisis tersebut.

    Di samping itu, Erikson juga menyebutkan bahwa selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia berusaha merumuskan dan mengembangkan nilai kesetiaan (komitmen), yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang tak terelakkan di antara sistem-sistem nilai. Lebih jauh dijelaskannya bahwa komitmen merupakan fondasi yang menjadi landasan terbentuknya suatu perasaan identitas yang bersifat kontinu. Substansi komitmen diperoleh melalui konfirmasi oleh ideologi-ideologi dan kebenaran-kebenaran, serta juga melalui afirmasi dari kawan-kawan. Perkembangan identitas berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk merasa bahwa dirinya termasuk dalam kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok etnik atau kelompok agama, di mana ia berpartisipasi dalam kegiatan adat istiadat, ritual-ritual atau ideologi-ideologinya (Hall & Lindzey, 1993).

  4. Pandangan Kontemporer

    Pandangan-pandangan kontemporer tentang pembentukan identitas pada prinsipnya merupakan elaborasi dari teori psikososial Erikson. Di antaranya yang paling terkenal adalah padangan-pandangan James Marcia. Seperti halnya Erikson, Marcia juga percaya bahwa pembentukan identitas merupakan tugas utama yang harus diselesaikan selama masa remaja. Dalam hal ini Marcia menulis:

    "The formation of an ego identity is a major event in the development of personality. Occuring during late adolescence, the consolidation of identity marks the end of childhood and the beginning of adulthood," (Marcia, 1993).

    Menurut Marcia, pembentukan identitas ini memerlukan adanya dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Istilah "eksplorasi" menunjuk pada suatu masa di mana seseorang berusaha menjelajahi berbagai alternatif pilihan, yang pada akhirnya bisa menetapkan satu alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif tersebut. Sedangkan istilah "komitmen" menunjuk pada usaha membuat keputusan mengenai pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan tersebut. Dengan perkataan lain, komitmen adalah keputusan untuk membuat alternatif-alternatif tentang elemen-elemen identitas dan secara langsung aktivitas diarahkan pada implikasi dari alternatif-alternatif tersebut. Seseorang dikatakan memiliki komitmen bila elemen identitasnya berfungsi mengarahkan tindakannya, dan selanjutnya tidak membuat perubahan yang berarti terhadap elemen identitas tersebut (Marcia, 1993).

    Dalam suatu studi empirik tentang perkembangan identitas selama masa remaja yang didasarkan pada ide-ide Erikson, Marcia menginterviu aspek-aspek penting identitas (pilihan pekerjaan, agama, dan sikap politik) dari siswa-siswa usia 8 - 22 tahun. Berdasarkan hasil penelitiannya ini, Marcia mencatat bahwa pembentukan identitas merupakan suatu proses yang sulit dan penuh tantangan. Dalam hal ini, Marcia (1980), mengklasifikasikan siswa dalam 4 kategori status identitas yang didasarkan pada dua pertimbangan: (1) apakah mereka mengalami suatu krisis identitas atau tidak, dan (2) pada tingkat mana mereka memiliki komitmen terhadap pemilihan pekerjaan, agama, serta nilai-nilai politik dan keyakinan. Keempat kategori itu adalah:

    Status 1: Identity diffusion (penyebaran identitas).
    Remaja belum mempunyai pengalaman dalam suatu krisis, tetapi telah menunjukkan sedikit perhatian atau komitmen terhadap pilihan pekerjaan, agama dan politik.

    Status 2: Identity Foreclosure (pencabutan identitas).
    Remaja dalam kategori ini telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis. Sebelum waktunya, ia telah melibatkan dirinya pada aspek-aspek penting dari identitas tanpa banyak mengalami konflik atau krisis yang signifikan. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk mengetahui apa yang dicita-citakan oleh orang tua mereka terhadap dirinya dan apa yang menjadi cita-citanya sendiri.

    Status 3: Identity Moratorium (penundaan identitas).
    Remaja dalam kategori ini tengah berada dalam krisis, secara aktif berjuang membentuk komitmen-komitmen dan mengikat perhatian terhadap hasil kompromi yang dicapai antara keputusan orang tua mereka, harapan-harapan masyarakat dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri. Meskipun demikian, komitmen mereka hanya didefinisikan secara samar.

    Status 4: Identity achievement (pencapaian identitas).
    Remaja dalam kelompok ini telah berpengalaman dan berhasil menyelesaikan suatu periode krisis mengenai nilai-nilai dan pilihan-pilihan hidup mereka. Mereka juga telah memiliki komitmen terhadap sebuah pekerjaan, agama dan politik yang didasarkan pada pertimbangan dari berbagai alternatif dan kebebasan relatif yang diberikan oleh orang tuanya.

    Proses pembentukan identitas tersebut menurut Marcia terjadi secara gradual sejak lahir, yakni sejak anak berinteraksi dengan ibu dan anggota keluarga lainnya. Marcia juga mengidentifikasi beberapa variabel yang saling mempengaruhi dalam proses pembentukan identitas, yaitu: 1) Tingkat identifikasi dengan orang tua sebelum dan selama masa remaja, 2) gaya pengasuhan orang tua, 3) adanya figure yang menjadi model, 4) harapan sosial tentang pilihan identitas yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan teman sebaya, 5) tingkat keterbukaan individu terhadap berbagai alternatif identitas, dan 6) tingkat kepribadian pada masa pra-adolesen yang memberikan sebuah landasan yang cocok untuk mengatasi masalah identitas (Marcia, 1993).

Taxonomy upgrade extras: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA