MDD - Referensi 03a
Nama Kursus | : | Manusia Dan Dosa |
Nama Pelajaran | : | Natur Dosa |
Kode Pelajaran | : | MDD-R03a |
Referensi MDD-R03a diambil dari:
Judul buku | : | Teologi Sistematika (Doktrin Manusia) |
Judul artikel | : | Natur Dan Maksud Hukuman |
Penulis | : | Louis Berkhof |
Penerbit | : | LRII, Jakarta 1994 |
Halaman | : | 160 - 164 |
Referensi Pelajaran 03a - Natur dan Maksud Hukuman
Kata "hukuman" (Inggris : Punish) berasal dari kata bahasa Latin "poena" yang artinya hukuman, membuat tuduhan atas sesuatu, atau kesakitan. Kata ini, menunjuk juga anti sakit atau penderitaan yang dialami karena salah dalam tindakan. Secara lebih spesifik kata itu dapat didefinisikan sebagai kesakitan atau kehilangan yang secara langsung atau tidak langsung yang dijatuhkan oleh Sang Pemberi Hukum karena orang melanggar keadilan-Nya dan tidak mentaati hukum-Nya. Hukuman ini berasal dari kebenaran atau tuntutan keadilan Allah yang dengannya Allah sendiri tetap menjadikan diri-Nya Yang Suci, dan Ia sangat menuntut kesucian dan kebenaran dalam semua makhluk ciptaan-Nya yang berbudi. Hukuman adalah tindakan yang sewajarnya dijatuhkan pada orang berdosa karena dosa-dosanya. Kenyataannya, hukuman itu merupakan suatu hutang karena keadilan Allah. Hukuman atas dosa ada dua jenis. Ada hukuman yang menyertai dosa, sebab dalam keadaannya sendiri dosa itu menyebabkan pemisahan antara Allah dan manusia, dan dosa itu juga membawa kesalahan dan kecemaran, dan mengisi hati manusia dengan rasa takut dan malu. Akan tetapi ada juga jenis hukuman yang dijatuhkan atas manusia dan ular oleh Pemberi Hukum yang tertinggi, seperti segala jenis kesulitan dalam hidup masa sekarang dan hukuman dalam neraka di masa hidup yang akan datang.
Sekarang timbul pertanyaan mengenai objek atau maksud dari hukuman dosa itu. Dan berdasarkan sudut pandang ini ada banyak sekali perbedaan pendapat. Kita tidak boleh menganggap hukuman atas dosa sekedar sebagai persoalan pembalasan dan dijatuhkan atas seseorang yang telah melakukan celaka. Berikut ini adalah tiga pendapat yang terpenting berkenaan dengan maksud dari hukuman ini.
- Untuk Membuktikan Keadilan Dan Kebenaran Ilahi.
Turretin berkata: "Jika seandainya ada suatu atribut keadilan yang menjadi milik Allah, maka dosa harus mempunyai sangkut paut dengan hukuman." Hukum menuntut bahwa dosa harus dihukum karena kejahatan yang ada di dalamnya, tanpa memperhitungkan pertimbangan lebih jauh. Prinsip ini cocok dalam pelaksanaan hukum-hukum manusia maupun ilahi. Keadilan menuntut hukuman bagi para pelanggarnya. Di balik hukum ada Allah, dan dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukuman ditujukan untuk menunjukkan keadilan dan kebenaran serta kesucian Sang Pemberi Hukum yang Agung. Kesucian Allah selalu menentang dosa, dan reaksi ini menyatakan dalam bentuk hukuman atas dosa. Prinsip ini sangat mendasar dalam seluruh ayat-ayat Alkitab yang membicarakan Allah sebagai Hakim yang Benar, yang menuntut kepada setiap manusia sesuai dengan perbuatan mereka. "Gunung Batu yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil; Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia." (Ul. 32:4). "Jauhlah daripada Allah untuk melakukan kefasikan, dan daripada Yang Maha Kuasa untuk berbuat curang. Malah Ia mengajar manusia sesuai perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya." (Ayb. 34:10-11). "Dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan; sebab Engkau membalas setiap orang menurut perbuatannya" (Mzm. 62:13). "Bahwa Akulah Tuhan yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi" (Yer. 9:24), "Dan kalau kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini" (1 Pet. 1:17). Pernyataan atas kebenaran dan kesucian Allah dan hukum yang adil, yang merupakan pernyataan dari keberadaan-Nya, adalah maksud utama hukuman dosa. Akan tetapi ada dua pandangan lain yang secara keliru menempatkan sesuatu di muka pandangan ini.
- Untuk Memperbaharui Orang Berdosa.
Pendapat ini sangat ditonjolkan pada masa kini, bahwa sebenarnya tidak ada keadilan yang menghukum yang tanpa belas kasih dalam diri Allah. Allah mengasihi dan tidak marah pada orang berdosa. Hanya menjatuhkan sesuatu yang berat atasnya, dengan maksud untuk memperbaikinya, dan membawanya kembali ke rumah Bapa-Nya. Pandangan ini jelas tidak Alkitabiah yang mengacaukan perbedaan antara hukuman dan pengajaran. Hukuman atas dosa tidak keluar dari kasih dan kemurahan Sang Pemberi Hukum, tetapi dari keadilan. Jika pembaharuan mengikuti pelaksanaan hukuman, maka hal ini berkenaan dengan pelaksanaan hukuman seperti itu, tetapi merupakan buah dari tindakan Allah yang dengannya Ia mengubah apa yang pada dasarnya adalah kejahatan bagi orang berdosa menjadi sesuatu yang berguna. Perbedaan antara hajaran dan hukuman harus diperhatikan benar. Di satu pihak Alkitab mengajarkan bahwa Allah mengasihi dan menghajar umat-Nya (Ayb. 5:17; Mzm. 6:1; 94:12; 118:18; Ams. 3:11; Yes. 26:16; Ibr. 12:5-8; Why. 3:19, dan di pihak lain Ia membenci dan menghukum pelaku dosa, Mzm. 5:5; 7:11; Nah. 1:2; Rom. 1:18; 2:5-6; 2 Tes. 1:6; Ibr. 10:26-27. Lebih jauh lagi, suatu hukuman haruslah adil, yaitu sesuai dengan keadilan supaya dapat mengubah seseorang. Menurut teori ini seorang berdosa yang telah diperbaharui tidak dapat dihukum lagi; juga tidak ada seorang pun yang berada di luar jangkauan kemungkinan untuk mengalami pembaharuan, sehingga tidak akan ada hukuman bagi setan; hukuman mati harus disingkirkan, dan penghukuman kekal sesungguhnya tidak pernah ada.
- Untuk Mencegah Manusia Agar Tidak Berdosa.
Teori lain yang cukup terkenal pada masa sekarang adalah bahwa orang berdosa harus dihukum untuk melindungi masyarakat, dengan cara mencegah agar orang lain tidak sampai melakukan kesalahan yang serupa. Tidak ada keraguan lagi tentangnya, bahwa tujuan hal ini sering diteguhkan dalam keluarga, dalam negara, dalam aturan moral dunia, akan tetapi ini adalah akibat sampingan yang Tuhan hasilkan dengan belas kasih-Nya melalui pelaksanaan hukuman itu. Jelas pendapat ini tidak dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan hukuman. Sama sekali tidak ada keadilan dalam menghukum seseorang semata-mata untuk kebaikan masyarakat. Pada faktanya, orang berdosa selalu dihukum karena dosanya, dan hal ini boleh jadi untuk kebaikan masyarakat. Dan kembali di sini dapat dikatakan bahwa tidak ada hukuman yang berakibat mencegah manusia melakukan dosa, jika hukuman itu sendiri tidak adil dan benar. Hukuman hanya mempunyai akibat yang baik jika terbukti bahwa orang yang dihukum sungguh-sungguh layak dihukum. Jika seandainya teori ini benar, seorang pelaku kejahatan kriminal boleh langsung dibebaskan, jika tidak memungkinkan orang-orang lain dicegah dari melakukan dosa melalui penghukumannya. Lebih lagi, seseorang boleh melakukan satu tindakan kriminal jika ia berkemauan hanya untuk menanggung hukumannya. Menurut pandangan ini hukuman tidaklah didasarkan pada masa lalu, tetapi sepenuhnya untuk pengharapan pada masa mendatang. Tetapi berdasarkan pandangan seperti itu sangatlah sulit untuk menjelaskan bagaimana hukuman itu dapat menyebabkan orang berdosa yang bertobat menengok kembali dan mengakui dengan hati yang hancur segala dosanya di masa lalu seperti kita lihat dalam ayat-ayat berikut: (Kej. 42:21; Bil. 21:7; 1 Sam. 15:24-25; 2 Sam. 12:13; 24:10; Ezr. 9:6,10,13; Neh. 9:33-35; Ayb. 7:21; Mzm. 51:1-4; Yer. 3:25. Contoh-contoh ini masih dapat ditambah lagi jumlahnya. Dalam perlawanan terhadap kedua teori di atas kita harus senantiasa ingat bahwa hukuman atas dosa sepenuhnya bersifat retrospeksi (penuh pertimbangan terhadap masa lampau) dalam tujuan pertamanya, walaupun penanggungan atas pelaksanaannya mempunyai konsekuensi yang membawa kebaikan, baik untuk pribadi bersangkutan maupun untuk masyarakat.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA