DAS Referensi 03b
Nama Kursus | : | Doktrin Allah Sejati |
Nama Pelajaran | : | Atribut-Atribut Allah |
Kode Referensi | : | DAS-R03b |
Referensi DAS-R03b diambil dari:
Judul Buku | : | Teologi Sistematika (Doktrin Allah) |
Penulis | : | Louis Berkhof |
Penerbit | : | Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1993 |
REFERENSI PELAJARAN 03b - ATRIBUT-ATRIBUT ALLAH YANG ADA PADA MALKHLUK CIPTAAN (Allah sebagai Roh yang Berpribadi)
Apabila atribut-atribut Allah yang dibicarakan dalam bab sebelumnya menekankan Jatidiri Allah yang absolut, maka atribut-atribut yang belum dibicarakan dalam bab yang lalu dianggap sebagai atribut-atribut yang menekankan natur pribadi-Nya. Dalam atribut-atribut yang ada juga pada makhluk ciptaan inilah Allah berdiri sebagai Yang Sadar, Yang Berpikir, Yang Bebas dan Bermoral, sebagai Jatidiri yang bersifat pribadi dalam arti yang sebenar-benarnya. Satu pertanyaan yang telah lama dipikirkan oleh para ahli filsafat, dan masih tetap merupakan pokok perdebatan yang seru, adalah apakah eksistensi personal selalu konsisten dengan pemahaman tentang keabsolutan. Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat tergantung pada arti atau pengertian yang kita berikan pada istilah "absolut" itu. Dalam filsafat kata ini telah memperoleh tiga macam pengertian yang berbeda, yang dapat dikelompokkan dalam arti agnostik, logis, dan kausal. Bagi kaum agnostik, Yang Absolut adalah yang tidak ada hubungan, yang tentangnya tak ada satupun dapat diketahui, sebab segala sesuatu hanya dapat diketahui dari hubungan-hubungan yang ada. Dan jika tak ada satupun yang dapat diketahui tentang sesuatu, maka sesuatu itu pastilah tidak mempunyai pribadi. Lebih jauh lagi, oleh karena kepribadian tak mungkin dipikirkan jika terlepas dari hubungan, maka kepribadian itu tak mungkin dapat diidentifikasikan dengan suatu Absolut yang dalam esensi dasarnya tidak mempunyai hubungan sama sekali. Dalam Absolut logis, individual berada di bawah yang universal, dan universal tertinggi adalah kenyataan langsung. Demikianlah substansi absolut menurut Spinoza, dan semangat absolut menurut Hegel. Absolut itu dapat menyatakan dirinya sendiri di dalam dan melalui apa yang terbatas, tetapi tak satupun yang terbatas dapat menyatakan natur esensialnya. Jika kita menyebut Absolut sedemikian sebagai satu pribadi, artinya kita membatasinya dengan satu cara keberadaan, dan akan menghancurkan keabsolutannya. Pada kenyataannya, absolut yang sedemikian hanyalah sekedar konsep yang abstrak dan kosong, yang tidak mengandung isi apa-apa. Pandangan kausal tentang yang Absolut mengetengahkannya sebagai dasar yang pokok dari segala sesuatu. Absolut ini tidak tergantung pada apapun juga di luar dirinya sendiri, tetapi menjadikan segala sesuatu tergantung padanya. lebih jauh lagi, absolut ini tidak terlalu perlu tanpa hubungan sama sekali, tetapi dapat memasuki berbagai hubungan dengan makhluk-makhluk yang terbatas. Konsep Absolut yang sedemikian itu tidaklah tak konsisten dengan pemahaman tentang kepribadian. Lebih jauh lagi, kita harus selalu ingat bahwa dalam argumentasi mereka para ahli filsafat selalu berpikir dengan gagasan tentang kepribadian sebagaimana kepribadian itu disadari dalam diri manusia, dan kehilangan pandangan atas kenyataan bahwa kepribadian dalam diri Allah boleh jadi jauh lebih sempurna tanpa batas. Kenyataannya, kepribadian yang sempurna hanya ditemukan dalam diri Allah dan apa yang kita lihat dalam diri manusia hanyalah salinan yang terbatas dari apa yang asli. Masih lebih lagi, dalam diri Allah ada tiga pribadi, di mana tak satupun analogi dapat ditemukan pada manusia.
Sejumlah bukti alamiah, hampir mirip dengan bukti-bukti yang diberikan untuk eksistensi Allah, telah diusahakan untuk dipakai sebagai pembuktian atas kepribadian Allah. (1) Kepribadian manusia menuntut suatu Allah yang berpribadi untuk segala penjelasan-penjelasannya. Manusia tidaklah ada dari dirinya sendiri, juga tidak kekal, tetapi manusia hanyalah suatu keberadaan yang terbatas yang mempunyai awal dan akhir. Sebab yang diasumsikan di sini haruslah cukup untuk mencakup keseluruhan dari semua akibatnya. Karena manusia adalah suatu hasil pribadi, kuasa yang menghasilkannya haruslah juga berpribadi. Kalau tidak demikian akan ada sesuatu dalam akibatnya yang lebih superior dari sebabnya; dan hal yang seperti ini pastilah tidak mungkin. (2) Dunia secara umum menyaksikan tentang kepribadian Allah. Dalam keseluruhan isi dan penyusunnya, dunia ini menunjukkan bukti yang paling jelas akan adanya suatu pikiran yang tidak terbatas, yang terdalam, yang tertinggi dan emosi-emosi yang paling lembut, dan suatu kehendak yang amat berkuasa. Akibatnya, kita terhalang untuk mendaki dari dunia ini menuju ke dunia Sang Pencipta sebagai Jatidiri yang berpikir, berperasaan, dan berkehendak, yaitu satu pribadi. (3) Natur moral dan religius manusia juga menunjuk kepada kepribadian Allah. Natur moralnya memberikan dalam dirinya suatu rasa tanggung jawab untuk melakukan apa yang benar, dan hal ini mengimplikasikan eksistensi dari Pemberi Hukum yang maha tinggi. Juga natur religius manusia secara tetap menuntunnya untuk mencari persekutuan dengan Yang Lebih Tinggi; dan semua elemen dan aktivitas agama menuntut satu Allah yang berpribadi sebagai obyek dan tujuan akhirnya. Bahkan juga apa yang disebut sebagai agama-agama panteis sering mengakui secara tidak sadar bahwa mereka percaya pada Allah yang berpribadi. Kenyataannya adalah bahwa segala sesuatu yang seperti rasa sesal, iman dan ketaatan, persekutuan dan kasih, kesetiaan dalam pelayanan dan pengorbanan, percaya pada hidup dan mati, tidak ada artinya kecuali bila semua itu menemukan obyek yang tepat dalam Allah yang berpribadi.
Akan tetapi, kendatipun semua pertimbangan ini benar, dan mempunyai makna sebagai testimonia, semua itu bukanlah bukti yang atasnya teologi tergantung pada doktrin-doktrinnya tentang kepribadian Allah. Teologi mencari bukti atas Wahyu Allah sendiri dalam Alkitab. Istilah "pribadi" tidaklah diterapkan untuk Allah dalam Alkitab, walaupun ada kata-kata seperti kata bahasa Ibrani "panim" dan kata bahasa Yunani "prosopon", yang sangat dekat menunjuk pengertian atas pemahaman itu. Pada saat yang sama Alkitab juga mengakui kepribadian Allah lebih dan satu cara. Kehadiran Allah, sebagaimana dijabarkan oleh para penulis Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, jelas merupakan kehadiran pribadi. Dan pernyataan-pernyataan antropomorfis dan antropofatis tentang Allah dalam Alkitab, jika harus ditafsirkan bukan untuk memaksakan spiritualitas murni dan kekudusan Allah, hampir tak dapat dibenarkan, kecuali dalam asumsi bahwa Jatidiri yang kepada-Nya semua itu mengacu adalah pribadi yang nyata, dengan atribut-atribut personal, walaupun semuanya itu tanpa pembatasan-pembatasan manusia. Allah senantiasa dikemukakan sebagai Allah yang berpribadi, yang dengan-Nya manusia dapat dan boleh bertobat, yang dapat dipercaya, yang menopang mereka dalam segala pencobaan, dan mengisi hari mereka dengan sukacita kelepasan dan kemenangan. Dan akhirnya, wahyu Allah yang tertinggi yang diakui Alkitab adalah wahyu pribadi. Yesus Kristus menyatakan Bapa dalam suatu cara yang amat sempurna sehingga Ia dapat berkata kepada Filipus: "Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa" (Yoh 14:19). Bukti-bukti yang lebih rinci akan dapat ditemukan dalam pembahasan tentang atribut-atribut Allah yang ada dalam diri makhluk ciptaan.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA