3-3 SEMBAH SUJUD PARA GEMBALA

SEMBAH SUJUD PARA GEMBALA

7 Juni 1944. Vigili Corpus Christi [= Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus]

Aku menulis di hadirat Yesus-Guru-ku. Ia di sini untukku, sepenuhnya untukku. Ia telah kembali, setelah sekian lama, sepenuhnya untukku.

Engkau akan mengatakan: "Bagaimana mungkin? Engkau telah mendengarkan dan melihat selama hampir sebulan dan kau katakan bahwa Ia bersamamu setelah sekian lama?"

Aku akan menjawab sekali lagi dengan mengatakan apa yang telah aku katakan kepadamu beberapa kali baik secara lisan maupun tulisan.

Ada perbedaan antara melihat dan mendengarkan. Dan lebih dari itu ada perbedaan antara melihat dan mendengarkan untuk orang lain, dan melihat dan mendengarkan sepenuhnya untuk diriku sendiri, secara eksklusif untukku sendiri. Dalam kasus pertama aku adalah seorang penonton dan aku mengulang apa yang aku lihat dan dengar, tetapi jika itu memberiku sukacita karena selalu ada hal-hal yang mendatangkan sukacita besar, adalah benar juga bahwa itu, dapat dikatakan, suatu sukacita lahiriah. Kata itu merupakan suatu istilah yang buruk dari apa yang aku rasakan dengan begitu nyata.

Akan tetapi aku tak dapat menemukan kata yang lebih tepat. Ringkasnya, bayangkan bahwa sukacitaku adalah seperti sukacita orang yang membaca sebuah buku yang menarik atau melihat suatu pemandangan yang indah. Orang tersentuh hatinya, menikmatinya, mengagumi keharmonisannya dan berpikir: "Betapa menyenangkan berada di tempat orang ini!" Sebaliknya, dalam kasus kedua, yakni, ketika aku mendengarkan dan melihat untuk diriku sendiri, maka akulah "orang itu". Perkataan yang aku dengarkan adalah untukku, orang yang aku lihat adalah untukku. Adalah Ia dan aku, Maria dan aku, Yohanes dan aku. Hidup, nyata, sungguh, saling berdekatan satu sama lain. Bukan berada di hadapanku, seolah aku sedang menonton sebuah film yang dipertunjukkan, melainkan di samping tempat tidurku, atau bergerak dalam kamarku, atau bersandar pada perabotan, atau duduk, atau berdiri, seperti orang yang sungguh hidup, sebagai tamu-tamuku, yang sangat berbeda dari sebuah penglihatan atas nama semua orang. Singkat kata semua yang "adalah milikku".

Dan Yesus ada di sini hari ini, sesungguhnya Ia ada di sini sejak kemarin siang, dengan jubah wool putih biasa-Nya, yang agak putih-gading, dan yang sangat berbeda dalam berat dan warnanya dari jubah mahaindah yang Ia kenakan di Surga dan yang kelihatannya terbuat dari linen non-materiil, dan yang begitu putih hingga tampak seolah ditenun dari benang seterang cahaya. Ia di sini dengan jari-jemari-Nya yang lentik panjang berwarna putih berujung gading tua, dengan raut wajah tampan-Nya yang panjang pucat di mana mata-Nya yang manis mendominasi berwarna safir tua bersinar di antara bulu mata-Nya yang coklat lebat yang berkilau dengan pantulan merah-pirang. Ia di sini dengan rambut panjang-Nya yang halus, yang tampak lebih merah-pirang terang apabila terpapar cahaya dan tampak lebih gelap di tempat-tempat teduh. Ia di sini! Ia di sini! Dan Ia tersenyum kepadaku sementara aku menulis mengenai-Nya. Seperti yang biasa Ia lakukan di Viareggio… dan seperti Ia berhenti melakukannya sejak dari Pekan Suci… menyebabkan segala kesedihan yang nyaris menjadi demam keputusasaan, ketika di samping duka jauh dari-Nya aku juga kehilangan kenyamanan hidup di mana setidaknya aku telah melihat-Nya dan aku dapat mengatakan: "Ia biasa bersandar di sana, duduk di sini, di sini Ia membungkuk untuk menumpangkan tangan-Nya ke atas kepalaku" dan di mana sanak saudaraku telah meninggal.

Oh! terkecuali jika orang mengalaminya, ia tak akan dapat mengerti! Ini bukanlah masalah berpura-pura memiliki semuanya itu. Kita sungguh tahu benar bahwa itu adalah rahmat yang cuma-cuma dan bahwa kita tak layak mendapatkannya, pun kita tak dapat mengharapkannya terus berlangsung apabila rahmat dianugerahkan kepada kita. Kita tahu itu. Dan semakin banyak rahmat itu dianugerahkan kepada kita, semakin kita merendahkan diri kita dalam kerendahan hati, mengakui kemalangan kita yang menjijikkan dibandingkan dengan Keindahan Tak Terhingga dan Kekayaan Ilahi yang memberikan dirinya ke atas kita. Tetapi bagaimanakah pendapatmu, Pater? Tidakkah seorang anak ingin bertemu ayah dan ibunya? Atau seorang isteri suaminya? Dan apabila kematian atau perpisahan yang lama menghalangi mereka bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi, tidakkah mereka menderita dan tidakkah mereka mencari penghiburan dengan tinggal di mana mereka dulu tinggal, dan apabila mereka harus meninggalkan tempat itu, tidakkah mereka menderita dua kali lipat, sebab mereka kehilangan juga tempat di mana kasih mereka kepada sanak yang dirindukan terbalaskan. Dapatkah mereka yang menderita demikian dicela? Tidak. Dan bagaimana dengan aku? Bukankah Yesus adalah Bapa-ku dan Mempelai-ku? Lebih terkasih, jauh lebih terkasih dari bapa dan mempelai yang terkasih?

Dan begitulah Ia bagiku, engkau dapat menilainya dengan bagaimana aku berperilaku pada saat kematian ibuku. Aku menderita, tahukah kau? Aku masih menangis, sebab aku mengasihinya, kendati karakternya. Tetapi tahukah kau bagaimana aku mengatasi saat sulit tersebut. Yesus ada di sana.

Dan Ia lebih kukasihi dari ibuku. Bolehkah aku katakan sesuatu kepadamu? Aku menderita dan aku lebih menderita sekarang karena kematian ibuku, yang terjadi delapan bulan lalu, dibandingkan aku menderita saat itu. Sebab selama dua bulan terakhir ini aku tanpa Yesus untukku dan tanpa Maria untukku, dan juga sekarang, apabila Mereka meninggalkanku untuk sesaat, aku merasakan lebih dari sebelumnya kepiluan menjadi seorang yatim piatu yang sakit dan aku jatuh lagi ke dalam duka pilu manusia di hari-hari yang keji itu.

Aku tengah menulis sementara Yesus memandangku dan karenanya aku tak melebih-lebihkan atau menyelewengkan suatu pun. Bagaimanapun juga itu bukanlah kebiasaanku, dan andaikan ya, akan mustahil bertahan berlaku demikian sementara Ia memandangiku.

Aku menuliskan hal ini di sini, di mana bukanlah kebiasaanku melakukannya, sebab sehubungan dengan penglihatan-penglihatan Maria aku tidak pernah menyisipkan egoku yang malang, sebab aku sudah tahu bahwa aku harus terus menggambarkan kemuliaan-Nya. Bukankah Keibuan-Nya adalah sebuah mahkota kemuliaan setiap saat? Aku sakit parah dan merupakan beban bagiku untuk menulis. Dan sesudahnya aku merasa sangat lemah. Namun demi membuat-Nya dikenal, agar Ia dapat lebih dikasihi, aku mengabaikan semuanya. Apakah bahuku sakit? Apakah hatiku menyerah? Apakah aku menderita sakit kepala yang menyiksa? Apakah suhuku naik? Tak masalah! Biarlah Maria dikenal, cantik dan terkasih sebagaimana aku melihat-Nya melalui kebaikan Allah dan kebaikan-Nya, dan itu cukuplah bagiku.

Aku melihat suatu negeri yang sangat luas. Bulan berada pada titik zenith [= titik tertinggi] dan ia berlayar mulus melintasi langit penuh bintang. Bintang-bintang tampak bagai taburan intan berlian pada sehelai langit-langit beludru biru tua yang sangat luas dan bulan tersenyum di tengah-tengahnya dengan wajah putihnya yang besar, darimana berkas-berkas cahaya turun dan menjadikan bumi putih. Pohon-pohon tandus tampak lebih tinggi dan lebih gelap di atas permukaan yang begitu putih, sedangkan tembok-tembok rendah yang muncul di sana-sini pada perbatasan-perbatasan, tampak seputih susu dan sebuah rumah mungil nun jauh di sana tampak bagai sebongkah batu pualam Carrara.

Di sebelah kananku aku melihat sebuah tempat yang dipagari oleh sebuah pagar semak berduri pada kedua sisinya dan oleh sebuah tembok rendah yang kasar pada kedua sisinya yang lain. Tembok menyangga semacam sebuah naungan luas yang rendah, yang di bagian dalam halaman dibangun dari batu dan sebagian dari kayu, seolah pada musim panas bagian kayunya disingkirkan dan naungan disulap menjadi sebuah serambi. Dari tempat berpagar itu sesekali suara embikan pendek dapat terdengar. Pastilah itu suara domba-domba kecil yang bermimpi atau mungkin merasa bahwa fajar nyaris tiba oleh sebab sinar bulan yang sangat terang. Terangnya begitu cemerlang hingga ke tahap terang benderang dan semakin dan semakin terang seolah planet itu tengah menghampiri bumi atau tengah menyala karena suatu api misterius.

Seorang gembala memandang keluar pintu, dengan mengangkat satu tangan ke dahi untuk melindungi matanya, ia mendongak. Tampaknya mustahil bahwa orang harus melindungi matanya dari sinar bulan. Akan tetapi sinar bulan dalam peristiwa ini begitu terang hingga membutakan orang, teristimewa mereka yang keluar dari suatu tempat yang gelap. Semua tenang. Namun sinar bulan yang benderang sungguh mencengangkan. Si gembala memanggil rekan-rekannya. Mereka semua datang ke pintu: sekelompok laki-laki berbulu dari berbagai tingkat usia. Sebagian baru remaja, sebagian telah putih rambutnya, mereka mengomentari peristiwa aneh itu dan mereka yang lebih muda ketakutan. Khususnya satu, seorang anak berumur sekitar duabelas tahun, mulai menangis, dan para gembala yang lebih tua mengejeknya.

"Apa yang kau takutkan, bodoh?" lelaki yang paling tua berkata kepadanya. "Tak dapatkah kau lihat bahwa cuaca sangat tenang? Belum pernahkah kau melihat sinar bulan terang? Kau selalu bergayut pada baju ibumu, ya kan? Tetapi ada banyak hal yang harus kau lihat! Sekali, aku pergi hingga ke pegunungan Libanon, bahkan lebih jauh. Jauh tinggi. Aku masih muda, dan berkelana adalah suatu kesenangan. Dan aku dulu juga kaya, lalu… suatu malam aku melihat suatu terang cemerlang hingga aku pikir Elia akan segera datang kembali dalam kereta berapinya. Dan seorang tua, dialah orang yang dituakan pada waktu itu - mengatakan kepadaku: "Suatu peristiwa besar akan segera terjadi di dunia." Bagi kita itu adalah suatu bencana, karena tentara Romawi datang. Oh! Banyak hal yang akan kau lihat, jika umurmu cukup panjang."

Namun gembala kecil itu tidak lagi mendengarkannya. Ia tampak seolah ia tak lagi ketakutan, sebab ia meninggalkan ambang pintu dan bergerak diam-diam lewat belakang bahu seorang gembala yang tegap, di mana ia sebelumnya mencari perlindungan, dan pergi keluar ke halaman berumput tempat domba-domba yang berada di depan naungan. Ia mendongak dan berjalan bak seorang yang berjalan dalam tidur atau seorang yang dihipnotis oleh sesuatu yang dengan kuat memikatnya. Pada suatu saat tertentu ia berseru: "Oh!" dan tetap terpaku dengan kedua tangannya sedikit terentang. Teman-temannya saling memandang satu sama lain dengan tercengang.

"Apa yang terjadi dengan si dungu?" tanya seseorang.

"Aku akan memulangkannya ke ibunya besok. Aku tak mau seorang gila sebagai penjaga domba," kata yang lain.

Dan orang tua yang tadi berbicara mengatakan: "Mari kita pergi dan lihat sebelum kita menghakimi dia. Panggil juga yang lain yang sedang tidur dan bawalah tongkat kalian. Mungkin ada binatang buas atau perampok...."

Mereka masuk, mereka memanggil para gembala lainnya dan mereka keluar dengan suluh dan pentung. Mereka menggabungkan diri dengan si bocah.

"Di sana, di sana," ia berbisik sembari tersenyum. "Di atas pohon itu, lihatlah terang yang datang. Kelihatannya datang di atas berkas bulan. Itu dia, ia datang mendekat. Betapa indahnya!"

"Aku hanya dapat melihat terang yang agak lebih cemerlang."

"Begitu juga aku."

"Begitu juga aku," kata yang lain-lainnya.

"Tidak. Aku melihat sesuatu serupa tubuh," kata seorang yang aku kenali sebagai gembala yang memberikan susu kepada Maria.

"Itu... itu seorang malaikat!" seru si bocah. "Itu dia, ia tengah turun, ia datang mendekat… Datang! Berlututlah di hadapan malaikat Allah!"

Suatu seruan "Oh!" yang panjang penuh hormat meluncur dari kelompok gembala, yang jatuh berlutut dengan mukanya sampai ke tanah dan semakin tua usia mereka, semakin mereka tampaknya tergoncang oleh penampakan bermandikan cahaya itu. Mereka yang lebih muda berlutut, dengan mata tertuju pada sang malaikat yang tengah datang semakin dan semakin dekat, dan lalu ia berhenti di udara di atas tembok halaman, mengepak-ngepakkan sayap-sayapnya yang besar, yang adalah kecemerlangan bak mutiara dalam sinar bulan putih yang melingkupinya.

"Janganlah takut. Aku tidak membawa malapetaka bagi kalian. Aku mewartakan kepada kalian suatu sukacita besar bagi bangsa Israel dan bagi segenap bangsa di dunia." Suara malaikat adalah bagai paduan harmonis denting sebuah harpa dan kicauan burung-burung bulbul.

"Pada hari ini, di Kota Daud, Juruselamat telah dilahirkan!" Sembari berkata demikian, sang malaikat membentangkan sayap-sayapnya lebih dan lebih lebar, menggerak-gerakkannya sebagai suatu tanda akan sukcita yang meluap, dan suatu aliran kilau-kilau emas dan batu-batu berharga tampak berjatuhan darinya: suatu pelangi yang nyata yang menggambarkan suatu busur kemenangan di atas naungan papa.

"… Juruselamat, Yang adalah Kristus." Malaikat bercahaya dengan terang yang lebih cemerlang. Kedua sayapnya, yang sekarang tak bergerak, mengarah tegak lurus ke langit bagai dua layar tak bergerak di birunya samudera, tampak dua nyala api terang naik ke Surga.

"…Kristus, Tuhan!" Malaikat menangkupkan kedua sayapnya yang berkilau dan menutupi diri dengannya seolah sayap-sayapnya itu adalah sebuah mantol berlian pada sehelai baju dari butir-butir mutiara, ia membungkuk dalam sikap adorasi, dengan kedua tangannya di atas dada, sementara kepalanya menunduk seolah lenyap dalam lindungan puncak-puncak sayap yang terlipat. Hanya suatu terang membujur yang tak bergerak dapat terlihat untuk beberapa saat lamanya.

Tetapi sekarang ia bergerak. Ia membentangkan sayap-sayapnya, mengangkat kepalanya, yang terang dengan seulas senyum surgawi, dan mengatakan: "Kalian akan mengenali-Nya dari tanda-tanda berikut: di sebuah kandang papa, di belakang Betlehem, kalian akan mendapati seorang Bayi dalam kain bedung, di sebuah palungan hewan, sebab tak ada tempat bernaung didapati bagi Mesias di kota Daud." Sang malaikat menjadi serius, nyaris sedih, dalam mengatakannya.

Akan tetapi dari Langit banyak malaikat - oh! alangkah banyaknya! - turun, semua serupa dengannya - sebuah tangga para malaikat turun dan bersukacita dan meredupkan sinar bulan dengan kecemerlangan surgawi mereka. Mereka semua berkumpul sekeliling malaikat pewarta, mengepak-ngepakkan sayap mereka, menghembuskan wewangian, memadahkan nada-nada di mana suara-suara paling indah dari ciptaan menemukan suatu kumpulan, tetapi ditinggikan demi mengharmoniskan kesempurnaan. Jika lukisan merupakan ekspresi materia untuk menjadi terang, di sini melodi merupakan ekspresi musik untuk memberikan kepada manusia suatu gambaran akan keindahan Allah. Mendengar melodi ini adalah mengenal Firdaus, di mana semuanya adalah harmoni kasih yang memancar dari Allah demi membuat jiwa-jiwa terberkati bahagia, dan kemudian dari mereka kembali kepada Allah dengan mengatakan kepada-Nya: "Kami mengasihi-Mu!"

"Gloria" para malaikat menyebar ke segenap penjuru negeri yang tenang dalam lingkaran-lingkaran yang lebih dan lebih luas dan terang cemerlang bersamanya. Dan burung-burung menggabungkan kicauan mereka untuk menyambut terang fajar, dan domba-domba menambahkan embikan-embikan mereka untuk matahari fajar. Tetapi, seperti pada peristiwa sebelumnya, dalam grotto lembu dan keledai, aku lebih suka percaya bahwa binatang-binatang itu sedang menyambut Pencipta mereka, Yang telah turun di antara mereka untuk mengasihi mereka sekaligus sebagai Manusia dan sebagai Allah.

Nyanyian perlahan-lahan berangsur hilang, juga terang, dan para malaikat naik ke Surga...

Para gembala kembali pada realita.

"Apakah kalian mendengarnya?"

"Apakah kita akan pergi dan melihat?"

"Dan bagaimana dengan ternak kita?"

"Oh! Tak suatu pun akan terjadi pada mereka! Kita pergi untuk mentaati sabda Allah!..."

"Tetapi ke manakah kita akan pergi?"

"Bukankah ia mengatakan bahwa Ia dilahirkan pada hari ini? Dan bahwa mereka tidak mendapatkan tempat menginap di Betlehem?" Itu adalah gembala yang memberikan susu, yang berbicara sekarang. "Ayo ikut aku, aku tahu di mana Dia. Aku melihat si Perempuan dan aku merasa iba kepada-Nya. Aku memberitahukan kepada mereka ke mana harus pergi, demi Dia, sebab aku pikir mereka tidak akan menemukan penginapan, dan aku memberikan kepada si laki-laki itu sedikit susu untuk-Nya. Ia begitu muda dan cantik, dan Ia pastilah sebaik dan selembut malaikat yang berbicara kepada kita. Ayo. Marilah kita pergi dengan membawa susu, keju, anak-anak domba dan kulit yang disamak. Mereka tentunya sangat miskin… dan aku bertanya-tanya betapa kedinginan Ia pastinya Yang nama-Nya tak berani aku sebutkan! Dan bayangkan! Aku berbicara kepada si Bunda seolah aku berbicara kepada seorang isteri yang miskin!..."

Mereka masuk ke dalam naungan dan mereka keluar tak lama sesudahnya, sebagian dengan botol-botol kecil susu, sebagian dengan jaring-jaring kecil yang dianyam dari esparto [=sejenis rumput Spanyol] berisi keju-keju murni yang bulat kecil, sebagian dengan keranjang-keranjang, masing-masing berisi seekor anak domba kecil yang mengembik dan sebagian dengan kulit yang disamak.

"Aku membawakan untuk mereka seekor domba. Dia baru melahirkan sebulan yang lalu. Susunya berlimpah. Itu akan berguna jika si Perempuan tidak punya air susu. Bagiku Ia tampak seperti seorang gadis belia dan begitu pucat! Sebentuk wajah jasmine dalam sinar bulan," kata gembala yang memberikan susu. Dan ia memimpin mereka.

Mereka berangkat dalam terang sinar bulan dengan dibantu oleh suluh-suluh mereka, sesudah menutup naungan dan halaman. Mereka berjalan menyusuri jalanan-jalanan desa, di antara pagar-pagar semak berduri ******** musim dingin.

Mereka berjalan mengitari Betlehem. Mereka tiba di kandang bukan di jalan dari mana Maria datang, melainkan dari arah berlawanan, sehingga mereka tidak lewat di depan kandang-kandang yang lebih bagus, melainkan mereka langsung menemukan kandang ini. Mereka pergi mendekati liang.

"Masuklah!"

"Aku tidak berani!"

"Kau yang masuk!"

"Tidak."

"Setidaknya lihatlah."

"Kau, Lewi, yang pertama-tama melihat malaikat, jelas karena kau lebih baik dari kami, lihatlah ke dalam." Sebelumnya mereka mengatakan bahwa ia gila… namun sekarang itu cocok bagi mereka jika ia berani melakukan apa yang tidak berani mereka lakukan.

Si bocah ragu-ragu, tetapi kemudian ia membulatkan tekadnya. Ia pergi mendekati liang, menarik mantol sedikit ke satu sisi, melihat… dan tinggal terpesona.

"Apa yang bisa kau lihat?" mereka menanyainya penuh rasa ingin tahu dengan suara pelan.

"Aku bisa melihat seorang Perempuan muda yang cantik dan seorang laki-laki membungkuk di atas sebuah palungan dan aku bisa mendengar... aku bisa mendengar seorang bayi kecil menangis, dan Perempuan itu berbicara kepada-Nya dengan suara... oh! betapa merdu suaranya!"

"Apa yang dikatakan-Nya?"

"Ia mengatakan: "Yesus, si kecil mungil! Yesus, kekasih MamaMu! Janganlah menangis, Nak." … Ia mengatakan: "Oh! Andai saja Aku dapat mengatakan kepada-Mu: 'Minumlah susu, mungil-Ku.' Tetapi Aku belum memilikinya." … Ia mengatakan: "Engkau begitu kedinginan, cinta-Ku! Dan jerami ini menyakiti-Mu! Betapa memilukan hati MamaMu mendengar-Mu menangis begitu rupa, tanpa dapat menolong-Mu!" … Ia mengatakan: "Tidurlah, jiwa-Ku! Sebab hancur hati-Ku mendengar-Mu menangis dan melihat airmata-Mu!" dan Ia mencium-Nya, dan pastilah Ia menghangatkan kaki-kaki mungil-Nya dengan tangan-tangan-Nya, sebab Ia membungkuk dengan kedua tangan-Nya dalam palungan."

"Panggillah Dia! Buat mereka mendengarmu."

"Tidak mau. Engkau yang seharusnya memanggil-Nya, sebab kau yang membawa kita ke sini dan kau mengenal-Nya!"

Si gembala membuka mulutnya, namun ia hanya bisa melontarkan suara erangan yang samar.

Yosef berbalik dan menuju pintu. "Siapakah kalian?"

"Para gembala. Kami membawakanmu makanan dan wool. Kami datang untuk menyembah sang Juruselamat."

"Masuklah."

Mereka masuk, dan kandang menjadi lebih terang karena cahaya-cahaya obor. Para gembala yang lebih tua mendorong mereka yang lebih muda ke depan mereka.

Maria berbalik dan tersenyum. "Mari," kata-Nya. "Kemarilah!" dan Ia mengundang mereka dengan tangan-Nya dan senyum-Nya, dan Ia memegang anak laki-laki yang melihat malaikat dan menariknya ke arah-Nya, dekat palungan. Dan si anak melihat, dan ia bahagia.

Yang lain, yang diundang juga oleh Yosef, maju dengan persembahan mereka dan mereka menempatkannya di depan kaki Maria dengan sedikit kata yang menyentuh hati. Mereka lalu melihat si Bayi Yang menangis lirih dan mereka tersenyum tersentuh hatinya dan merasa bahagia.

Dan seorang dari mereka, yang agak lebih berani dari yang lain, mengatakan: "Bunda, ambillah wool ini. Wool ini lembut dan bersih. Aku mempersiapkannya untuk anakku yang akan segera lahir. Tetapi aku mempersembahkannya kepada-Mu. Baringkanlah PutraMu dalam wool ini. Ia akan merasa hangat dan nyaman." Dan ia memberikan sehelai kulit domba, yang indah, yang tertutup baik dengan wool putih yang lembut.

Maria mengangkat Yesus, dan membalutkannya sekeliling-Nya. Dan Ia memperlihatkan Yesus kepada para gembala, yang, sementara berlutut di atas jerami di tanah, memandang-Nya dalam ekstase!

Mereka menjadi lebih berani, dan seorang menyarankan: "Ia sebaiknya diberi seteguk susu, dan lebih baik lagi, sedikit air dan madu. Tapi kami tidak punya madu. Kami biasa memberikannya kepada bayi-bayi kecil. Aku punya tujuh anak dan aku tahu…"

"Ada sedikit susu di sini. Ambillah, Perempuan."

"Tetapi susu ini dingin. Susunya harus hangat. Di mana Elia? Ia punya domba."

Elia pastilah gembala yang memberikan susu. Namun dia tidak ada di sana. Ia tinggal di luar dan mengintip dari sebuah lubang, tapi ia tak terlihat dalam kegelapan malam.

"Siapakah yang menghantar kalian kemari?"

"Seorang malaikat mengatakan kepada kami untuk datang, dan Elia menunjukkan jalannya kepada kami. Tetapi di manakah dia sekarang?" Si domba memaklumkan kehadirannya dengan sebuah embikan.

"Masuklah. Kau dibutuhkan." Ia masuk bersama dombanya, malu sebab mereka semua melihat kepadanya.

"Kau!" kata Yosef, yang mengenalinya, dan Maria tersenyum kepadanya mengatakan: "Kamu baik."

Mereka memerah susu si domba dan dengan ujung sehelai linen yang dicelupkan ke dalam susu yang hangat, Maria membasahi bibir Bayi Yang menghisap kepala susu yang manis. Mereka semua tersenyum, dan lebih lagi, ketika Yesus tertidur dalam hangatnya wool, dengan sedikit linen masih ada di antara bibir-Nya.

"Tapi Kalian tak bisa tinggal di sini. Terlalu dingin dan lembab. Dan.. ada bau hewan yang terlalu kuat. Itu tidak baik... tidak baik bagi Juruselamat."

"Aku tahu," jawab Maria dengan desahan napas panjang. "Tetapi tak ada tempat bagi Kami di Betlehem."

"Berbesar-hatilah, Perempuan. Kami akan mencarikan sebuah rumah untuk-Mu."

"Aku akan memberitahu nyonyaku," kata Elia. "Dia orang baik. Dia akan menerima-Mu, bahkan meski dia harus memberikan kamarnya sendiri untuk-Mu. Segera sesudah pagi, aku akan memberitahunya. Rumahnya penuh orang. Tapi ia akan dapat menyediakan kamar untuk-Mu."

"Untuk AnakKu, setidaknya. Yosef dan Aku bisa juga tidur di lantai. Tapi untuk si Kecil..."

"Jangan khawatir, Perempuan. Aku akan mengurusnya. Dan kami akan memberitahukan banyak orang akan apa yang telah dikatakan kepada kami. Kalian tidak akan kekurangan suatu pun. Sementara waktu, terimalah apa yang dapat kami persembahkan kepada-Mu dari kemiskinan kami. Kami hanyalah para gembala…"

"Kami juga miskin. Dan kami tak dapat membalas kalian," kata Yosef.

"Oh! Kami tak mengharapkan itu. Bahkan meski Kau mampu, kami tak menghendakinya. Tuhan telah mengganjari kami. Ia menjanjikan damai bagi semua orang. Para malaikat mengatakan: "Damai bagi manusia yang berkehendak baik." Tapi Ia telah memberikannya kepada kami, sebab malaikat mengatakan bahwa Anak ini adalah Juruselamat, Yang adalah Kristus, Tuhan. Kami ini miskin dan bodoh, tapi kami tahu bahwa para Nabi mengatakan bahwa Juruselamat akan menjadi Raja Damai. Dan ia mengatakan kepada kami untuk datang dan menyembah-Nya. Itulah sebabnya mengapa Ia memberi kami damai-Nya. Kemuliaan bagi Allah di Surga Mahatinggi dan kemuliaan bagi KristusNya di sini, dan Engkau terberkati, Perempuan, Yang melahirkan-Nya: Engkau kudus, sebab Engkau layak melahirkan-Nya! Sampaikanlah perintah-perintah kepada kami sebagai Ratu kami, sebab kami akan sangat bahagia dapat melayani-Mu. Apakah yang dapat kami lakukan bagi-Mu?"

"Kalian dapat mengasihi PutraKu, dan selalu memelihara pemikiran yang sama seperti yang kalian miliki sekarang."

"Tetapi bagimana dengan-Mu? Adakah sesuatu yang Engkau kehendaki? Tidakkah Kau punya sanak saudara kepada siapa Engkau ingin mengabarkan bahwa Ia telah lahir?"

"Ya, ada. Tetapi mereka sangat jauh. Mereka di Hebron..."

"Aku akan pergi ke sana," kata Elia. "Siapakah mereka?"

"Zakharia, imam, dan sepupu-Ku Elisabet."

"Zakharia? Oh! Aku mengenalnya dengan baik. Pada musim panas aku biasa mendaki pegunungan itu sebab padang-padang rumputnya subur dan indah, dan aku adalah teman dari penggembalanya. Segera sesudah aku tahu di mana Engkau telah menetap, aku akan pergi kepada Zakharia."

"Terima kasih, Elia."

"Engkau tak perlu berterima-kasih kepadaku. Adalah suatu kehormatan besar bagiku, seorang gembala miskin, untuk pergi dan berbicara kepada imam dan mengatakan kepadanya: 'Juruselamat telah lahir.'"

"Jangan. Haruslah kau katakan kepadanya: 'Sepupumu, Maria dari Nazaret, mengatakan bahwa Yesus telah lahir, dan bahwa hendaknya engkau datang ke Betlehem.'"

"Aku akan mengatakan demikian."

"Kiranya Allah mengganjarimu. Aku akan mengingatmu, Elia, dan masing-masing dari kalian."

"Apakah Kau akan mengatakan kepada BayiMu mengenai kami?"

"Pasti."

"Aku Elia," "Dan aku Lewi," "Dan aku Samuel," "Dan aku Yunus," "Dan aku Ishak," "Dan aku Tobia," Dan aku Yonatan," "Dan aku Daniel," "Dan aku Simeon," "Namaku Yohanes," "Aku Yusuf dan saudaraku Benyamin, kami kembar."

"Aku akan mengingat nama-nama kalian."

"Kami harus pergi.... Tapi kami akan kembali.... Dan kami akan mengajak yang lain untuk menyembah-Nya."

"Bagaimana dapat kita kembali ke kawanan domba, dengan meninggalkan sang Kanak-kanak?"

"Kemuliaan bagi Allah Yang telah menunjukkan-Nya kepada kita!"

"Apakah Kau mengijinkan kami mencium baju-Nya?" tanya Lewi, dengan seulas senyum bak malaikat.

Dan Maria perlahan mengangkat Yesus, dan duduk di atas jerami, membungkus kaki-kaki mungil itu dalam sehelai linen, dan menawarkannya untuk dicium. Dan para gembala membungkuk hingga ke tanah dan mencium kaki mungil yang dibalut dengan linen. Mereka yang berjenggot membersihkan jenggotnya terlebih dulu; hampir semua menangis, dan ketika mereka harus pergi, mereka berjalan mundur keluar, meninggalkan hati mereka di sana...

Penglihatan berakhir demikian, dengan Maria duduk di atas jerami dengan sang Kanak-kanak di pangkuan-Nya dan Yosef yang, bersandar dengan sikunya pada palungan, memandang dan menyembah.

(sumber: buku "The Poem of the Man-God" - Maria Valtorta)

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA