Menghormati Orang Tua: Sebuah Perspektif Alkitabiah
"Tidak taat" adalah kata yang sering dilontarkan bahkan dengan kasar oleh orang tua kepada anaknya yang menurut perspektif orang tua, si anak melawan mereka. Kata yang sering dilontarkan ini didasarkan pada konsep yang salah tentang menghormati orang tua di mana menghormati orang tua identik dengan menaati orang tua dan selalu menganggap orang tua dan pandangannya pasti benar (bahkan melebihi Allah). Bahkan beberapa orang tua "Kristen" mengutip ayat Alkitab di Keluaran 20:12, "Hormatilah ayahmu dan ibumu" sebagai ayat favorit untuk mengindoktrinasi anak-anak mereka. Apa definisi yang benar dari menghormati orang tua dan aplikasinya menurut Alkitab?
Definisi Orang Tua Menurut Alkitab
Sebelum merenungkan menghormati orang tua, kita perlu memahami siapakah orang tua menurut Alkitab. Di poin pertama, kita belajar bahwa menurut Alkitab, orang tua bukan Allah. Artinya orang tua adalah salah satu otoritas yang Allah berikan kepada manusia. Di Keluaran 20:12, Allah berfirman kepada umat Israel untuk menghormati orang tua. Menariknya, kalau kita memperhatikan sepuluh perintah Allah, perintah kelima, yaitu ayat 12 merupakan perintah pertama dari relasi antar sesama manusia dan perintah pertama dari relasi antar sesama manusia ini hanya dijelaskan di 1 ayat, sedangkan menyembah Allah dijelaskan mulai dari perintah 1-4 (ay. 3-11). Ini merupakan indikasi bahwa dalam memberi perintah-Nya, Ia menempatkan diri-Nya sebagai yang terutama, baru setelah itu manusia dalam hal ini orang tua. Manusia yang disebut pertama kali oleh Allah adalah orang tua. Ini berarti Allah memberi otoritas kepada orang tua untuk dihormati. Apa artinya? John Durham menafsirkan bahwa orang tua adalah alat Allah (John I. Durham, Exodus, 291). Sebagai alat Allah, orang tua harus memimpin anak-anak mereka bukan untuk menyembah dan mengasihi orang tua, tetapi menyembah dan mengasihi Allah (Ul. 6:4-5). Di PB, Paulus juga mengajar konsep yang sama, yaitu anak-anak harus menaati orang tua "di dalam Tuhan" (Ef. 6:1).
Karena orang tua bukan Allah, maka konsekuensi logisnya adalah orang tua merupakan manusia berdosa yang bisa salah baik dalam berkata maupun bertindak. Kesalahan ini bisa terjadi karena mereka mungkin kurang taat pada firman Allah. Oleh karena itu, berhentilah menjadi orang tua yang selalu melabeli anaknya "suka membantah" ketika anak berbeda pendapat dengan orang tua. Membantah tidak sama dengan berbeda pendapat. Anak dapat disebut membantah orang tua ketika orang tua memberi nasihat yang bijaksana, alkitabiah, benar, dan logis, kemudian anaknya tidak peduli dengan nasihat tersebut bahkan sengaja melakukan apa yang bertentangan dengan nasihat tersebut tanpa alasan yang logis. Namun, ketika orang tua memberi nasihat kepada anaknya tentang sesuatu entah dengan alasan maupun tanpa alasan dan anaknya tidak menyetujui nasihat itu dengan alasan yang logis (lebih logis dari alasan orang tua), maka ketidaksetujuan si anak tidak dapat dikategorikan sebagai "membantah", tetapi tidak setuju.
Meskipun bisa bersalah dalam berkata maupun bertindak, Alkitab menjelaskan bahwa orang tua diberi mandat oleh Allah sebagai hamba sekaligus wakil-Nya. Apa artinya? Di Mazmur 127:3, firman Tuhan mengajar kita bahwa anak adalah pemberian Allah dan otomatis milik-Nya. Karena anak adalah milik Allah, maka konsekuensi logisnya adalah orang tua adalah hamba Allah yang "tidak mempunyai hak kepemilikan terhadap anak-anak mereka" (R. Paul Stevens, Spiritualitas yang Membumi, 46).
Meskipun bukan milik mereka, Allah memercayakan otoritas kepada orang tua sebagai alat atau wakil-Nya yang mempertanggungjawabkan milik-Nya. Beberapa orang tua "Kristen" juga memahami bahwa diri mereka adalah wakil Allah, tetapi mereka memahami wakil Allah identik dengan Allah di mana semua keinginan mereka harus ditaati mutlak sama seperti menaati firman Allah. Paul David Tripp mengingatkan, "Otoritas yang Anda miliki adalah otoritas sebagai wakil Allah. Wakil Allah tidak memiliki otoritas kepada dan dari dirinya sendiri. Ia punya otoritas hanya karena ia merepresentasikan seorang Raja yang punya otoritas" (Paul David Tripp, Bijak Menjadi Orang Tua, 131).
Bagaimana cara orang tua menjadi wakil Allah? Pertama, orang tua berperan sebagai perantara yang "membawa anak-anak kepada Allah", yaitu memimpin anak-anak untuk menyembah dan mengasihi Allah lebih dari mengasihi orang tuanya (Ul. 6:4-7) (Stevens, Spiritualitas yang Membumi, 47). Selain itu, orang tua juga memimpin anak-anak untuk menggenapkan rencana Allah dalam kehidupan anak-anak. Tripp mengingatkan kita kembali, "Pengasuhan yang merupakan tugas orang tua sebagai wakil Allah bukanlah dibentuk dan diarahkan oleh minat pribadi, kebutuhan pribadi, dan perspektif budaya. Setiap orang tua diutus untuk melakukan kehendak Allah dalam kehidupan anak-anak mereka. Artinya, dalam bentuk nyata, mengasuh bukan apa yang kita inginkan bagi dan dari anak-anak kita, tetapi apa yang Allah rencanakan dalam anugerah melalui kita kepada anak-anak kita" (Tripp, Bijak Menjadi Orang Tua, 12). Dengan kata lain, orang tua diberi mandat oleh Allah untuk mendidik anak-anak mereka untuk percaya kepada Allah, mengasihi-Nya, dan menggenapkan panggilan dan kehendak-Nya (bukan kehendak orang tua) dalam kehidupan anak-anak.
Cara Menghormati Orang Tua Menurut Alkitab
Definisi yang tepat tentang siapa orang tua menurut Alkitab mendorong kita menghormati orang tua dengan tepat menurut Alkitab. Cara menghormati orang tua yang tepat menurut Alkitab, yaitu:
Pertama, tunduk mutlak kepada firman Allah dan terbuka terhadap pimpinan Roh Kudus. Sebagai komunitas umat Allah, anak harus tunduk mutlak kepada firman-Nya dan terbuka terhadap pimpinan Roh Kudus. Mengapa hal ini penting? Karena tips terpenting menghormati/menaati otoritas yang Allah berikan didahului dengan ketaatan mutlak kepada Allah yang memberi otoritas tersebut. Ketaatan mutlak ini mendorong kita menguji perkataan/tindakan orang tua kepada kita. Ketika kita menguji, kita perlu memohon pimpinan Roh Kudus untuk memahami firman-Nya sekaligus bijaksana bersikap terhadap perkataan atau tindakan orang tua.
Kedua, menganggap orang tua kita adalah otoritas yang Allah berikan, tetapi terbatas. Di satu sisi, orang tua sebagai pemegang otoritas dari Allah memiliki kedudukan yang setara dengan otoritas lainnya seperti guru, bos, polisi, dll., tetapi tentu saja Allah memberi otoritas khusus kepada orang tua untuk mendidik dan mengajar anak-anaknya setiap waktu, di mana tugas ini tidak dapat dilakukan oleh guru/dosen apalagi polisi. Meskipun Allah sudah memberi otoritas kepada orang tua, otoritas tersebut terbatas dalam arti anak boleh tidak menaati orang tua. Dalam hal apa kita sebagai anak boleh tidak menaati orang tua? Kita akan membahasnya di bagian terakhir.
Ketiga, bersedia menaati perkataan atau tindakan orang tua yang benar secara alkitabiah dan logis, tetapi siap menolak untuk taat jika perkataan atau tindakan orang tua melawan Alkitab dan tidak logis. Meskipun orang tua bisa salah, tetapi jangan lebay, lalu menganggap semua yang mereka katakan atau lakukan itu salah semua. Ketika ada perkataan atau tindakan mereka yang benar, kita sebagai anak harus rendah hati mengakui bahwa itu benar. Setelah itu, kita uji lagi, apakah perkataan atau tindakan mereka yang benar itu benar-benar penting atau tidak. Jangan asal benar, lalu ditaati. Kalau yang mereka katakan atau lakukan kepada kita itu benar dan benar-benar penting, kita harus belajar menaatinya, meskipun sulit. Kalau yang mereka katakan atau lakukan kepada kita benar, tetapi tidak benar-benar penting, kita boleh sesekali menaati dan sesekali tidak menaati. Namun, jika perkataan atau tindakan orang tua benar-benar salah, maka kita harus berani menolak, tetapi penolakan kita bukanlah penolakan yang kasar dan meremehkan, sebaliknya penolakan kita bisa kita lakukan dengan diam (mendengar dan tidak melakukan) atau hanya berkata "tidak". Semuanya tergantung karakter orang tua kita.
Bagaimana cara kita menguji perkataan atau tindakan orang tua kita? Pertama, Alkitab (prinsip-prinsipnya). Kedua, tanya mbah Google atau buku/artikel ilmiah atau/dan tanyakan kepada ahlinya. Misalnya, ketika orang tua menasihati kita untuk berhati-hati secara ekstrem (paranoid) terhadap bahaya COVID-19, kita harus mengujinya dengan membandingkannya dengan prinsip Alkitab (bertanggung jawab dan tidak terlalu khawatir) dan buku-buku atau artikel ilmiah di Google atau/dan bertanya kepada teman/saudara atau sesama jemaat yang berprofesi sebagai dokter tentang COVID-19 dan bahayanya.
Keempat, bersikap sopan kepada orang tua. Karena orang tua adalah otoritas yang Allah berikan, tetapi terbatas, maka Alkitab mengajar kita untuk bersikap sopan terhadap orang tua yang ditandai dengan tidak memandang rendah, memukul, dan mengutuk mereka (Kel. 21:15, 17; Im. 20:9; Ul. 27:16; Ams. 20:20).
Kelima, siap menanggung biaya hidup orang tua kita (semampu kita). Salah satu cara menghormati orang tua adalah seperti tradisi Yahudi, yaitu memberi dukungan keuangan bagi orang tua yang sudah lanjut usia (Mat. 15:4-6). Namun tentu saja, menanggung biaya hidup orang tua sesuai dengan kemampuan keuangan kita.
Keenam, berkomitmen untuk mengajar dan mengingatkan diri kita sendiri sebagai anak untuk tidak mengulangi perkataan/tindakan orang tua kita yang salah kepada anak kita kelak. Ketika orang tua kita terlalu memanjakan kita, maka mungkin sekali kita akan terpengaruh memanjakan anak kita kelak, tetapi mintalah Roh Kudus mengingatkan dan mengajar kita untuk menghentikan itu karena sikap demikian tidak alkitabiah. Allah yang mengasihi umat-Nya, bukan Allah yang memberi apa pun yang mereka minta, tetapi memberi apa yang mereka perlu untuk memuliakan Allah.
Batasan Menghormati Orang Tua Menurut Alkitab
Meskipun Alkitab mengajar tentang pentingnya menghormati orang tua, Alkitab mengajar kita bahwa anak boleh tidak menaati orang tua ketika:
Pertama, orang tua melawan firman Allah. Di Efesus 6:1, Paulus mengajar anak untuk menaati orang tua "dalam Tuhan". Mengapa Paulus mengajar hal ini? Dalam kebudayaan Yunani-Romawi yang menjadi latar belakang penerima surat Efesus, anak wajib mengasihi, menghormati, menafkahi, menguburkan, dan memuliakan orang tua setelah kematian (Frank Thielman, Ephesians, 396). Bahkan orang tua harus dihormati sebagai dewa duniawi (Andrew T. Lincoln, Ephesians, 401). Dengan konteks inilah, Paulus mengadopsi kebudayaan Yunani-Romawi tentang pentingnya anak menghormati orang tua, tetapi bedanya dengan kekristenan adalah "dalam Tuhan". Artinya, anak dan orang tua sama-sama anggota komunitas kovenan dalam Kristus sehingga anak menghormati orang tua dalam batasan yang jelas, yaitu firman Kristus yang mengontrol orang tua dan anak (S. M. Baugh, Ephesians, 505).
Kedua, si anak masih belum menikah. Ketika si anak masih single atau belum menikah, ia wajib menghormati bahkan menaati orang tua selama orang tua tersebut memimpinnya menaati firman-Nya. Namun ketika si anak sudah menikah, ia tetap menghormati orang tua hanya sebatas tidak membentak atau mengutuk mereka tanpa harus menaati semua nasihat orang tua. Inilah yang membedakan kekristenan dengan agama-agama lain. Mengapa ada pemisahan seperti ini? Alkitab sendiri mengajarkan kita secara konsisten bahwa laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Ef. 5:31). Apa artinya "meninggalkan"? Apakah laki-laki yang menikah harus pisah rumah dengan orang tuanya? Belum tentu (meskipun saya sarankan lebih baik pisah rumah). Alasannya dalam pernikahan Israel, pengantin pria tetap tinggal di atau dekat rumah orang tuanya, sedangkan pengantin wanita yang meninggalkan rumah untuk bergabung dengan suaminya. Oleh karena itu, Gordon J. Wenham menafsirkan "meninggalkan" di sini merujuk pada prioritas. Sebelum menikah, pria akan memprioritaskan orang tuanya, tetapi setelah menikah, ia akan lebih memprioritaskan istrinya (Gordon J. Wenham, Genesis 1-15, 70). Konsep ini juga diajarkan Paulus di mana ia mengajarkan dua macam otoritas yang Allah berikan dalam keluarga, yaitu suami-istri (Ef. 5:22-33) dan anak-orang tua (Ef. 6:1-4). Ini berarti otoritas suami berbeda dengan otoritas orang tua. Meskipun si suami merupakan anak dari orang tua, suami tetap harus menjalankan perannya sebagai suami bagi istri yang mengasihi dan terikat dengan istri (Ef. 5:25, 31).
Alkitab dengan tegas mengajarkan Allah adalah otoritas mutlak dalam hidup orang Kristen dan Ia memberi otoritas lainnya kepada manusia, yaitu orang tua, pendeta/hamba Tuhan, guru atau dosen, polisi, hakim, dll.. Namun, ingatlah otoritas-otoritas tersebut adalah otoritas turunan dari Allah, bukan otoritas mutlak. Oleh karena itu, tempatkan Allah di tempat yang tepat, yaitu terutama dalam hidup kita, dan orang tua di tempat kedua di bawah Allah. Amin.
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Reformed Exodus Community |
Alamat situs | : | https://rec.or.id/menghormati-orang-tua-sebuah-perspektif-alkitabiah/ |
Judul asli artikel | : | Menghormati Orang Tua: Sebuah Perspektif Alkitabiah |
Penulis artikel | : | Ev. Denny Teguh Sutandio |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA