Nama Kursus | : | Pernikahan Kristen (PKS) |
Nama Pelajaran | : | Memilih Pasangan |
Kode Pelajaran | : | PKS-R02a |
Referensi PKS-R02a diambil dari:
Judul Buletin | : | TELAGA |
Judul Artikel | : | Diakah Pasangan Hidupku? |
Pengarang | : | Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D. |
Penerbit | : | Literatur SAAT, Malang, 2004 |
Halaman | : | 5 -- 28 |
Semua orang menyadari betapa pentingnya menemukan seorang pendamping atau pasangan hidup yang tepat, dan tentunya yang diperkenankan Tuhan. Tetapi masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana kita menemukan pasangan itu. Setiap pemuda-pemudi perlu menyadari hal-hal yang harus mereka perhatikan dalam memilih pasangan hidup.
Definisi pernikahan secara praktis sebenarnya adalah hidup bersama. Karena saling mencintai, kita hidup bersama dan ingin membagi hidup dan sukacita dengan seseorang. Apakah tujuan berpacaran? Berpacaran adalah proses menjajaki apakah kita dapat hidup bersama atau tidak, itulah inti berpacaran. Jangan sampai saat berpacaran kita kehilangan arah atau tujuan hakiki ini. Pacaran bukanlah untuk saling menikmati, pacaran bukanlah untuk menikmati malam yang indah, pacaran bukanlah agar ada orang yang kita kunjungi setiap hari Sabtu atau Minggu malam. Pacaran bukanlah untuk membagi sukacita dengan seseorang, pacaran bukanlah agar kita dicintai orang lain. Tetapi masa pacaran adalah masa kita menjajaki, belajar dan melihat dengan baik apakah kita dapat hidup bersamanya untuk selamanya atau tidak.
Beberapa pertanyaan yang patut dijadikan tolok ukur atau pedoman dalam menemukan pasangan hidup.
Apakah kedua-belah pihak saling menolong untuk bertumbuh dan hidup makin dekat Tuhan? Sebab prinsipnya adalah segala hal yang kita lakukan haruslah memuliakan Tuhan. Jika dalam berpacaran justru tidak memuliakan-Nya, terbukti dari makin menjauhnya kita dari Tuhan, dapat dipastikan bahwa hubungan itu tidak diperkenan-Nya.
Berpacaran, memang hanya pertemuan rutin. Seminggu sekali datang ke gereja, pacaran pun seminggu sekali. Rutinitas ini tidak apa-apa, lebih baiknya adalah saling menguatkan, saling mendorong dan saling membangun, sehingga makin hari hubungan ini bertumbuh kepada Tuhan dan makin bergantung kepada-Nya. Contoh: saling menguatkan, saling memberikan teguran rohani, memberi dorongan rohani untuk terus percaya Tuhan, untuk melihat suatu masalah dari sudut Tuhan, untuk melihat apakah hal yang dilakukan itu memuliakan Tuhan atau tidak. Jika semua itu telah ada dalam suatu hubungan berpacaran, tentu akan memperkokoh kerohanian individu tersebut.
Tetapi jika salah satunya bukan anak Tuhan, dapat dipastikan hubungan itu tidak akan memuliakan Tuhan dan mereka tidak akan bertemu dalam Tuhan. Sebab yang satu secara otomatis tidak akan bisa memberikan dorongan rohani kepada pasangannya. Misalkan, jika pada hari Minggu orang yang percaya seharusnya ke gereja, namun pacarnya yang tidak percaya mengajaknya jalan-jalan, rekreasi, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu dapat menjauhkan orang percaya itu dari Tuhan. Apalagi dalam pembicaraan mereka berdua, otomatis hal-hal yang bersifat rohani tidak bisa lagi mereka bahas. Maka dalam Perjanjian Lama, Tuhan dengan jelas memerintahkan kepada bangsa Israel untuk tidak menikah dengan bangsa-bangsa yang tidak seiman, karena hati mereka dapat dibawa pergi menjauh dari Tuhan.
Biasanya kalau pada masa pacaran, yang satu menuruti saja kemauan pasangannya, setelah menikah keadaan akan berbeda. James Thompson, seorang psikolog dari AS pernah mengatakan, "sebaiknya hubungan pacaran itu dilandasi oleh dua cinta yang sama, jangan sampai yang satu sangat mencintai dan sangat bergantung pada pasangannya dibanding yang satunya." Dengan kata lain, pasangan seperti itu ialah pasangan yang tidak seimbang. Sebab kalau yang satu mencintai pasangannya secara berlebihan maka secara otomatis terjadi kebergantungan yang sangat kuat dari salah satu pihak. Sehingga yang satu cenderung mengikuti kehendak pasangannya guna menyelamatkan hubungan mereka. Ia berusaha agar tidak kehilangan pacarnya. Kondisi hubungan seperti ini tidak sehat dan sangat berbahaya, sebab suatu hubungan nikah haruslah didasari oleh kesetaraan. Di mana jika keduanya ditanya hal yang sama, mereka harus berani mengemukakan pendapat.
Komunikasi adalah aspek yang sangat penting, karena saling berbicara akan menunjukkan banyak hal. Semisal: Kesamaan minat, kalau keduanya tidak memiliki ini maka akan kesulitan berbicara panjang lebar. Kesamaan berpikir, pola pikir yang sama juga memberikan kecenderungan bagi pasangan untuk dapat berbicara panjang lebar. Berikutnya ialah kemampuan memahami apa yang dibicarakan oleh pasangannya. Hal ini juga ditunjukkan dari seberapa mampu mereka berbicara. Sehingga hal-hal tersebut akan menambah keakraban mereka. Kenyataannya, ada pasangan yang sangat sulit berbicara dan jika ditanya kenapa, alasannya karena tidak ada yang perlu dibicarakan. Kesenjangan pendidikan yang terlalu jauh juga akan berpengaruh pada pola pembicaraan pasangan. Faktor pendidikan dan faktor IQ jangan berbeda terlalu jauh, karena jika demikian, di antara mereka tidak ada kesamaan dan sulit menemukan titik temu. Semakin banyak perbedaan, semakin sulit mencapai titik temu berkomunikasi.
Salah satu wujud kerjasama dapat terlihat dari kemampuan pasangan mengambil keputusan bersama ketika menghadapi masalah. Jika ada perbedaan pendapat, itu berarti mereka harus mampu mengambil keputusan bersama. Dengan demikian mereka "lulus" dalam faktor kebersamaan, karena masalah itu mengundang atau bahkan mengharuskan kita untuk mengambil keputusan. Ketika masalah timbul, keputusan apa pun yang diambil, harus diputuskan berdua.
Banyak orang dapat mengambil keputusan sendiri tetapi sulit untuk mengambil keputusan berdua, itu hal yang sangat sulit, sehingga akhirnya banyak pasangan yang tidak melalui tahapan sehat ini. Mereka mengambil jalan pintas yaitu: yang satu memaksakan kehendaknya dan yang satu hanya menerima kehendak saja. Seolah-olah dari luar tampak baik-baik, tenteram, dan harmonis namun sebetulnya ada unsur keterpaksaan. Meskipun banyak masalah tapi tidak ribut dan memang hanya dapat menyelesaikan sedikit dari permasalahan itu, tetapi dalam keadaan itu ada yang menderita dan tertekan. Lebih sehatnya, mereka harus menyelaraskan diri agar dapat belajar bekerja sama. Tetapi hal ini sulit dilakukan, jauh lebih mudah yang satu memaksakan dan yang satu hanya menurut. Pasangan tidak seiman pasti akan berdampak dalam kerja sama mereka. Dalam memutuskan suatu masalah diperlukan kesamaan nilai-nilai hidup, jika nilai hidupnya berbeda maka hal ini akan mengganggu. Misalnya dalam persepuluhan, yang satu rela memberikan persepuluhan kepada Tuhan, yang satu lagi sangat mungkin keberatan. Yang satu ingin melayani Tuhan lebih aktif, yang satu enggan melepas pasangannya ke gereja. Yang satu mungkin menghalalkan segala cara, yang satunya takut akan Tuhan.
Jangan sampai kita dan pasangan menjadi sangat berbeda, sehingga benar-benar tidak ada titik temu untuk menikmati hidup bersama. Semisal pihak yang satu senang nonton bola, pihak yang lain suka mendengarkan lagu-lagu rock&roll; pihak yang satu senang keramaian dan kumpul-kumpul, pihak yang lain lebih suka berdiam di rumah, akhirnya yang terjadi adalah tidak pernah menikmati hidup bersama. Yang penting adalah bukan memulai kesamaan, tetapi bagaimana mencocokkan diri dalam perbedaan itu dan saling menghargai perbedaan yang ada.
Ketika baru menikah, kami mempunyai perbedaan yang cukup besar dalam hal menikmati waktu luang atau rekreasi. Istri saya sangat senang dengan pantai dan laut, saya lebih suka ke gunung. Sangat berbeda, sebab tidak banyak tempat yang sekaligus ada keduanya. Tetapi setelah menikah belasan tahun, sekarang saya dapat menikmati pantai, saya tahu dia suka ke pantai sehingga juga meluangkan waktu untuk pergi ke pantai. Karena usaha ini memberikan saya kesempatan untuk sering ke pantai, lama-kelamaan saya sangat menikmati pantai dan dia pun akhirnya sangat menikmati pegunungan. Jadi, sekali lagi intinya adalah bukan mencari seseorang yang persis dengan kita, tapi mencari seseorang yang dapat memahami dan menyesuaikan hidupnya dengan kita.
Salah seorang dari pasangan pada suatu saat harus mengajak calonnya untuk diperkenalkan kepada teman-temannya. Masing-masing harus melihat dengan jelas siapakah teman-temannya, karena secara tidak langsung mencerminkan siapa dia sebenarnya. Mereka yang telah menikah menyadari bahwa kita hidup di tengah masyarakat dan tidak lepas dari orang lain, yaitu teman-teman kita sendiri. Oleh karena itu, adalah penting bertanya, dapatkah pasangan saya masuk ke dalam lingkungan teman-teman saya dan diterima, begitu juga sebaliknya.
Sudah pasti keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, dan teman-temannya pun tentu berbeda. Hal yang penting bukan lagi kesamaan teman, tapi dapatkah menerima dan menyesuaikan dengannya atau tidak? Sebab masing-masing pasti akan bertemu dengan sekelompok teman baru. Semisal ada perbedaan iman, yang satu biasa bermain dan bergaul dengan teman-teman di gereja dan yang satu mungkin tidak merasa cocok dengan teman gerejanya. Karena perbincangan mereka berbeda, maka tidak akan ada titik temu dan bagi yang satu akan merasa seperti di tengah-tengah orang asing. Sebaliknya, orang yang percaya juga mungkin merasa tidak nyaman kalau teman-teman pasangannya mengajaknya ke diskotik atau "night club", sebab bukanlah jiwanya.
Menurut saya, teman sesungguhnya mencerminkan siapa kita, siapa yang kita pilih menjadi sahabat sedikit banyak mencerminkan siapa diri kita. Kalau temannya adalah orang yang tidak benar, brengsek, dan sebagainya, tapi mengaku hidupnya benar maka ada kemungkinan hidupnya benar. Tetapi kalau dia tetap bersahabat dengan mereka maka sedikit banyak mencerminkan siapa dia sebenarnya. Ada kemungkinan dia masih menyenangi kehidupan seperti itu. Pasangannya harus melihat dan berpikir, apakah dia akan merasa cocok jika teman-temannya adalah orang yang suka ke "night club" atau karaoke setelah pulang kerja dan sebagainya. Harus mempertimbangkan apakah dia mau hidup dalam lingkungan seperti itu, karena pada akhirnya dia tidak bisa memisahkan pasangannya dari lingkup teman-temannya. Kalau keadaan seperti itu sampai mempengaruhi mereka dan keduanya benar-benar tidak bisa masuk ke dalam lingkup sosial masing-masing, maka salah satu harus berani memutuskan hubungan. Karena itu menandakan tidak adanya kecocokan di antara keduanya, meskipun di permukaan mereka tampak cocok.
Saya mengenal seseorang yang kuat dalam Tuhan tapi akhirnya menyukai seorang teman pria yang bukan dalam Tuhan. Akhirnya dia bersedia menguji apakah dia cocok dengan pasangannya ini. Sebenarnya saya kurang setuju dengan langkah yang diambilnya, namun dia melakukan hal yang bijaksana. Kebetulan pasangannya yang tidak seiman itu tinggal di kota lain, lalu dia memutuskan pergi ke kota itu. Ia tidak tinggal dengan pria itu tetapi di tempat temannya dan mengunjungi pria itu selama seminggu atau dua minggu. Di situ baru dia melihat gaya hidup pacarnya itu, yaitu pulang kerja tidak langsung ke rumah tapi mampir dulu ke "night club" sampai jam 11 atau 12 malam baru pulang. Melihat gaya hidup pacarnya seperti itu, dia balik lagi ke kota asalnya dengan suatu keputusan yang sangat jelas, dia harus putus hubungan dengan pacarnya.
Contoh lainnya: Ada seorang pemuda yang juga mengalami masalah seperti itu, sebetulnya sadar bahwa dia tidak cocok dengan kekasihnya, dia malu untuk memperkenalkannya, karena merasa tidak diterima oleh teman-teman dan keluarganya. Tapi karena cintanya terlalu kuat maka sulit untuk memutuskan hubungan. Ini adalah hubungan yang tidak sehat, tapi sangat sulit untuk bisa lepas satu sama lain. Penyebabnya adalah karena pemuda itu tidak bisa mempresentasikan pasangannya di hadapan orang-orang. Mereka menjadi sangat saling bergantung satu sama lain, seolah-olah kebutuhan mereka tidak bisa dipenuhi oleh orang lain. Hanya pasangannya yang bisa memenuhi kebutuhan itu, sehingga mereka benar-benar bergelendot, bersandar penuh kepada pasangan dan tidak dapat membuka diri terhadap masukan orang lain. Hal ini amat berbahaya, karena mereka menjadi sangat eksklusif, tidak realistis, sangat membebankan dan tidak memberikan ruang gerak bagi pasangannya. Setelah menikah baru menyadari bahwa pasangan kita tidak bisa memenuhi setiap kebutuhan kita.
Terkadang ada pasangan atau calon suami-istri yang beralasan: "Yang penting kan kita berdua, orang lain bisa diatur nanti." Alasan ini tidak dapat diterima untuk melandasi suatu pernikahan, sebab kita harus sadar bahwa kita hidup dengan orang lain dan harus berelasi dengan mereka. Saat ini banyak terjadi persoalan di mana suami seolah-olah merasa cocok dengan istrinya, tetapi istrinya tidak bisa cocok dengan satu manusia pun di luar sana, atau sebaliknya si suami tidak bisa cocok dengan satu manusia pun. Setiap kali berkumpul dengan orang selalu ribut, selalu tidak cocok dan lain sebagainya. Dalam keadaan seperti ini yang menderita adalah pasangan itu sendiri. Setelah menikah baru menyesal, semua sudah terlambat! Prinsipnya adalah berpasangan dengan orang yang bisa kita presentasikan ke hadapan orang lain. Kita tidak bisa berpasangan dengan seseorang yang ingin kita sembunyikan dari khalayak ramai karena merasa malu. Kita harus memiliki kebanggaan ketika bersanding dengannya, berjalan dengannya, dan mempresentasikan dia di lingkungan kita, entah di tengah-tengah teman, keluarga, maupun kolega kita. Jika belum menikah saja sudah merasa malu berjalan dengan dia dan menyembunyikan dia, ini adalah bukti hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang. Kalau kita hanya berani berduaan di luar khalayak ramai, hubungan ini akan menjadi terlalu eksklusif. Yang lebih serius lagi adalah tidak berani mempresentasikan dirinya, karena sebetulnya menyadari banyak hal dalam dirinya yang tidak dapat diterima orang lain dan sebenarnya kita pun tidak bisa menerimanya.
Pilihlah orang yang bisa kita terima dan tidak malu untuk menerimanya. Temukanlah sesuatu yang dapat membuat kita merasa bangga terhadapnya, misalnya: kualitas hidupnya, status sosialnya, atau keterampilannya. Tidak harus orang yang paling tampan atau paling cantik, tapi yang penting adalah tidak malu berjalan dengannya. Suatu hari kelak kita tidak malu dikenal sebagai suami atau istrinya.
Nilai moral sesungguhnya adalah poros sedangkan keputusan hidup kita adalah jari-jarinya, sehingga kalau poros itu tidak ada atau tidak lagi berimbang, sudah tentu jari-jarinya akan berputar tidak beraturan atau kacau. Seperti poros, nilai moral sangatlah penting sebab akan menentukan saat misalnya kita akan membeli rumah yang besar atau yang kecil, atau jika orang tua kita yang membutuhkan rumah juga, jikalau kita berkata, "Wah ... orang tua saya juga perlu uang ini, bagaimana kalau kita beli rumah yang sedang dulu, jangan yang terlalu besar, nanti kalau ada uang yang lebih banyak baru membeli yang lebih besar." Tentu pasangan kita akan bertanya, "Untuk apa uang itu ... ?" Kita berkata, "Ya, saya mau bagikan kepada orang tuaku karena ini penting buat mereka." Kalau pasangan kita tidak mempunyai nilai hidup yang sama tentu ia akan menolak dan marah. Nilai moral atau nilai kehidupan sangat luas jangkauannya. Ada sebagian muda-mudi yang menerapkan gaya hidup "kumpul-kebo". Mereka mempunyai standar/nilai moral yang mengujicobakan hidup bersama sebelum keduanya sah menjadi suami- istri. Hasil dari nilai dan gaya hidup seperti ini tidak pernah efektif. Hasil studi di AS menunjukkan justru tingkat perceraian di kalangan pasangan kumpul-kebo lebih tinggi daripada pasangan yang tidak pernah melakukannya. Sangat menarik sekali mengapa mereka yang kumpul-kebo, hidup bersama, akhirnya lebih rawan terhadap perceraian, dibandingkan mereka yang tidak pernah hidup bersama. Satu jawaban yang hakiki adalah pernikahan. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, yang suci, dan jika yang suci itu dicemarkan, diremehkan, dibuang seperti sampah maka akhirnya kedua belah pihak melihat masing-masing seperti sampah juga sehingga perasaan saling menghargai akan sangat kurang. Sudah pasti bahwa hidup bersama di luar ikatan pernikahan tidak dikehendaki dan tidak diberkati Tuhan, sebab melanggar firman Tuhan yang jelas mengatakan "Jangan berzinah!"
Mereka yang tidak takut kumpul-kebo sudah pasti tidak takut bercerai. Ada kalanya memang yang satu sangat tidak berkeberatan untuk melakukannya. Dahulu kita beranggapan, bahwa sudah pasti yang akan berinisiatif untuk kumpulkebo atau berhubungan seksual sebelum menikah adalah si pria. Tetapi kenyataan itu sekarang mulai berbeda, cukup banyak wanita yang sangat berani meminta hubungan seksual sebelum menikah. Ini adalah hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang karena mereka tidak akan berkesempatan melihat problem-problem lain dengan objektif. Seks akan membawa kenikmatan, sehingga kalau seks sudah menjadi pusat hubungan mereka maka akan menutupi masalah-masalah yang sebetulnya ada dalam hubungan mereka. Kalau mereka berhubungan seks sebelum menikah, itu terjadi karena yang satu kurang dapat menguasai diri, selalu tidak dapat menguasai diri. Keadaan ini akan membuat pasangan-nya bertanya-tanya, seandainya telah menikah dan dia bersama orang lain dan kebetulan harus berdua, apakah dia mampu menguasai diri. Dengan kata Iain, ketidakmampuan pasangannya menguasai diri dapat mengurangi rasa percaya, dan juga akan mengurangi rasa hormat atau respek. Jujurlah kepada diri sendiri maka kita sesungguhnya menghormati pasangan kita yang justru bersikeras menjaga kesuciannya. Kita jauh menghormati pasangan yang berani konsekuen dengan kekudusannya dibanding pasangan yang memperlakukan tubuhnya sembarangan.
Yang seringkali ditanyakan oleh mereka yang masih berpacaran dalam ceramah dan seminar ialah, sampai sejauh mana boleh mengungkapkan hasrat seksual? Secara umum, sebaiknya jangan sampai berciuman di bibir sebab bibir adalah organ tubuh yang sangat erotis dan kalau sudah masuk pada ciuman bibir biasanya akan mengundang tindakan- tindakan lain yang lebih serius. Cukup berpegangan tangan atau berpelukan dari samping. Jangan berpelukan dari depan karena posisi ini juga akan mengundang reaksi birahi. Nasihat atau larangan ini memang terdengar sangat kolot bagi para pemuda. (Saya mengatakan begini berdasarkan pengalaman sendiri). Ketika berpacaran, saya pun harus bergumul dengan hal-hal seperti itu dan ingin agar mereka yang mendengar atau membaca hal ini akhirnya tidak harus jatuh ke dalam dosa dan merasa telah melakukan hal yang salah.
Ada yang menganggap jika tidak melakukan apa yang biasa dilakukan teman-teman sebayanya, seperti berciuman bibir, yang dikhawatirkan para pemuda ialah, mereka akan dicap pasangannya sebagai orang kolot/kuno. Atau sebaliknya si wanita khawatir dicap sebagai orang yang dingin, sehingga terpaksa melakukannya. Hal itu dapat dihindari melalui komunikasi yang lebih terbuka, yaitu masing- masing mengatakan baiklah menjaga diri dengan mengambil langkah- langkah seperti ini. Jikalau sudah ada pengertian seperti itu seharusnya tidak ada lagi tempat untuk kesalahpahaman. Justru mereka akan lebih bangga dengan hubungan seperti itu karena mereka saling menentukan target dan dari situlah akan nampak bagaimana mereka bekerja sama untuk saling menjaga kesucian.
Hal ini patut dijadikan tolok ukur, karena misalnya si wanita melihat pasangan prianya terlalu bernafsu padanya, setidaknya dia bertanya-tanya, pacarku ini mencintaiku atau mencintai tubuhku, ini adalah dua hal yang berbeda.
Ini adalah salah satu pertanyaan yang sangat penting, apalagi dalam konteks ketimuran kita. Mereka yang menikah tidak bisa berkata, "Saya hanya menikahimu dan tidak peduli dengan keluargamu". Berdasarkan pengalaman, sekali lagi, hal ini seringkali menjadi duri dalam hubungan nikah mereka. Berkali-kali saya menyaksikan ini dalam praktik, yaitu akhirnya hubungan suami-istri sangat terganggu masalah keluarga masing-masing. Biasanya yang terjadi adalah salah satu pihak tidak menghargai keluarga pasangannya. Bukan berarti harus dengan buta menghargai keluarga pasangan kita karena mungkin ada anggota keluarga yang bermasalah. Misalnya, bapak atau ibu mertua yang bermasalah, tapi kita juga harus menyadari bahwa seberapa pun mereka bermasalah, tetap saja mereka adalah bagian kehidupan pasangan kita dan ia sedikit banyak pasti berharap agar kita mau menghargai mereka. Sebab penghinaan terhadap keluarganya juga berarti penghinaan terhadap dirinya. Sebaiknyalah menikah dengan seseorang yang keluarganya dapat kita hargai.
Seringkali yang terjadi dalam masa pacaran adalah telanjur saling senang tapi kemudian salah satu dari orang tua entah dari pihak pria atau wanita tidak menyetujui atau tidak merestui. Sebagai orang Kristen yang beriman kepada Tuhan, bagaimana seharusnya mereka bersikap?
Hal ini sering dipertanyakan, namun selalu ada pertanyaan, apakah orang tuamu jelas melihat pasanganmu? Sebab ada kalanya orang tua mempunyai frase posisi atau anggapan yang kurang jelas sehingga harus mengetahui terlebih dulu apakah orang tua telah jelas melihat pasangan kita. Pertama, kitalah yang bertugas memberikan penjelasan selengkapnya dan seobjektif mungkin. Kedua, harus selalu menghargai masukan orang tua sebab kita harus selalu kembali pada fakta motivasi. Ada orang tua yang susah melepas anaknya untuk menikah, sehingga siapa pun yang menjadi pasangan si anak akan dicelanya. Tapi pada umumnya orang tua tidak seperti itu dan mereka menginginkan agar anak-anak bahagia. Jadi, kalau sampai orang tua menentang, biasanya karena mereka prihatin bahwa orang itu sesungguhnya tidak cocok dengan anaknya. Mungkin ini yang tidak terlihat oleh si anak. Maka, anak perlu menghargai masukan orang tua sebab umumnya orang tua tidak beniat jahat, justru melakukan itu untuk kebaikan si anak. Inilah yang perlu dipelajari oleh si anak, kenapa orang tuanya menentang, dia harus melihat hal-hal itu dengan objektif.
Misalnya yang kerap terjadi adalah orang tua melarang anaknya menikah karena alasan perbedaan etnis. Ada sebagian anak yang tetap ngotot dan tidak menghormati petunjuk atau permintaan orang tuanya. Sebagai akibat pergaulan yang sangat terbuka, mereka melihat banyak pasangan yang berbeda etnis dan di mata mereka pasangan itu toh tetap berbahagia. Ada sebuah kesaksian dari seorang pendeta kulit putih di AS, suatu hari putrinya datang kepadanya dan berkata, "Papa, saya akan menikah", si papa berkata, "Ya baik, bagus, dengan siapa ...?" lalu putrinya berkata, "Dengan seorang berkulit hitam, seorang Negro". Si papa kemudian berkata dengan sangat bijaksana, "Silakan, tidak apa-apa, tapi saya minta kamu melakukan satu hal, tinggallah bersama keluarga dan orang tuanya selama jangka waktu tertentu (6 bulan atau setahun)." Anak itu menyetujui dan ia tinggal berbulan-bulan dengan keluarga si pria itu, setelah berbulan-bulan dia kembali ke rumah papanya dan berkata, "Papa, saya berubah pikiran, tidak jadi menikahi pasangan saya." "Kenapa ...?" sebab memang ternyata perbedaan etnis berdampak pada suatu hubungan, bukan masalah etnis tapi gaya hidup dan cara hidup, nilai-nilai hidup, kebiasaan hidup, semua itu perlu dipertimbangkan. Ayah si putri itu memberikan pemecahan yang bijaksana, sehingga bukan dia yang melarang tapi anaknya sendiri yang memutuskan untuk membatalkan hubungan ke tahap pernikahan.
Secara Alkitabiah, seorang Kristen tidak boleh melarang anaknya menikah dengan orang yang berlainan etnis. Karena memang Tuhan tidak menghendaki hal itu, Tuhan melihat semua orang sama. Tuhan hanya membedakan seiman atau tidak, Tuhan memintanya dengan jelas. Tuhan tidak mempersoalkan masalah etnis yang berbeda karena semuanya adalah ciptaan Tuhan. Namun, selain itu kita harus menyadari bahwa setiap golongan masyarakat mempunyai pola dan kebiasaan hidup yang unik untuk setiap kelompok. Bahkan meskipun mereka satu etnis, antara orang yang berstatus ekonomi tinggi dengan yang berstatus eknnomi rendah akan memiliki gaya hidup yang berbeda. Sebelum menikah, lihatlah dengan jelas hal-hal yang mungkin dapat menjadi duri dalam pernikahan mereka. Bagi pasangan yang berbeda etnis, bukan masalah etnisnya tapi mereka harus menyadari perbedaan-perbedaan gaya hidup dan bagaimana kelak dapat menyesuaikannya.
Perbedaan kemampuan ekonomi yang terlalu jauh akan mempengaruhi kehidupan pernikahan, apalagi jika si pria lebih rendah, sebab pria cenderung mengukur harga dirinya dari segi keberhasilan ekonominya. Sewaktu menikah dengan wanita yang status ekonominya jauh melampaui dirinya, biasanya dia akan minder. Seorang yang minder dapat mempunyai dua perilaku yang ekstrim, pertama: dia menjadi sangat penurut, mengikuti semua kehendak si istri dan keluarganya, kedua: justru kebalikannya, ia melarang si istri dekat dengan keluarganya, memerintah si istri, dan menjadi bos atas istrinya, atau ada juga seperti istilah orang Jakarta yang mengatakan, memoroti uang si istri. Suatu kali ada kejadian dimana setelah si suami menjadi berhasil dan sukses kemudian membalas dendam, rupanya dia menyimpan dendam dan otomatis akan merasa peka dan cepat tersinggung. Mungkin keluarga si istri tidak menghina tapi kadang ada perkataan yang kurang enak dan itu begitu sensitif baginya. Ia menjadi dendam dan akhirnya menimbulkan permusuhan, sungguh menyedihkan.
Sebaiknya ia mengetahui dengan jelas siapa kita, termasuk masa lalu kita. Kalau masa lalu kita sangat kelam, misalnya sebelum bertobat kita hidup dalam kehidupan seksual yang sangat bebas, akuilah dengan jujur karena ini penting untuk diketahui oleh pasangan kita. Jangan sampai sesudah menikah baru istrinya tahu, "oo ... itu pacarmu dulu, oo ... itu juga pacarmu yang dulu, oo ... itu bekas pacarmu lagi " Si istri akan bingung, berapa banyak mantan koleksi suaminya dahulu. Tidak perlu menjelaskan secara rinci apa saja yang dilakukan saat itu karena dapat mengganggu memori atau ingatan pasangan kita untuk waktu yang lama. Cukuplah menjelaskan perbuatan tidak baik yang pernah dilakukan secara garis besar. Kalau ia bertanya lebih rinci, misalnya hubungan yang tidak senonoh seperti itu, sebaiknya jangan dijelaskan. Jadi, tidak usah membangkit- bangkitkan semua yang telah terjadi, hal itu sangat tidak bijaksana sebab terkadang dapat dijadikan alasan untuk bertengkar.
Dalam masa pacaran, pertengkaran tidak harus dihindari sebab ada yang berkonsep bahwa hubungan yang sehat adalah hubungan yang bebas dari pertengkaran. Hubungan yang sehat bukanlah hubungan yang bebas dari pertengkaran dan juga bukanlah yang sarat dengan pertengkaran, keduanya tidak sehat. Indikasi hubungan yang sehat adalah hubungan yang kadang-kadang ada pertengkaran, tapi yang pasti bisa diselesaikan. Kuncinya justru adalah bisa diselesaikan bersama- sama, dituntaskan dengan pengampunan dan penerimaan. Hubungan yang tidak mampu menyelesaikan masalah sebetulnya adalah hubungan yang sangat lemah. Kadang kala orang menganggap suatu masalah selesai karena keduanya sudah terlalu lelah bertengkar, "Ya sudah ... terserah kamu!" Dua tiga hari kemudian pertengkaran itu hilang lalu muncul lagi. Itu tidak sehat, keduanya harus mampu mencari jalan keluar, solusi harus selalu ada dalam hubungan yang sehat.
Masa depan bersama adalah hal yang baik untuk dibicarakan, jadi keduanya harus membicarakan aspirasi mereka ke depan. Sangatlah penting saling bertanya dan membahas keinginan mendatang, apa kerinduan dalam hidup ini, apa yang perlu diraih dalam hidup ini. Misalnya yang satu merindukan rumah dan ingin tetap tinggal di rumah itu dalam waktu yang lama, tidak usah berpindah-pindah pekerjaan asal memadai atau cukup, tapi yang satu berbeda pendapat yaitu ingin mengejar jenjang karir yang lebih tinggi, kalau perlu pindah rumah atau pindah kota sekalian, tidak apa-apa. Hal seperti ini harus dibicarakan sebagai salah satu tolok ukur, apakah kelak keduanya sanggup membangun pernikahan atau kehidupan rumah tangga yang sehat.
Ams 27:1 dan 2 mengatakan: "Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu. Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak kau kenal dan bukan bibirmu sendiri."
Dua hal dalam ayat ini akan dikaitkan dengan hubungan berpacaran:
Pertama adalah janganlah memuji diri karena esok hari, jadi jangan terlalu bermegah akan esok hari. Banyak yang berpacaran tertalu positif akan hari esok, bahwa hubungan mereka pasti cemerlang, pasti cocok, pasti tidak ada masalah, karena saling mencintai. Tidak, jangan terlalu memuji diri akan hari esok. Lihatlah hari esok dengan realistik.
Kedua, biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu. Maksudnya adalah jangan berkata bahwa hubungan kita paling kuat, paling sehat karena saling mencintai. Biar orang lain yang memuji, artinya terimalah dan mintalah tanggapan orang lain. Semakin sehat suatu hubungan, semakin berani mereka menerima masukan orang lain. Suatu hubungan akan semakin tidak sehat dan rapuh bila mereka takut menerima masukan orang lain.
Pasangan yang merintis hubungan ke arah pernikahan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai introspeksi diri. Semua itu dapat dijadikan pedoman, namun yang terpenting adalah kita harus berpegang pada firman Tuhan, yang pasti dapat memberikan petunjuk bagi kita. Dalam Yak 1:5 dituliskan: "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada ALLAH, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya. "Saya sering menasihati mereka yang berpacaran bahwa salah satu doa yang harus mereka panjatkan atau minta kepada Tuhan adalah hikmat, yaitu hikmat untuk bisa melihat. Menurut saya pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang baik dan seringkali terpikirkan oleh banyak pasangan, tapi mereka tidak bisa melihat jawabannya karena mata mereka terkaburkan seolah-olah terbutakan oleh amuk cinta. Sehingga mereka harus minta hikmat agar menjernihkan mata mereka dan dapat melihat dengan jelas.
Sekarang banyak diselenggarakan program bina pranikah untuk mempersiapkan calon-calon pasangan suami-istri baik di gereja maupun di tempat lain. Program ini sangat diperlukan, karena dengan adanya bina pranikah maka jemaat semakin diperlengkapi dengan pengetahuan yang penting sebab memang tidak ada kuliah pernikahan. Salah satu cara terbaik dan sangat efisien adalah mendayagunakan anak-anak Tuhan sendiri, seperti majelis, atau tua-tua gereja yang mamiliki hubungan nikah baik dan sehat. Mereka bisa diminta untuk memberikan bimbingan, memberikan masukan-masukan dari pengalaman hidup mereka, itu sangat bermanfaat.