Pelajaran 08 | Pertanyaan 08 | Referensi 08b | Referensi 08c
Nama Kursus | : | DASAR-DASAR IMAN KRISTEN |
Nama Pelajaran | : | Di Dalam Kristus |
Kode Pelajaran | : | DIK-R08a |
Referensi DIK-R08a diambil dari:
Judul Buku | : | Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen |
Pengarang | : | R.C. Sproul |
Penerbit | : | SAAT |
Tahun | : | 1997 |
Halaman | : | 243-246; 247-249; 251-253 |
Garis Besar:
Bab 64 IMAN
BAB 65 IMAN YANG MENYELAMATKAN
BAB 66 DIBENARKAN OLEH IMAN
Kekristenan sering disebut sebagai suatu agama. Lebih tepat disebut suatu "iman." Kita sering membicarakan iman Kristen. Hal ini disebut suatu iman oleh karena ada suatu pengetahuan yang diteguhkan atau dipercayai oleh pengikut-pengikutnya. Hal itu disebut iman, juga oleh karena nilai dari iman adalah sentral dalam kaitan dengan pengertian akan penebusan.
Apakah arti dari iman itu? Di dalam kebudayaan kita sering kali diartikan secara salah, yaitu sebagai kepercayaan yang membabi-buta atau percaya pada sesuatu yang tidak masuk akal. Apabila kita menyebut iman Kristen sebagai suatu "iman yang membabi-buta", hal ini bukan saja merendahkan orang Kristen tetapi suatu penghinaan terhadap Allah. Pada waktu Alkitab berkata tentang kebutaan, istilah itu digunakan untuk menggambarkan orang yang oleh karena dosa, orang itu berjalan di dalam kegelapan. Kekristenan mengeluarkan orang dari kegelapan, bukan ke dalam kegelapan. Iman merupakan lawan dari kebutaan, bukan penyebab dari kebutaan.
Akar dari istilah iman adalah "percaya." Percaya kepada Allah bukan merupakan suatu tindakan yang berdasarkan pada kepercayaan yang tidak beralasan. Allah menyatakan Diri-Nya sendiri sebagai Pribadi yang patut dipercayai. Dia memberikan alasan yang cukup bagi kita untuk mempercayai-Nya. Dia membuktikan bahwa Dia setia dan layak untuk mendapatkan kepercayaan kita.
Ada perbedaan yang sangat besar antara iman dan kesediaan untuk mempercayai walaupun tidak cukup meyakinkan. Kesediaan untuk mempercayai walaupun tidak cukup alasan untuk mempercayainya merupakan suatu hal yang bersifat takhyul dan spekulatif. Iman dibangun di atas dasar alasan yang sudah dipikirkan dengan matang, koheren, konsisten, dan bukti empiris yang absah. Petrus menulis:
"Sebab kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dari kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai Raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya." (2Petrus 1:16).
Kekristenan tidak didasarkan pada mitos dan dongeng, tetapi atas dasar kesaksian dari mereka yang melihat dengan mata kepala sendiri dan mendengar dengan telinga mereka sendiri. Kebenaran dari Injil didasarkan pada peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila kejadian dari peristiwa-peristiwa itu tidak dapat dipercayai, maka pada dasarnya iman kita itu sia-sia saja. Tetapi, Allah tidak meminta kita untuk mempercayai sesuatu berdasarkan suatu mitos.
Ibrani memberikan definisi tentang iman: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani 11:1) Iman merupakan esensi dari pengharapan kita akan masa yang akan datang. Dengan istilah sederhana,
Hal itu berarti bahwa kita percaya kepada Allah untuk masa yang akan datang berdasarkan iman kita pada apa yang telah dicapai oleh Allah pada masa lampau. Untuk percaya bahwa Allah akan terus dapat dipercaya, bukanlah merupakan suatu iman yang didasarkan pada kemurahan kita. Ada alasan yang kuat bagi kita untuk percaya bahwa Allah akan setia untuk menggenapi janji-janji-Nya sama dengan kesetiaan-Nya di masa yang lalu. Ada alasan, yaitu suatu alasan yang pasti, bahwa pengharapan itu sudah pasti akan kita dapatkan.
Iman sebagai bukti dari segala sesuatu yang tidak terlihat memiliki keutamaan tetapi bukan suatu referensi eksklusif untuk masa yang akan datang. Tidak ada seorang pun yang memiliki sebuah bola kristal yang dapat bekerja dengan baik. Kita semua berjalan ke masa yang akan datang dengan iman, bukan dengan penglihatan. Kita dapat berencana dan membuat proyeksi-proyeksi, tetapi ramalan kita yang paling baik pun pada dasarnya di dasarkan pada prakiraan yang telah kita pelajari. Tidak ada seorang pun di antara kita mempunyai pengetahuan berdasarkan pengalaman di masa yang akan datang. Kita memandang saat ini dan dapat mengingat kembali masa yang lalu. Kita adalah ahli pengetahuan berdasarkan pada pengalaman yang telah terjadi. Satu-satunya bukti yang kuat untuk masa depan kita terdapat pada janji-janji Allah. Di sini iman menawarkan bukti untuk segala sesuatu yang tidak terlihat. Kita percaya kepada Allah untuk hari esok.
Kita juga percaya bahwa Allah ada. Dan meskipun Allah sendiri tidak kelihatan, Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa Allah yang tidak terlihat ini telah menyatakan diri-Nya melalui apa yang dapat dilihat (Roma 1:20). Meskipun Allah tidak dapat dilihat oleh kita, kita percaya bahwa Dia ada oleh karena Dia telah menyatakan diri-Nya dengan jelas di dalam ciptaan dan di dalam sejarah.
Iman mencakup percaya di dalam Allah. Namun, iman yang demikian tidaklah patut dipuji. Yakobus menulis: "Engkau percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan
Hal itu dan mereka gemetar." (Yakobus 2:19) Hal ini merupakan tulisan yang cukup tajam dari Yakobus. Untuk percaya pada keberadaan Allah, hanya dapat disamakan dengan kepercayaan iblis. Adalah satu hal kita percaya kepada Allah, dan merupakan hal lain untuk mempercayai Allah. Percaya kepada Allah, berarti mempercayakan seluruh aspek kehidupan kita kepada Dia, ini merupakan esensi dari iman Kristen.
Tuhan Yesus pada suatu kali menyatakan bahwa jika kita tidak memiliki iman seperti seorang anak kecil maka kita tidak akan memasuki kerajaan surga. Iman seperti anak kecil merupakan prasyarat bagi keanggotaan di dalam kerajaan Allah. Namun, ada perbedaan antara iman seperti anak kecil dengan iman yang kekanak-kanakan. Alkitab memerintahkan kita untuk menjadi bayi dalam kejahatan tetapi dewasa dalam pengertian kita. Iman yang menyelamatkan adalah jelas dan tidak membingungkan, tetapi tidak berarti sesuatu yang biasa-biasa saja.
Sejak Alkitab mengajarkan bahwa pembenaran hanya berdasarkan iman, dan bahwa iman merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk keselamatan, maka merupakan suatu keharusan bagi kita untuk mengerti apa yang dimaksudkan dengan iman yang menyelamatkan itu. Yakobus menjelaskan dengan jelas apa yang bukan iman yang menyelamatkan: "Apakah gunanya saudara-saudara, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" (Yakobus 2:14). Di dalam ayat ini Yakobus membedakan antara iman yang diakui dengan realitas dari iman itu sendiri. Siapa saja dapat mengatakan bahwa ia memiliki iman. Memang kita diperintahkan untuk mengakui iman kita secara terbuka, namun pengakuan semata-mata tidak akan menyelamatkan siapa pun. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa seseorang mampu memuliakan Kristus dengan mulut mereka, tetapi pada saat yang sama hatinya jauh dari Dia. Pengakuan yang hanya dibibir saja, tanpa adanya manifesti dari buah iman, bukan merupakan iman yang menyelamatkan.
Yakobus selanjutnya mengatakan: "Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" (Yakobus 2:17). Iman yang mati dijelaskan oleh Yakobus sebagai iman yang tidak ada manfaatnya. Iman semacam itu merupakan iman yang sia-sia dan tidak membenarkan siapa pun juga.
Pada waktu Luther dan para tokoh Reformasi mendeklarasikan bahwa orang dibenarkan hanya berdasarkan iman, mereka menyadari pentingnya memberikan penjelasan yang benar mengenai iman yang menyelamatkan itu. Mereka menjelaskan unsur-unsur apa saja yang tercakup dalam iman yang menyelamatkan itu. Iman yang menyelamatkan terdiri dari informasi, pengertian secara intelektual, dan kepercayaan secara pribadi.
Isi tercakup di dalam iman yang menyelamatkan. Kita tidak dibenarkan oleh karena beriman pada apa saja. Ada orang yang mengatakan: "Tidak menjadi soal apa yang kita percaya, sepanjang kita tulus dan sungguh- sungguh mempercayainya." Pernyataan itu bertolak belakang dengan pengajaran Alkitab. Akitab mengajar bahwa apa yang kita percayai mempunyai pengaruh yang sangat mendalam. Pembenaran tidak terjadi hanya karena ketulusan hati saja. Kita dapat secara tulus melakukan kesalahan. Doktrin yang benar, paling tidak kebenaran-kebenaran dasar dari Injil, merupakan suatu keharusan dalam iman yang menyelamatkan. Kita percaya pada Injil, di dalam pribadi dan karya dari Kristus. Ketiga hal itu merupakan bagian intergal dan iman yang menyelamatkan. Apabila doktrin kita secara mendasar ini sudah menyeleweng atau tidak benar, maka kita tidak akan diselamatkan. Misalnya, kita mengatakan bahwa kita percaya pada Kristus tetapi kita menolak keilahian-Nya, maka kita tidak memiliki iman yang membenarkan kita.
Meskipun penting bagi kita untuk memiliki pengertian yang benar atas kebenaran-kebenaran dasar dari iman supaya kita dapat diselamatkan, namun, suatu pengertian yang benar saja tidak cukup untuk menyelamatkan seseorang. Seorang mahasiswa dapat mencapai nilai A dalam ujian teologi Kristen, dia mengerti kebenaran Kristen, tanpa mengakui bahwa hal itu merupakan kebenaran. Iman yang menyelamatkan melibatkan pikiran yang mengakui kebenaran dari Injil.
Meskipun seseorang mengerti dan mengakui kebenaran dari Injil, tetapi ia belum memiliki iman yang menyelamatkan. Setan mengetahui bahwa Injil merupakan kebenaran, tetapi ia sangat membencinya. Ada suatu unsur lain lagi, yaitu percaya untuk mendapatkan iman yang menyelamatkan. Hal ini melibatkan penyerahan diri seseorang dan ketergantungan dirinya pada Injil. Kita dapat percaya bahwa sebuah kursi dapat menopang berat badan kita, tetapi kita memperlihatkan kepercayaan kita secara pribadi pada kursi tersebut sampai kita duduk di atasnya.
Kepercayaan mencakup kehendak demikian pula akal budi kita. Untuk memiliki iman yang menyelamatkan, kita dituntut untuk mencintai kebenaran dari Injil dan merindukan untuk hidup di dalamnya. Kita menerima kelembutan dan keindahan dari Kristus dengan hati kita.
Secara teknis dapat dikatakan bahwa kepercayaan secara pribadi merupakan hal yang ada setelah pengertian secara intelektual. Setan dapat memberikan pengertian secara intelektual akan kebenaran dari fakta-fakta tertentu tentang Yesus, tetapi ia tidak mempunyai pengakuan akan keindahan Kristus dan memiliki kerinduan akan Kristus. Namun, baik kita membedakan atau mengombinasikan pengakuan secara intelektual dengan kepercayaan secara pribadi, pada faktanya iman yang menyelamatkan menuntut, yang dinyatakan oleh Luther sebagai berikut: "Kepercayaan yang vital dan pribadi pada Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan."
Deklarasi Martin Luther bahwa pembenaran hanya berdasarkan iman merupakan artikel di atasnya gereja berdiri dan terjatuh. Doktrin pokok dari Reformasi Protestan dilihat sebagai wilayah peperangan dari Injil itu sendiri.
Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan dimana orang berdosa yang tidak benar dibenarkan dihadapan Allah yang kudus dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan baik kita.
Fokus dari perihal pembenaran terletak pada pertanyaan usaha dan anugrah atau kasih karunia. Pembenaran berdasarkan iman berarti usaha yang kita lakukan tidak cukup baik untuk menghasilkan pembenaran. Paulus menyatakan sebagai berikut: "Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa" (Roma 3:20). Pembenaran adalah forensik, yaitu kita dinyatakan, diperhitungkan atau dianggap benar pada waktu Allah mengaruniakan kebenaran Kristus pada diri kita. Kondisi yang dibutuhkan untuk ini adalah iman.
Teologi protestan mengakui bahwa iman merupakan alat yang menyebabkan pembenaran, dengan demikian iman merupakan alat dimana karya Kristus teraplikasi di dalam diri kita. Teologi Roma Katolik mengajarkan bahwa baptisan merupakan penyebab utama untuk pembenaran dan bahwa sakramen pengakuan dosa merupakan penyebab kedua, dalam kaitan dengan pemulihan. (Teologi Roma Katolik melihat pengakuan doa sebagai tingkat kedua dari pembenaran bagi mereka yang telah menghancurkan jiwa mereka, yaitu mereka yang telah kehilangan anugrah pembenaran karena melakukan dosa yang fatal, seperti membunuh). Sakramen pengakuan dosa menuntut usaha pemuasan dimana umat manusia mencapai usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan pembenaran. Pandangan Roma Katolik menerima bahwa pembenaran berdasarkan iman, tetapi menyangkali bahwa pembenaran itu hanya berdasarkan iman. Dengan kata lain, perbuatan- perbuatan baik perlu ditambahkan untuk dapat dibenarkan.
Iman yang membenarkan adalah iman yang hidup, bukan iman pengakuan yang kosong. Iman merupakan kepercayaan yang bersifat pribadi yang bergantung kepada Kristus saja untuk keselamatan. Iman yang menyelamatkan juga merupakan iman pertobatan yang menerima Kristus sebagai Juruselamat dari Tuhan.
Alkitab mengatakan bahwa kita tidak dibenarkan oleh karena perbuatan- perbuatan baik kita, tetapi dengan apa yang diberikan kepada kita berdasarkan iman, yaitu kebenaran Kristus. Sebagai sintesis, sesuatu yang baru ditambahkan pada sesuatu yang dasar. Pembenaran kita merupakan sintesis, oleh karena kita memiliki kebenaran Kristus yang ditambahkan kepada kita. Pembenaran kita adalah berdasarkan imputasi (pelimpahan), yang artinya Allah memindahkan kebenaran Kristus kepada kita berdasarkan iman. Ini bukan merupakan "legal yang bersifat fiksi." Allah telah melimpahkan kepada kita karya Kristus yang nyata, dan sekarang kita telah menerima karya-Nya. Ini merupakan pelimpahan yang nyata.
Pelajaran 09 | Referensi 09a | Referensi 09b | Referensi 09c
Nama Kursus | : | DASAR-DASAR IMAN KRISTEN |
Nama Pelajaran | : | Suatu Hubungan Yang Baru |
Kode Pelajaran | : | DIK-T09 |
Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
Selamat mengerjakan!
Perhatian:
Setelah lembar jawaban di bawah ini diisi, mohon dikirim kembali dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan bukan dalam bentuk attachment ke:
Pelajaran 10 | Referensi 10a | Referensi 10b | Referensi 10c
Nama Kursus | : | DASAR-DASAR IMAN KRISTEN |
Nama Pelajaran | : | Mengalahkan Keinginan Daging |
Kode Pelajaran | : | DIK-T10 |
Harap setiap peserta mengikuti petunjuk mengerjakan tugas sbb.:
Selamat mengerjakan!
Perhatian:
Setelah lembar jawaban di bawah ini diisi, mohon dikirim kembali dalam bentuk plain text (e-mail biasa) dan bukan dalam bentuk attachment ke:
Pelajaran 02 | Pertanyaan 02 | Referensi 02a
Nama Kursus | : | KEHIDUPAN RASUL PAULUS |
Nama Pelajaran | : | Perjalanan Misi Paulus yang Pertama |
Kode Pelajaran | : | KRP-R02b |
Referensi KRP-02b diambil dari:
Judul Buku | : | MEMAHAMI PERJANJIAN BARU |
Pengarang | : | John Drane |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996 |
Halaman | : | 318 - 319 |
Sebagai hasil dari kunjungan-kunjungan Paulus, baik "orang-orang yang takut kepada Allah" maupun orang-orang yang kafir sama sekali, menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Paulus mulai menyadari betapa penting panggilannya itu. Pengalamannya pada waktu ini juga meyakinkannya bahwa orang-orang bukan-Yahudi yang percaya harus diterima dalam persekutuan Kristen tanpa kewajiban disunat dan memelihara peraturan- peraturan lain dari hukum Taurat. Paulus menyadari setelah pertobatannya, hubungannya yang baru dengan Yesus Kristus juga mengakibatkan suatu hubungan yang baru dengan orang-orang lain termasuk dengan orang-orang yang dibencinya dahulu. Jadi sekarang ia menginsyafi bahwa walaupun dahulu ia tergolong orang Yahudi yang ketat, ia dipersatukan dengan orang-orang bukan-Yahudi dengan cara yang baru dan lebih mendalam, begitu mereka menerima tuntutan Yesus Kristus atas hidup mereka. Setelah pengalamannya di jalan menuju Damsyik, hal itulah yang memang sudah diperkirakan terjadi atas Paulus. Telah diterangkan kepadanya waktu itu bahwa ia akan memainkan peranan yang sangat khusus di dalam usaha penyebaran berita Kristen ke seluruh dunia. Ketika Paulus dan Barnabas kembali ke Antiokhia di Siria, mereka menemukan jemaat di sana setuju dengan mereka tentang pokok tersebut, dan menyambut keberhasilan mereka menginjili orang- orang di Asia Kecil bagian selatan (Kisah Para Rasul 14:27-28).
Orang Yahudi dan Bukan-Yahudi
Tetapi keadaan bahagia itu tidak berlangsung lama. Beberapa pembawa berita dari jemaat di Yerusalem segera tiba di Antiokhia dengan sikap yang sangat berlainan. Yang lebih buruk lagi, mereka juga mengunjungi jemaat-jemaat Kristen baru yang dibangun oleh Paulus dan Barnabas dalam perjalanan misionernya yang pertama (Galatia 2:11-14). Mereka mulai mengacaukan jemaat-jemaat itu dengan mengatakan Paulus hanya memberitakan setengah berita Kristen kepada mereka. Menurut Paulus, jika orang-orang bukan-Yahudi bersedia menerima tuntutan-tuntutan Kristus atas hidup mereka, mereka akan diberikan kuasa oleh Roh Kudus yang bekerja di dalam diri mereka, sehingga mereka dapat menjalankan hidup yang menyenangkan hati Allah. Bagi banyak orang Kristen Yahudi, ide tersebut adalah hujatan. Mereka percaya Allah telah menyatakan kehendak-Nya dalam Perjanjian Lama, di mana diajarkan dengan jelas jika seseorang ingin menjadi anggota persekutuan ilahi, ia harus disunat dan mengikuti banyak peraturan lainnya. Bagaimana Paulus dapat mengatakan bahwa orang-orang bukan-Yahudi ini sudah menjadi Kristen yang benar kalau mereka belum pernah mempertimbangkan implikasi sepenuhnya dari wahyu Allah dalam Perjanjian Lama? Bagaimana mungkin Paulus berani berkata bahwa moralitas Kristen dapat dicapai dengan cara yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan Yahudi secara ketat dalam kehidupan orang Kristen?
Orang-orang Kristen baru itu menjadi bingung dengan ajaran seperti itu. Yang mereka pahami ialah mereka telah menerima berita yang disampaikan Paulus; hidup mereka telah diubah sama sekali oleh Tuhan yang sama yang menjumpai Paulus di jalan ke Damsyik, dan mereka harus percaya kepada Tuhan itu yang akan membantu mereka menjalankan hidup yang menyenangkan Allah. Banyak di antara mereka tidak pernah menjadi penganut agama Yahudi, dan tidak tahu isi Perjanjian Lama. Dan Paulus tidak memberikan petunjuk kepada mereka untuk mempelajarinya agar dapat diterima Allah.
Tetapi ketika orang-orang Kristen baru ini mulai membaca Perjanjian Lama di bawah bimbingan orang-orang Kristen Yahudi, mereka menemukan begitu banyak peraturan yang tidak mungkin dapat dipenuhi, walaupun itu dianggap perlu untuk memperoleh keselamatan. Beberapa dari mereka mencoba melakukannya, mulai dengan memelihara hari Sabat Yahudi dan mungkin juga beberapa hari raya Yahudi lainnya (Galatia 4:8-11). Sejumlah besar di antara mereka mulai mempertimbangkan sunat, agar memenuhi ketentuan Perjanjian Lama (Galatia 5:2-12). Tetapi bagian terbesar dari mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pada saat itulah berita tersebut didengar oleh Paulus. Ia sangat marah. Tidak mungkin dia langsung mengunjungi jemaat-jemaat tersebut pada waktu itu, jadi ia memutuskan untuk menulis surat kepada mereka. Surat itulah yang kita kenal sebagai Surat Galatia.
Pelajaran 02 | Pertanyaan 02 | Referensi 02a |
Nama Kursus | : | ORANG KRISTEN YANG BERTANGGUNG JAWAB (OKB) |
Nama Pelajaran | : | Bertanggung Jawab dalam Hal Ibadah dan Persekutuan |
Kode Pelajaran | : | OKB-R02b |
Referensi OKB-R02b diambil dari:
Judul Buku | : | THE PURPOSE DRIVEN LIFE |
Judul Artikel | : | Memulihkan Persekutuan yang Retak |
Pengarang | : | Rick Warren |
Penerbit | : | Gandum Mas, Malang, 2004 |
Halaman | : | 171 - 177 |
(Allah) telah memulihkan hubungan kita dengan-Nya melalui Kristus, dan telah memberikan kepada kita pelayanan untuk memulihkan hubungan. 2Korintus 5:18
Hubungan Selalu Layak Dipulihkan
Karena inti kehidupan ialah belajar bagaimana mengasihi, Allah ingin agar kita menghargai hubungan dan berupaya untuk memeliharanya dan bukan menolaknya ketika ada keretakan, sakit hati, atau konflik. Sebetulnya, Alkitab mengajar kita bahwa Allah telah memberikan kepada kita pelayanan untuk memulihkan hubungan. (2Korintus 5:18) Karena alasan inilah sebagian Perjanjian Baru ditulis untuk mengajar kita cara bergaul dengan baik satu sama lain. Paulus menulis, "Jika ada sesuatu yang kamu peroleh karena mengikut Kristus, jika kasih-Nya telah membuat kehidupanmu berbeda, Jika berada dalam persekutuan Roh mempunyai suatu arti bagimu,... Hendaklah kamu sehati sepikir, saling mengasihi, jadilah sahabat-sahabat sejati." (Filipi 2:1-2) Paulus mengajarkan bahwa kemampuan kita untuk bergaul dengan baik dengan orang lain merupakan tanda kedewasaan rohani. (Roma 15:5)
Karena Kristus ingin agar keluarga-Nya dikenal melalui kasih kita satu sama lain, (Yohanes 13:35) persekutuan yang pecah merupakan kesaksian yang memalukan bagi orang-orang yang belum percaya. Karena itu Paulus begitu malu karena anggota jemaat Korintus terpecah menjadi golongan- golongan yang saling memerangi dan bahkan saling memperkarakan ke pengadilan. Dia menulis, "Hal ini kukatakan untuk memalukan kamu. Tidak adakah seorang di antara kamu yang berhikmat, yang dapat mengurus perkara-perkara dari saudara-saudaranya?" (1Korintus 6:5) Paulus terkejut bahwa tidak seorang pun di dalam gereja tersebut yang cukup dewasa untuk memecahkan perselisihan itu secara damai. Dalam surat yang sama, Paulus berkata, "Aku menasihatkan dengan sangat: Kamu harus hidup rukun satu sama lain."(1Korintus 1:10)
Jika Anda menginginkan berkat Allah atas kehidupan Anda dan Anda ingin dikenal sebagai anak Allah, Anda harus belajar untuk menjadi pembawa damai. Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." (Matius 5:9). Perhatikan bahwa Yesus tidak berkata, "Berbahagialah orang-orang yang cinta damai," karena semua orang cinta damai. Yesus juga tidak berkata, "Berbahagialah orang yang tenang," yang tidak pernah terganggu oleh apapun. Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang membawa damai," yaitu orang-orang yang secara aktif berupaya menyelesaikan konflik. Pembawa damai tidak banyak karena membawa damai adalah kerja keras.
Karena Anda,dibentuk untuk menjadi bagian dari keluarga Allah dan tujuan kedua dari kehidupan Anda di bumi adalah belajar bagaimana mengasihi dan berhubungan dengan orang lain, maka membawa damai adakah salah satu keterampilan terpenting yang bisa Anda kembangkan. Sayangnya, sebagian besar dari kita tidak pernah diajar bagaimana menyelesaikan konflik.
Membawa damai bukanlah menghindari konflik. Lari dari masalah, berpura-pura masalah tersebut tidak ada, atau takut membicarakannya sebenarnya adalah sikap pengecut. Yesus, Sang Raja Damai, tidak pernah takut akan konflik. Kadang-kadang Dia memancing konflik demi kebaikan semua orang. Kadang kita perlu menghindari konflik, kadang kita perlu menciptakannya, dan kadang kita perlu menyelesaikannya. Karena itu kita harus berdoa meminta tuntunan Roh Kudus setiap saat.
Membawa damai juga bukan memenuhi keinginan musuh. Selalu menyerah, bertindak seperti keset, dan membiarkan orang lain selalu menginjak- injak Anda bukanlah apa yang Yesus pikirkan. Dalam banyak hal Yesus tidak mau menyerah, tetap bertahan menghadapi musuh yang jahat.
Bagaimana Memulihkan Suatu Hubungan
Sebagai orang-orang percaya, Allah telah "memanggil kita untuk membereskan hubungan kita satu sama lain ." (Matius 7:55) Berikut ini terdapat tujuh langkah alkitabiah untuk memulihkan persekutuan:
Bicarakanlah masalah tersebut dengan Allah. Jika Anda mau mendoakan konflik tersebut terlebih dulu dan bukan menggosipkannya dengan seorang teman, Anda akan sering menemukan bahwa Allah mengubah hati And8a atau Dia mengubah orang lain tersebut tanpa bantuan Anda. Semua hubungan Anda akan berjalan lebih lancar kalau saja Anda mau lebih banyak berdoa mengenai hubungan-hubungan tersebut.
Sebagaimana dilakukan Daud dengan mazmur-mazmurnya, gunakanlah doa untuk melontarkan perasaan ke atas. Beri tahu Allah keputusasaan Anda. Berserulah kepada-Nya Dia tidak pernah terkejut atau terganggu oleh kemarahan, luka hati, rasa tidak aman, atau emosi Anda lainnya. Jadi beri tahu Dia secara persis apa yang Anda rasakan.
Sebagian besar konflik bersumber dari kebutuhan yang tak terpenuhi. Beberapa kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh Allah. Bila Anda mengharapkan seseorang, seperti teman, pasangan, majikan, atau anggota keluarga, untuk memenuhi kebutuhan yang hanya bisa dipenuhi oleh Allah, berarti Anda sedang membuka diri Anda untuk rasa kecewa dan sedih. Tidak seorang pun bisa memenuhi semua kebutuhan Anda kecuali Allah.
Rasul Yakobus menulis bahwa banyak konflik kita yang disebabkan karena tidak adanya doa: "Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu ? ... Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya... Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa." (Yakobus 4:1-2) Bukannya berharap kepada Allah, kita berharap pada orang lain untuk membahagiakan lalu kita menjadi marah ketika mereka gagal. Allah berfirman, "Mengapa kamu tidak datang kepada-Ku terlebih dulu?"
Tidak peduli apakah Anda yang melukai atau yang dilukai: Allah ingin agar Anda mengambil langkah pertama. Jangan menunggu pihak lainnya. Hampirilah mereka terlebih dulu. Memulihkan persekutuan yang retak begitu penting, sehingga Yesus memerintahkan bahwa hal tersebut perlu mendapatkan prioritas melebihi ibadah bersama. Yesus berkata, "Jika kamu memasuki ruang ibadahmu, hendak memberikan persembahan dan kamu tiba-tiba teringat akan sakit hati seorang sahabat terhadapmu, tinggalkan persembahanmu dengan segera, pergilah kepada sahabat itu dan bereskan segala masalah. Setelah itu, dan hanya setelah itu, kembalilah dan kerjakan urusanmu dengan Allah." (Matius 5:23-24)
Ketika persekutuan menjadi tegang atau retak, rencanakan suatu pertemuan damai dengan segera. Jangan menunda, membuat dalih, atau berjanji, Aku akan mengurusnya suatu saat nanti." Jadwalkan sebuah pertemuan tatap muka sesegera mungkin. Penundaan hanya memperdalam rasa dendam dan membuat segalanya lebih buruk. Dalam konflik, waktu tidak menyembuhkan apapun; waktu menyebabkan luka makin bernanah.
Bertindak dengan cepat juga mengurangi kerusakan rohani bagi Anda. Alkitab mengatakan dosa, termasuk konflik yang tidak terselesaikan, menghalangi persekutuan kita dengan Allah dan membuat doa-doa kita tidak dijawab, (1Petrus 3:7; Amsal 28:9) di samping membuat kita tidak bahagia. Sahabat-sahabat Ayub mengingatkan dia, "Sakit hati sampai mati merupakan hal bodoh yang tidak berguna untuk dilakukan." (Today's English Version) dan "Kemarahanmu hanya menyakiti dirimu." (Ayub 5:2; 18:4)
Keberhasilan dari suatu pertemuan damai sering kali bergantung pada pilihan waktu dan tempat yang tepat untuk bertemu. Jangan bertemu ketika Anda lelah atau tergesa-gesa atau akan diganggu. Waktu yang terbaik adalah ketika Anda berdua ada dalam keadaan yang terbaik.
Gunakan telinga Anda lebih banyak dari mulut Anda. Sebelum mencoba memecahkan suatu perselisihan Anda harus mendengarkan perasaan- perasaan orang terlebih dulu. Paulus menasihati, "Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga." (Filipi 2:4). Kata "memperhatikan" adalah dari kata Yunani skopos, yang darinya kita membentuk kata teleskop dan mikroskop. Itu berarti memperhatikan dengan teliti! Pusatkan perhatian pada perasaan-perasaan mereka, bukan pada fakta. Mulai dengan simpati, bukan solusi.
Jangan lebih dahulu mencoba membujuk orang untuk menceritakan apa yang mereka rasakan. Dengarkan saja dan biarkan mereka mengeluarkan isi hati secara emosional tanpa bersikap membela. Mengangguklah bahwa Anda paham meskipun Anda tidak setuju. Perasaan tidaklah selalu benar atau masuk akal. Sebetulnya, sakit hati membuat kita bertindak dan berpikir dengan cara-cara yang bodoh. Daud mengaku, "Ketika aku merasa kesal dan hatiku seperti tertusuk, aku bodoh dan tidak mengerti, aku seperti binatang di hadapan-Mu." (Mazmur 73:21-22). Kita semua bertindak seperti binatang terluka.
Sebaliknya, Alkitab berkata, "Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran." (Amsal 16:11) Kesabaran datang dari kebijaksanaan, dan kebijaksanaan datang dari mendengarkan pandangan orang lain. Mendengarkan sama dengan berkata, "Saya menghargai pendapat Anda, saya peduli dengan hubungan kita, dan Anda berarti bagi saya." Kata klisenya benar: Orang tidak peduli dengan apa yang kita ketahui sampai mereka tahu kita peduli.
Untuk memulihkan persekutuan "kita harus mempertimbangkan kebimbangan dan ketakutan orang lain... Marilah kita menyenangkan hati orang lain, bukan hati kita sendiri, dan melakukan apa yang baik baginya" (Roma 15:2). Dengan sabar menampung kemarahan orang lain, khususnya jika tidak didukung bukti, merupakan suatu pengorbanan. Tetapi ingatlah, inilah yang Yesus lakukan bagi Anda. Dia menanggung kemarahan yang tanpa bukti dan menyakitkan demi menyelamatkan Anda: "Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri, tetapi seperti ada tertulis: 'Kata-kata cercaan mereka, yang mencerca Engkau, telah mengenai aku.'" (Roma 15:3)
Jika Anda bersungguh-sungguh dalam memulihkan suatu hubungan, Anda sebaiknya mengawali dengan mengakui kesalahan atau dosa-dosa Anda sendiri. Yesus berkata itulah cara untuk melihat berbagai hal dengan lebih jelas: "Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."(Matius 7:55)
Karena kita semua memiliki kelemahan, Anda mungkin perlu meminta pihak ketiga untuk membantu Anda mengevaluasi tindakan-tindakan Anda sebelum bertemu dengan orang Yang dengannya Anda memiliki konflik. Juga mintalah kepada Allah untuk menunjukkan kepada Anda seberapa banyak masalah yang menjadi kesalahan Anda. Bertanyalah, "Akukah pembawa masalahnya? Apakah aku tidak realistis, tidak peka, atau terlalu peka?" Alkitab mengatakan, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri." (1Yohanes 1:8)
Pengakuan merupakan alat yang penuh kuasa untuk rekonsiliasi. Seringkali cara kita menangani sebuah konflik malah menimbulkan luka yang lebih besar daripada masalah awalnya itu sendiri. Bila Anda mulai dengan secara rendah hati mengakui kesalahan-kesalahan Anda, hal tersebut meredakan kemarahan pihak lain itu dan membatalkan serangan- serangan mereka karena mereka tadinya mungkin mengira Anda akan membela diri. Jangan membuat dalih atau mengalihkan tanggung jawab; dengan jujur akui saja setiap peran yang Anda mainkan dalam konflik tersebut. Terima tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Anda dan mintalah pengampunan.
Anda tidak mungkin membereskan masalah jika Anda sibuk mencari siapa yang bertanggung jawab. Anda harus memilih salah satu. Alkitab berkata, "Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah." (Amsal 15:1). Anda tidak akan pernah bisa menjelaskan pikiran. Anda dengan marah, karena itu pilihlah kata-kata Anda dengan bijak. Jawaban yang lembut selalu lebih baik ketimbang jawaban yang kasar.
Ketika memecahkan konflik, cara Anda berbicara sama pentingnya dengan apa yang Anda katakan. Jika Anda mengatakannya dengan cara menyerang, apa yang Anda katakan akan diterima dengan cara membela diri. Allah memberi tahu kita, "Orang yang bijak hati disebut berpengertian, dan berbicara manis lebih dapat meyakinkan." (Amsal 16:21). Omelan tidak pernah berhasil. Anda tidak pernah meyakinkan bila Anda kasar.
Selama Perang Dingin, kedua pihak sepakat bahwa beberapa senjata sangat merusak sehingga senjata-senjata tersebut sebaiknya tidak pernah digunakan. Saat ini senjata-senjata kimia dan biologi dilarang, dan persediaan senjata nuklir dikurangi dan dihancurkan. Demi persekutuan, Anda harus menghancurkan gudang senjata nuklir hubungan, termasuk mengutuk, meremehkan, membandingkan, mencap, mengejek, angkuh, dan kasar. Paulus merangkumnya seperti ini: "Kalau kalian berbicara, janganlah memakai kata-kata yang kotor. Pakai sajalah kata- kata yang membina dan memberi pertolongan kepada orang lain. Kata-kata seperti itu akan mendatangkan kebaikan kepada orang-orang yang mendengarnya." (Efesus 4:29)
Paulus berkata, "Sedapat dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" (Roma 12:18). Damai selalu memiliki label harga. Kadang damai harganya adalah sebesar kesombongan kita; seringkali harganya adalah sebesar keegoisan kita. Demi persekutuan, berusahalah sekuat mungkin untuk berkompromi, menyesuaikan diri dengan orang lain, dan menunjukkan perhatian pada apa yang mereka butuhkan. (Roma 12;10; Filipi 2:3). Sebuah parafrase dari ucapan bahagia Yesus yang ketujuh, "Kamu berbahagia bila kamu bisa menunjukkan pada orang-orang bagaimana bekerja sama dan bukannya bersaing atau berkelahi. Yaitu bila kamu menemukan siapa dirimu sebenarnya, dan tempatmu dalam keluarga Allah." (Matius 5:9)
Adalah tidak realistis kalau mengharapkan semua orang setuju dengan segala sesuatu. Rekonsiliasi mengutamakan hubungan, sementara resolusi mengutamakan masalah. Bila kita mengutamakan rekonsiliasi, masalah akan kehilangan maknanya dan seringkali menjadi tidak relevan.
Kita dapat membangun kembali hubungan meskipun kita tidak mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan kita. Orang-orang Kristen seringkali memiliki perbedaan pendapat yang wajar dan bisa diterima, tetapi kita bisa berbeda pendapat tanpa marah-marah. Berlian yang sama tampak berbeda dari sudut yang berbeda. Allah menginginkan kesatuan, bukan keseragaman, dan kita bisa hidup bergandengan tangan tanpa sepakat atas semua masalah.
Ini tidak berarti Anda berhenti mencari pemecahan masalah. Anda mungkin perlu tetap berdiskusi dan bahkan berdebat, tapi Anda melakukannya dalam semangat keharmonisan. Rekonsiliasi berarti Anda melupakan perbedaan pendapat itu, bukan masalahnya.
Siapa yang perlu Anda hubungi sebagai hasil dari bab ini? Dengan Siapa Anda perlu memulihkan persekutuan? Jangan menunda sedikitpun. Berhentilah sekarang dan berbicaralah kepada Allah tentang orang tersebut. Kemudian angkatlah telepon dan mulailah proses itu. Ketujuh langkah ini sederhana, tetapi tidak mudah. Dibutuhkan banyak usaha untuk memulihkan sebuah hubungan. Itu sebabnya Petrus menasihatkan agar "berjuang sungguh-sungguh untuk mendapatkan perdamaian." (1Petrus 3:11). Tetapi ketika Anda mengusahakan damai, Anda melakukan apa yang ingin Allah lakukan. Itulah sebabnya Allah menyebut anak-anak-Nya pembawa damai. (Matius 5:9)
Pelajaran 06 | Pertanyaan 06 | Referensi 06a | Referensi 06c
Nama Kursus | : | ORANG KRISTEN YANG BERTANGGUNG JAWAB (OKB) |
Nama Pelajaran | : | Bertanggung Jawab dalam Hal Bersaksi dan Memuridkan Orang Lain |
Kode Pelajaran | : | OKB-R06b |
Referensi OKB-R06b diambil dari:
Judul Buku | : | Metode Penginjilan |
Judul Artikel | : | Hal-Hal yang Harus Dihindari dalam Mengabarkan Injil |
Penulis | : | D.W. Ellis |
Penerbit | : | Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 1993 |
Halaman | : | 171 - 175 |
Berikut ini adalah beberapa petunjuk praktis tentang pelaksanaan pekabaran Injil, yang didasarkan pada pengalaman D.W. Ellis dalam mengabarkan Injil selama beberapa tahun di Indonesia.
Hal-hal yang sebaiknya dihindari dalam mengabarkan Injil secara pribadi :
Kita harus mampu menyesuaikan khotbah dengan keadaan tanpa mengingkari amanat Alkitab sebagai Firman Allah yang berdaulat. Lalu kita pasrah dan tunduk pada pimpinan Roh Kudus. Sementara itu kita harus berusaha menghindari beberapa hal di bawah ini, supaya pemberitaan Injil secara pribadi itu dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
Entah bagaimanapun juga, sikap-laku kita dan ucapan-ucapan kita jangan sekali-kali menimbulkan kesan, bahwa kita hendak memperdagangkan Injil atau hendak memaksakan Injil itu kepada teman bicara kita.
Sebagai pekabar Injil, kita harus bersikap wajar, sopan, rendah hati dan jangan bersikap sok mengetahui lebih banyak tentang segala sesuatu daripada mereka.
Bila memberikan kesaksian pribadi, bersaksilah dengan sejujur- jujurnya dan terus terang. Dan jika ada yang mengajukan pertanyaan yang tidak kita jawab, jujurlah mengakuinya dan berkata, "Maaf, saya belum tahu jawabnya. Saya akan berusaha mencari jawabannya dari orang lain. Bila dapat, akan saya beritahukan kepada Anda." Janganlah lupa mencari jawaban yang memuaskan, baik melalui buku atau dari seorang ahli, lalu meneruskan jawaban itu kepadanya.
Kita adalah juru berita, bukan juru debat. Adalah biasa dalam perdebatan, masing-masing pihak ngotot mempertahankan keyakinannya, bahkan dengan mencari-cari alasan. Hasil akhir debat umumnya tidak ada titik temu. Lagi pula dalam dunia komunikasi, perdebatan adalah kendala yang menjurus kepada kegagalan. Andaikata pun satu pihak menang secara logis dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya, besar kemungkinan ia kalah secara psikologis sebagai akibatnya. Artinya, kita menang dengan imbalan yang kalah akan tersinggung dan menutup diri. Hasil akhir, kita sendirilah yang kalah sebab gagal membawa orang itu kepada Kristus.
Kita harus mengarahkan perhatian teman bicara kita kepada Kristus secara positif, dengan memakai hal-hal yang positif dari kepercayaan kita.
Meskipun tujuan kita adalah untuk menerangkan Injil sejelas- jelasnya, kita tidak boleh memborong semua kesempatan bicara. Kita harus memberi waktu kepada teman bicara kita, supaya selain dia merasa dihormati, dia juga mendapat kesempatan mengeluarkan isi hatinya. Dengan demikian kita mengetahui bagaimana membimbing dia selanjutnya.
Setiap upaya meyakinkan seseorang, apalagi mengubah keyakinan imannya, adalah sangat berat dan sukar, dan bahkan bagi masyarakat Asia sangat peka. Karena itu kita dituntut bijaksana dan harus dipimpin oleh Roh Kudus.
Lugaslah menggunakan Alkitab. Menjejali atau membanjiri seseorang dengan ayat-ayat Alkitab bisa mengakibatkan orang itu muak. Kita harus sadar bahwa ayat-ayat Alkitab masih asing bagi dia. Memahami apalagi menafsirkannya masih sangat sukar baginya. Karena itu cukuplah mengemukakan ayat-ayat yang terkait dengan penjelasan sederhana.
Satu atau dua ayat yang jelas dimengerti karena diterangkan dengan tepat dan sederhana, dampaknya akan jauh lebih baik. Ayat yang tepat adalah ibarat sejemput garam yang menggiurkan cita rasa dan selera.
Mengabarkan Injil secara pribadi sifatnya memang sangat pribadi. Penuh kesungguhan namun santai, bebas dan bersahabat. Suasana demikian dapat terganggu dalam pertemuan lebih dua orang. Karena MIP (mengabarkan Injil secara pribadi) diharapkan akan sampai pada tahap pertobatan dan pengambilan keputusan, yang sangat penting dan sangat pribadi. Maka pertemuan lebih dari dua orang perlu dihindari karena akan mengganggu, apalagi kehadiran orang ketiga, keempat dan seterusnya.
Namun, karena sifatnya yang sangat pribadi itu, baiklah kita bijaksana supaya MIP ini berlangsung antara orang sejenis, dan bila mungkin sebaya. Tapi ini bukanlah syarat mutlak, melainkan kebijaksanaan.
Istilah-istilah teologis dan dogmatis (misalnya pembenaran, pengudusan, penebusan) besar kemungkinannya akan membingungkan orang-orang yang belum pernah mengerti hal-hal rohani, terutama orang-orang yang berpendidikan sederhana. Istilah-istilah yang lazim dalam dunia Kristen dengan makna bahkan dengan ajaran tertentu, belum tentu dinalar dengan pengertian yang sama oleh teman bicara kita. Karena itu adalah bijaksana menggunakan bahasa sehari-hari.
Ungkapan yang lazim pun, seperti 'percaya' misalnya, menuntut kehati-hatian. Mengatakan kepada teman bicara yang kita kabari Injil, bahwa dia harus 'percaya' kepada Tuhan Yesus, bisa menjurus ke pemahaman yang dangkal sebelum ia memahami makna yang dikandung dalam kata 'percaya' sebagaimana dimaksudkan dalam Firman Allah.
Bukanlah hak seseorang mengatakan kepada siapa pun juga, 'Sekarang Anda sudah beroleh keselamatan'. Kita tidak dapat membaca isi hati orang lain dan mengetahui apakah ia sungguh-sungguh percaya sehingga diterima Tuhan.
Dasar kepastian adalah Firman Allah, perubahan hidup dan kesaksian Roh dalam hati orang-orang yang bertobat. Yang dapat kita lakukan ialah membantu mereka dengan menunjuk ayat-ayat dari Firman Allah dan menanyakan,
"Apa yang dikatakan Firman Tuhan tentang hal keselamatan?",
"Bagaimana pengertian Anda mengenai hal ini?"
Kepastian akan keselamatan harus timbul langsung dari Firman Allah yang diterapkan dalam hati seseorang oleh Roh Kudus, bukan berdasarkan kata-kata kita.
Belum tentu kita akan berhasil membawa seseorang kepada Kristus. Ternyata dalam hal ini ada orang yang dikaruniai lebih besar dibandingkan orang lain. Namun ketidaksamaan itu bukan berarti kita bebas dari tanggung jawab dan kesetiaan memberitakan Injil. Kita wajib setia, dan hasilnya kita serahkan kepada Allah.
Peranan kita sering hanya merupakan satu mata rantai dari untaian rantai yang panjang, yang pada akhirnya akan berhasil membawa seseorang kepada Kristus. Yang perlu kita sadari ialah, apabila satu mata rantai itu tidak berperan, maka akibatnya rantai itu akan putus.
Senjata rohani, yaitu 'pedang Roh' dan 'segala doa' (Efesus 6:17-18), tidak boleh dilupakan. Hanya Roh Kudus-lah yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati secara rohani. Tanpa Roh segala sesuatu yang kita kerjakan tidak akan berhasil.