SHA-Referensi 03a

Nama Kursus : Sepuluh Hukum Allah Untuk Kehidupan Manusia (SHA)
Nama Pelajaran : Hukum Pertama dan Kedua
Kode Pelajaran : SHA-R03a

Referensi SHA-R03a diambil dari:

Judul Buku : Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama
Judul Artikel : Hukum
Pengarang : William Dryness
Penerbit : Gandum Mas, Malang, 2008
Halaman :

REFERENSI PELAJARAN 03a - HUKUM

Latar Belakang dan Perkembangan Konsepsi

Kata dasar untuk hukum, torah, muncul kira-kira 220 kali dan berasal dari kata yarah yang berati, "mengarahkan dan mengajar". Jadi, arti dasarnya ialah "pengajaran". Pengajaran di sini sama sekali tidak terbatas pada lingkungan hukum; pengajaran ini diberikan oleh para ayat (Amsal 3:1; 1:8), oleh orang-orang bijak (Amsal 13:14), oleh nabi-nabi (Yesaya 1:10), tetapi terutama oleh Allah dengan Musa sebagai perantara ( II Tawarikh 33:8).

Seperti telah kita lihat, hukum Taurat merupakan ungkapan perjanjian dan senantiasa tidak sepenting perjanjian. Maksudnya, hukum taurat harus mengungkapkan sifat kehidupan dalam perjanjian. Pemberian hukum taurat itu merupakan sebagian dari pemberian diri Allah sendiri kepada umat-Nya dalam perjanjian dan menyatakan maksud-maksud kasih yang sama (lihat Keluaran 19:5-6). Dasar hukum dalam maksud-maksud perjanjian Allah itu penting untuk dapat memahami hukum Taurat dengan tepat. Dalam struktur-struktur pemeliharaan suatu masyarakat, biasa terdapat dua unsur: kebijakan dan prosedur (Mendenhall 1954, 26-27). Kebijakan, yang sifatnya lebih umum, adalah dasar masyarakat itu. Kebijakan merupakan pengertian yang bersifat hukum mengenai cara memelihara kehidupan. Dalam kasus Israel, kebijakan masyarakatnya adalah pengertiannya tentang dirinya sebagai suatu masyarakat perjanjian. Maksudnya, keberadaannya sebagai suatu masyarakat terletak pada Allah yang telah memilihnya dan pada janji Allah untuk menopangnya. Jadi, prosedur adalah sarana untuk melaksanakan kebijakan. Prosedur-prosedur itu sekadar mengungkapkan secara kongkret realitas masyarakat itu sebagai mana yang telah dipahami olehnya sendiri.

Jadi, hukum Taurat menunjukkan kepada bangsa itu perilaku bagaimana yang sesuai dengan kedudukan mereka sebagai kepunyaan Allah. Pemberian taurat yang pada permulaannya disertai perjanjian itu merupakan suatu penyingkapan sebelum merupakan suatu pengajaran. Israel tidak mematuhi hukum Taurat agar menjadi umat Allah, tetapi justru karena mereka sudah menjadi umat Allah. Baik hubungan itu maupun pemberian taurat yang menyatakan hubungan tersebut merupakan penyataan anugerah Allah. Tetapi karena Allah menyatakan dirinya sebagai Allah yang menyelamatkan dan peka susila, maka tanggapan yang layak terhadap prakarsa-prakarsa-Nya adalah ketaatan yang terus menerus. Seperti yang telah kita lihat dalam penelaahan kita tentang perjanjian, dalam satu hal janji Allah mempunyai syarat, yaitu berkat perjanjian diperoleh berdasarkan tanggapan bangsa itu sendiri.

1. Perkembangan Hukum Taurat

Sebagai tambahan kepada hukum taurat yang diberikan di Sinai, maka materi dasar dari hukum Perjanjian Lama besar kemungkinannya berasal dari keputusan-keputusan yang diambil dalam dilema-dilema kongkret. Jika Israel mempunyai masalah, mereka harus "tanyakan pengajaran kepada para imam" (Hagai 2:11-13). Keputusan yang diberikan oleh imam disebut torah (Maleakhi 2:6,7). Lalu tradisi lisan menghimpun keputusan-keputusan ini dalam daftar-daftar kecil berisi pengajaran yang dikumpulkan dan diteruskan oleh para imam. Daftar-daftar ini menghasilkan pernyataan-pernyataan pendek berisi pengajaran umum, seperti yang terdapat dalam Mazmur 1:1-5 dan Mazmur 24:4-6. Daftar-daftar ini tentunya berisi beberapa adat kebiasaan yang berasal dari hukum-hukum setempat orang Kanaan (seperti dalam Keluaran 22:2, "Jika seorang pencuri . . . mati, maka si pemukul tidak berhutang darah") di samping juga hukum-hukum yang diberikan kepada Musa lewat penyingkapan. Kumpulan-kumpulan hukum ini dihimpun dan dikawal oleh para imam di kemah suci (Ulangan 31:24-26). Salah satu dari koleksi itu yang umurnya sudah sangat tua - kadang-kadang disebut sebagai Kitan Perjanjian - disebut dalam Keluaran 31:24-26. Hal ini akan kita bicarakan lagi kemudian. Langkah akhir dalam terbentuknya kitab-kitab hukum adalah pengumpulan dan penyusunannya dalam kelima kitab Musa. Kemudian hari kelima kitab ini disebut Taurat. Tidak terdapat keberatan yang berarti untuk melihatnya terbentuk di bawah pengaruh Musa (yang kemudian secara mutlak diakui sebagai perantara hukum Taurat) dengan tambahan beberapa materi khusus di kemudian hari.

2. Beberapa Bagian Utama Mengenai Hukum

Tidak mungkin bagi kita untuk meninjau semua materi tentang hukum dalam Perjanjian Lama, namun penting untuk membicarakan secara singkat beberapa bagian utama. Yang pertama dan paling dasar adalah daftar hukum yang terkenal dengan nama Sepuluh Hukum atau Sepuluh Firman (Keluaran 20:1-17; Ulangan 5:6-21). Menyusul pernyataan tentang perjanjian dalam Keluaran 19, instruksi-intruksi ini harus dimengerti sebagai ketetapan-ketetapan hubungan perjanjian itu. Karena Allah sebagai penguasa mereka telah menyelamatkan mereka dari Mesir (20:2) dan menjanjikan perlindungan khusus, maka Ia berhak untuk meminta mereka taat kepada-Nya. Perhatikan bahwa tidak dijanjikan apa-apa bagi ketaatan (kecuali umur panjang bagi mereka yang menghormati orang tua mereka); mereka dipanggil hanya untuk taat tanpa syarat. Telah dimengerti bahwa ketaatan adalah jalan menuju hidup (Ulangan 30:15-20), tetapi ini hanya karena ketaatan seperti itu merupakan hakikat hidup yang sesungguhnya, bukan sarana mekanis untuk mencapai tujuan tersebut.

Semua hukum tersebut menyatakan sifat hubungan Allah dengan umat-Nya dalam syarat-syarat yang konkret. Perhatikan bahwa hukum-hukum ini berkenaan dengan sikap seseorang terhadap Allah maupun sesamanya. Tidak dibuat ketetapan bagi pemberlakuan hukum-hukum ini (beberapa, seperti misalnya hukum mengenai ketamakan, toh tidak mungkin diberlakukan.) Karena menjadi sifat hubungan itu untuk menyatakan tanggapan yang bersifat bebas dan pribadi dari orang-orang yang bersangkitan.

Adalah penting untuk diperhatikan bahwa hukum-hukum itu dengan hanya dua pengecualian ditetapkan dengan syarat-syarat yang negatif "Yang diperintahkan itu bukanlah hal-hal yang menetapkan hubungan dengan Yahwe, tetapi yang dilarang itulah hal-hal yang menghancurkannya". Ini adalah sesuai dengan maksud memeliharakan kerohanian hubungan yang didasari tanggapan sukarela seseorang. Barangkali sikap inilah yang memungkinkan pernyataan-pernyataan singkat ini mempunyai pengaruh yang begitu besar dalam sejarah peradaban. Karena pemerintah belajar dari hal ini bahwa ia dapat melindungi dengan cara negatif kebebasan manusia untuk mengejar tujuan-tujuan manusiawi, tetapi ia tidak dapat menentukan sifat tujuan itu secara positif. Usaha berbuat hal demikian merupakan suatu definisi dari suatu masyarakat totaliter.

Kitab-kitab kuno yang terbit sesudah Sepuluh Hukum, disebut oleh para sarjana yang kritis sebagai Kitab Perjanjian (Keluaran 21-23). Di bagian ini terdapat baik hukum apodiktik (Janganlah engkau . . . ) dan hukum kasuistik (Apabila . . . maka). Kedua jenis ini menetapkan beberapa prosedur yang melaksanakan kebijakan Israel. Tetapi di sini pun tidak terdapat pernyataan-pernyataan umum dan kasus-kasus percontohan sebagai pembimbing bagi mereka yang diwajibkan untuk melaksanakannya. Tak ada legalisme sedikit pun yang kemudian hari begitu mencolok dalam sejarah Israel. Juga perlu disebutkan mengenai undang-undang keimaman (Imamat 1-7), yang menetapkan prosedur mengenai korban, dan undang-undang kekudusan (Imamat 17-26), yang memberikan perintah bagi terpeliharanya kekudusan dalam kehidupan masyarakat Israel. Kekudusan harus tercermin dalam persembahan korban (Imamat 17) dan dalam keluarga (Imamat 18), sehingga dalam cara manusia mereka mencerminkan sifat Allah yang memanggil mereka, "Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus" (Imamat 20:26).

Kumpulan hukum-hukum yang ada dalam Ulangan 12-26 mengingatkan kita pada relevansi hukum yang terus-menerus. Barangkali ini adalah contoh pertama mengenai praktik membacakan dan menegaskan kembali hukum Taurat dalam pertemuan-pertemuan penting mereka- kali ini menjelang kematian Musa. Penggunaan kata "hari ini" sangat penting (Ulangan 5:1-3; 26:16-19; 29:10-15). Belum cukup bahwa hukum telah diberikan dan telah diberlakukan. Setiap generasi harus menegaskan kembali kemauannya untuk taat kepada Tuhan. Sebaliknya, adalah mungkin bagi setiap generasi untuk mempunyai hubungan yang sama persis dengan Allah seperti generasi yang pertama. Jadi, Musa membuat ketetapan untuk mengadakan pertemuan secara teratur. Pada pertemuan itu Israel dapat menyatakan tanggapan mereka kepada janji anugerah Allah seperti terdapat dalam hukum perjanjian (Ulangan 31:9-13, dan lihat Yosua 8:30-35 dan 24:1-33).

3. Hukum Perjanjian Lama dan Hukum Bangsa-Bangsa Tetangga

Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat persamaan yang sepintas lalu antara hukum Perjanjian Lama dan hukum-hukum yang lain. Ada manfaatnya juga untuk mempertanyakan hubungannya. Telah kita lihat bahwa di Israel yang memberi hukum adalah Allah dan bukan raja. Hal ini unik menempatkan gagasan mengenai hukum dalam perspektif yang unik. Dalam satu segi semua hukum Perjanjian Lama bersifat religius. Israel mengetahui betul akan perbedaan ini: Musa bertanya, "Dan bangsa besar manakah yang mempunyai ketetapan dan peraturan demikian adil seperti seluruh hukum ini?" (Ulangan 4:8). Mereka tahu bahwa Allah "tidak berbuat demikian kepada segala bangsa" (Mazmur 147:20). Akan tetapi, pada saat yang sama terdapat persamaan-persamaan yang mencolok dengan hukum-hukum bangsa tetangga. Hal ini tidak mencerminkan pinjaman sepenuhnya, melainkan "pengaruh suatu hukum-adat yang tersebar luas" (de Vaux, I, 146). Marilah kita membahasnya secara lebih mendalam.

Pertama-tama, karena hukum harus melindungi hubungan perjanjian, maka penyembahan berhala tidak diperbolehkan sama sekali (Keluaran 20:23; 22:20 dst). Lagi pula, hidup dianggap sebagai kepunyaan Allah (Kejadian 9:5), sehingga apabila seekor sapi jantan membunuh seorang manusia, dagingnya tidak boleh dimakan (Keluaran 21:28, 32). Sebagai akibatnya hukuman mati tidak begitu lazim seperti halnya dengan undang-undang Hammurabi (Sekitar 1800 SM). Di bawah undang-undang Hammurabi seorang istri yang tidak menjaga miliknya akan dibuang ke dalam sungai (DOTT, 31); perampokan dapat dijatuhi hukuman mati (DOTT, 30) sama halnya dengan menjadi saksi dusta dalam suatu pengadilan (DOTT, 29). Sesungguhnya, secara umum, hukuman yang ditetapkan dalam Perjanjian Lama menunjukkan pengekangan terhadap kekejaman yang liar.

Fakta bahwa di hadapan Allah semua orang sederajat dalam hubungan perjanjian, tidak memungkinkan mereka mengakui perbedaan kelas dalam hukum mereka. Tidak ada satu hukum untuk orang merdeka dan hukum yang lain bagi para budak. Sesungguhnya, budak diberi perlindungan khusus dalam hukum terhadap perlakukan kejam dan semena-mena dari tuannya (Keluaran 21:2-6, 26, 27). Sebagai kontras, kebanyakan undang-undang Timur Dekat menetapkan hukuman yang berlainan tergantung kedudukan seseorang dalam masyarakat.

HC (Hammurabi Code) 203 - Jika seorang merdeka memukul pipi sesamanya, ia harus membayar satu mina perak.
HC 205 - Jika seorang budak memukul pipi seorang merdeka, maka telinganya harus dipotong (DOTT, 34).

Karena perkawinan sangat penting dalam pandangan Allah dan diadakan oleh-Nya maka segala pelanggaran terhadap kesucian pernikahan akan dihukum sangat berat. Sedang persetubuhan secara sembrono dihukum dalam kebanyakan undang-undang kuno, di luar Perjanjian Lama terdapat beberapa perkecualian yang disahkan oleh hukum. Akan tetapi dalam Perjanjian Lama, jika seorang budak perempuan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, maka ia harus diperlakukan sebagai seorang istri (Keluaran 21:7-11). Jika seorang laki-laki memperkosa seorang anak perawan, maka gadis itu harus menjadi istri laki-laki tersebut (Keluaran 22:16). Selain dari itu, perzinahan dan percabulan dihukum dengan hukuman mati (Ulangan 22:22-24). Perintah-perintah yang cermat dalam kitab Imamat mengenai hubungan yang layak antara seorang lelaki dan seorang perempuan didahului dengan peringatan agar mereka tidak berbuat seperti yang diperbuat orang Mesir, tempat kediaman mereka dahulu; juga tidak berbuat seperti di Kanaan, tempat tujuan mereka (Imamat 18:3-4). Dan perintah-perintah itu ditutup dengan imbauan untuk tidak menajiskan diri mereka dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut karena "Akulah TUHAN, Allahmu" (Imamat 18:30). Jadi, pada akhirnya, setiap hubungan antar manusia pun harus mencerminkan watak Allah dan dengan demikian tidak boleh hanya ditafsirkan dari segi kegunaan semata-mata. Di seluruh Perjanjian Lama ketidaksetiaan dianggap sebagai dosa yang hebat sehingga Allah memakainya untuk menggambarkan ketidaksetiaan Israel terhadap-Nya (Hosea).

Suatu hal yang sangat unik dalam hukum Perjanjian Lama ialah banyaknya ketetapan-ketetapan untuk orang asing dan mereka yang cacat. Ada perintah-perintah bagi yang buta dan tuli (Imamat 19:14), bagi janda-janda dan anak yatim (Keluaran 22:21-22), dan bagi yang miskin (Ulangan 15:7-11). Orang asing diistimewakan untuk dilindungi terhadap penindasan (Keluaran 23:9), karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa orang asing, karena kamu dahulu adalah orang asing di tanah Mesir. Allah secara khusus memberikan perhatian-Nya kepada orang-orang yang kurang beruntung dan malang. Mengenai mereka Ia berkata, "Tentulah Aku akan mendengarkan seruan mereka jika mereka berseru-seru kepada-Ku" (Keluaran 22:23). Sepertinya kita dapat mendengar kata-kata Kristus, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah" (Lukas 6:20). Dalam Perjanjian Lama kemiskinan bukanlah sesuatu yang didambakan, tetapi diakui dan ketidkadilan tatanan alam akibat kejatuhan manusia. Mereka yang korban ketidakadilan itu memberikan kesempatan bagi umat Allah untuk menyatakan kemurahan Allah sendiri (lihat Kidner 1972, 26-27).

Taxonomy upgrade extras: