Nama Kursus | : | Dasar-Dasar Iman Kristen |
Nama Pelajaran | : | Penciptaan Manusia |
Kode Pelajaran | : | DIK-R01c |
Referensi DIK-R01c diambil dari:
Judul Buku | : | Mengenali Kebenara |
Judul artikel | : | Watak Manusia |
Penulis | : | Bruce Milne |
Penerbit | : | |
Halaman | : | 131 - 139 |
REFERENSI PELAJARAN 01c - PENCIPTAAN MANUSIA
Masalah asal manusia telah menimbulkan perdebatan yang menggairahkan dan kadang-kadang juga sengit selama dua ratus tahun terakhir ini.
Penerbitan karya Darwin, "The Origin of Species" (1859), menyebabkan terjadinya bentrokan antara penjelasan biologis dan agama yang sudah lama membara. Kami mengakui pengilhaman sepenuhnya dan kewenangan ilahi dari perikop Alkitab yang bersangkutan dengan hal ini (Kej. 1:20 -2:9). Namun dalam usaha menafsirkannya secara tepat kami ajukan dua pertanyaan yakni:
Yang menjadi pokok persoalan adalah hubungan antara perikop-perikop Alkitab ini dengan teori evolusi. Evolusi organik secara umum dapat didefinisikan sebagai "asal usul spesies dari spesies yang sudah ada sebelumnya melalui proses penurunan dengan modifikasi". Ada empat pandangan utama tentang teori ini.
Pertama, "evolusionisme" yakin bahwa teori evolusi mempunyai penjelasan menyeluruh mengenai asal usul manusia dan membuang segala keterangan mengenai karya suatu Pencipta. Tentu saja seorang Kristen tidak mungkin menerima pandangan tersebut.
Kedua, ada pandangan "kreationisme langsung" yang percaya bahwa asal mula manusia adalah secara harfiah seperti yang digambarkan dalam Kejadian 2:7-8. Adam diciptakan dari debu dan Hawa dari tulang rusuknya oleh perbuatan ilahi yang khusus. Bukti paleontologis tentang perkembangan dalam spesies dan hubungan manusia dengan proses ini tentu merupakan masalah untuk pandangan ini. Bukti itu dijelaskan berdasarkan berbagai alasan, misalnya "teori air bah" yang mengatakan bahwa banjir pada zaman Nuh menjelaskan adanya bahan fosil. Menurut "teori kesenjangan", Kejadian 1:2 berarti perbuatan penciptaan pertama diikuti oleh malapetaka global yang mengakibatkan kenyataan-kenyataan geologis yang dapat diamati sekarang, dan peristiwa ini pada gilirannya diikuti oleh perbuatan penciptaan kembali yang menghasilkan dunia sebagaimana dikenal sekarang.
Ketiga, pandangan "kreationisme progresif" menyatakan bahwa Kejadian 1:1-31 secara garis besar mencatat perbuatan-perbuatan kreatif Allah yang berturut-turut yakni dari penciptaan "ex nihilo" (Kej. 1:1) sampai pada munculnya manusia (Kej. 1:27), yang dilihat sebagai tahapan penciptaan ilahi baru. Teori ini mengakui adanya perkembangan evolusioner dalam spesies-spesies utama, tetapi menerangkan kesenjangan-kesenjangan di antaranya sebagai tindakan penciptaan yang berturut-turut. Tindakan itu mungkin tidak menurut urutan yang diutarakan dalam Kejadian 1:1-31, yang memang berlainan dari yang disebutkan dalam Kejadian 21:1-31.
Keempat, "evolusi teistis" menerima teori evolusi sebagai penjelasan umum tentang bagaimana Allah bekerja dalam menciptakan dunia dan membentuk kehidupan di dalamnya. Namun, mengenai munculnya manusia diajukan faktor lain lagi, yaitu tindakan ilahi di mana antropoid tertentu dipisahkan dan dikembangkan sampai tingkat kesadaran baru dan dalam hubungan dengan Allah.
Dalam mengevaluasi pandangan-pandangan itu harus dipertimbangkan delapan pokok berikut.
Seharusnya penciptaan dari "yang tidak ada" jangan dipersoalkan. Menurut pandangan ketiga dan keempat, bahkan untuk sebagian pandangan kedua juga, ada pola sebagai berikut:
Kita sebaiknya menghindari pandangan yang kaku tentang hal ini. Penafsir-penafsir Alkitab yang terpercaya, cerdas dan beriman pernah mendukung pandangan kedua, ketiga dan keempat di atas. Hal ini mengharuskan adanya toleransi antara orang Kristen yang keyakinannya berbeda-beda. Para ahli ilmu pengetahuan juga tidak boleh bersifat dogmatis karena evolusi masih merupakan teori saja, yang mungkin akan diganti dengan teori yang lebih tepat pada suatu waktu.
Manusia berbeda dari binatang lain karena sifatnya yang luar biasa. Daya rasional, kesadaran moral, pengutamaan keindahan, pemakaian bahasa, rasa takut akan punah dan persepsi spiritual, segalanya menunjang penegasan Alkitab bahwa manusia adalah unik dalam kerangka penciptaan. Beberapa ahli ilmu pengetahuan Kristen yang lebih muda percaya bahwa dasar ilmiah teori evolusi harus dipertanyakan dan bahwa pandangan kreationisme langsung bukan saja sesuai dengan Alkitab tetapi tidak perlu bertentangan dengan penyelidikan ilmiah paling teliti tentang asal manusia.
Para pendukung teori evolusi teistis menunjukkan kemanusiaan Yesus Kristus sebagai faktor yang membantu pandangan mereka. Secara jasmani, Yesus tidak berbeda dari orang-orang sezaman-Nya. Ia mendapat bentuk fisik-Nya menurut proses normal keturunan dari generasi ke generasi (bnd. Mat 1:1-17; Luk 3:23-38). Dengan begitu, keunikan-Nya tak akan tampak bagi ahli biologi abad pertama. Apakah ini situasi yang sama dengan situasi Adam dalam hubungannya dengan "nenek moyang-Nya" yang diduga berupa binatang antropoid? Memang patut dicatat bahwa sejumlah teori dan teknik ilmiah seperti astronomi Copernicus, operasi bidang kedokteran dan anestesi, pernah dinyatakan bertentangan dengan agama Alkitab, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Mungkin juga teori tentang asal usul tubuh Adam melalui proses evolusi, nanti akan masuk kelompok teori itu.
Satu pokok persoalan ialah bahwa proses penciptaan pada titik-titik perkembangan tertentu nampaknya serampangan. Bayangkanlah seekor serangga yang merayap di Borobudur: apakah serangga itu dapat mengetahui tujuan keseluruhan candi itu? Seandainya pun serangga itu dapat mengerti susunan batu-batu dalam bangunan itu dan terbang memandangnya secara keseluruhan, apakah ia dapat menangkap tujuan gedung itu menurut pemahaman manusia? Demikian juga, kita mengakui adanya tujuan ilahi bagi semesta alam karena penyataan sang Pencipta, walaupun belum tentu kita memahami semuanya.
Persoalan lain yang terkait adalah mengenai kepurbaan manusia. Persoalan ini timbul karena silsilah-silsilah yang terdapat dalam Kitab Kejadian, yang menunjukkan hubungan kekeluargaan Adam dengan Abraham dan bangsa Israel (Kej 5:1-32; 11:10-27) dan menyebabkan Uskup Agung Ussher pada abad ke-17 menghitung waktu penciptaan pada tahun 4004 sM. Namun sebenarnya silsilah dalam Kitab Kejadian bukan laporan keturunan langsung dari ayah kepada anak. Silsilah tersebut merupakan hasil penyingkatan dari beberapa generasi, bahkan kadang-kadang mengacu pada dinasti dan bukan perorangan. Barangkali hal ini dapat menjelaskan umur panjang orang sebelum air bah.
Jadi kapan Adam itu hidup? Jika bukti paleontologi dapat diterima secara umum, ia dapat ditempatkan pada bagian permulaan pada skala waktu genealogis ataupun mendekati bagian akhirnya.
Kalau kita menempatkannya pada permulaan skala waktu, maka ini cocok dengan penegasan dalam Kisah 17:26 bahwa bangsa-bangsa diturunkan dari satu orang. Namun, untuk menyesuaikan ini dengan keseluruhan skala waktu, maka silsilah-silsilah dalam Kitab Kejadian harus dianggap meliputi 200.000 tahun. Hal ini bukan tidak mungkin. Akan tetapi ada hal lain yang mempersulit pula, yaitu gambaran tentang peradaban yang sudah maju dalam Kejadian 4:26, yang menurut bukti-bukti di luar Alkitab harus ditempatkan sekitar 8.000 tahun atau paling tidak 16.000 Tahun sM.
Alternatifnya adalah pandangan bahwa Adam muncul agak kemudian pada skala waktu. Dengan demikian dihasilkan hubungan yang lebih baik antara skala waktu Alkitab dan skala waktu paleontologis, tetapi tidak menyelesaikan kesulitan adanya "manusia" lain yang hidup pada zaman yang sama dengan Adam. Salah satu penyelesaiannya adalah bahwa Adam mempunyai fungsi khusus sebagai wakil manusia dalam hubungan asli dengan Allah (bnd. tentang federalisme di bawah ini: ps 12.2...) dan bahwa ia mewakili semua leluhurnya serta "manusia" lain yang hidup pada zaman itu. Yang kedua itu ditingkatkan bersama dengan dia kepada tingkat manusia benar. Ini cocok dengan kesan yang diberikan Kejadian 4:16 mengenai populasi bumi.
Namun, "manusia" lain itu (hominid) mungkin juga punah begitu saja, seperti dikatakan kebanyakan ahli antropologi akhir-akhir ini. Dalam hal demikian, maka varietas bangsa-bangsa yang ada di dunia sekarang semua berasal dari satu keturunan, "homo sapiens" (Kis. 17:26).
Pada lain pihak, bukti paleontologis secara keseluruhan dapat dipertanyakan, menurut beberapa ilmuwan. Kalau begitu, mungkin juga tidak ada ketegangan penting antara pandangan alkitabiah dan ilmiah.
Banyak tergantung pada cara kita menafsirkan Kej. 1:1-3:32. Apakah ini mitos agama? Ataukah gambaran sejarah yang terus terang, bahkan gambaran "ilmiah"? Suatu penafsiran "religius" (bahwa Kitab Kejadian mengajarkan kebenaran-kebenaran agama, bukan kebenaran- kebenaran sejarah) tentu mengurangi konflik dengan teori-teori evolusi yang umum diterima; pendekatan demikian diterima oleh cukup banyak orang Kristen, tetapi juga mempunyai kesulitan-kesulitan. Misalnya, pandangan ini tidak memberi tempat layak pada segi ruang dan waktu dalam Kejadian 1:1-3:24, misalnya lokasi taman Eden yang cukup tepat (Kej. 2:8-14) dan hubungan sejarah antara Adam dengan Abraham dan Kristus (Kej. 10:1-11; Luk. 3:23-38; Kis. 17:26). Bentuk cerita dalam Kejadian 1:1-3:24 berkesinambungan dengan Kejadian 4:1-26, demikian juga Kejadian 1:1-11:32 dan Kejadian 12:1-20. Lagi pula Kejadian 1:1- 2:25 menggambarkan dunia yang sempurna di mana penderitaan, kematian dan kejahatan kemudian masuk sebagai akibat ketidakpatuhan Adam.
Dalam semuanya ini, kita harus mengingat sifat khusus dari peristiwa- peristiwa ini yang berada pada batasan antara dunia yang kita ketahui (yang penuh dosa) dan dunia sebelum masuknya dosa, yang tidak kita ketahui. Pengalaman kita secara tegas dibatasi oleh dosa dan kejatuhan dan peristiwa-peristiwa dalam Kejadian 1:1-2:25 berada di luar batasan itu. Jelaslah bahwa ada kesinambungan, karena Adam dan Hawa masih merupakan oknum-oknum yang sama sesudah kejatuhan mereka, namun janganlah kita terlalu cepat menentukan apa yang dimaksudkan atau yang tidak dimaksudkan oleh Kejadian 1:1-3:24.
Akhirnya, kita harus menjaga supaya perdebatan mengenai hal-hal ini tidak meniadakan pernyataan pokok Alkitab, yakni bahwa umat manusia adalah makhluk yang ditempatkan Allah di dunia kepunyaan-Nya, yang berhubungan secara unik dengan Dia serta bertanggung jawab secara khusus untuk menjaga tatanan ciptaan.
Manusia dikatakan telah diciptakan "menurut gambar dan rupa" Allah (Kej. 1:26). Ungkapan itu diterapkan pada Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru (2 Kor. 4:4; Kol. 1:15; bnd. Ibr. 1:3) dan dikatakan juga bahwa orang Kristen akan ikut memiliki gambar ilahi itu melalui hubungan mereka dengan Kristus (Roma 8:29; 1 Kor. 15:49; Kol. 3:10).
Bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Dalam tradisi Kristen, "gambar" itu ditafsirkan sebagai ciri-ciri seperti pengetahuan, kesadaran moral, kesempurnaan moral asli dan kekekalan. Beberapa pakar ingin memberikan arti fisik kepada "gambar" itu (bnd. Kej. 5:3), namun kenyataan bahwa Allah adalah Roh melawan pandangan ini. Pakar yang lain mengartikannya sebagai "wakil" atau "simbol", sehingga manusia merupakan wakil Allah di dunia ini (sebagaimana patung dalam agama kafir berfungsi sebagai wakil dewa yang disembah oleh umatnya; atau gambar Presiden di kantor atau sekolah merupakan simbol kekuasaannya yang berlaku di tempat itu).
Ada bermacam-macam pandangan mengenai bagaimana gambar itu dipengaruhi oleh kejatuhan. Irenaeus (130-200) membedakan antara "gambar" (Ibr. "tselem"), yang diartikannya sebagai akal manusia dan kebebasan moral, dan "rupa" (Ibr. "demut") yang disamakan dengan kebenaran aslinya, dan dia mengajarkan bahwa hanya "rupa" itu yang hilang pada saat kejatuhan. Tafsiran ini diikuti terus sepanjang abad pertengahan di Eropa dan membantu menghasilkan pandangan yang pada dasarnya optimistis tentang sifat manusia tersebut. Sedangkan Luther menjelaskan bahwa Kejadian 1:26 adalah contoh kesejajaran dalam bahasa Ibrani, sehingga "gambar" dan "rupa" mempunyai arti yang sama. Oleh sebab itu, gambar Allah hilang sama sekali dan hanya dapat dipulihkan melalui kelahiran kembali oleh Roh Kudus.
Namun Alkitab sebenarnya tidak berbicara tentang kehilangan total gambar Allah dan pada tempat-tempat tertentu memakai istilah itu untuk manusia yang sudah jatuh (bnd. Kej. 9:6; 1 Kor. 11:7; Yak. 3:9). Oleh sebab itu, Calvin berbicara tentang "sisa" gambar Allah dalam manusia yang telah jatuh. Sisa itu tidak memberi dasar bagi pembenaran manusia, namun masih membedakannya dari binatang dan menerangkan bakat dan prestasi manusia bukan Kristen. Beberapa pakar Belanda seperti Kuyper (1837-1920) dan Bavinck (1854-1921) memakai istilah "anugerah umum" dengan maksud bahwa Allah dalam kemurahan-Nya menahan akibat yang paling buruk dari kejatuhan dan memungkinkan kehidupan sosial yang lumayan bagi manusia.
Namun pandangan alkitabiah juga mencakup anugerah Allah melalui Yesus Kristus, karena melalui Dia gambar Allah akan pulih sepenuhnya dalam mereka yang percaya.
Alkitab membedakan beberapa segi dalam sifat manusia, misalnya:
Kata "hati" (Ibr. "lev, Yun. "kardia") biasanya mengacu pada manusia seluruhnya, yang dilihat dari pusat pengendalian dirinya, manusia secara hakiki. Ada tiga pokok persoalan teologis yang perlu dicatat.
Dikotomi atau Trikotomi?
Telah terjadi perdebatan mengenai apakah manusia terdiri dari tubuh dan jiwa (dikotomi) atau tubuh, jiwa dan roh (trikotomi).
Para pendukung dikotomi menunjukkan pemakaian istilah jiwa dan roh secara berganti-ganti dalam Alkitab (bnd. Mat. 6:25; 10:28; Luk. 1:46 dengan Pkh. 12:7; 1 Kor 5:3-5). Kematian dilukiskan sebagai "menghembuskan nafas terakhir" (Kej. 35:18) dan "menyerahkan nyawa" (Mzm. 31:6; Luk. 23:46). Orang mati disebut "roh" (Ibr. 12:23) dan juga "jiwa" (Why. 6:9).
Pendukung trikotomi terutama mengacu pada Ibrani 4:12 dan 1 Tesalonika 5:23, namun kedua ayat itu tidak dapat menentukannya dengan pasti. Dalam Ibrani 4:12 diterjemahkan "jiwa dan roh", tetapi mungkin sekali artinya firman Allah menyoroti manusia dari segi mana pun (bnd. Ibr. 4:13), bukan bahwa ada pemisahan antara jiwa dan roh. 1 Tesalonika 5:23 menegaskan kuasa Allah untuk menguduskan manusia seutuhnya.
Beberapa pihak, termasuk John Wesley, mengatakan bahwa manusia adalah dikotomi sebelum lahir kembali dan sesudahnya menjadi trikotomi, namun patut diragukan apakah kelahiran kembali itu memberi unsur tambahan kepada pribadi orang. Sikap ini dapat mendorong pandangan bahwa "unsur ketiga" pada orang percaya adalah Allah yang merupakan Roh Kudus itu sendiri. Secara teologis pandangan ini berbahaya karena membuka pintu pada pendapat yang hampir bersifat menghujat bahwa manusia "memiliki Allah" sebagai bagian dari dirinya. Secara pastoral pandangan ini berbahaya karena berdasarkannya orang dapat menyatakan bahwa keinginan rohnya adalah pancaran dari Roh Allah dan dengan demikian mengesampingkan koreksi dari Alkitab dan gereja.
Kini persoalan dikotomi/trikotomi sebagian besar sudah digeser dengan menekankan keterpaduan pribadi manusia. Menurut Alkitab, manusia tidak terdiri dari beberapa bagian yang digabung, apakah dua bagian atau tiga, melainkan merupakan kesatuan psikosomatis. Istilah yang digunakan Alkitab -- "tubuh", "jiwa", "roh", "hati", "akal budi" dan sebagainya -- kesemuanya hanya merupakan cara yang berbeda-beda untuk melihat pribadi yang satu itu. Penting sekali bahwa kata-kata yang diterjemahkan sebagai "jiwa" (Ibr. "nefesy", Yun. "psukhe") di tempat-tempat tertentu (1 Raj. 17:22; Luk. 16:22) disebut terlepas dari tubuh, namun pada umumnya yang dimaksud adalah pribadi manusia seutuhnya (Yos. 10:28; 1 Raj. 19:14; Mat. 6:26; Kis. 27:37).
Keterpaduan alkitabiah ini kelihatan jelas sekali bila dibandingkan dengan pemikiran filsafat Yunani. Plato melihat manusia terdiri dari dua bagian yang dapat dipisahkan yakni tubuh dan jiwa; pada saat meninggal jiwa dibebaskan, api ilahi dalam manusia meninggalkan kehidupan dalam perangkap gelap tubuh manusia untuk kehidupan di dunia nyata yang melampaui peleburan fisik. Bertentangan dengan hal itu, pandangan Alkitab tentang hidup sesudah kematian adalah kebangkitan tubuh. Manusia hanya dapat masuk dalam kehidupan sebenarnya jika ia mempunyai tubuh.
Namun dua hal perlu dikemukakan di sini. Pertama, meskipun kehidupan manusia yang sesungguhnya adalah bertubuh, namun ini tidak berarti bahwa tubuh itu mutlak perlu untuk pengungkapan dirinya yang hakiki. Perjanjian Baru dan khususnya Yesus melihat kemungkinan manusia terlepas dari tubuhnya (Mat. 10:28; Luk. 19:19-31; 23:43). Ini mempunyai dampak yang penting bagi keadaan sementara orang Kristen antara kematian fisiknya dan kedatangan Kristus kembali saat Ia menerima tubuh kebangkitan. Akan tetapi keadaan tak bertubuh ini bukan keadaan yang ideal (2 Kor. 5:1-10). Tujuan selengkapnya dan sesungguhnya bagi orang percaya tercapai pada kembalinya Kristus "yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuhNya yang mulia" (Fil. 3:21).
Kedua, tujuan akhir manusia ini terletak dalam hubungannya dengan Allah pada tingkat rohani dan akhlak. Kendatipun hubungan ini mempunyai dampak pada setiap tingkat kehidupan manusia, termasuk tingkat lahiriah dan sosial, dan juga mengandung janji akan pembaruan akhir seluruh keberadaan manusia, namun dimensi-dimensi ini bukanlah hal yang pokok dari hubungan ini. Demikianlah kelahiran kembali tidak mempunyai dampak langsung bagi tubuh manusia sekarang (bnd. 2 Kor 12:7; 2 Tim 4:20 dsb..) ataupun bagi status sosial atau politik (1 Kor 7:17- 24).