Nama Kursus | : | PENGANTAR PERJANJIAN BARU |
Nama Pelajaran | : | Kanon dan Kitab-kitab PB |
Kode Pelajaran | : | PPB-R03a |
Referensi PPB-03a diambil dari:
Judul Buku | : | Dokumen-dokumen Perjanjian Baru |
Pengarang | : | F.F. Bruce |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993 |
Halaman | : | 17 - 24 |
REFERENSI PELAJARAN 03a - PERMULAAN DARI SEAGALANYA
KANON PERJANJIAN BARU
TENTANG masing-masing kitab Perjanjian Baru sudah didapatkan kesimpulan. Namun masih ada pertanyaan lain : bagaimana Perjanjian Baru itu sendiri sebagai kumpulan tulisan telah terjadi? Siapa yang mengumpulkan tulisan-tulisan itu dan atas dasar apa? Lingkungan macam apa yang mendorong penyusunan suatu daftar, atau kanon, dari kitab- kitab yang berwibawa?
Biasanya iman Kristen yang historis mengatakan bahwa Roh Kudus yang memimpin penulis masing-masing kitab, Dia juga yang memimpin seleksi dan pengumpulannya, jadi melanjutkan pemenuhan janji Tuhan bahwa Ia akan memimpin murid-murid-Nya dalam segala kebenaran. Bagaimana pun juga, ini merupakan sesuatu yang harus disingkapkan oleh penglihatan rohani, dan bukan oleh penelitian historis. Sasaran kita adalah menemukan apa yang diungkapkan penelitian historis tentang asal-usul kanon PB. Ada yang akan mengatakan kepada kita bahwa kita menerima ke 27 kitab PB berdasarkan kewibawaan Gereja. Seandainya pun demikian, bagaimana Gereja sampai mengakui kewibawaan ke 27 buku ini dan bukan yang lain, sebagai kitab-kitab yang pengilhaman dan kewibawaannya setingkat dengan kanon PL?
Daftar buku yang tertua dari Perjanjian Baru yang kita ketahui dengan pasti, disusun di Roma oleh seorang bidat, Marcion, tahun 140. Marcion membedakan Allah Perjanjian Lama yang lebih rendah dari Allah dan Bapa yang dinyatakan dalam Kristus. Oleh karena itu menurut setiap "anti Semitisme teologis" ini Perjanjian Lama harus ditolak dan juga bagian- bagian Perjanjian Baru yang dipengaruhi oleh Yudaisme. Dengan demikian kanon Marcion terdiri dari dua bagian : (a) Kitab Injil Lukas yang telah dimurnikan dan yang paling sedikit mengandung Yudaisme, karena Lukas adalah seorang bukan Yahudi; (b) Sepuluh surat Paulus (ketiga "Surat Penggembalaan" tidak dimuat). Tetapi daftar Marcion tidak mencerminkan ketetapan Gereja yang berlaku, melainkan penyimpangan dengan sengaja dari ketetapan itu.
Daftar lain yang lebih muda, juga berasal dari Roma, dari akhir abad II, yang biasa disebut "Fragmen Muratori", karena diterbitkan pertama kalinya tahun 1740 oleh antikuaris Kardinal L.A. Muratori. Sayangnya fragmen ini sudah rusak sejak permulaan, tetapi dengan terang menyebut Matius dan Markus, sebab ia mengacu kepada Lukas sebagai kitab Injil ketiga. Selanjutnya disebut Yohanes, Kisah Para Rasul, sembilan surat Paulus ke jemaat-jemaat dan empat kepada perorangan (Filemon, Titus, I dan II Timotius), (1) dua surat dari Yohanes, (2) Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus (ini adalah kitab apokrif). Kitab Gembala dari Hermas disebut sebagai layak untuk dibaca dalam jemaat, tetapi tidak dimasukkan ke dalam daftar tulisan-tulisan nabiah ataupun rasuli.
Langkah-langkah pertama yang menuju pembentukan Kanon kitab-kitab Kristen yang berwibawa sehingga ini layak ditempatkan di samping Kanon Perjanjian Lama, adalah Alkitab Tuhan kita dan para rasul-Nya, nampaknya diambil sekitar permulaan abad kedua. Ini berdasarkan adanya bukti tentang peredaran dua kumpulan tulisan Kristen di dalam Gereja.
Pada waktu yang amat dini keempat kitab Injil disatukan dalam satu kumpulan. Mereka pasti sudah dikumpulkan segera setelah Injil menurut Yohanes ditulis. Kumpulan empat kitab ini mula-mula dikenal sebagai "Injil" dalam bentuk tunggal, jadi bukan sebagai "Injil-injil" dalam bentuk jamak; Jadi yang ada hanyalah satu Injil, yang dituturkan dalam empat laporan, dibeda-bedakan dengan kata "menurut Matius", "menurut Markus", dan seterusnya. Sekitar tahun 115 M, Ignatius, uskup Antiokhia, mengacu kepada "Injil" sebagai tulisan yang berwibawa. Oleh karena ia mengenal lebih dari satu dari keempat "Injil", maka mungkin sekali meskipun tanpa dikatakan bahwa yang dimaksudkannya dengan "Injil" adalah kumpulan empat kitab yang sebutannya memang demikian.
Sekitar tahun 170 M. seorang Kristen dari Assiria bernama Tatianus membuat Injil rangkap empat itu menjadi satu cerita yang bersambung, atau "Harmoni Injil-injil". Ini lama menjadi bentuk yang digemari orang, malahan mungkin bentuk yang resmi dari kitab Injil rangkap empat dalam gereja Assiria. Ini berbeda dari empat kitab Injil versi Siria Kuno. Tidak dapat dipastikan apakah bahasa asli yang dipakai Tatianus dalam menyusun Harmonia, yang biasa dikenal sebagai Diatessaron, adalah bahasa Yunani atau Siria. Tetapi tempat penyusunannya kelihatannya Roma dan bahasa aslinya mungkin bahasa Yunani. Fragmen Diatessaron dari Tatianus yang berbahasa Yunani telah diketemukan pada tahun 1933 di Dura-Europos di daerah aliran sungai Efrat. Bagaimanapun juga, kitab itu telah diberikan kepada orang-orang Kristen Assiria dalam bentuk Siria waktu Tatianus pulang dari Roma, dan Diatessaron Siria ini tetap menjadi "Versi Resmi" dari keempat kitab Injil bagi mereka, sampai diganti dengan Peshitta atau versi yang sederhana pada abad kelima. Pada zaman Irenacus, yang meskipun lahir di Asia tetapi telah menjadi uskup di Lyons di Galia kira-kira tahun 180 M, gagasan kitab Injil rangkap empat telah sedemikian umum diakui di Gereja, hingga ia dapat menyebutnya sebagai hal yang tetap dan diakui sama terangnya dengan keempat arah utama pada kompas atau keempat mata angin.
"Seperti halnya ada empat bagian bumi yang kita huni dan ada empat mata angin, dan seperti halnya Gereja tersebar di seluruh muka bumi dan Injil adalah tiang dan dasar bagi Gereja dan adalah nafas hidup, maka wajarlah bila bumi mempunyai empat tiang, yang menghirup ketidak- fanaan dari keempat penjuru dan menyalakan hidup manusia secara baru. Oleh karena itu teranglah bahwa Sang Sabda yang adalah arsitek dari segala sesuatu, yang duduk di atas Kerubim dan menggenggam segala sesuatu, setelah Ia menyatakan diri kepada manusia, memberikan kepada kita Injil dalam bentuk rangkap empat, tetapi dijadikan satu oleh satu Roh."
Kalau keempat kitab Injil dijadikan satu dalam satu jilid maka hubungan antara kedua bagian dari karya sejarah Lukas dilepaskan. Jadi kalau Injil Lukas dan Kisah Para Rasul dipisahkan maka nampaknya ada satu atau dua modifikasi dilakukan ke dalam teks pada bagian akhir Lukas dan permulaan Kisah Para Rasul. Aslinya agaknya Lukas menempatkan segala cerita tentang kenaikan ke Sorga dalam tulisannya yang kedua. Jadi kata-kata "dan terangkat ke Sorga" ditambahkan dalam Luk 24:51, untuk mengakhiri ceritanya, dan sebagai konsekuensinya ungkapan "Ia terangkat" ditambahkan dalam Kisah 1:2. Beberapa orang telah menemukan bahwa antara kedua cerita tentang kenaikan ke Sorga dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul kurang serasi. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh penyesuaian-penyesuaian waktu kedua kitab ini dipisahkan.
Bagaimanapun juga, Kisah Para Rasul dengan sendirinya kebagian kewibawaan dan kehormatan dari kitab Injil ketiga karena merupakan karya penulis yang sama, dan nampaknya juga diakui sebagai kanonik oleh semua orang kecuali oleh Marcion dan pengikut-pengikutnya. Tentu, Kisah Para Rasul mempunyai tempat yang penting sekali dalam kanon Perjanjian Baru karena merupakan kitab yang sentral, demikian kata Harnack. Sebab Kisah Para Rasul menghubungkan keempat kitab Injil dengan surat-surat, dan dengan ceritanya tentang pertobatan, panggilan dan pelayanan Paulus sebagai penginjil, ia menunjukkan dengan terang betapa nyatanya kewibawaan ramuli di belakang surat-surat Paulus itu.
Corpus Paulinum atau kumpulan tulisan-tulisan Paulus terkumpul kira- kira pada waktu yang sama dengan penghimpunan Injil rangkap empat itu. (3) Sama seperti kumpulan kitab-kitab Injil disebut Euanggelion, kumpulan dari tulisan Paulus disebut dengan satu kata Apostolos, dan tiap surat secara khusus disebut "kepada orang Roma", "Yang pertama kepada jemaat di Korintus", dan sebagainya. Segera surat kepada Orang Ibrani yang tanpa nama digandengkan dengan tulisan-tulisan Paulus. Kisah Para Rasul, untuk gampangnya, digandengkan dengan (surat-surat dari Petrus, Yakobus, Yohanes dan Yudas).
Hanya ada beberapa buku yang diragukan secara agak serius setelah pertengahan abad kedua, yaitu yang ada di akhir dalam deretan Perjanjian Baru kita. Origenes (185-254) menyebut keempat kitab Injil, Kisah Para Rasul, ketiga belas surat Paulus, I Petrus, I Yohanes dan Wahyu sebagai yang diakui semua jemaat; ia berkata bahwa Ibrani, II Petrus, II dan III Yohanes, Yakobus dan Yudas bersama dengan "surat Barnabas", Gembala Hermas, Didache dan "Injil menurut orang-orang Ibrani", disanggah oleh beberapa orang. Eusebius (± 265-340) menyebut seluruh kitab dalam Perjanjian Baru kita sekarang sebagai yang diakui semua orang, kecuali Yakobus, Yudas, II Petrus, II & III Yohanes yang disanggah oleh sejumlah orang tetapi mayoritas mengakuinya. (Eusebius sendiri mestinya menolak kitab Apokaliptik (Wahyu), karena ia tidak menyukai millenarianismenya). Athanasius pada tahun 367 mengatakan bahwa pada kedua puluh tujuh kitab Perjanjian Baru kita seperti yang ada itulah kanonik; lama sesudah itu Hironymus dan Agustinus mengikuti teladannya di Barat. Proses di kawasan yang lebih jauh ke Timur agak lebih lama; baru ± tahun 508 II Petrus, II dan III Yohanes, Yudas dan Wahyu dimasukkan ke dalam terjemahan Alkitab Siria sebagai tambahan atas kedua puluh dua kitab lainnya.
Berdasarkan pelbagai alasan maka bagi gereja perlu untuk mengetahui dengan pasti kitab-kitab manakah yang berwibawa ilahi. Kitab-kitab Injil yang menceritakan "segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus," tidak dapat dianggap mempunyai wibawa yang lebih rendah daripada kitab-kitab Perjanjian Lama. Dan ajaran para rasul dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat dianggap sebagai yang berkenaan dengan kewibawaan-Nya juga. Jadi wajarlah bila kepada tulisan-tulisan para rasul Perjanjian Baru diberi kehormatan yang sama seperti yang telah diberikan kepada tulisan-tulisan para nabi Perjanjian Lama. Demikianlah Yustinus Martyr, kira-kira tahun 150 M, menggolongkan "catatan- catatan para Rasul" setaraf dengan tulisan-tulisan para nabi, dan bahwa kedua- duanya dibaca dalam pertemuan-pertemuan orang Kristen (Apologia 1:67). Sebab meskipun telah berpisah dengan Yudaisme, gereja tidak mengingkari wibawa Perjanjian Lama, tetapi -- mengikuti teladan Kristus dan Rasul-rasul-Nya -- menerimanya sebagai Firman Allah. Memang Septuaginta sangat mereka akui sebagai milik mereka, meskipun semula adalah terjemahan dalam bahasa Yunani dari kitab- kitab Ibrani bagi orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani sebelum zaman Kristus. Sehingga orang-orang Yahudi meninggalkan Septuaginta bagi orang Kristen dan membuat terjemahan yang baru dalam bahasa Yunani dari Perjanjian Lama bagi orang Yahudi yang berbahasa Yunani.
Terutama penting sekali untuk mengetahui kitab-kitab mana yang dapat dipakai untuk menyusun ajaran Kristen dan yang dapat dijadikan pegangan yang kuat dalam berbicara dengan para bidat. Teristimewa ketika Marcion telah menyusun kanonnya kira-kira tahun 140 M, maka bagi gereja-gereja yang Ortodoks perlu sekali untuk dengan persis mengetahui manakah kanon yang benar, dan ini membantu memacu proses yang telah mulai. Bagaimanapun juga, kelirulah berbicara atau menulis seakan-akan gereja baru mulai menyusun kanon setelah Marcion menerbitkan kanonnya.
Keadaan-keadaan lain yang memerlukan definisi yang terang tentang kitab-kitab mana yang mempunyai kewibawaan ilahi ialah perlunya ditetapkan kitab-kitab yang mana yang harus dibaca dalam kebaktian- kebaktian Gereja (memang ada buku-buku yang tertentu yang tepat dipakai untuk tujuan ini, tetapi tidak dapat dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan mengenai ajaran). Keadaan lain ialah perlunya mengetahui kitab-kitab mana yang dapat atau tidak dapat diberikan kepada polisi kekaisar kalau diminta pada masa penghambatan tanpa menimbulkan rasa bersalah karena mencemarkan yang suci.
Satu hal harus sungguh-sungguh ditekankan. Kitab-kitab Perjanjian Baru tidak menjadi berwibawa bagi Gereja sebab secara formal telah ada dalam daftar yang kanonik; tetapi sebaliknya, Gereja memasukkannya dalam kanonnya karena menganggapnya diilhamkan Allah, sebab Gereja mengetahui nilainya yang dalam dan langsung atau tidak langsung Gereja juga melihat kewibawaannya dari para rasul. Konsili-konsili gerejawi yang pertama yang mendaftarkan kitab-kitab yang kanonik ada dua, kedua-duanya di Afrika Utara - di Hippo Regius tahun 393 dan Karthago tahun 397. Tetapi yang dikerjakan konsili-konsili ini bukan mendesakkan sesuatu yang baru kepada gereja-gereja, melainkan menyusun daftar dari apa yang telah umum digunakan -- gereja-gereja.
Ada banyak persoalan teologis yang timbul dari sejarah kanon yang tidak dapat kita bicarakan di sini; tetapi untuk menunjukkan dengan mudah bahwa pemilihan Gereja adalah tepat, orang dapat membandingkan kitab-kitab Perjanjian Baru kita dengan beraneka ragam dokumen yang dikumpulkan oleh M.R. James dalam bukunya Apocryphal New Testament (1924), atau juga dengan tulisan-tulisan Bapa-bapa Rasuli dan akan disadari keunggulan Perjanjian Baru kita atas buku-buku yang lain.
Sedikit perlu ditambahkan tentang "Injil menurut orang-orang Ibrani" yang, seperti dikatakan di atas, didaftarkan oleh Origenes sebagai satu di antara buku-buku yang diperdebatkan oleh beberapa orang pada zamannya. Buku ini, yang beredar di Transjordan dan Mesir di antara kelompok-kelompok orang Yahudi- Kristen yang disebut orang Ebionit, memiliki sejumlah kemiripan dengan Injil Matius yang kanonik. Mungkin itu adalah saduran yang berdiri sendiri dari suatu dokumen berbahasa Aram yang ada hubungannya dengan Matius yang kanonik. Ia dikenal oleh beberapa Bapa-bapa Kristen yang dulu, dalam terjemahan bahasa Yunani.
Hieronymus (347 - 420) memandang Injil menurut orang Ibrani" ini sama dengan kitab yang ditemukan di Siria, yang disebut Injil orang-orang Nasaren, yang semula dikira - tetapi ini keliru sebagai Injil Matius yang asli dalam bahasa Ibrani (atau Aram). Mungkin juga ia dengan keliru menyamakan ini dengan Injil menurut orang-orang Ibrani. Injil Nasarene yang diketemukan Hieronymus (yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani dan Latin) mungkin hanya terjemahan dalam bahasa Aram dari Matius berbahasa Yunani yang kanonik. Bagaimanapun juga Injil menurut orang Ibrani dan Injil orang Nasarene kedua-duanya mempunyai hubungan dengan Injil Matius dan harus dibedakan dari setumpukan Injil-injil apokrif yang juga beredar pada zaman itu, dan yang tidak ada pengaruhnya bagi studi historis kita ini. Buku-buku ini sama dengan kitab "Kisah Para Rasul" yang apokrif dan tulisan-tulisan serupa. Isinya hampir dongeng melulu. Hanya satu buku di antara "Kisah Para Rasul" yang apokrif yang namanya "Kisah Paulus", yang meskipun diakui sebagai dongeng dari abad kedua, menarik sebab di dalamnya ada potret diri Paulus. Sifat tulisan ini tegas dan tidak biasa waktu itu. Oleh karena itu Sir William Ramsay mengira bahwa itu mewujudkan suatu tradisi dari penampakan rasul seperti tersimpan di Asia kecil. Paulus dilukiskan sebagai "seorang laki- laki yang kecil badannya, alis matanya panjang, hidungnya agak panjang, kepalanya botak, kakinya bengkok, kekar, ramah, kadang-kadang ia nampak seperti lelaki, kadang- kadang memiliki wajah malaikat."
Catatan Kaki: