Pelajaran 05 | Pertanyaan 05 | Referensi 05a
Nama Kursus | : | Pembentukan Rohani Kristen |
Nama Pelajaran | : | Pengujian atas Pola Pikir Rohani |
Kode Pelajaran | : | PRK-R05b |
Referensi PRK-R05b diambil dari:
Judul artikel | : | Pengujian atas Pola Pikir Rohani |
Judul buku | : | Berpola Pikir Rohani |
Penulis | : | John Owen |
Penerbit | : | Surabaya, Momentum, 2001 |
Halaman | : | 29-33 |
Pengujian atas Pola Pikir Rohani
Kita telah melihat bahwa keberadaan suatu pemikiran rohani, keberadaannya tidak selalu identik dengan keberadaan suatu pola pikir rohani. Hal yang perlu dipertanyakan adalah, apakah pikiran kita berlimpah-limpah dengan pemikiran semacam itu atau tidak (2 Petrus 1:8). Pemikiran rohani yang bersifat temporer tidaklah membuktikan apa-apa. Keberadaan damai sejahtera yang Paulus sebutkan sebagai hasil dari suatu pola pikir rohani, lebih bergantung pada seberapa besar tingkat kepenuhan pikiran kita oleh pemikiran-pemikiran rohani.
Mengenai orang-orang tak beriman, Allah menyatakan, "segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata" (Kejadian 6:5). Dosa-dosa yang keberadaannya kita temui secara nyata di dunia ini, belumlah cukup untuk mengungkapkan betapa jahatnya dunia ini. Ukuran kejahatan dunia yang sesungguhnya, terletak pada kenyataan terus berkembangnya pemikiran jahat di dalam pikiran orang-orang tak beriman.
Tidak ada bukti yang lebih kuat bagi keberadaan suatu pola pikir rohani selain dari pada adanya suatu perubahan menyeluruh pada proses pemikiran kita.
Belumlah cukup bila kita hanya meninggalkan kebiasaan melakukan suatu jenis dosa tertentu; seseorang yang disembuhkan dari satu jenis penyakit, masih memiliki kemungkinan mengalami kematian yang disebabkan oleh penyakit lainnya. Di sini diperlukan adanya pemulihan kesehatan secara menyeluruh. Paulus menasihati orang percaya di Efesus demikian, "hendaklah kamu penuh dengan roh" (Efesus 5:18). Bila kita berpola pikir rohani, pikiran kita akan berlimpah-limpah dengan pemikiran akan hal-hal rohani: kelimpahan inilah yang paling penting.
Jadi kita harus bertanya, bagaimana kita dapat mengetahui kalau pikiran kita telah berlimpah-limpah dengan pemikiran akan hal-hal rohani? Saya akan menjawab, bacalah Mazmur 119 dan renungkanlah itu. Lihatlah bagaimana Daud mengungkapkan kelimpahan kesukaannya akan Taurat Allah. Dapatkah Saudara seperti dia? Jangan mencoba membela diri dengan berkata, "Tapi Daud memang khusus, kita tidak mungkin dapat menyamai dia". Satu-satunya hal yang saya ketahui adalah: jika kita ingin mengalami kepenuhan seperti yang Daud nikmati, kita harus menjadi seperti dia! Alkitab ditulis bukan hanya untuk mengungkapkan keadaan orang-orang benar di kelak kemudian hari, tetapi sekaligus juga menyatakan keadaan mereka selama hidup di dunia ini.
Bolehkah saya menyarankan beberapa kaidah dalam kita melakukan pengujian terhadap diri sendiri? Misalnya, berapa persentase dari seluruh pemikiran kita yang kita curahkan bagi hal-hal rohani? Jika kita berkata bahwa perhatian utama kita tercurah pada hal-hal rohani, yang bersifat sorgawi dan kekal, maka bukankah seharusnya pemikiran kita pun memancarkan prioritas tersebut, terutama melalui kesalehan kita?
Coba renungkan, apa yang menjadi prioritas hidup orang tak beriman? Rutinitas hidup mereka sehari-hari telah menyita seluruh pemikiran mereka. Ada suatu anggapan umum yang menyatakan bahwa semakin banyak orang mencurahkan pemikiran mereka pada masalah sehari-hari, seperti pada masalah anak-anak dan kesejahteraan masa depan mereka bersama, maka akan semakin baik. Tetapi yang jelas, itu tidak membuktikan adanya suatu pola pikir rohani dalam diri mereka.
Mungkin kita akan bertanya, haruskah kita memikirkan hal-hal rohani sebanyak dan sesering masalah hidup sehari-hari? Untuk hal ini saya akan menjawab: jika kita ingin sungguh-sungguh berpola pikir rohani, maka kita harus dan harus, semakin dan semakin sering. Bagaimana pendapat Saudara tentang seorang yang sedang berada dalam perjalanan menuju ke tempat di mana ia akan menerima suatu warisan, namun saat ini seluruh pembicaraannya masih berkisar pada hal-hal sia-sia yang akan segera ditinggalkannya? Sang Juruselamat melarang kita untuk merasa kuatir akan masalah-masalah kehidupan, seolah-olah Bapa Sorgawi tidak dapat memelihara kita. Demikian pula, tidak sepatutnyalah masalah kehidupan menyita seluruh pemikiran kita sama seperti masalah rohani (Mat 6:31-33).
Seperti biasa, banyak di antara pemikiran orang tak beriman yang sia- sia dan tidak bermanfaat, karena memang bersumber dari keinginan daging, keegoisan, dan kesombongan mereka. Bila Saudara menganggap nasihat saya agar Saudara memikirkan hal-hal rohani sesering mungkin terlalu keras, maka cobalah untuk merenungkan berapa banyak Saudara telah memikirkan hal-hal rohani dibandingkan dengan hal-hal yang sia- sia. Sudahkah kita dengan penuh kesadaran memberikan waktu lebih banyak bagi hal-hal rohani? Jika tidak, dapatkah kita menganggap diri kita telah memiliki pola pikir rohani?
Sebagai kaidah selanjutnya, biarkan saya bertanya, apakah pemikiran rohani mengalir begitu saja sementara kita sedang berdiam diri dan bebas dari rutinitas sehari-hari? Orang yang paling sibuk sekalipun memiliki kesempatan untuk berdiam diri, terlepas dari ia menyukainya atau tidak. Saat bangun ataupun menjelang tidur; saat sedang melakukan perjalanan; atau juga saat keadaan memaksanya untuk menyendiri. Jika kita berpola pikir rohani, maka pemikiran rohani akan segera mengisi saat-saat seperti itu (U1angan 6:7; Mazmur 16:7-8). Jika tidak, bukankah itu merupakan bukti bahwa hal-hal rohani memang tidak menarik bagi pikiran kita?
Memang baik dan benar bila kita sebagai orang percaya dapat meluangkan waktu secara teratur untuk melakukan perenungan rohani secara pribadi, tetapi bila kita menyangka tidak lagi memerlukan pemikiran rohani pada saat-saat lainnya, dapatkah kita kemudian memiliki pola pikir rohani? Itulah sebabnya saya menyarankan agar kita menguji diri kita sendiri dengan cara melihat apa saja yang terjadi ketika kita sedang memiliki waktu luang.
Kaidah lain dalam kita melakukan pengujian pada diri sendiri adalah dengan merenungkan apakah kita akan meratapi hilangnya waktu teduh kita bersama Tuhan. Ataukah kita telah merasa puas bila dapat berdalih bahwa kehilangan tersebut tak dapat dihindarkan, untuk selanjutnya tidak memikirkannya lagi. Inilah langkah pertama bagi pengalaman- pengalaman kehilangan berikutnya, sebelum akhirnya kita sama sekali kehilangan minat terhadap hal-hal rohani.
Mereka yang benar-benar berpola pikir rohani akan meratapi hilangnya waktu teduh mereka bersama Tuhan. "Betapa bodohnya kalau harus kehilangan kesempatan tersebut. Betapa sedikitnya waktu yang telah kuluangkan bagi Kristus hari ini!" Kita sering kali tidak menyadari betapa banyak sukacita dan kepastian sorgawi yang terkandung di balik setiap pemikiran rohani, kalau saja kita memberikan segenap waktu kita baginya! Kita telah menetapkan salah satu ciri keberadaan suatu pola pikir rohani, yaitu: bila pemikiran rohani mengalir dalam pikiran kita secara alamiah; berlimpah-limpah, dan di segala waktu, maka kita memiliki alasan untuk mempercayai bahwa semua itu bersumber dari suatu pemikiran rohani yang sehat.