Perhatikan Keadaanmu (Hagai 1:1-14)

Menjelang Piala Dunia 2010, sebuah lembaga survei internasional di Amerika Serikat mengadakan jajak pendapat kepada penggemar sepak bola di berbagai negara. Pertanyaan yang mereka ajukan kepada para responden adalah: "Apa yang akan Anda korbankan untuk melihat negara Anda menang dalam Piala Dunia?" Hasil survei tersebut sungguh menarik, sekaligus mengejutkan. Mayoritas responden Inggris, sebanyak 93 persen menyatakan bahwa mereka akan berhenti makan selama satu pekan untuk melihat Inggris menang. Sebanyak 70 persen orang Italia akan berhenti bekerja demi kemenangan Italia. Kebanyakan orang Amerika bersedia mengorbankan rumah mereka, bahkan warga Korea Selatan menyatakan bahwa mereka siap mengorbankan kehidupan cinta mereka. Luar biasa, bukan? Di sini kita melihat, seseorang akan rela berkorban untuk sesuatu yang sangat mereka hargai. Seseorang akan rela membayar harga demi sesuatu yang dianggap penting. Demikian pula dengan kita, apa yang kita anggap penting, tentu akan kita prioritaskan, bukan? Hal ini berkaitan dengan berapa banyak waktu dan tenaga yang kita curahkan dalam kehidupan sehari-hari untuk prioritas tersebut. Pertanyaannya: Apakah Allah juga mendapatkan porsi yang penting dalam hidup kita? Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika Ia ternyata tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam hidup umat-Nya?

Ini pula situasi yang kita lihat dalam diri umat Yehuda ketika Hagai menyampaikan nubuatnya. Mereka yang kembali dari pembuangan ke tanah airnya lagi, membawa optimisme dan kegairahan baru untuk membangun kembali Rumah Allah. Hal ini menghasilkan peletakan dasar Rumah Allah (Ezra 5:16), namun banyaknya pendatang baru juga membawa kesulitan tersendiri. Kegagalan panen dan kekeringan membuat kehidupan menjadi benar-benar sulit. Selain itu, umat ini juga mengalami ketegangan dengan penduduk negeri itu. Orang-orang di sekitar mereka melemahkan semangat umat Yehuda, sehingga mereka takut meneruskan pembangunan. Dengan berbagai upaya, orang-orang ini menekan umat Allah yang sedang membangun, bahkan mereka menggunakan kekerasan untuk memaksa mereka menghentikan pekerjaan itu (Ezra 4:4-6, 23). Akhirnya, dalam Ezra 4:4 dinyatakan, "Pada waktu itu terhentilah pekerjaan membangun rumah Allah yang di Yerusalem, dan tetap terhenti sampai tahun yang kedua zaman pemerintahan Darius, raja negeri Persia."

Berapa lama mereka berhenti? Sekitar 15 - 16 tahun. Apa yang mereka kerjakan? Ketika pekerjaan berhenti, orang-orang itu berpaling pada urusan pribadinya dan berangsur-angsur mereka beribadah di antara reruntuhan Bait Allah. Keinginan untuk membangun kembali padam sama sekali. Masyarakat Yehuda pascapembuangan ini sedang kehilangan harapan, karena mereka berpendapat bahwa Allah sedang mengabaikan mereka. Pengharapan umat akan memiliki kemakmuran dan kelimpahan, yang dijamin oleh khotbah para nabi prapembuangan, telah dikecewakan (Hagai 1:9), namun mereka masih belum mengerti sebabnya. Pada saat itulah firman Allah datang dengan perantaraan Hagai, pertama-tama ditujukan kepada pemimpin umat, tetapi juga kepada seluruh umat.

Hagai membuka seruannya dengan frase, "Beginilah firman TUHAN semesta alam..." (Yahweh of hosts, Lord of hosts), yang menekankan kuasa TUHAN yang luar biasa atas segala sesuatu di alam semesta dari kekal sampai kekal. Artinya, kuasa-Nya memegang dan melingkupi segala sesuatu.

Bukankah ada suatu kekontrasan yang sedang ditunjukkan di sini? Tuhan yang berkuasa atas semesta alam, tetapi diabaikan umat-Nya; Tuhan yang bertakhta dalam kemuliaan, namun Rumah Tuhan menjadi reruntuhan. Sikap mereka tidak mencerminkan sebagai umat perjanjian, sehingga Tuhan menyebut mereka "bangsa ini" dan bukan "umat-Ku." Sebutan "bangsa ini" sering digunakan oleh nabi-nabi ketika menegur umat Israel yang hidup dalam dosa (bdk. Yesaya 6:9; 8:6; Yeremia 14:11).

Karena itu, berita Hagai dimulai dengan sebuah teguran yang menyatakan keadaan yang sebenarnya dari umat pada waktu itu. Melalui Hagai Allah berfirman, "Bangsa ini berkata: Sekarang belum tiba waktunya untuk membangun kembali rumah TUHAN! Mengapa mereka berpikir demikian? Bukankah sudah ada perubahan secara politik (Ahasyweros telah diganti Darius)? Saat firman ini diberikan, mereka juga tidak sedang sibuk dengan hasil panennya.

Lalu Hagai kembali melanjutkan, "Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?" Dalam bahasa aslinya, kalimat dalam ayat 4 ini mendapat penekanan pada kata "kamu", yaitu dikatakan: "Apakah ini adalah waktu bagi kamu [yaitu kamu sendiri; NIV: you yourselves] untuk berdiam dalam rumah-rumahmu yang dipapani sementara rumah ini tetap menjadi reruntuhan?" Hagai menunjukkan suatu kekontrasan antara kediaman mereka dengan kediaman Allah, antara rumah mereka yang terpapani dengan baik dengan Rumah Allah yang berupa puing-puing, antara waktu bagi mereka dan waktu bagi Allah. Umat selalu ada waktu, tenaga, dan dana bagi urusan mereka, namun tidak bagi urusan Allah.

Masalahnya sekarang telah jelas dan mereka tidak dapat berdalih. Masalah yang utama bukanlah masalah ekonomi, tetapi masalah hati mereka sendiri. Sebelumnya, Hagai menjelaskan bahwa masalah ekonomi yang mereka alami pun sebenarnya adalah akibat dari perbuatan mereka. Problem utama mereka ada pada diri mereka sendiri. Karena itu Hagai melanjutkan, "Oleh sebab itu, beginilah firman TUHAN semesta alam: Perhatikanlah keadaanmu!" Ini merupakan seruan yang penting (2 kali di pasal 1 dan 3 kali di pasal 2). Perhatikanlah keadaanmu, dapat diterjemahkan sebagai, "Pikirkan dengan hati-hati jalanmu" (NIV); "Pikirkan cara hidupmu/karaktermu". Cara hidup mereka hanya berfokus pada diri dan tidak kepada Allah dan pekerjaan-Nya.

Dalam konteks relasi Allah dengan umat-Nya, kemah Pertemuan dan Bait Allah adalah pusat penyembahan dan tempat di mana Allah dan umat-Nya bertemu (Keluaran 29:42-46; l Raja-raja 6:12-13). Jadi, sikap mereka terhadap Rumah Allah menunjukkan kondisi relasi mereka yang buruk terhadap Allah. Mengabaikan Rumah Allah berarti mengabaikan Allah sendiri. Oleh karena itu, Allah menegur dan menghukum mereka, sehingga mereka tidak memperoleh berkat atas pekerjaan dan kehilangan sukacita di tengah kerja keras mereka. Karena hanya memikirkan diri dan mengabaikan relasi dengan Allah, akhirnya Allah memberikan perintah: "Jadi naiklah ke gunung, bawalah kayu dan bangunlah Rumah itu; maka Aku akan berkenan kepadanya dan akan menyatakan kemuliaan-Ku di situ." Para pemimpin dan umat mendengarkan seruan itu, bertobat, dan membangun kembali Bait Allah. Akhirnya Allah berkenan, lalu memberkati dan memulihkan relasi mereka dengan Allah.

Allah juga memanggil kita untuk menata kembali prioritas hidup. Kita dipanggil untuk hidup berpusat kepada Dia dan memuliakan Dia. Kadang tanpa kita sadari orientasi kita bergeser; semangat dan jiwa yang murni berganti dengan egoisme dan kita mengejar sesuatu bagi pemuasan diri, sekalipun itu mungkin merupakan aktivitas rohani. Jika bukan Tuhan yang menjadi fokus hidup kita, sebenarnya apakah yang kita bangun? Jangan-jangan rumah Allah itu kita abaikan pembangunannya, dan tanpa kita sadari kita juga membiarkan hidup rohani kita berada dalam keadaan puing-puing. Setiap saat kepada kita dihadapkan dua pilihan, untuk memapani rumah kita sendiri atau membangun rumah Allah. Sekarang pilihan itu harus kita tetapkan, jikalau betul kita ingin memunyai relasi yang benar dengan Allah dan memuliakan nama-Nya.

Diambil dari:

Judul buletin : Stauros (edisi Mei 2011)
Judul artikel : Perhatikan Keadaanmu (Hagai 1:1-14)
Penulis : Pdt. Hari Soegianto, M.Div.
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2011
Halaman : 1 -- 2
Kategori: 

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PESTA