PPB-Referensi 03b

Nama Kursus : PENGANTAR PERJANJIAN BARU
Nama Pelajaran : Kanon dan Kitab-kitab PB
Kode Pelajaran : PPB-R03b

Referensi PPB-03b diambil dari:

Judul Buku : Latar Belakang Perjanjian Baru III
Pengarang : Dr. Lukas Tjandra
Penerbit : SAAT, Malang, 1999
Halaman : 136 - 147

REFERENSI PELAJARAN 03b - KANON DAN KITAB-KITAB PB

PENGENALAN YANG HARUS ADA TENTANG ALKITAB

SEJARAH TERBENTUKNYA PERJANJIAN BARU

Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul dengan pimpinan Allah dan gerakan dari Roh Kudus, kemudian dua puluh tujuh kitab itu diakui oleh gereja, dan pada abad kedua disebut sebagai Alkitab Perjanjian Baru atau disingkat menjadi PB.

Ketika Tuhan Yesus hidup di dunia, orang Yahudi sudah mempunyai sebuah "Kitab", yang pada masa itu sudah diakui sebagai Firman Allah, bahkan Tuhan Yesus sendiri pun sering mengutipnya, yaitu Alkitab Perjanjian Lama yang kita pakai sekarang. Adapun Perjanjian Baru yang kita baca baru terbentuk setelah melewati masa penetapan yang cukup panjang.

Tuhan Yesus Kristus sendiri tidak menulis buku apapun bagi kita. Berita yang Dia sampaikan saat berkhotbah disebut sebagai Injil, yang berarti kabar baik atau berita yang membawa berkat, yaitu kabar baik tentang kasih Allah yang besar, tujuan dan kehendak-Nya atas diri manusia. Tuhan menyampaikan segala kebenaran secara lisan kepada murid-murid-Nya, dan menugaskan mereka untuk memberitakannya secara turun temurun, bersaksi bagi-Nya di mana-mana tempat, baik yang jauh maupun yang dekat. Sebelum Kristus mati, bangkit dan naik ke sorga, Dia memberikan perintah kepada murid-muridNya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia, setelah mereka menerima Roh Kudus, mereka pun pergi ke segala penjuru untuk memberitakan kabar baik, Allah menyelamatkan manusia. Sebab itu, diawal perkembangan kekristenan, Kristus dan murid-murid tidak mempertimbangkan akan meninggalkan karya tulis bagi kita. Pada awal pemberitaan mereka, ayat-ayat yang mereka kutip untuk membuktikan ajaran Kristus hanyalah Perjanjian Lama saja, namun setelah Kristus naik ke sorga, kekristenan menjadi semacam gerakan yang berkuasa, berkembang dengan amat pesat, dan setelah melalui jangka waktu yang cukup panjang, karena kebutuhan masing-masing tempat dan masalah praktis di pelbagai bidang, barulah muncul beberapa tulisan awal, itulah tahap pertama dari penulisan Perjanjian Baru.

Menulis empat Injil adalah tahap kedua, hal itu kita ketahui dari pendahuluan Injil Lukas: "Teofilus yang mulia, banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan saksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar". (Luk. 1:1-4).

Berdasarkan beberapa ayat itu, dapat diketahui dengan jelas, ada banyak catatan tentang pelayanan Kristus yang dipaparkan di hadapan Lukas, dia tidak mengatakan, semua catatan itu tepat adanya, namun mengisyaratkan bahwa catatan- catatan itu tidaklah lengkap atau tidak sempurna. Mungkin sekali merupakan catatan tentang riwayat Kristus yang berbentuk serpihan: dokumen yang satu mungkin mencatat akan kematian dan kebangkitan Kristus, catatan lain mungkin merupakan kumpulan dari perumpamaan-perumpamaan-Nya. Tidak peduli bagaimana isi dari setiap dokumen itu, namun Lukas secara pasti memberitahukan kepada kita, tatkala dia merencanakan menulis Injil Lukas, dokumen- dokumen itu sudah ada. Lukas membandingkan dan menyeleksi data-data itu, disusun dan disatukan, dicocokkan saat berdialog dengan para saksi mata, yang menyaksikan pelayanan Yesus, saat mengadakan perjalanan Pekabaran Injil dengan Paulus pun dia pergunakan untuk mengumpulkan data, supaya bisa memberikan catatan yang tepat bagi gereja. Semua itu adalah fakta yang dapat kita simpulkan. Dia juga memberitahu kita, data-data yang dia dapatkan itu akan dia tuliskan menurut urutannya, maksudnya dia akan menyusun dengan teliti seturut kronologis waktunya, seturut proporsi yang pas pada masing-masing topik, untuk menyatakan bahwa tulisannya mempunyai ciri khas yang seharusnya ada pada tulisan ilmiah dan naskah sejarah. Pendahuluannya mengingatkan kepada kita, iman orang Kristen adalah iman yang didirikan di atas fakta sejarah yang kokoh.

Surat Paulus, juga merupakan representatif dari permulaan Perjanjian Baru. Setelah Paulus mengakhiri perjalanan Pekabaran Injilnya ke Asia Kecil dan pulang ke Antiokhia, dia mendengar berita tentang iman orang Kristen yang baru percaya di Galatia mengalami krisis besar (Gal. 1:6; 3:1). Karena dia tidak bisa segera mengunjungi mereka, maka dia merasa perlu untuk menulis surat menasihati mereka untuk tekun memelihara iman di dalam Kristus, agar tidak dikalahkan oleh bidat, di bawah gerakan Roh Kudus dia menuliskan Surat Galatia. Untuk alasan yang sama, dia juga menulis Surat 1 dan 2Tesalonika, Surat Korintus dan lain-lain, dengan alasan yang sama rasul Petrus juga menuliskan dua buah surat.

Pada mulanya, surat-surat seperti itu hanya ditujukan pada satu gereja atau gereja-gereja di satu wilayah saja, kemudian, ada gereja-gereja yang menyalin surat-surat itu, diedarkan dan dibaca, namun pekerjaan menyusun surat-surat dan kitab-kitab Injil baru dilakukan pada akhir abad pertama. Di akhir zaman rasul- rasul, gereja sudah mulai mengumpulkan karya tulis dan surat-surat para rasul, dan dikategorikan setara dengan Perjanjian Lama, sebagai Firman Allah. Di dalam suratnya, Paulus sendiri jelas-jelas mengatakan bahwa ajarannya diwahyukan dari Allah (1Kor. 2:7-13; 14:37; 2Tes. 2:13), Yohanes juga menegaskan hal yang sama (Why. 1:2). "Seorang pekerja patut mendapat upahnya" kutipan yang Paulus pakai di 1Tim. 5:18 terdapat juga di Mat. 10:10 dan Luk. 10:17. Terlihat di sini bahwa saat itu Injil Matius dan Injil Lukas sudah ada, dan sudah diterima sebagai bagian dari Alkitab. 2Ptr. 3:15-16, Petrus juga dengan jelas menyetarakan Surat Paulus dengan kitab-kitab yang lain.

Selain sekelumit data yang bisa kita dapatkan dari Alkitab sendiri, untuk menyelidiki akan sejarah terbentuknya Perjanjian Baru, kita perlu menelusurinya dari sejarah yang beraneka ragam. Bahan penyelidikan yang penting adalah karya tulis bapak gereja mula-mula, keputusan dan perintah dari konsili gereja, juga bisa mendapatkan bukti tambahan dari karya tulis sebagian bidat.

Setelah zaman para rasul, sebagian besar tulisan Perjanjian Baru sudah dipergunakan secara meluas. Clement, yang di Roma, adalah orang penting dari gereja masa itu. Pada tahun 95 TM, dengan status Uskup, dia menulis surat ke gereja di Korintus, di dalam suratnya tersebut dia mengutip ayat-ayat yang terdapat di Matius, Lukas, Roma, 1Korintus, 2Korintus, Ibrani, Efesus, 1Timotius, 1Petrus dan lain- lain. Uskup pertama di Antiokia, di tahun 110 TM, di tengah perjalanan sahidnya dari Antiokia ke Roma, pernah menulis tujuh pucuk surat, dengan mengutip ayat-ayat dari Matius, 1Petrus, 1Yohanes dan sembilan surat-surat Paulus, bahkan di dalam surat-suratnya itu dia juga memeteraikan ketiga kitab Injil yang lain. Papias, Uskup Hilapolis di dalam tulisannya tafsiran kata-kata kudus Yesus dan buku-buku lain yang menyerang bidat, selain mengutip dari Injil Yohanes, juga menyinggung tentang sumber dari Injil Matius dan Injil Markus. Di antara th. 150-166 TM, Justin Martyr, seorang filsuf yang ternama pada zaman itu, di dalam tulisannya Apologetika Kristen, pernah menyinggung Kitab Wahyu, Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus, dia juga menyebutkan bahwa Injil dan Perjanjian Lama, telah mendapatkan status yang sama di gereja masa itu, bahkan dibacakan secara bergantian di dalam gereja. Saat itu masih ada Tatian, yang pernah menuliskan tafsiran empat Injil, menyebutnya sebagai Synoptic Gospel. Terbukti di sini, bahwa keberadaan empat Injil telah diakui secara umum oleh gereja.

Setelah zaman para rasul, selain kesaksian-kesaksian para Uskup yang telah disinggung tadi, ada banyak bidat dan karangan fiktif yang memakai nama samaran juga bisa dipakai sebagai bukti. Yang dimaksud dengan karangan fiktif adalah sebagian pengarang yang kira-kira sezaman dengan Kitab-kitab Perjanjian Baru, termasuk sebagian Pseudepigrafa, karena zamannya berdekatan, sebab itu memungkinkannya untuk memalsukan, membingungkan. Pengarang-pengarang seperti itu juga mengutip ayat Alkitab, hanya saja membengkokkan arti yang terdapat di dalam ajaran Alkitab dan respons dari tempat-tempat yang mendapat pengaruh Alkitab. Sebab itu, karangan mereka juga menjadi salah satu bahan bukti. Karangan yang sezaman itu termasuk Surat Barnabas, Shepherd of Hermas, II Clement. Karangan- karangan tersebut sangat dipengaruhi oleh Kitab Injil, Surat Paulus, Wahyu dan lain-lain. Adapun penggerak bidat pada zaman ini terdapat Simon, Serinthus Basilides dan lain-lain guru-guru bidat dari aliran Gnostikisme, yang menyelewengkan ajaran Kristus, tetapi mengutip dari Matius, Lukas, Yohanes, Roma, 1 Korintus, Kolose dan lain-lain. Selain itu masih ada Marcion, otak Bidat yang lain, demi mempromosikan ajaran Bidatnya, maka di tahun 140 TM, berdasarkan opininya sendiri terhadap Yesus dan Paulus, juga konsep teologi yang diyakininya, dia menyusun sebuah "Perjanjian Baru". Inilah editor pertama dari Perjanjian Baru. "Perjanjian Baru" yang disusunnya hanya mencakup Injil Lukas, Surat Roma, 1 dan 2Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, 1 dan 2Tesalonika, Filemon.

Ringkasnya, zaman ini bisa disebut sebagai masa permulaan dari Kitab Perjanjian Baru. Gereja, bapa gereja, ajaran bidat, dan karangan fiktif pada zaman itu merefleksikan bahwa saat itu Perjanjian Baru telah memberi pengaruh yang cukup mendalam, orang-orang yang mengutip ayat-ayat Perjanjian Baru juga semakin serius dan semakin tertib.

Di akhir abad ke-2, di antara bapak-bapak gereja, Irenaeus adalah pemimpin yang menonjol, dia adalah Uskup dari kota Lyon, seumur hidupnya berjuang dalam memerangi ajaran-ajaran palsu, mendebat ajaran Bidat. Di antara karangannya, selain Surat Yakobus, 2Petrus, Yudas, Ibrani, keempat kitab ini, ayat-ayat Perjanjian Baru pernah dikutipnya. Saat itu, Perjanjian Baru secara garis besar telah berbentuk, selain beberapa kitab yang masih dipertimbangkan, pada umumnya telah diakui secara tidak langsung oleh semua gereja. Irenaeus amat menekankan Alkitab adalah tulisan yang diwahyukan oleh Roh Kudus. Kira-kira pada tahun 200 TM, waktu Tertullian, pemimpin gereja Carthage masih hidup di dunia, tulisan asli dari Surat-surat Perjanjian Baru masih berada, dia menyebut kitab agama Kristen itu sebagai Perjanjian Baru. Dia pernah mengutip empat Injil, tiga belas Surat Paulus, 1 Yohanes, 1 Petrus, Yudas, Ibrani. Dia berpendapat, bahwa Surat Ibrani ditulis oleh Barnabas.

Pada masa yang sama, muncul Fragments of Muratorian, sebuah gulungan kitab kuno yang baru ditemukan. Pada tahun 1740, Muratorian, sejarawan Itali, menemukan serpihan dari gulungan kuno, di perpustakaan kota Milan, Itali Utara, yang ditulis di dalam bahasa Latin, bagian lainnya mungkin sudah hilang. Gulungan itu dimulai dari Lukas, namun karena Lukas diberi nomor tiga, dan Yohanes diberi nomor empat, maka diketahui bahwa nomor satu dan nomor dua adalah Matius dan Markus. Meskipun bagian awalnya telah hilang, namun gulungan ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Kitab-kitab Perjanjian Baru. Karena inilah kitab kuno pertama yang memandang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu setara adanya. Di depan Perjanjian Baru terdapat daftar isi Perjanjian Lama dan secara resmi menerangkan akan perbedaan Alkitab dengan karangan fiktif. Di antara Kitab-kitab Perjanjian Baru, yang belum disinggung adalah Ibrani, 1 dan 2Petrus, dan Yakobus, namun mencakup The Wisdom of Solomon dan Catatan Inspirasinya Petrus.

Setelah menginjak abad ke-3, sebagian besar karangan Perjanjian Baru telah dipakai oleh gereja-gereja, mayoritas orang di dalam hatinya telah mengakui sebagian kitab-kitab itu sebagai Kanon Alkitab, selain tujuh kitab: Yakobus, 2Petrus, 2 dan 3Yohanes, Ibrani, Yudas, Wahyu, selebihnya sudah tidak ada masalah. Pada masa itu, orang yang paling berpengaruh terhadap gereja adalah Origen dari Alexandra, karena dia bukan hanya banyak membaca, pergaulannya luas, juga memberikan tafsiran terhadap setiap kitab dalam Alkitab, dia telah secara sah menerima kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru yang kita pakai sekarang, meski masih sedikit meragukan Surat Yakobus, 2 dan 3Yohanes, 2Petrus.

Setelah abad ke-3, memantapkan keputusan Perjanjian Baru sebagai Kanon Alkitab masih tetap berjalan, hanya kitab-kitab yang dikategorikan sebagai Kanon Perjanjian Baru sudah semakin mantap. Menurut Tertulian, orang yang paling berjerih lelah di dalam hal ini adalah para Uskup dan pemimpin-pemimpin gereja. Nyata bahwa mereka mempunyai pandangan dan insting rohani: sekalipun banyak orang Kristen beranggapan, hanya karangan para rasullah yang pantas dikategorikan sebagai Kanon Perjanjian Baru, namun Kitab Markus dan Lukas yang dikenal oleh umum sebagai kitab yang bukan ditulis oleh rasul, tidak mereka hapus. Garis besar dari patokan mereka adalah, kitab yang diterima tidak ada yang tidak bernilai, kitab yang ditolak tidak ada yang bernilai. Sebuah kitab tidak bisa diterima sebagai Kanon hanya karena pengarangnya memakai nama salah seorang rasul, namun perlu ditinjau bernilai atau tidaknya isi kitab tersebut.

Dari sejarah ringkas itu, kita ketahui, bahwa ada satu masa, di mana gereja memang belum dapat memutuskan kitab-kitab mana saja yang bisa diterima sebagai Kanon Perjanjian Baru. Sebab utamanya antara lain: saat itu, transportasi di dalam kerajaan Romawi yang begitu luas belum begitu lancar, ditambah lagi penganiayaan-penganiayaan yang dialami oleh gereja, membuat gereja-gereja tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan satu kali pertemuan bersama, untuk menetapkan kitab-kitab mana saja yang terbukti memiliki otoritas rasul, dapat dikategorikan sebagai Kanon Perjanjian Baru yang sejajar dengan Perjanjian Lama.

Sampai permulaan abad ke-4, pemerintah Romawi masih melancarkan penganiayaan sebegitu rupa terhadap orang Kristen, sampai-sampai memusnahkan Alkitab. Eusebius, tokoh sejarah gereja lahir di masa ini. Dia adalah seorang pengawas di Kaisaria, saat itu, Kaisar Domitian sedang melangsungkan penganiayaan besar-besaran yang terakhir dan terekstrim untuk memusnahkan orang Kristen. Demi Kristus, Eusebius dijebloskan ke dalam penjara. Salah satu tujuan khusus dari penganiayaan kali ini adalah memusnahkan semua Alkitab orang Kristen. Kurang lebih ada sepuluh tahun, pemerintah Roma mengutus petugas khusus untuk menggeledah Alkitab yang dimiliki oleh penduduk, semua Alkitab yang berhasil ditemukan dibakar di jalan raya, di depan umum. Pada masa yang mengerikan itu, untuk menyelidiki dan memastikan kitab- kitab mana saja yang dapat dikategorikan sebagai Kanon memang menuntut pengorbanan yang amat sangat mahal. Namun saat Kaisar Constantine naik takhta pada tahun 312 TM, situasinya berubah total: Alkitab boleh dibaca secara terbuka, maka selain Kaisar sendiri menerima Kristus, dia bahkan mengesahkan kekristenan sebagai agama negara. Eusebius sangat dipandang oleh Kaisar Constantine, dan diangkatnya sebagai penasihat utama di bidang agama dalam kekaisarannya. Setelah Constantine naik takhta, hal pertama yang dia lakukan adalah memberikan mandat, di bawah komando Eusebius, mereka harus menyediakan lima puluh jilid Alkitab untuk lima puluh buah gereja besar yang berada di Constantinople. Kelima puluh jilid Alkitab itu ditulis di atas gulungan kulit domba yang paling lembut, begitu besarnya volume Alkitab itu, sampai membutuhkan dua buah pedati besar kerajaan, untuk membawanya dari Kaisaria ke Constantinople. Kitab-kitab apa saja yang terdapat di dalam Kanon Perjanjian Barunya Eusebius? Seluruh Kitab Perjanjian Baru yang kita gunakan hari ini. Setelah Eusebius melakukan perjalanan keliling guna meneliti pendapat dari masing-masing gereja, maka dia membagikan Alkitab Perjanjian Baru menjadi empat kategori, yaitu:

  1. Kitab-kitab yang diakui secara umum oleh semua gereja, yang mencakup: empat Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Paulus, 1Yohanes, 1Petrus dan Wahyu.
  2. Kitab-kitab yang masih diragukan oleh sebagian orang, karenanya masih perlu dipertimbangkan adalah: Yakobus, Yudas, 2Petrus, 2 dan 3Yohanes.
  3. Kitab-kitab Apokrifa yang bermasalah, termasuk: Acts of Paul, Shepherd of Hermas, Apocalypse of Peter, Epistle of Barnabas, Teaching of the Twelve Apostles.
  4. Kitab-kitab Bidat, yaitu kitab-kitab yang sama sekali ditolak, seperti: Gospel of Peter, Gospel of Thomas, Act of Andrew, Act of John dan lain-lain.

Dua puluh tujuh kitab yang dia terima dan dimasukkan ke dalam Kanon Perjanjian Baru, bukan saja sama persis yang kita pakai sekarang, pada saat yang sama juga membedakannya dari Kitab-kitab Apokrifa dan Kitab- kitab bidat.

Pada masa yang sama, masih terdapat tidak sedikit tokoh-tokoh penting yang memberikan sumbangsihnya pada penetapan Kanon Perjanjian Baru, kami hanya akan mengutarakan secara singkat akan beberapa orang di antara mereka. Athanathius, Uskup Aleksandria yang amat dikenal sebagai laskar kebenaran itu, adalah leluhur dari Apologis yang ortodoks, seumur hidupnya berperang habis-habisan melawan bidat. Tahun 367 TM, adalah hari Paskah yang ke-39 di dalam jabatan keuskupannya, di dalam wejangan Paskahnya, Athanathius selain memberi nasihat kepada jemaat, juga memberi pengajaran yang diambil dari satu perikop Alkitab, maksudnya adalah untuk mengingatkan kepada jemaat masa itu, untuk tidak membaca buku-buku yang mengaburkan, agar jangan disesatkan oleh ajaran bidat, demi keamanan jemaat, dia menyusun daftar Perjanjian Baru yang dibubuhi dengan penjelasan. Daftar tersebut sama persis dengan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang kita pakai sekarang. Kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru sudah disejajarkan, tidak lagi dipisahkan menjadi beberapa kategori. Kemudian lanjutnya, "Alkitab adalah sumber keselamatan. Barangsiapa merasa dahaga dapat melepaskan dahaganya dengan firman yang terdapat di dalam kitab ini. Hanya kitab-kitab inilah yang mengajarkan firman saleh". Jerome adalah sarjana Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terpenting di masa ini, seumur hidupnya tidak terlepas dari pena. Alkitab Perjanjian Baru berbahasa Latin, yang dipakai di gereja-gereja Roma adalah karya terjemahannya, isinya sama persis dengan kedua puluh tujuh kitab yang kita pakai sekarang. Augustine, Uskup Carthage, teolog ternama pada zaman itu, juga menerima kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru. The Council of Carthage yang diselenggarakan pada tahun 397 TM dipimpin olehnya. Salah satu keputusan Konsili itu adalah mengenai Kanon Perjanjian Baru. Setelah direstui dan ditetapkan secara resmi di dalam Konsili itu: menerima sepenuhnya akan kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru yang kita pakai sekarang, dengan tidak dibeda- bedakan kategorinya. Inilah ketetapan resmi yang diambil dalam Konsili organisasi gereja mengenai Kanon Perjanjian Baru.

Pada awal abad ke-4, masa di mana kekristenan mulai menggunakan bentuk sidang raya untuk mengatur segala urusan yang menyangkut pengelolaan gereja, maka tidak sedikit pertemuan-pertemuan selanjutnya yang berkaitan erat dengan Kanon Perjanjian Baru, seperti Council of Ephesus, Council of Constantinople, Council of Nicaea dan lain-lain. Namun setelah The Council of Carthage yang diselenggarakan pada tahun 397, gereja-gereja juga sidang raya telah sepakat menerima kedua puluh tujuh Kitab Perjanjian Baru adalah sejajar dengan Perjanjian Lama, sebagai Alkitab yang diwahyukan oleh Allah, yang dijadikan dasar iman dan standar hidup dari seluruh jemaat.

Setelah lebih dari seribu tahun dirongrong oleh banyak raja-raja, ajaran-ajaran bidat dan sebagainya, diserang, dipecah belah, diadili dengan Lower Criticism dan Higher Criticism yang dilancarkan oleh filsuf-filsuf modern, pemikir-pemikir, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh sejarah, Alkitab tetap tidak bergeming, tetap sebagai dasar iman gerejani dan makanan rohani setiap hari bagi jemaat.

Akhirnya, butir yang harus ditegaskan adalah, setiap Kitab Perjanjian Baru, otoritas dan posisi yang dimiliki hari ini, bukannya baru timbul setelah diakui secara resmi sebagai Kanon Alkitab, namun sebaliknya, justru karena gereja menemukan kitab-kitab itu sendiri mempunyai otoritas, sehingga mereka sepakat mengakui kitab-kitab itu memang diwahyukan oleh Allah, dan dimasukkannyalah sebagai Kanon Alkitab.

Taxonomy upgrade extras: 

PPB-Referensi 04a

Nama Kursus : PENGANTAR PERJANJIAN BARU
Nama Pelajaran : Kitab-kitab Injil dan Kehidupan Tuhan Yesus
Kode Pelajaran PPB-R04a

Referensi PPB-04a diambil dari:

Judul Buku : Memahami Perjanjian Baru
Pengarang : John Drane
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996
Halaman : 53 - 65

REFERENSI PELAJARAN 04a - KITAB-KITAB INJIL DAN KEHIDUPAN TUHAN YESUS

KELAHIRAN YESUS DAN PERMULAAN PELAYANANNYA

Kisah tentang kelahiran Yesus memperlihatkan bahwa bukan ahli-ahli agama, melainkan rakyat biasalah yang pertama-tama mengenali penyelamat yang dijanjikan Allah ketika Ia datang. Lukas 1 menceritakan tentang seorang imam yang tidak begitu dikenal, Zakharia, dan istrinya Elizabet, yang sedang menunggu saat Allah membebaskan umat-Nya (Luk. 1:5-28). Karena sikap menanti itu, mereka mendapat anugerah berupa pemberitahuan tentang kelahiran anak lelaki mereka sendiri, yang dikenal sebagai Yohanes Pembaptis (Luk. 1:57-80). Maria, ibu Yesus, adalah anggota keluarga besar yang sama. Dari Magnificat, kidung pujian Maria dalam bentuk syair yang menggetarkan (Luk. 1:46 - 55), kita dapat melihat betapa rindunya orang-orang ini menunggu agar Allah bertindak dalam hidup mereka. Maria dan sahabat-sahabatnya benar-benar gembira karena Allah akan bertindak dengan cara yang baru.

Tema-tema yang sama ditekankan dalam semua cerita tentang peristiwa Natal yang pertama itu - cerita-cerita yang sudah kita kenal semuanya. Orang-orang pertama yang mendengar kabar baik tentang penggenapan janji-janji Allah dengan lahirnya Yesus adalah beberapa gembala di perbukitan Yudea (Luk. 2:8-20), kemudian Simeon dan Hana di Bait Allah (Luk. 2:25-38). Tidak satu pun dari orang-orang itu merupakan orang penting dalam masyarakat pada umumnya. Cerita-cerita dalam pasal-pasal pertama Injil Lukas menekankan bahwa pejabat resmi - apakah dalam bidang politik atau agama - tidak mengenali Yesus. Hal ini terus terulang sepanjang kisah kehidupan Yesus. Jelaslah untuk dapat benar- benar mengerti karya-karya Allah dalam Kristus orang-orang terpenting penting pun harus menjadi seperti anak-anak kecil (Luk. 18:17).

1. Kapankah Yesus lahir?

Tidak mudah untuk menentukan dengan tepat kapan Yesus dilahirkan. Menurut perkiraan yang umum, Yesus lahir antara tahun 1 sM dan tahun 1 M. Tetapi hal ini ternyata tidak benar, karena kesalahan yang dibuat pada abad ke-6 M di dalam menghitung permulaan tarikh Masehi. Ada empat bukti yang perlu dipertimbangkan.

Pertama, menurut Matius, "Yesus dilahirkan di kota Betlehem di negeri Yudea pada masa pemerintahan Raja Herodes" (Mat. 2:1, BIS) - yakni sebelum kematian Herodes Agung pada tahun 4 sM.

Kedua, Lukas lebih berminat untuk menempatkan kisahnya dalam konteks yang lebih luas dari kekaisaran Roma; menurut laporannya, Yesus dilahirkan ketika sensus pertama dijalankan pada waktu Kirenius gubernur Siria (Luk. 2:2). Yosefus menceritakan bahwa seseorang yang bernama Kirenius memang dikirim ke Siria dan Yudea guna menyelenggarakan suatu sensus pada permulaan tarikh Masehi (Antiquities 18.1). Tetapi sensus ini merupakan bagian operasi pembersihan setelah Arkhelaus, anak lelaki Herodes Agung, dicopot dari jabatannya. Hal itu semestinya terjadi pada tahun 6 atau 7 M, dan tidak mungkin terjadi sebelum kematian Herodes Agung pada tahun 4 sM.

Oleh karena itu, beberapa ahli menduga bahwa orang yang disebut "Kirenius" oleh Lukas sebenarnya Saturninus, perwira tinggi Romawi di Siria, yang mengadakan sensus pada tahun 6 sM. Tetapi kita tidak mempunyai bahan untuk menunjukkan bagaimana Lukas tidak dapat membedakan kedua orang itu. Pada bagian lain Injilnya dan Kisah Para Rasul, ia sangat cermat serta sangat teliti dalam pemakaian nama- nama dan gelar-gelar pejabat Roma. Bagaimanapun juga, kita tidak mempunyai bukti nyata, bahwa Saturninus memang mengadakan sensus.

Ketiga, Lukas juga membuat pernyataan-pernyataan yang lain tentang waktu terjadinya peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan Yesus. Ia, umpamanya, mengatakan bahwa Yesus berumur tiga puluh tahun ketika Ia dibaptis, yakni "Dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius" (Luk. 3:1). Tiberius menjadi penguasa kekaisaran Roma pada tahun 14 M, sehingga tahun kelima belas adalah tahun 28 M. Tetapi sebenarnya Tiberius telah turut memerintah dengan pendahulunya, Agustus, sejak tahun 11 M. Jadi, walaupun ia baru menjadi kaisar setelah Agustus meninggal pada tahun 14 M, ia telah memegang kekuasaan tiga tahun sebelumnya. Mungkin sekali Lukas menghitung tahun kelima belas pemerintahan Tiberius sejak tahun 11 M, sehingga Yesus berumur tiga puluh tahun pada tahun 25-26 M. Dengan demikian, Ia lahir pada tahun 5 atau 4 sM, jadi sebelum Herodes Agung meninggal.

Keempat, beberapa ahli berusaha lebih spesifik lagi dengan menghitung terjadinya suatu konjungsi planet-planet sekitar tahun 6 sM dan menganggap peristiwa astronomi ini dapat menerangkan bintang terang yang disebut dalam Injil Matius. Tetapi argumen seperti ini jelas merupakan spekulasi.

Dari hal di atas kita dapat lihat bahwa ada dua bukti yang menunjuk bahwa Yesus lahir sekitar tahun 4 sM, sedangkan informasi lain yang diberikan oleh Lukas tentang sensus pada masa Kirenius kelihatannya tidak cocok dengan cara penentuan waktu ini. Ada tiga kemungkinan untuk menjelaskan persoalan ini.

Pertama, keterangan Lukas disalah-artikan. Sejumlah ahli mengutarakan bahwa masalah yang kami kemukakan pada hakekatnya tidak ada. Menurut mereka, dari segi tata bahasa, Lukas 2:2 dapat diterjemahkan, "Sensus ini dijalankan sebelum sensus yang diadakan ketika Kirenius menjadi gubernur negeri Siria," berbeda dengan terjemahan yang lazim. "Sensus yang pertama ini dijalankan waktu Kirenius menjadi gubernur negeri Siria" (BIS; bnd. TB). Pengertian seperti ini memang mungkin, walaupun bukanlah makna utama pernyataan itu. Lagi pula, untuk itu harus ada perubahan terhadap teks, walaupun secara tersirat. Beberapa ahli Perjanjian Baru yang terkemuka mendukung penjelasan demikian, tetapi penjelasan tersebut tidak diterima secara luas.

Kedua, Lukas keliru. Kebanyakan ahli malahan cenderung menganggap informasi yang diberikan dalam Lukas 2:2 sebagai kekeliruan. Ini merupakan cara yang mudah memecahkan masalah, tetapi tetap mengandung kesulitan-kesulitan. Seperti yang dikemukakan di atas, di bagian- bagian lain Injilnya dan dalam Kisah Para Rasul, bila Lukas membicarakan orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam kekaisaran Roma, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang ahli sejarah yang benar-benar dapat diandalkan. Oleh karena itu kelihatannya tidak mungkin ia memberi keterangan yang begitu spesifik di sini kalau ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Lagi pula, pernyataannya tentang waktu Yesus dibaptis oleh Yohanes cocok dengan asumsi bahwa Yesus lahir pada masa pemerintahan Herodes Agung, kira-kira sepuluh tahun sebelum pemerintahan Kirenius yang disebut oleh Yosefus. Hampir tidak mungkin, seorang sejarawan yang cerdas akan membuat dua pernyataan yang saling bertentangan pada konteks yang berdekatan dalam kisahnya. Kalau kita menganggap Lukas memakai sumber-sumbernya dengan cermat dan menulis secara saksama serta mengerti apa yang ditulisnya, maka sulit mengatakan bahwa ia memberi keterangan yang keliru mengenai sensus di bawah Kirenius.

Ketiga, Lukas tidak memberikan cerita yang lengkap. Suatu penjelasan yang lebih baik dapat ditemukan bila kita mengingat bagaimana sebenarnya kehidupan berlangsung di kekaisaran Roma. Memerintah Yudea dari Roma pada tahun 7 M tidaklah sama keadaannya bila dilakukan pada hari ini. Sekarang ini kita mempunyai komunikasi langsung ke seluruh penjuru dunia. Perserikatan Bangsa-bangsa di New York dapat mengambil suatu keputusan yang mempengaruhi sebuah negara di belahan dunia yang lain dan keputusannya itu dapat, disampaikan kepada negara itu dalam waktu beberapa menit saja. Tetapi di Roma purba keadaannya berbeda. Walaupun dalam kondisi yang ideal, sebuah dekrit yang ditandatangani kaisar di Roma dapat memakan waktu berbulan-bulan lamanya untuk mencapai provinsi yang jauh seperti Yudea - dan selalu ada kemungkinan bahwa pembawa pesan mengalami musibah di laut bila kapalnya karam, sehingga perintah kaisar tertunda lebih lama atau malahan hilang sama sekali. Pada zaman setelah Yesus, umpamanya, kaisar Kaligula mengirim perintah agar patungnya sendiri ditempatkan di Bait Allah di Yerusalem. Gubernur setempat lebih bijaksana dari kaisar dan menyadari bahwa hal itu akan ditentang keras oleh orang-orang Yahudi. Sebab itu ia menulis dan minta kepada kaisar untuk meninjaunya kembali. Tetapi Kaligula mendesak agar rencana itu dilaksanakan, dan menulis kepada gubernur untuk mengerjakannya. Kapal yang membawa perintah tersebut memerlukan waktu tiga bulan berlayar dari Roma ke Yudea. Sementara itu Kaligula dibunuh, dan sebuah kapal yang berangkat belakangan dari Roma membawa berita kematiannya dan tiba di Yudea 27 hari lebih dahulu dari kapal pertama sehingga perintahnya tidak dilaksanakan.

Dalam menentukan waktu pelaksanaan sensus yang dilakukan oleh Kirenius dengan tepat, kita harus mengingat kesulitan-kesulitan komunikasi dan pemerintahan pada waktu itu. Lagi pula, sudah diketahui secara umum bahwa sensus-sensus Roma (yang diadakan untuk maksud perpajakan) sering ditentang di banyak wilayah kerajaan. Salah satu sensus seperti itu, umpamanya, yang diadakan di Gaul sangat ditentang rakyat sehingga diperlukan 40 tahun guna menyelesaikannya! Selain itu, ada lagi persoalan-persoalan komunikasi. Sehingga, boleh jadi sensus yang diselesaikan oleh Kirenius pada tahun 6 atau 7 M telah didasarkan pada informasi yang dikumpulkan jauh sebelumnya.

Kaisar Agustus sangat gemar mengumpulkan angka-angka statistik; karena itu mungkin sekali ia meminta Herodes Agung untuk menjalankan suatu sensus. Kirenius dikirim pada tahun 6 M untuk membereskan pekerjaan yang belum diselesaikan oleh Arkhelaus, dan mungkin sekali ia memakai informasi yang dikumpulkan sebelumnya dan tidak memulai pekerjaan yang rumit itu dari awal sekali. Kalau ini benar, tidak ada alasan kuat untuk menganggap informasi Lukas tentang sensus tersebut bertentangan dengan keterangan lainnya yang mendukung perkiraan bahwa Yesus lahir pada tahun 5 sM. Bagaimanapun juga, ia lebih menaruh minat untuk menceritakan kisah kelahiran Yesus daripada menjelaskan kerumitan dunia politik Yudea pada waktu itu.

2. Yesus beranjak dewasa.

Kita hanya tahu sedikit sekali tentang kehidupan Yesus sebagai anak- anak. Rumahnya yang terbuat dari tanah liat merupakan bangunan yang terdiri hanya dari satu ruangan, dengan atap datar. Mungkin Yesus ikut membantu Yusuf dalam pekerjaannya. Mereka membuat alat-alat pertanian, perabot rumah dan mungkin juga bekerja untuk bangunan- bangunan. Setiap desa kecil seperti Nazaret mempunyai tukang kayunya sendiri, yang mungkin sekali juga melakukan berbagai tugas lain di samping pekerjaannya sebagai ahli bangunan kayu. Gambar-gambar yang kadang- kadang kita lihat tentang Yesus sebagai remaja, yang sedang membuat kuk untuk sapi, tidaklah melukiskan semua yang dilakukan- Nya. Tentu Ia juga terampil di dalam pekerjaan memplester tembok maupun menyerut kayu.

Walaupun rumah-Nya relatif sederhana, kelihatannya Yesus memperoleh pendidikan yang baik. Ia dianggap orang yang cocok untuk membaca Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani di sinagoge di Nazaret (Luk. 4:16- 20), padahal tidak semua orang seumur-Nya dapat membaca bahasa Ibrani, walaupun mereka mungkin dapat berbicara di dalam bahasa itu. Anak-anak lelaki Yahudi biasanya dididik di sinagoge setempat, dan Yesus tampaknya termasuk anak yang cerdas dalam kelas-Nya.

Nazaret merupakan kota yang menantang bagi seorang anak lelaki cerdas yang sedang beranjak dewasa. Memang benar Nazaret bukan kota penting. Ia tidak pernah disebut di bagian lain Alkitab, maupun dalam tulisan lain pada zaman itu. Tetapi mungkin sekali hal itu disebabkan karena orang-orang Yahudi yang sangat taat merasa bahwa rakyat Galilea - termasuk penduduk-penduduk Nazaret - terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang bukan Yahudi. Galilea sendiri sering disebut "Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain" (Mat. 4:15), karena lebih banyak orang bukan Yahudi ketimbang orang Yahudi sendiri menetap di sana. Sebaliknya rakyat di provinsi Yudea di sebelah selatan telah terisolasi dari semua pihak lain kecuali dari masyarakat mereka sendiri, sehingga mereka menjadi tertutup dan mementingkan diri sendiri, dan juga merasa benar sendiri serta bersikap munafik. Tetapi Galilea sangat berbeda. Jalan-jalan raya yang membawa pedagang- pedagang dari timur dan pasukan Roma dari barat melintasi Galilea. Di Nazaret, Yesus bertemu dan bergaul dengan banyak orang bukan Yahudi. Tentu Ia memikirkan dan berbicara mengenai gagasan-gagasan Yunani dan Romawi, di samping warisan agama bangsa-Nya sendiri.

Salah satu keuntungan istimewa bila dibesarkan di Galilea adalah bahwa Yesus dapat berbicara tiga bahasa. Seperti yang disebutkan di atas, Ia dapat berbicara dan membaca bahasa Ibrani, meskipun bahasa Ibrani bukan lagi bahasa yang biasa dipakai rakyat Yahudi. Sejak beberapa abad sebelum zaman Yesus, orang-orang Yahudi telah memakai bahasa lain yang mirip dengan bahasa Ibrani, yang disebut bahasa Aram. Bahasa itulah yang dipakai Yesus di rumah dan ketika bergaul dengan teman- teman-Nya. Karena ada begitu banyak orang bukan Yahudi di Galilea, Ia mungkin sekali berbicara bahasa Yunani juga, yakni bahasa pengantar yang dipakai di seluruh kekaisaran Roma.

Kecuali yang dapat kita simpulkan berdasarkan pengetahuan kita tentang corak masyarakat di mana Yesus dibesarkan, Perjanjian Baru hampir tidak menceritakan apa-apa tentang kehidupan-Nya sebelum Ia berumur tiga puluh tahun. Penulis-penulis Kristen pada abad ke-2 M merasa ada sesuatu yang tidak benar dan tidak wajar mengenai hal ini, sehingga mereka berusaha melengkapi apa yang dirasakan sebagai suatu kekurangan dalam Perjanjian Baru. Kita mempunyai sejumlah kisah tentang masa kanak-kanak Yesus, cerita-cerita dengan judul judul seperti Injil tentang Kelahiran Maria, Sejarah Yusuf si Tukang Kayu, atau Injil Tomas tentang Masa Kanak-kanak Yesus. Tidak perlu menanggapi secara serius cerita-cerita tentang masa kanak-kanak Yesus yang kita temukan dalam "Injil-injil" tersebut. Semuanya hanyalah legenda yang sering berkembang tentang tokoh penting, bila orang-orang yang benar-benar mengenalnya sudah meninggal. Tetapi ada beberapa tulisan dari abad ke- 2 yang mungkin mengandung beberapa ucapan Yesus yang asli, yakni tulisan-tulisan seperti Injil Tomas dan Injil Filipus. Hal ini akan ditinjau secara terinci dalam salah satu pasal berikut.

Lukas hanya menggambarkan masa kanak-kanak Yesus dengan berkata, Ia "bertambah besar dan menjadi kuat" (Luk. 2:40) seperti anak-anak lain. Tetapi Lukas juga menambahkan bahwa Yesus "bertambah hikmat- Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:52). Kemudian ia menceritakan hanya satu kisah saja untuk menggambarkan apa yang dimaksudkannya dengan kata-kata tersebut (Luk. 2:41-52).

Dalam kisah itu diceritakan bagaimana Yesus tertinggal di Yerusalem ketika Ia berumur dua belas tahun. Ia pergi ke sana dalam suatu ziarah agama bersama Maria dan Yusuf, untuk ikut serta dalam salah satu pesta besar agama Yahudi. Ketika orang tua-Nya akhirnya menemukan-Nya di Bait Allah, Ia bertanya kepada mereka, "Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" (Luk. 2:49). Pada usia itu pun, Yesus bertumbuh tidak hanya secara fisik dan mental, tetapi juga secara spiritual. Ia mempunyai kesadaran yang luar biasa tentang kehadiran Allah dalam hidup-Nya. Allah adalah Bapa-Nya dan hubungan itu lebih penting bagi-Nya daripada apa pun juga.

Peristiwa berikutnya yang kita dengar tentang Yesus adalah waktu Ia sudah berumur kira-kira tiga puluh tahun. Saudara sepupu-Nya, Yohanes Pembaptis, telah memulai suatu gerakan agama dan mendapat banyak pengikut. Yohanes hidup secara sederhana di padang gurun Yudea. Pakaiannya terbuat dari bulu unta, dan dia hanya makan makanan yang dihasilkan padang gurun, yakni "belalang dan madu hutan" (Mrk. 1:6).

Yohanes bukanlah satu-satunya nabi yang berkeliling pada waktu itu. Banyak orang berbicara mengenai kedatangan penyelamat yang dijanjikan Allah untuk membangun suatu masyarakat yang baru. Di padang gurun yang sama, agak ke arah selatan terdapat persekutuan di Qumran berbicara mengenai hal-hal yang serupa. Pada kemudian hari banyak penghasut dan nabi mencari ketenaran bagi mereka sendiri di tempat yang sama.

Tetapi Yohanes berbeda karena ia tidak berusaha mencari ketenaran bagi dirinya sendiri. Di Palestina cukup banyak orang sinting, yang masing- masing menyatakan diri sebagai penyelamat yang dijanjikan Allah. Mereka merasa mendapat tugas untuk membasmi ketidakadilan sosial dan politik di masa itu dan mendapat kuasa untuk membangun umat yang baru. Tetapi Yohanes tidak membuat pernyataan-pernyataan seperti itu. Ia hanya mengatakan bahwa ia adalah "utusan" atau "suara" (Mrk. 1:2-3) untuk membawa kabar baik bahwa umat baru segera akan dibentuk.

Orang-orang Yahudi yang sedang menanti-nantikan umat baru dari Allah mengetahui dari Perjanjian Lama kedatangan seorang utusan, yang sama seperti Nabi Elia dari Perjanjian Lama (Mal. 4:5). Para penulis kitab- kitab Injil dengan tegas menyatakan bahwa orang itu Yohanes Pembaptis. Cerita-cerita mereka mengenai cara hidupnya dan pemberitaannya mirip dengan kisah-kisah tentang Elia dalam Kitab Raja-raja di Perjanjian Lama (1Raj. 17 - 19).

Perjanjian Baru dan penulis Yahudi, Yosefus (Antiquities 18.5.2), kedua-duanya menggambarkan pekerjaan Yohanes sebagai seruan kepada orang-orang Yahudi agar membenahi hidup mereka supaya mereka layak secara moral untuk bertemu dengan orang yang akan membangun umat baru. Para nabi Perjanjian Lama, sering melihat bahwa walaupun orang Yahudi adalah umat Allah, mereka tidak dalam keadaan yang layak untuk bertemu dengan Allah mereka. Jika Allah hendak berkarya dalam kehidupan mereka, kedatangan-Nya harus dimulai dengan penghakiman - dan penghakiman-Nya akan sangat berat bagi mereka yang diberi hak-hak istimewa yang paling besar.

Pemberitaan Yohanes tepat sama seperti itu. Ia berseru kepada orang-orang Yahudi agar bersedia mengubah cara hidup mereka, supaya mereka layak bertemu dengan Allah. Orang-orang yang bersedia memenuhi panggilan tersebut memperlihatkan kesediaan mereka dengan cara "dibaptis". Kata Yunani yang darinya kita mendapat kata "baptis", berarti "mencelup". Kata itu sering dipakai, umpamanya, sehubungan dengan pemberian warna pada kain sewaktu kain tersebut dicelupkan ke dalam bak. Arti "baptisan" dalam agama sama seperti itu, hanya dalam hal ini manusialah yang dicelupkan, dan mereka dicelupkan bukan dalam zat pewarna melainkan dalam air jernih. Yohanes agaknya memanfaatkan Sungai Yordan sebagai sumber air yang dekat.

Kebanyakan orang Yahudi tahu apa baptisan itu. Mungkin hal itu dipakai sebagai cara untuk menandai masuknya orang-orang bukan Yahudi ke dalam agama Yahudi. Baptisan memang dilakukan dengan maksud tersebut pada kemudian hari. Juga ada banyak bukti dari Naskah-naskah Laut Mati bahwa kaum Eseni memakai baptisan secara teratur sebagai cara untuk memelihara kemurnian moral dan agama mereka. Salah satu ciri yang menonjol dari puing-puing biara di Qumran adalah sistem saluran air dan tangki air yang sangat rumit, yang menyediakan air yang cukup bagi umat di padang gurun agar mereka dapat menjalankan upacara-upacara baptisan mereka. Tentunya, upacara-upacara yang dilakukan seperti kaum Eseni tidak sama seperti baptisan orang bukan-Yahudi yang masuk agama Yahudi. Baptisan dan upacara pembasuhan diulangi terus menerus di Qumran. Tetapi baptisan orang-orang yang masuk agama Yahudi merupakan peristiwa satu kali yang berlaku seterusnya.

Sukar ditentukan apakah latar belakang baptisan Yohanes adalah pembasuhan berulang kali, sama seperti yang dilakukan kaum Eseni, atau baptisan satu kali bagi orang-orang bukan-Yahudi yang bertobat. Sifat radikal pemberitaan Yohanes, dan pertentangan yang dibangkitkannya lebih mudah dimengerti jika ia berseru kepada orang Yahudi agar ambil bagian dalam sesuatu yang dirancang bukan bagi umat pilihan Allah melainkan bagi orang kafir. Yohanes mengerti, jika orang Yahudi mau ambil bagian dalam umat baru yang akan datang itu, mereka pun harus mulai baru sama sekali, seakan-akan seperti mereka (orang kafir bukan Yahudi) yang mengenal Allah untuk pertama kalinya.

Namun Yohanes tidak melihat seluruh implikasi umat baru itu. Ia seakan-akan berdiri di antara janji-janji Allah dalam Perjanjian Lama dan penggenapan janji-janji itu yang segera akan terlaksana. Ia melihat kedatangan Mesias dalam rangka penghakiman dan penghukuman. Ia melukiskan penyelamat yang dijanjikan Allah sebagai seseorang yang akan menebang pohon buah-buahan yang tidak menghasilkan buah dan membakar sekam dari gandum (Luk. 3:7-17). Harus diakui, ia melihat dengan lebih jelas daripada kaum Farisi dan kaum Zelot. Mereka mengira bahwa sasaran kutukan Allah adalah pihak Roma, tetapi Yohanes menegaskan bahwa Allah akan menghakimi umat-Nya sendiri - dan yang pertama-tama dihakimi-Nya ialah kaum Farisi.

Dalam pada itu, ia tidak memahami sepenuhnya sifat sebenarnya umat yang akan dibangun Allah itu. Sebab, umat Allah yang baru tidak berdasarkan kutukan dan penghakiman melainkan berdasarkan kasih, pengampunan dan perhatian pribadi bagi setiap orang. Ini merupakan hal yang paling sulit dimengerti oleh orang-orang Yahudi. Pada kemudian hari pun, pengikut-pengikut Yesus tidak mengerti sepenuhnya ketika Yesus mengatakan bahwa umat tersebut terbentuk melalui pelayanan dan penderitaan (Mrk. 8:13-33). Karya-karya Allah belum jelas sifatnya, sampai kelak setelah kematian dan kebangkitan Yesus.

3. Yesus dibaptis.

Yesus datang kepada Yohanes dan minta dibaptis. Mula-mula Yohanes tidak mengizinkan Yesus ambil bagian dalam lambang pertobatan ini. Kalau Yesus memang mempunyai hubungan istimewa dengan Allah, seperti yang diyakini Yohanes, mengapa Ia perlu bertobat? Tetapi Yesus meyakinkan Yohanes bahwa Ia harus turut dibaptis. Yesus berkata, "dengan demikian kita melakukan semua yang dikehendaki Allah" (Mat. 3:15, BIS).

Apa yang dimaksudkan Yesus dengan kata-kata tersebut? Secara sederhana dapat dikatakan, Yesus merasa harus mengidentifikasikan diri-Nya dengan orang berdosa yang mau bertobat, yang akan menjadi pengikut-Nya yang pertama. Tanpa maksud menjauhkan diri-Nya dari orang lain, hubungan khusus yang dimiliki-Nya dengan Allah merupakan alasan kuat bagi-Nya untuk melibatkan diri sepenuhnya dalam kehidupan orang biasa. Tetapi ada beberapa orang berpendapat bahwa Yesus menganggap baptisan- Nya sebagai langkah pertama pada jalan menuju salib, yang dilihat-Nya sebagai puncak dan tujuan seluruh hidup-Nya. Dan memang benar kemudian Ia menyebut kematian-Nya sebagai "baptisan", dan di dalamnya Ia benar- benar secara nyata melakukan kehendak Allah (Mrk. 10:38).

Tentu dalam pengalaman-Nya sewaktu dibaptis, Yesus mulai mengerti untuk pertama kalinya hakikat hubungan istimewa-Nya dengan Allah. Menurut Markus, Yesus mendengar kata-kata, "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (Mrk. 1:11). Ini merupakan gabungan pernyataan yang terdapat dalam dua nats Perjanjian Lama. Di satu pihak ada gema Mazmur 2:7, "Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini". Dalam konteks aslinya, pernyataan ini mengacu kepada raja-raja Yehuda di masa lampau. Pada zaman Yesus pernyataan itu dianggap secara umum sebagai nubuat tentang kedatangan Mesias. Pada pihak yang lain, ada juga acuan yang jelas terhadap sajak tentang hamba yang menderita dalam Kitab Yesaya, hambanya dilukiskan sebagai "orang pilihan-Ku; yang kepadanya Aku berkenan" (Yes. 42:1). Gagasan tentang hamba Tuhan ini tidak pernah dihubungkan dengan pengharapan akan seorang Mesias sebelum zaman Yesus.

Sebab itu agaknya pada baptisan-Nya Yesus belajar tentang dua hal:

  1. Ia diyakinkan kembali tentang hubungan-Nya yang istimewa dengan Allah, sebagai orang yang dipilih secara khusus untuk membentuk umat Allah yang baru; dan
  2. Ia diperingatkan bahwa peranan penyelamat yang dijanjikan Allah berbeda sekali dengan apa yang diharapkan oleh kebanyakan orang.

Itu berarti menerima penderitaan dan pelayanan sebagai bagian yang penting dari hidup-Nya. Ini adalah hal yang sangat sulit, seperti yang akan segera dialami oleh Yesus. Tetapi Ia menghadapi masalah itu dengan kuasa Allah sendiri; Ia diingatkan akan penyertaan Allah ketika Roh Kudus secara simbolis turun ke atas-Nya dalam bentuk seekor merpati.

4. Yesus menentukan prioritas-Nya.

Kitab-kitab Injil mengisahkan bagaimana Yesus setelah pembaptisan-Nya ditantang untuk mengatur prioritas-Nya dengan benar sebagai penyelamat yang dijanjikan Allah, yakni Sang Mesias. Setiap cobaan yang Dia alami merupakan cobaan agar menghindari penderitaan dan pelayanan secara rendah hati yang merupakan kehendak Allah.

Pertama, Yesus dicobai agar membentuk umat baru melalui tindakan di bidang ekonomi, dengan menjadikan roti dari batu (Luk. 4:1-4). Ada banyak orang lapar di dunia yang akan menyambut makanan dari sumber mana saja. Yesus sendiri waktu itu berpuasa di padang gurun dan merasa lapar. Selain itu, Perjanjian Lama sering melukiskan umat baru sebagai zaman kemakmuran material yang melimpah, ketika orang lapar diberi makan dan kebutuhan setiap orang dipenuhi (Yes. 25:6- 8; 49:9-10; Yeh. 39:17-20). Jadi ada banyak alasan mengapa Yesus harus memperhatikan hal-hal seperti itu. Tetapi Ia tahu, ketenaran dan popularitas pelaku mujizat ekonomi berbeda dengan menderita dan melayani.

Sabda Tuhan kepada umat Israel pada saat yang penting dalam sejarah mereka, menolong-Nya untuk mengatasi cobaan itu, "Manusia tidak hidup dari makanan saja" (Ul.8:3, BIS). Hal itu tidak berarti, Yesus kurang peka terhadap kebutuhan ekonomi di kalangan rakyat. Sebaliknya Ia menyadari di satu pihak bahwa ini bukanlah kebutuhan mereka yang paling besar, dan di pihak lain, bukan maksud Allah agar hal itu menjadi penekanan utama pekerjaan-Nya. Dalam kenyataannya, Yesus pada kemudian hari memberi makan orang-orang lapar (Mrk. 6:30- 34). Tetapi Ia tahu, ini bukanlah tujuan utama hidup-Nya.

Cobaan kedua ialah agar Ia terjun dari puncak Bait Allah ke pelataran di bawah yang penuh sesak, tanpa melukai diri-Nya sendiri (Luk. 4:9-12). Adalah mudah untuk memperlihatkan diri sebagai Mesias dengan melakukan mujizat, karena hal ajaib dan luar biasa mempunyai daya tarik bagi bangsa yang sifatnya dikenal dengan baik oleh Yesus. Paulus, yang mengenal agama Yahudi lebih baik dari kebanyakan orang lain, mengatakan bahwa sifat orang Yahudi ialah "menghendaki tanda" (1Kor. 1:22). Malah pada abad kita yang maju dan serba ilmiah pun, banyak orang tertarik dengan hal-hal yang luar biasa dan spektakuler, dan siapa saja yang menyatakan bisa melakukan mujizat tidak sulit memperoleh pengikut-pengikut.

Di sini juga cobaan Yesus mengandung makna yang lebih dalam, sebab ada nubuat dalam Perjanjian Lama mengenai Mesias yang akan muncul secara tiba-tiba di Bait Allah (Mal. 3:1). Ada juga janji dalam Mazmur 91 yang mengatakan Allah akan melindungi mereka yang mempercayainya. Apakah ini bukan waktunya untuk mencobai Allah? Kalau Yesus benar- benar Mesias yang diutus Allah, tentu Ia boleh mengharapkan bahwa Allah akan menepati janji-janji-Nya. Suatu pemikiran yang menarik. Tetapi jawaban terhadap hal itu datang dari zaman penting yang sama juga dalam pengalaman umat Israel, "Janganlah kamu mencobai Tuhan Allahmu" (Ul. 6:16). Konteks janji Allah dalam Mazmur 91 menegaskan bahwa itu hanya berlaku bagi orang- orang yang hidup dengan taat melayani kehendak Allah. Bagi Yesus, melakukan kehendak Allah berarti pelayanan dan penderitaan, dan bukan pemanfaatan janji-janji Allah secara semena-mena untuk kepentingan diri sendiri.

Jadi Yesus menolak godaan untuk dikenal sebagai penyelamat yang dijanjikan Allah melalui pertunjukan kuasa ajaib. Ia memang melakukan mujizat-mujizat. Tetapi seperti yang akan kita lihat nanti, Ia juga menjelaskan bahwa mujizat-mujizat itu merupakan tanda-tanda yang hidup dari pemberitaan-Nya itu; mujizat bukanlah berita itu sendiri.

Cobaan ketiga ialah agar Ia mau menjadi Mesias politis. Lukas menempatkannya sebagai cobaan kedua, tetapi Matius menempatkannya terakhir (Mat. 4:8-10). Lukas rupanya melakukan hal itu untuk menekankan pentingnya cobaan ini. Jelas, inilah cobaan yang terkuat. Sebab, orang Yahudi justru mengharapkan seorang Mesias seperti itu. Banyak di antara mereka juga percaya, mereka akan memerintah semua bangsa lain dalam zaman baru yang akan datang - dan Yesus digoda untuk menerima kewibawaan Iblis agar memperoleh kuasa atas dunia. Ide itu dijadikan lebih nyata melalui suatu penglihatan tentang kemegahan kerajaan-kerajaan dunia. Tetapi Yesus sekali lagi menyadari bahwa ini jauh berbeda dari jenis umat baru yang akan didirikan-Nya. Itu tidak berarti, Yesus tidak menghiraukan hasrat kuat bangsa-Nya untuk memperoleh kemerdekaan. Bagaimanapun juga, Ia sendiri hidup di bawah kelaliman penguasa Romawi. Ia bekerja dengan tangan-Nya sendiri agar dapat mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayar pajak kepada Roma. Ia tahu benar kemelaratan orang-orang sebangsa-Nya.

Tetapi Ia menolak jabatan Mesias politis karena dua alasan. Pertama- tama, Ia menolak syarat-syarat yang diajukan Iblis kepada-Nya. Menurut cerita-cerita dalam Injil, Iblis menawarkan untuk membagi kekuasaannya dengan Yesus. Jika Yesus mengakui otoritas Iblis atas alam semesta cara keseluruhan, maka Ia akan diberikan kuasa politik secara terbatas sebagai gantinya. Hal itu tidak dapat diterima oleh Yesus. Komitmen-Nya sendiri, dan komitmen yang kemudian dituntut-Nya dari pengikut-pangikut-Nya, hanya ditujukan khusus kepada Allah sebagai Tuhan yang berdaulat. Mengakui kuasa Iblis di salah satu bidang kehidupan berarti menolak wibawa Allah.

Di samping itu Yesus ditawarkan kemungkinan memerintah dengan "kuasa" dan "kemuliaan" suatu kerajaan yang sama seperti kekaisaran Roma. Tetapi, Ia tahu hal itu bukanlah tugas-Nya. Ia tahu, pemerintahan Allah dalam kehidupan manusia dan dalam masyarakat tidak pernah dapat dipaksakan dari luar. Inilah salah satu pelajaran yang dapat ditarik dari sejarah bangsanya. Mereka memiliki semua peraturan dalam Perjanjian Lama, tetapi berulangkali mereka gagal melaksanakannya. Yesus melihat bahwa apa yang dibutuhkan manusia adalah penyerahan kehendak dan ketaatan mereka secara bebas kepada Allah. Dengan demikian mereka diberikan kebebasan moral untuk menciptakan kehidupan baru yang Allah kehendaki bagi mereka.

Jadi cobaan ketiga ini pasti merupakan cobaan yang terkuat dan yang paling menggoda. Cobaan itu juga ditolak dengan tegas sekali, "Enyahlah, Iblis!" (Mat. 4:10). Yesus tidak mau memaksakan suatu sistem kekuasaan baru di dunia untuk menggantikan sistem kekuasaan Romawi. Umat-Nya yang baru tidaklah merupakan pemerintahan yang lalim dan kejam seperti yang dibayangkan oleh banyak orang Yahudi, melainkan akan timbul dari tabiat batin yang sama sekali baru dari mereka yang menjadi anggota-anggota-Nya sewaktu mereka melayani dan beribadah hanya kepada Allah saja.

Taxonomy upgrade extras: